NovelToon NovelToon

OBSESI SEPUPU

Bab 1 Pulang Kampung

"Huffff........ahhhhh......."

Pesawat JAL yang ku tumpangi akhirnya mendarat dengan selamat di bandara terbesar negeri tercintaku di Cengkareng. Setelah lima tahun lamanya ku habiskan waktu untuk menjadi peserta kenshusei akhirnya aku bisa kembali menghirup udara segar bumi pertiwiku.

Rasanya sudah begitu rindu dengan kedua orang tuaku dan Anis adik perempuanku sekaligus saudara kandungku satu satunya, yang kini usianya menginjak 15 tahun sejak bulan kemarin.

Selama ini tak banyak komunikasi antara aku dan keluargaku karena keterbatasan. Aku pergi merantau ke Jepang pun hanya mengandalkan keberuntungan semata karena kemiskinan parah yang menjerat keluargaku, bahkan untuk uang sakuku saat pertama kali hidup di Jepang, sahabatku Aceng lah yang berbaik hati memberikan pinjaman, meskipun langsung kubayar lunas tak lama setelah aku bekerja di sebuah perusahaan perhiasan.

Dan berkat sedikit keahlian yang kumiliki membuatku menjalani lima tahun karir yang luar biasa dengan gelimang uang yang kudapatkan. Meskipun sebagian tak kudapatkan dengan cara halal karena aku juga memiliki deposit beberapa puluh miliar rupiah dari berjudi dan taruhan.

Namun uang yang ku kirim ke kampung lewat Mas Harno saudara sepupuku sebesar lima sampai delapan juta sebulannya adalah uang halal yang murni kudapat dari gaji bekerja di perusahaan berlian dan perhiasan.

tuingg...tuinggg.... hp ku berdering.

"Hallo Ceng ! dimana kau ?" Tanyaku.

"Aku di parkiran nanti begitu keluar colling saja, aku akan jemput elu." Jawabnya.

"Iya iya, paling sebentar lagi aku keluar masih nunggu pengecekan dulu." Ujarku.

"Iya iya..." Balasnya lalu menutup panggilannya.

Tak lama kemudian pengecekan telah selesai dan aku langsung keluar, aku hanya berharap setidaknya Aceng membawa ibuku bersamanya saat ku minta menjemput ku kemaren meski aku tak bilang. Tak lama setelah aku bel Aceng datang dengan mobil sejuta umat berwarna silver yang bisa ia pinjam dari pamannya yang juga ku kenal yaitu Haji Yadi yang juga juragan sembako di kampungnya, Kampung Krajan yang juga kampung kecil bernuansa kota yang merupakan tempat perantauan ibuku yang bekerja sebagai tukang jamu gendong.

Tempat dimana aku mengalami masa kecil yang bahagia karena bertetangga sekaligus bersahabat karib dengan Aceng dan keluarganya dan juga Dewi adik perempuan Aceng yang usianya hanya terpaut setahun saja di bawahku, kami bertiga sangat akrab sampai sekarang.

Aceng dan Dewi menyalami aku dengan penuh hangat dengan senyum bahagia terpancar di wajah mereka.

"Ceng...ibuku ngga ikut?" Tanyaku.

"Lah kan masih di kampung Gung, belum ke Krajan lagi setelah mudik lima atau enam bulan yang lalu." Jawab Aceng sambil membantuku memasukkan barang barangku ke bagas mobilnya.

"Iya Gung bahkan pelanggan pelanggan Bi Yati banyak yang nanyain loh." Timpal Dewi.

Aku tertegun dan tiba tiba saja perasaanku jadi ngga enak. Memikirkan keluargaku membuatku sedikit mengurangi mood baik dalam diriku. Satu satunya sumber berita kampung ku di Jawa Tengah hanyalah dari Mas Harno, sedang dia pun seolah pelit informasi apapun padaku

Meski begitu aku langsung fokus dengan berita berita dari Aceng yang bercerita tentang dirinya yang sedang merintis usaha sebagai pemborong proyek bangunan, sedangkan Dewi saat ini bekerja di sebuah pabrik garmen di kawasan industri yang mempunyai umk terbesar di negara ini.

"Oh iya Gung btw gimana elu sukses kan maksudku banyak cuan kan dollar gitu hehehe ini kebetulan banget gudangnya bekas punya Haji Iim yang di beli orang Purwakarta mau di jual lagi dan di tawarkan murah gimana bro klo kau beli saja lumayan bisa di jadiin properti nanti misalnya hunian sewa premium gitu...kau tau kan sekarang ini Krajan sudah kaya kota." Ujar Aceng menggugah naluri bisnisku.

"Iya gampang sebenarnya aku minat pengen beli sawah atau kebun rambutan klo ada Ceng." Jawabku.

"Lah itu juga banyak Gung mau berapa hektar juga ada, orang sekarang lagi krisis banyak yang gila duit." Ujar Aceng.

"Ceng cari makan dulu donk sekalian ini mobil butuh di isi bbm juga kan." Pintaku karena perutku lapar.

"Yeiyy asyik di traktir kan Gung.." Sahut Dewi.

"Tentu saja bahkan kalo mau yang lain boleh kok nanti pasti ku bayarin." Jawabku sambil tersenyum.

"Ah ngga ngga...kalo makan dan bbm okey tapi klo yang lain entar aza lah Gung gampang yang penting kamu ketemu keluarga kamu dulu, maaf nih sebenarnya ada perasaan ga enak juga seh, soalnya tak biasanya Bi Yati pulkam sampai selama ini." Kata Aceng yang kembali membuat hatiku berdesir dan perasaan tak enak muncul lagi.

Akhirnya setelah memakan waktu hampir 3 jam lebih karena harus beberapa kali terhenti, kami tiba di Krajan, kampung asli Aceng dan Dewi sementara buatku lebih berarti sebagai tempat numpang hidup.

Benar saja rumah di tanah ss milik perusahaan kereta api yang di beli ibuku sepuluh tahun yang lalu itu tampak samun meski tetap terlihat bersih, karena sering di bersihkan oleh Dewi dan mamahnya.

Bahkan untuk dapat memasukinya aku terpaksa harus merusak gembok pintunya lebih dahulu, suasana di dalam rumah tampak suram dan berdebu. Kulihat botol botol wadah jamu yang di gunakan ibuku untuk berdagang pun terlihat berdebu dan lusuh.

Tiba tiba saja sebuah kupu kupu yang entah darimana datangnya terbang berputar putar di sekitarku dan mengelilingiku.

"Gung....ini air minumnya." Ujar Dewi yang langsung masuk ke dalam rumahku dengan sebotol air minum dan sepiring goreng pisang di tangannya.

"Trimakasih Dew...maaf yah ngrepotin." Ucapku.

"Bukan apa apa Gung, kalian kan keluargaku juga." Jawab Dewi sambil tersenyum manis.

"Eh Dew...katamu ibuku sudah enam bulan ga kesini tapi listrik kok masih nyala aza, apakah kamu yang bayarin ?" Tanyaku.

"Oh itu bapak Gung...tap ga masalah seh cuma sedikit kok, daripada kwh nya di cabut pln." Jawab Dewi.

"Oh makasih yah nanti pasti ku ganti kok." Ujarku.

Sementara Dewi mengambil sapu dan lalu sibuk bersih bersih ruang tengah rumahku, aku membersihkan kamarku sendiri.juga kamar yang di tempati orang tuaku.

Dan malamnya aku mengadakan doa bersama syukuran kecil kecilan dengan mengundang beberapa tetangga dekat, dan khusus untuk keluarga Aceng aku membagikan mereka beberapa buah tangan yang ku bawa dari Jepang.

"Gung !" Ujar Aceng setelah kami selesai dengan acara syukuran yang ku adakan.

"Iya gimana..?" Kataku.

"Elu serius kan mau beli kebun dan sawah? Tanyanya.

"Iya serius emang ada...yang jual ?" Tanyaku.

"Ada kebun rambutan 1000 meter persegi dan 500 meter persegi di tawarkan murah hanya gocap semeternya elu ambil kagak itu murah banget bro lokasinya deket jalan juga cuma penjualnya ingin di bayar cash." Kata Aceng.

"Okey besok lihat klo cocok langsung eksekusi, juga gudangnya Haji Iim sekalian kamu tawar dulu kita beli juga tapi nanti kamu yang renovasi yah kan katanya kamu pemborong." Ujarku.

"Siyap boss laksanakan." Ujar Aceng senang.

Bab 2 Mbak Sari

Aku yang sebenarnya ingin segera pulang mudik ke kampung halaman lagi lagi harus tertunda karena urusan pembelian properti dan ***** bengek hal hal lanjutannya yang melibatkan notaris dan pamong desa setempat.

Dua tempat yang terdiri atas tanah dan bangunan telah berhasil aku beli, dua lahan perkebunan dengan total luas 1500 meter persegi dan sebidang tanah sawah seluas dua bahu di lokasi yang strategis dekat jalan, adalah tangkapan besar untuk investasi bagiku meski harus merogoh kocek lebih dari 2 milyar.

"Gila ini luar biasa Gung bentar lagi bisa di pastikan kau akan segera meledak...heheheee..." Ujar Aceng sambil menepuk lenganku dengan kerasnya. Sesaat setelah acara tanda tangan untuk balik nama atas aset aset itu sekaligus pembayaran di balai desa Krajan.

"Ceng urusan persekot untuk pihak desa beres ?" Ujarku menanyakan urusan uang lelah buat pamong desa yang ikut terjun mengurusi urusanku.

"Beres boss semua sudah tertransfer pada yang berhak menerimanya." Jawabnya.

"Kalo gitu ayo anterin sekalian ke kantor Polres." Ujarku.

"Mau bikin SIM kan? ayo siapa takut. Jika perlu ke showroom sekalian kan...tapi yang penting makan minum juga bbm dan rokok gratisnya jangan lupa wokey...?" Ujar Aceng.

"Silahkan sampe perutmu meledak juga ga masalah." Jawabku sambil tertawa.

Hari itu juga hampir semua urusan kelar sim A sekaligus kendaraannya. Mobil berjenis suv seharga hampir 600 juta telah ku miliki. "Sekarang waktunya untuk membahagiakan keluargaku," Pikirku.

"Ceng...nah sekarang waktunya kamu bekerja, tolong hitung biaya untuk memoles gudang Haji Iim jadi tempat yang nyaman berkonsep mall untuk jualan sandang? Dan sekalian rumah yang di dekat Cijengkol rombak bikin model seperti kos an!" Ujarku saat kami tiba di parkiran restoran minang di daerah Kalijati.

"Gampang itu mah sekarang waktunya makan malam dulu kan." Ujarnya enteng.

"Ya udah buruan pesen aza samain aza pesenannya!" Kataku.

"Jadi gini Gung kalo kubilang elu nemu emas kalo beli gudang terbengkalai Haji Iim itu tak sepenuhnya salah, itu bangunan sebenarnya tinggal finishing saja yah paling butuh sekitar 200 an juta lagi untuk menyulapnya jadi model mall, itu juga banyaknya untuk pengeluaran cat." Ujar Aceng saat kami nunggu pesenan makanan kami.

"Kau yakin? itu tiga lantai loh. Dan lantai paling atas rencananya untuk gudang, bukankah itu memerlukan jalan untuk akses langsung dari bawah." Ujarku namun segera terjeda karena makanan yang kami pesan sudah datang.

"Ya sudah ayo kita santap dulu. Btw ceng nanti Dewi dan bonyokmu kamu bungkusin aza sekalian yah itung itung buat oleh oleh." Ujarku melanjutkan.

"wayah segini mah mereka sudah kenyang atuh Gung, entar aza di Pwd berhenti sebentar nyari gehu, dan pisang molen." Kata Aceng lalu mulai menyantap hidangannya.

Keesokan paginya kami kembali membahas tentang rencana usaha yang akan kujalankan dengan melibatkan orang tua Aceng, lagipula mereka juga sudah bersedia untuk mengelola sawah dan perkebunanku dengan sistem bagi hasil fifty fifty.

Barulah setelah menyempatkan istirahat siang, malamnya aku berpamitan untuk pulang ke kampung halamanku di central java. Tak lupa kuberikan cek senilai 1,5 milyar pada Aceng untuk proyek renovasi gudang dan rumah dengan model yang kuinginkan. Rumah yang terletak di dekat kali cijengkol itu rencananya untuk digunakan sebagai akomodasi karyawan yang akan kubawa dari kampung nantinya.

Sedangkan aku yang sangat memerlukan privasi tentu akan menempati rumah keluargaku yang berdekatan dengan kediaman keluarga Aceng.

Setelah semalaman di perjalanan, aku akhirnya sampai di desaku ketika fajar telah menyingsing di ufuk timur dengan temaram cahaya merah perlahan lahan makin lama makin menyebar menerangi bumi yang alamnya begitu indah dan ku rindukan itu. Melintasi jalan persawahan menuju kampungku, aku melihat ada aktivitas di sawah keluargaku yang letaknya memang persis di pinggir jalan dan hanya berselang tiga lahan sawah saja dari tanah kampung.

Tapi saat aku melihatnya dengan lebih jelas, orang yang sedang mencangkul bikin galengan sawah itu bukanlah ayahku melainkan Lik Yono yang juga adik kandung Pakde Joyo yang juga kakak ipar bapakku atau lebih tepatnya Pakde Joyo adalah suami dari Bude Marni kakak kandung bapakku.

Berkali kali aku membunyikan klakson mobil untuk sekedar menyapa dan memberi salam pada orang orang yang mulai sibuk beraktivitas.

"Asalamualaikum!!!" Ucapku pada bapakku yang tengah tertegun memandang ke arah mobilku yang sengaja kuparkir di luar pagar, kulihat ayahku langsung tersenyum semringah dan setengah berlari menghampiriku. Saat itu beliau tengah sibuk memberi makan ayam ayam peliharaannya.

"Pak apa kabarnya." Ujarku sambil mencium buku tangannya yang mulai agak keriput lalu justru bapakku lah yang memelukku. Kulihat matanya berkaca kaca.

"Pak...ibu masih di rumah? kata Aceng ibu sudah 6 bulan belum kembali ke Krajan." Ujarku sambil tersenyum namun justru bapakku tampak muram.

"Bapak baik baik saja kan, Anis mana kan sudah kukirim duit untuk beli hp kenapa ga pernah hubungi aku." Ujarku lagi yang kulihat bapakku makin tertegun bingung.

"Masss Agunggg....!!!" Ujar Anis sambil berlari menghambur ke arahku dan memelukku erat erat lalu menangis tersedu sedu.

"Heiii.... kenapa nangis bocil...mas kan sudah datang dan bawain kamu banyak oleh oleh." Ujarku sambil mengusap usap rambut kepala adikku yang sangat kusayangi itu.

"Ibuk mas...ibuk ..." Ujar Anis sambil terisak isak dalam tangisnya.

"Ibuk kenapa dek...beliau sehat sehat saja kan? Ibuk lagi sibukkah? masak yah....apa...?" Ujarku.

"Ibuk sudah tiada mas...." Ujar Anis semakin tersedu tangisnya. Aku sendiri tertegun, specless. Aku harap Anis ngeprank aku. Ya Allah.

"Sudahlah ayo masuk dulu...ga baik bicara di luar." Ujar bapakku sambil berlalu ke dalam tanpa menoleh ke arahku.

"Benarkah dek? Tapi dulu itu kan ibuk sehat sehat saja...." Gumamku, lalu melangkah perlahan karena Anis menarik tanganku.

Setelah duduk di dalam mengalirlah cerita dari bapakku dan Anis yang menceritakan keadaan terutama setahun terakhir yang berat kondisinya bagi mereka yang puncaknya adalah ibuku meninggal lima bulan yang lalu.

"Jadi sawah kita di jual ke Mas Harno, pak?" Tanyaku.

"Terpaksa nak saat itu bapak butuh banyak duit untuk perawatan ibumu, meskipun Alhamdulillah duit 2 juta tiap bulan yang rutin kamu kirimkan sangat berarti bagi kami." Ujar bapakku, yang lagi lagi membuatku tertegun.

"2 juta pak..jadi bapak hanya terima 2 juta saja dari Mas Harno, tapi aku kirimnya paling tidak sedikitnya 5 jutaan pak tiap bulan, bahkan dua bulan yang lalu aku lebihin 5 juta lagi supaya di belikan hp buat Anis, apakah Mas Harno tidak ngasih kamu hp dek?" Ujarku mulai pepat dadaku apalagi saat Anis hanya menggelengkan kepalanya.

"Bangsat Harno...beraninya dia menipu aku." Gumamku lirih, sementara Anis dan bapak serempak hanya menatapku penuh tanda tanya.

Tiba tiba terdengar ketukan pintu di iringi ucapan salam dari luar rumah.

"Asalamualaikum...paklik....Aniss...!" Ucap merdu suara seorang perempuan, yang serempak kami langsung menoleh ke arahnya.

Perempuan itu sangat cantik sempurna dengan hijabnya, di tangan kanannya membawa piring yang aku tak tau apa isinya karena tertutup selembar daun pisang.

"Mbak Sari masuk mbak...!" Ujar Anis lalu berdiri menyambut wanita yang terlihat sebaya denganku itu.

"Masuk nduk Sar!" Timpal bapakku juga.

"Maaf ganggu dek sedang ada tamukah?" bisik perempuan cantik yang di panggil Sari oleh bapak dan adikku itu kepada Anis namun terdengar jelas di telingaku.

"Oh bukan tamu mbak...itu Mas Agung kakakku, mari kenalan dulu." Jawab Anis sambil tertawa kecil.

Aku pun berdiri dan melangkah menghampiri bidadari di hadapanku itu dengan senyumku yang terkembang.

"Kenalin Mbak Sari aku Agung putra Bapak Marno, kakaknya bocil ini." Ujarku sambil mengusap rambut Anis.

"Enak aza bocil aku sudah SMA mas..." Balas Anis sewot dengan muka cemberut lucu membuat adikku itu terlihat semakin manis.

Kami pun bersalaman dengan erat sambil mata kami saling bertatap dan bibir saling tersenyum.

"Namaku Sari mas...istri Mas Farhan." Ucapnya lembut.

"Ohhh...."

Bab 3 Api Dalam Sekam

Aku tertegun...jadi bidadari cantik ini adalah istri Mas Farhan. Aku masih specless sesaat sebelum Anis, menepuk bahuku dan membuatku tergagap.

"Mas...! kok bengong seh...Mbak Sari dan Mas Farhan baru saja nikah dua bulan yang lalu, jadi mereka masih terhitung pengantin baru." Ujar Anis menjelaskan padaku, sementara Sari hanya senyum senyum saja sambil menundukkan kepalanya.

"Oh iya...selamat yah mbak, selamat menempuh hidup baru dengan kakak sepupuku, smoga bahagia dan awet pokoknya samawa deh." Ujarku setelah pikiranku kembali ke jalur sebenarnya lagi.

"Iya mas makasih..." Jawab Sari dengan tambahan senyum manisnya yang jelas membuatku meleleh.

Selama lima tahun di Jepang aku beberapa kali berkencan dengan gadis maupun wanita lokal yang terkenal seperti bidadari dengan kecantikan mereka. Namun Sari jelas berbeda kelas. Dia termasuk wanita idamanku.

"Kok cuma selamat seh mas..." Timpal Anis padaku.

"Oh...ehm yah gimana atuh?" Tanyaku seperti orang bego.

"Ckkk....mas harus kasih kado pernikahan buat Mas Farhan dan Mbak Sari...masa kudu di jelasin seh." Kata Anis.

"Apaan seh dek. Maaf mas Anis cuma becanda kok." Sahut Sari lagi lagi dengan tambahan senyumnya yang sangat mempesona dan bisa kupastikan akan mampu merubah duniaku.

"Oh iya tenang saja hanya soal waktu saja kok. Btw Mas Farhan apakah sedang di rumah?" Ujarku bertanya untuk meredam kecanggungan.

"Mas Farhan sudah berangkat ke Surabaya mas, sudah dapat semingguan." Jawab Sari.

"Oh Mas Farhan kerja apa di Surabaya? maaf setauku dulu kan dia kerja di Jakarta bareng Mas Harno." Ujarku.

"Ih mas lah yang kudet, sekarang Mas Farhan itu kerja di Semarang jadi sopir truk ekspedisi." Kata Anis menjawab pertanyaanku.

"Ohh...iya deh semoga berkah dan lancar. Eh kudet apaan seh Nis?" Ujarku.

"Kurangggg apdetttt.....!!!" Jawab Anis dan Sari bersamaan lalu mereka serempak tertawa gembira seakan menertawakan kebodohanku.

"Oh hehehe bisa aza kalian. Ya sudah Mbak Sari silahkan duduk dulu ngobrol sama bapakku santai aza dulu gapapa kan. Maksudnya mbak ga sibuk kan di rumah?" Tanyaku sok akrab pada Sari.

"Oh ngga kok mas...tadi sudah selesai bantuin mamak masak." Jawab Sari ramah.

"Ya sudah silahkan duduk dulu mbak...maaf nemenin bapakku sebentar. Nis ayo bantuin mas !" Ujarku.

"Okey boss siyap....mbak tunggu bentar yah Mas Agung kayanya mau bongkar oleh olehnya." Ujar Anis berbisik pada Sari.

Sari hanya tersenyum lalu duduk menemani bapakku yang sedang asyik menikmati jadah pondoh pemberian dari Bude Marni.

Tak butuh lama buatku yang di bantu dengan Anis untuk memindahkan dua koper dan beberapa kardus besar yang kebanyakan berisi oleh oleh yang kubawa dari Jepang dan sebagian kecil kubeli di Krajan kemarin.

Beberapa saat kemudian kami sibuk membongkar kardus kardus yang berisi aneka kue kering tradisional khas Jepang kesukaanku selama tinggal di sana juga beberapa macam aksesoris dan produk sandang dari negara sakura.

Oleh Anis, Sari di berikan dua buah kaos untuk dirinya dan Farhan serta dua toples kue kering, sementara dress yang sedianya akan kuhadiahkan untuk ibuku akhirnya kutitipkan pada Sari untuk di berikan ke Bude Marni.

"Trimakasih ya mas oleh olehnya." Ujar Sari tampak begitu senang terpancar di wajah cantiknya.

"Sama sama mbak...bukan apa apa kok, ehm untuk kado nikahnya ntar tar an yah mbak hehehe."

"Ahhh....jangan terlalu dipikirkan mas." Ucap Sari sambil tertawa kecil.

Setelah dua hari sibuk melayani kunjungan tetangga dan teman temanku dan puncaknya kami mengundang mereka untuk syukuran kecil kecilan sekaligus doa bersama untuk mendiang ibuku.

"Mas kapan kita jalan jalan? katanya mau ke Bulus Jimbung?" Tanya Anis setelah kami selesai beres beres dan bersih bersih rumah.

"Ya kamunya besok sekolah gitu kok pengen pelesir, eh itu motor bebek masih kau pakai dek pengen ganti nggak?" Ujarku.

"Wah mas mau beliin aku motor? asyikkk..." Ujar Anis girang.

"Bukan itu saja, rumah kita ini juga akan mas rehab jadi dua rumah, satu untukmu dan satu untuk mas." Ujarku sambil menatap bapak untuk memohon persetujuan beliau.

"Lah bapak ikut siapa nanti tinggalnya ikut mas atau aku? Tanya Anis.

"Bapak bebas mau tinggal dimana pun di tempat kita karena semua milik beliau dek..bahkan tau ngga rumah yang di Krajan nanti juga mau mas renovasi, lagipula mas kan sudah beli beberapa aset disana." Jelasku yang membuat bapakku langsung tertarik dengan ceritaku.

Aku pun segera menceritakan semua hal yang dua minggu kulakukan di Krajan, dan menjelaskan pula berbagai aset yang kubeli dengan harga yang menurutku sangat murah itu.

"Sayangnya sawah kita yang di sini malah lepas nak." Keluh bapakku dengan wajah muram.

"Tenang pak hanya tinggal tunggu waktu saja sawah itu kembali ke kita. Akan kupastikan Harno membayar kelicikan nya pada kita." Ujarku berapi api.

"Maksudnya mas?" Tanya Anis.

"Kata Bapak kan sawah kita hanya di beli 200 juta saja kan yah padahal jelas itu lebih dari 400 an juta harganya." Ujarku.

"Kemaren aza kita di bodoh bodohin mas sama orang orang soal itu." Timpal Anis.

"Kata bapak kan cuma nerima duit yang aku kirim hanya 2 juta saja kan tiap bulan padahal sebenarnya aku kirim tak kurang dari 5 juta loh tiap bulannya, bayangin aza kalo lima tahun selisihnya berapa?" Ujarku mulai sedikit emosi.

Kulihat bapak termangu mangu tanpa respon apapun.

"Wah 180 juta mas selisihnya...gila Mas Harno." Ujar Anis ikut emosi.

"Tapi selesaikan dengan cara yang baik ya nak bagaimanapun juga dia itu kakakmu sendiri." Ucap bapakku.

"Ya tergantung situasinya nanti pak, klo dia ga mau ganti ya terpaksa ku cekik lehernya." Ujarku mantab yang membuat Anis tersenyum dan mengacungkan jempolnya padaku.

"Ya sudah...tidurlah kalian sudah larut malam ini." Ujar bapakku membuat Anis sontak melihat jam dinding lalu menguap.

"Trus soal rencana rehab rumah ini bapak setuju kan, rencanaku nanti mau bikin dua rumah bergandengan gitu." Tanyaku pada bapak, membuat Anis mengurungkan niatnya untuk beranjak.

"Ya kalo itu bapak tentu setuju saja tow nak, selama kamu mampu, lagipula kan bapak sudah tua terserah kalian bapak tinggal numpang makan saja sama kalian." Ujar bapak.

"Bapak masih muda baru juga 50 tahun kenapa bilang tua. Masih bisa pak kalo mau nikah lagi." Ujarku setengah bercanda.

"Nggak nak, bapak sudah memutuskan untuk tak menikah lagi, karena percuma saja seluruh cinta bapak sudah di bawa sama ibumu, jadi bapak pasrah dan berharap kalian mau merawat bapak, sampai nanti nyusul ibu kalian." Ujar bapakku yang seakan sudah sangat rapuh hatinya.

Ini gara gara Harno keparat itu andai saja duitku ga di tilep mungkin saja Ibuku masih bisa tertolong oleh pengobatan, andai apa yang bapakku pesankan lewat dia disampaikan padaku mungkin saja keluarga ku masih utuh.

"Setan kau Harno.... tunggu lah pembalasanku." Teriak hatiku yang tengah mendidih ini.

"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!