Dewi pov on
Hai.. kenalin, nama gue Dewi M. sebenarnya gue males nyebutin nama panjang gue. Tapi nanti kalian juga bakalan tahu nama lengkap gue, jadi lebih baik kalau gue kasih tahu dari sekarang. Tapi sebelum sebutin nama panjang gue, ada baiknya kalian tahu hal ikhwal nama itu tersemat di belakang kata Dewi.
Jadi begini, bokap gue itu penggemar berat sandiwara radio. Sandiwara radio itu cerita yang dibawakan secara audio di stasiun radio. Di jamannya, sandiwara radio ini begitu terkenal dan menjadi program yang ditunggu oleh banyak orang karena siaran televisi belum beragam seperti sekarang.
Salah satu sandiwara favorit bokap gue adalah Saur Sepuh, cerita tentang kerajaan di tanah Sunda yang bernama Madangkara. By the way ada yang tahu ngga soal Saur Sepuh? Kalau ngga tau berarti sama kaya gue. Kalau ada yang tahu, berarti kalian seumuran sama bokap gue, hihihi…
Oke lanjut ya. Bokap tuh seneng banget sama tokoh utamanya. Seorang raja yang terkenal dengan kebaikan, kebijakan, ketampanan dan memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Kanuragan itu bela diri kalau istilah jaman now. Nama raja itu adalah Brama Kumbara. Nah doi atau bokap gue, punya cita-cita mulia, kalau punya anak nanti akan dinamakan seperti tokoh favoritnya.
Tapi ternyata takdir berkata lain, Allah memberikan rejeki untuk bokap dan nyokap anak perempuan yang cantik, imut dan gemesin, yaitu gue. Tapi itu ngga menyurutkan niat bokap untu memberi nama sesuai tokoh sandiwara radio favoritnya.
Seperti istilah pepatah, tak ada rotan, akar pun jadi, ngga bisa kasih nama Brama Kumbara, bokap akhirnya milih nama adik dari raja Madangkara itu sebagai nama gue. Mantili adalah nama adik Brama Kumbara. Dan akhirnya secara resmi bokap kasih nama gue, Dewi Mantili, yang langsung disahkan ke dalam akta kelahiran.
Awalnya sih, gue senang-senang aja ya sama nama itu. Apalagi bokap bilang kalau Mantili adalah perempuan pemberani yang juga jago bela diri. Dia terkenal dengan julukan pendekar si Pedang Setan. Dari pedangnya bisa keluar asap yang baunya ngga enak banget, makanya disebut setan. Kasihan ya setan, udah jelek, bau lagi.
Selain pedang setan, Mantili juga punya pedang lain, namanya pedang perak. Disebut pedang perak karena ketika pedang itu keluar dari sarungnya, akan memancarkan sinar yang menyilaukan mata dan membuat musuh yang berhadapan dengan pendekar wanita itu kesulitan bertarung. Itulah gambaran yang gue dapet tentang sosok Mantili, cantik, pintar, pemberani dan kuat.
Tapi… begitu gue masuk SMP, gue udah mulai jengah dengan nama itu. Kadang teman-teman gue suka ngetawain kalau pas guru ngabsen nama gue. Kata Mantili tuh terdengar asing di telinga dan aneh. Banyak teman gue yang membuat panggilan nyeleneh dengan nama belakang gue.
Akhirnya, begitu gue masuk SMA, dengan pertimbangan matang, gue memutuskan untuk menyembunyikan kata Mantili di belakang nama gue. Dengan penuh perjuangan, bujuk rayu dan sogokan, gue berhasil meyakinkan petugas tata usaha untuk nulis nama gue di daftar absen hanya Dewi M saja. Dan gue ngelakuin itu ngga sendirian, tapi sama sobat gue dari kecil. Nah cerita soal sobat somplak gue, nanti ya abis cerita gue beres.
Cukup soal nama. Sekarang gue mau cerita soal keluarga gue, sebuah keluarga kecil yang hanya terdiri dari bokap, nyokap dan gue aja. Bokap gue itu seorang kontraktor. Eiittss jangan berpikir bokap itu seorang kontraktor proyek, ya. Kontraktor di sini maksudnya, bokap adalah tukang ngontrak. Sampai sekarang, bokap belum punya uang buat beli rumah sendiri. Kita ngontrak di rumah petak dengan dua kamar.
Bokap gue, namanya Herman Suherman. Ciri khas nama orang Sunda banget ya, yang sering menggunakan pengulangan kata. Bokap asli dari Tasikmalaya, dan demi mengubah hidupnya, bokap nekad hijrah ke Jakarta untuk mengadu nasib. Di kota metropolitan itu, bokap merintis karir sebagai tukang kredit keliling.
Awal mula pertemuan orang tua gue bertemu adalah ketika bokap sedang berkeliling menjajakan dagangannya. Di situ bokap ketemu ibu dari nyokap, alias nenek gue. Nenek itu pelanggan setia bokap. Dari bokap, nenek biasa dapet kreditan wajan atau panci. Karena keseringan bertemu saat bokap nagih cicilan kredit, akhirnya timbullah benih-benih cinta antara nyokap dan bokap.
Lewat nyokap, nenek selalu mendapat keringanan kalau cicilannya macet. Jadi, secara ngga langsung, nenek jadiin nyokap jaminan hutang, hihihi. Tiga bulan saling mengenal, bokap memberanikan diri untuk melamar nyokap. Oh iya, nama nyokap gue, Nenden Rahmawati, turunan Betawi – Sunda. Dan pernikahan sederhana antara Herman dan Nenden terjadi, disaksikan pengurus RT dan RW setempat.
Enam bulan setelah menikah, nyokap dinyatakan positif hamil. Bokap semakin kerja keras mengumpulkan uang untuk kelahiran anaknya nanti. Usaha kreditnya mengalami kemacetan karena banyak nasabah yang nunggak. Akhirnya bokap banting setir jadi supir angkot. Lewat profesi barunya, bokap mendapatkan cukup banyak penghasilan.
Begitu gue berumur lima tahun, bokap ngajak pindah ke Bandung. Kehidupan di Jakarta semakin sulit. Nenek juga udah meninggal, dan rumah yang ditempati dijual dan hasilnya dibagi rata dengan semua anaknya, termasuk nyokap. Dengan bekal uang warisan, kita semua pindah ke Bandung.
Awalnya kita tinggal di daerah Tegalega. Bokap kerja sembarangan, kadang jadi kuli bangunan, kadang nyambi jadi tukang parkir atau jadi kuli panggul di pasar. Di sana juga gue ketemu teman yang sampai saat ini jadi sahabat baik gue. Cowok blasteran Italia, biar bule tapi dia kere kaya gue.
Suatu saat, bokap bertemu dengan pak Haji Soleh. Pak Haji nawarin bokap buat nyetir angkot miliknya, tentu saja tawaran itu diterima dengan senang hati. Begitu gue masuk SMP, kita pindah ke daerah Pungkur. Kita tinggal di rumah kontrakan milik pak Haji Soleh. Karena bokap salah satu supir angkotnya, bokap dapet diskon biaya kontrakan.
Nah itulah keluarga gue. Keluarga kecil, yang dari segi ekonomi bisa terbilang pas-pasan, tapi kami semua bahagia. Alhamdulillah orang tua gue harmonis terus dan jauh dari godaan orang ketiga. Lagian siapa juga ya yang tertarik ama bokap, ganteng ngga seberapa udah gitu kere hehehe…
Sekarang, gue udah berumur 17 tahun. Dalam waktu dua bulan, umur gue nambah jadi 18 dan tentu saja, gue udah punya KTP. Walau pun buat dapet KTP gue harus nunggu hampir satu tahun lamanya, gara-gara dana pembuatan E-KTP dikorupsi. Gue sekolah di salah satu SMA negeri yang ada di daerah Lengkong. Dan sobat gue, si bule blasteran kere, juga satu sekolah ama gue.
Banyak orang bilang tidak ada istilah persahabatan antara laki-laki dan perempuan, karena ujung-ujungnya baper, baik keduanya atau salah satunya. Tapi ternyata itu ngga terjadi tuh sama gue. Alhamdulillah hubungan gue sama si bule kere masih sebatas sahabat aja. Karena dia bukan tipe cowok gue, dan gue juga bukan tipe cewek idamannya.
Nama sobat gue tuh, Roxas. Seperti gue bilang tadi, kalau dia teman seperjuangan gue dalam menyembunyikan identitas. Kalau gue sembunyiin nama belakang gue, berbeda dengan Roxas yang sembunyiin nama depannya. Nama lengkap si bule kere adalah A. Roxas Hidayatullah. Ada yang bisa nebak inisial A itu kepanjangan dari apa?
Roxas sekarang tinggal sama neneknya. Ibunya sudah meninggal tiga tahun lalu, sedang bapaknya entah berada di mana. Karena pria berdarah Italia itu hanya menyumbangkan benihnya saja pada ibu Roxas. Setelah itu, pria tersebut menghilang tanpa kabar seperti ditelan bumi. Dan nama Hidayatullah adalah nama kakek dari pihak ibunya.
Roxas atau yang biasa gue panggil Rox doang, umurnya 2 tahun lebih tua dari gue. Dia itu saking beletnya pernah tinggal kelas dua kali. Dan setelah berteman dengan gue, dia ngga tinggal kelas lagi, karena sering banget gue kasih contekan. Jadi, si Rox ini cuma menang ganteng doang sebenarnya, kalau otaknya, ibarat processor komputer, dia itu masih pentium satu.
Sobat gue itu lemah di semua bidang mata pelajaran. Satu-satunya mata pelajaran yang dikuasai adalah kesenian. Selebihnya nilai yang didapat menyedihkan cenderung mengenaskan. Dan dua mata pelajaran yang paling tidak dikuasainya adalah matematika dan bahasa Inggris. Kebayang dong muka bule tapi ngga bisa ngomong Inggris. Tapi kalau bahasa Sunda, beuh fasih banget dia.
Nah itulah sekilas hidup gue yang tidak indah tapi mungkin aja menarik untuk kalian kepoin. Sekian perkenalan dari gue, ingat… jangan kasih tahu soal nama belakang gue, ya. Biarkan ini jadi rahasia di antara kita.
Dewi pov off
🌸🌸🌸
“Oiii Rox… buruan!! Gerbang udah mau ditutup!” teriak Dewi pada Roxas yang tengah mendorong motornya.
“Bentar lagi! Lo tahan aja jangan sampe pintu gerbangnya ditutup!”
Mendengar ucapan Roxas, Dewi segera berlari menuju sekolahnya yang hanya tinggal beberapa meter lagi. Dia sampai di depan gerbang, tepat ketika sang penjaga keamanan sekolah hendak menutup gerbang. Dengan sengaja Dewi menjatuhkan diri di dekat gerbang.
“Euleuh neng Dewi.”
Security tersebut segera menghampiri Dewi dan membantunya bangun. Alih-alih bangun, Dewi malah duduk di lantai sambil memegangi kakinya. Terdengar rintihan pelan dari mulutnya.
“Aduh neng, hati-hati atuh..”
“Aku takut keburu ditutup pak. Huaaaa… sakit banget.”
Sambil meringis kesakitan, dia melirik ke arah kanan, sebentar lagi Roxas sampai dengan motor mogoknya. Security yang bernama Maman itu membantu Dewi untuk bangun, dengan langkah tertatih dia berjalan memasuki pelataran sekolah dengan langkah tertatih. Tak berapa lama Roxas sampai, sambil mendorong motornya, pemuda itu terus masuk menuju tempat parkir.
“Udah pak, makasih. Saya bisa jalan sendiri.”
“Beneran neng?”
“Iya, pak.”
“Biar saya aja yang bantu dia, pak,” ujar Roxas yang sudah berada di belakang mereka. Roxas membantu Dewi berjalan, pemuda itu memegangi lengan sahabatnya dan berjalan menuju kelasnya yang berada di lantai dua.
“Pak Maman masih ngelihatin ngga?” tanya Dewi pelan.
“Ngga.. udah balik ke posnya,” jawab Roxas setelah memastikan petugas keamanan itu tidak berada di belakang mereka lagi.
“Ya udah cepetan. Bentar lagi bu Cahya masuk.”
Roxas dan Dewi mempercepat langkahnya menuju tangga. Setengah berlari, kedua orang itu menaiki anak tangga. Mereka terus menuju kelas yang berada di bagian paling ujung. Kelas 12 IPS-3. Kelas yang paling terkenal memiliki koleksi siswa badung paling banyak di seantero sekolah.
🌸🌸🌸
**Hai... Hai... mamake kembali dengan cerita baru. Semoga kalian suka ya dengan kisah Dewi Mantili. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya, like, komen dan rate bintang 5. Tararengkyu epribadeh😘😘😘
Untuk menunjang kehaluan kalian, mamake kasih visual Dewi dan Roxas😉
Dewi Mantili**
Roxas
Hingar bingar para penghuni kelas 12 IPS 3 langsung menyapa indra pendengaran Dewi dan Roxas, begitu keduanya memasuki kelas. Mereka langsung menuju mejanya masing-masing. Meja Dewi berada di tengah, sedang Roxas sudah tentu berada di bagian paling belakang. Posisi duduk favorit para siswa lelaki.
Roxas baru saja mendaratkan bokongnya di kursi, ketika salah satu temannya yang bernama Micky menghampirinya. Siswa bertubuh jangkung itu duduk di kursi kosong sebelah Roxas.
“Xas.. gue ada bisnisan nih, mau ngga?” Micky membuka pembicaraan.
“Bisnis apaan?”
“Lo tau Mona ngga?”
“Mona?” Roxas mengerutkan keningnya, mencoba mengingat sosok yang dimaksud.
“Itu yang anak IPS 2.”
“Ooh yang ketawanya mirip kuntilanak sang*.”
“Buset, yang kaya gimana ketawa kuntilanak sang*?”
“Ya lo denger aja pas dia ketawa, mirip tuh.”
“Emang lo pernah denger kutilanak ketawa sambil sang*?”
“Pernah. Pas dia ngintipin gue lagi nonton film perang di kasur hahahaha…”
“Dasar semprul.”
Micky menepak kepala Roxas, namun tak ayal pemuda itu tertawa juga membayangkan seandainya benar ada kuntilanak yang ikutan spaneng melihat temannya menonton blue film.
“Eh serius napa. Si Mona kasih gue kerjaan, dia pengen tau nama depan elo. Kalo gue berhasil kasih tau nama depan elo, gue bakal dapet bayaran. Nah mending lo kasih tau gue, kan lumayan bisa bagi dua duitnya.”
“Ngapain dia kepoin nama gue?”
“Jiaaahhh kura-kura dalam perahu. Dia kan naksir elo.”
“Apa hubungannya naksir gue sama pengen tahu nama depan gue? Jaka sembung keur modol (Jaka Sembung sedang buang air besar), ngga nyambung dodol.”
“Mau ada hubungannya apa ngga, bomat gue mah. Yang penting duitnya. Cepetan kasih tau inisial A itu apa? Bisik-bisik aja deh kalo lo ngga mau para kunyuk denger.”
Micky menunjuk beberapa teman sekelasnya yang ikutan mendengarkan pembicaraan mereka. Namun Roxas bergeming. Ditawari bayaran berapa pun, dia tidak akan membuka nama depannya.
Dari arah pintu muncul Hardi, sang ketua kelas. Pemuda itu langsung diberondong pertanyaan teman-temannya. Sudah sepuluh menit berlalu, namun wali kelas mereka, ibu Cahya belum juga masuk ke dalam kelas.
“Har.. bu Cahya mana? Tumben telat, biasanya on time mulu.”
“Katanya bu Cahya udah resign. Dan ada guru pengganti bu Cahya, bentar lagi pak kepsek mau ke sini katanya.”
“Bu Cahya resign kenapa?”
“Kaga tau.”
“Kayanya bu Cahya frustrasi gara-gara si Roxas posisinya kaga naik-naik, di klasemen bawah mulu,” timpal salah satu murid sambil terkekeh.
“Yang bener tuh, bu Cahya depresi dapet murid kaya kalian semua. Dan wajah ganteng gue, satu-satunya obat penawar.”
“Narsis.”
Tepakan serta toyoran bertubi mampir ke kepala Roxas. Kehebohan di kelas 12 IPS 3 terhenti ketika pak Nurman, sang kepala sekolah memasuki ruangan kelas. Semua segera kembali duduk ke tempatnya masing-masing.
“Bersiap. Beri salam,” titah Hardi.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab pak Nurman.
“Pagi anak-anak sekalian.”
“Pagi, pak.”
“Bapak hanya mau mengabarkan kalau bu Cahya sudah resmi mengundurkan diri dari sekolah ini karena harus mengikuti suaminya pindah bekerja keluar provinsi. Beliau juga menyampaikan permintaan maafnya, tidak bisa berpamitan langsung dengan kalian, karena kondisi bu Cahya juga sedang sakit saat mempersiapkan kepindahannya. Dan di sisa semester terakhir ini, akan ada guru pengganti mata pelajaran Sosiologi sekaligus wali kelas kalian.”
Pak Nurman menjeda ucapannya sejenak, menunggu sang guru pengganti masuk ke dalam kelas. Tak lama guru pengganti yang berjenis kelamin pria itu memasuki ruangan kelas. Suara gaduh langsung terdengar begitu seorang pria berusia dua puluhan memasuki kelas. Terdengar bisik-bisik siswi begitu melihat guru tampan berdiri di depan kelas.
“Perkenalkan, ini bapak Adrian, wali kelas kalian yang baru. Beliau baru saja menyelesaikan studi S2-nya dan bersedia membantu sebagai wali kelas kalian. Pak Adrian, ini siswa-siswi kelas 12 IPS 3 yang akan menjadi tanggung jawab bapak mulai saat ini.”
“Iya, pak. Terima kasih.”
“Baik anak-anak. Bapak tinggal dulu, silahkan kalian berkenalan langsung dengan pak Adrian. Selamat bertugas, pak Adrian.”
Pak Nurman menjabat tangan Adrian, kemudian berlalu meninggalkan kelas. Suasana gaduh sesaat sepeninggal sang kepala sekolah dan kemudian kembali hening setelah mendengar deheman Adrian.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”
“Bagaimana kabar kalian semua?”
“Baik pak.”
“Baiklah, seperti pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang. Maka sebelum memulai pelajaran, ada baiknya kita berkenalan lebih dulu. Nama saya Adrian Pratama, kalian bisa memanggil saya dengan panggilan Adri atau Rian, sesuka kalian saja.”
“Lebih enak pak Rian,” celetuk salah seorang siswi.
“Bapak, aku boleh nanya?” Mita, teman sebangku Dewi mengangkat tangannya.
“Tanya apa?”
“Umur bapak berapa?”
“24 tahun.”
“Sudah menikah?”
“Belum.”
“Kalau calon?”
“Belum juga.”
“Yes!!”
“Huuuu….” terdengar sorakan dari seluruh kelas, Namun Mita tak mempedulikannya.
“Jangan mau sama Mita, pak. Bau ketek,” celetuk Roxas yang langsung disambut gelak tawa yang lain.
“Kang ngutang juga,” sambung Micky.
“Darmaji pak!” celetuk yang lain. Mita melihat pada ketiga temannya yang telah memporak porandakan harga dirinya seraya mengepalkan tangan.
Adrian hanya mengulum senyum saja. Sebelum masuk kelas, dia sudah diwanti-wanti oleh guru yang lain kalau kelas 12 IPS 3 adalah kelas paling fenomenal. Semua penghuninya berkarakter unik, dan hampir setiap hari ada saja siswa yang dipanggil ke ruang BK.
Adrian membuka buku absen yang ada di tangannya. Selain mengabsen, dia juga ingin mengenal nama-nama anak muridnya. Satu per satu dipanggilnya nama yang tercantum di daftar kehadiran. Pria itu sengaja menyisakan empat orang siswa yang belum dipanggil.
“Siapa yang belum dipanggil?” tanyanya seraya melihat ke arah murid-muridnya.
Empat orang siswa yang merasa belum dipanggil segera mengangkat tangannya. Dua di antaranya adalah Dewi dan Roxas. Adrian menganggukkan kepalanya seraya memperhatikan satu per satu murid yang belum diabsen olehnya.
“Di kelas ini ada tiga orang yang bernama Dewi, betul?”
“Betul pak,” jawab para murid serempak.
“Demi menghindari kebingungan, maka saya akan memanggil semua yang bernama Dewi dengan nama belakangnya saja. Pertama, Dewi Sandra.”
“Saya pak,” seorang murid dengan rambut terurai sebahu mengangkat tangannya.
“Saya akan panggil kamu, Sandra.”
“Siap, pak.”
“Dewi Puspa.”
“Saya, pak,” seorang gadis berhijab putih dan berkacamata mengangkat tangannya.
“Saya akan memangilmu Puspa.”
“Iya pak.”
“Dan terakhir Dewi M.”
“Saya pak,” Dewi mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
“Bagaimana saya harus memanggilmu?”
“Panggil aja sesuai nama belakang saya, M, kaya atasannya James Bond. Anggap aja bapak itu agen 007 dan saya atasannya, hehehe…” Dewi memperlihatkan cengiran khasnya.
“Apa kepanjangan dari M?”
“Rahasia pak.”
“Dia emang sok misterius, pak. Sama kaya Roxas, mereka kan ibarat mur ama baut, kemana-mana barengan mulu, cuma ke wc aja ngga bareng,” celetuk Micky.
“Berisik Micky monyet,” cetus Roxas.
“Kalau bapak bisa membuka nama lengkap mereka, saya rela pak ngosek WC selama seminggu.”
“Kamu Micky kan?” tanya Adrian.
“Iya, pak. Nama lengkapnya Micky Mulyadi. Asal bapak tahu, nih anak brojol begitu emaknya turun dari becak abis pulang dari pasar. Nah yang bantuin tuh mamang tukang becak. Dan sebagai penghargaan, disematkan nama si mamang ke dia. Mulyadi itu nama tukang becaknya,” terang Roxas panjang lebar.
“Sue lo, fatonah!” seru Micky.
Suasana kembali riuh. Suara tawa dan komentar para penghuni kelas saling bersahutan menanggapi ucapan nyeleneh Roxas.
“Harap tenang semuanya,” ucapan Adrian langsung membuat penghuni kelas menutup mulutnya.
“Ok Dewi, sesuai yang saya katakan tadi. Mulai sekarang kamu, saya panggil Tili.”
“Kok Tili, pak?”
“Nama kamu Dewi Mantili, jadi wajar kalau saya panggil Tili, singkatan dari Mantili.”
“Huahahahaha…. Jadi M nya itu Mantili, hahaha…” seru Micky sambil tergelak.
Gelak tawa yang lain langsung terdengar menyambut ucapan Micky. Bahkan Roxas sampai memegangi perutnya karena tidak berhenti tertawa. Dewi melihat kesal pada sahabatnya itu.
“Jangan panggil saya, Tili, pak,” Dewi kembali protes.
“Itu kan nama kamu. Kalau kamu saya panggil Asep, Ujang atau Edoh, baru boleh kamu protes.”
“Ya ngga usah dipenggal juga, pak. Panggil Mantili aja langsung.”
“Saya ini orangnya efisien. Jadi untuk menghemat waktu dan tenaga, saya panggil Tili saja.”
Dewi menghembuskan nafas kasar. Tak menyangka wali kelas pengganti berwajah rupawan ternyata telah membuat emosinya naik ke ubun-ubun. Rahasia yang mati-matian disimpannya kini terbuka begitu saja karena ulah guru tersebut. Sedang Adrian nampak tak peduli. Pria itu meneruskan kegiatannya yang sempat terjeda, memanggil siswa terakhir di kelas 12 IPS 3.
“Terakhir…”
“Saya pak,” Roxas langsung menyela ucapan Adrian seraya mengangkat tangannya.
“Iya kamu.. Aep Roxas Hidayatullah.”
“Bentar.. bentar.. siapa pak?” tanya Micky sambil mengorek daun telinganya.
“Aep Roxas Hidayatullah,” ulang Adrian.
“Bhuahahaha…”
Tawa Micky langsung pecah mendengar kepanjangan huruf A yang ada di depan nama Roxas. Sungguh pemuda itu tak menyangka kalau Aep adalah kata yang selama ini dicarinya. Dipikirnya inisial A adalah kepanjangan dari kata Armando, Alliando atau Abraham, mengingat wajah Roxas yang terbilang internasional.
Selain Micky, Dewi juga menjadi penyumbang tawa paling keras. Gadis itu senang bukan kepalang karena bukan hanya namanya saja yang terbongkar, tetapi sahabatnya juga mengalami hal yang sama.
Seperti halnya Dewi, Roxas juga merasakan kedongkolan yang teramat sangat. Perjuangannya menyembunyikan kata Aep hancur luluh seketika oleh sang wali kelas pengganti.
"Micky," panggil Adrian.
"Iya, pak," jawab Micky masih dengan tawa yang belum berhenti.
"Selama 7 hari ke depan kamu bertugas mengosek WC yang ada di lantai dua ini. Sabtu dan Minggu tidak dihitung."
Tawa Micky langsung hilang begitu saja ketika mendengar ucapan Adrian, berganti dengan tawa keras Roxas dan juga penghuni kelas lainnya.
🌸🌸🌸
**Selamat, tebakan kalian semua, salah🤣🤣🤣
Ini penampakan pak guru Adrian Pratama yang udah sukses buat Dewi sama Roxas dongkol abis**.
Begitu bel istirahat berbunyi, Dewi dan Roxas bergegas menuju ruang tata usaha. Mereka perlu bertemu dengan ibu Rina, pegawai tata usaha yang selama ini diminta menyembunyikan identitas mereka. Selama hampir tiga tahun keduanya tak pernah absen memberikan jatah makan siang pada wanita bertubuh gempal itu sebagai kompensasi menutupi nama panjang mereka.
“Bu..” panggil Dewi membuat sang empu nama mengangkat kepalanya.
“Mana makan siang saya?” ibu Rina menengadahkan tangannya.
“Ibu jangan ngadi-ngadi, ya. Bisa-bisanya ibu masih minta jatah makan siang di saat semuanya sudah terbongkar.”
“Maksudnya?” kening bu Rina nampak berkerut.
“Ibu ngga usah pura-pura dalam perahu, deh,” ujar Roxas.
“Kura-kura, dudul,” ralat Dewi.
“Oh iya. Ibu ngga usah sok jadi kura-kura ninja. Ibu kan yang udah bocorin soal nama kita sama pak Adrian.”
“Pak Adrian?” ibu Rina berpikir sejenak.
“Oh… guru baru itu, yang gantiin bu Cahya. Kenapa dengan pak Adrian? Ganteng ya? Pasti kamu bakalan tambah semangat belajarnya, Til..” Ibu Rina menepuk lengan Dewi. Wanita itu memang lebih senang memanggil Dewi dengan sebutan Tili atau Til saja.
“Semangat dari mana? Yang ada aku gedeg banget sama dia. Asal ibu tau, dia udah ekspos nama aku ke seantero kelas. Udah gitu dia manggil aku Tili, sama kaya ibu.”
“Hahahahaha…. Jadi namamu sudah terbongkar toh. Terus namamu juga?” bu Rina menoleh pada Roxas yang dijawab oleh anggukan. Wanita itu kembali tergelak.
“Ish ibu bisa-bisanya tertawa di atas penderitaan kami. Pokoknya saya ngga mau tau ya, bu. Ibu harus tanggung jawab. Pasti ibu yang udah kasih tahu sama pak Adrian soal kita.”
“Wah jangan fitrun kamu. Pak Adrian itu pinter, tanpa harus nanya ke ibu, dia pasti bisa cari sendiri soal kalian dari data base siswa. Selama ini bu Cahya dan wali kelas yang lain membiarkan nama kalian hanya inisial saja karena rasa kemanusiaan saja, bukan karena ngga tahu. Jadi, kalau kalian mau marah, sana sama pak Adrian. Dia bisa saja tetap diam tapi malah mengekspos, jadi bukan salah ibu.”
Dewi dan Roxas terdiam. Memang benar apa yang dikatakan oleh wanita subur itu, pangkal masalahnya memang ada di Adrian, guru tampan namun berhati iblis. Begitu pendapat kedua orang itu tentang wali kelas barunya.
“Terus makan siang ibu gimana?”
“Beli aja sendiri. Mulai sekarang kita ngga akan kasih jatah makan siang lagi sama ibu, no way,” Dewi menyilangkan kedua tangannya membentuk huruf X.
“Ya nda bisa gitu, perjanjian is perjanjian. Dan masa kontrak kita belum berakhir sampai kalian lulus.”
“Ngga mau. Kita rugi bandar, udah keluar uang tapi tetap kebongkar juga. Pokoknya ngga ada makan siang lagi, titik!”
“Bener, kita ini ibarat sudah tertipu investasi bodong,” sambung Roxas.
“Terus siapa yang mau beliin ibu makan siang sekarang?”
“Ibu minta aja sama pak Adrian, bye…”
Dewi dan Roxas segera meninggalkan ruangan tata usaha tersebut. Rina menghembuskan nafas kesal, nyatanya ulah Adrian tidak hanya berdampak pada Dewi dan Roxas tapi juga pada dirinya.
Keluar dari ruang tata usaha, Dewi dan Roxas segera menuju ke kantin untuk mengisi perutnya yang terasa keroncongan. Ternyata berhadapan dengan Adrian dan Rina juga menguras tenaga. Ketika melihat sekumpulan siswa yang tengah nongkrong di dekat lapangan basket, terdengar sebuah suara memanggil Dewi.
“Oii Mantili! Dewi Mantili!”
Dewi menghentikan langkahnya lalu menghampiri seorang siswi yang baru saja memanggilnya. Beberapa teman yang ada bersama siswi tersebut, terkikik geli saat mendengar nama Mantili.
“Ngapain lo panggil-panggil gue?”
“Ngetes doang. Ternyata nama yang lo sembunyiin itu Mantili, ck.. pantes disembunyiin, jelek banget tuh nama,” siswi bernama Mona itu tertawa mengejek.
“Denger ya, gue ngga ekspos nama Mantili, supaya elo ngga jiper pas denger nama gue. Secara Mantili itu wonder woman versi Indonesia. Sebelum wonder woman mampir ke Indonesia, dia udah lebih dulu nongol. Mau lo gue sabet pake pedang setan?”
“Widih… atut…”
“Udah, Wi.. ngga usah ditanggepin.”
Roxas mendekat kemudian menarik pelan ujung hijab yang dikenakan Dewi. Melihat Roxas yang begitu peduli pada Dewi, karuan membuat Mona semakin kesal. Apalagi pemuda itu tak pernah tertarik padanya.
“Lo juga ngga usah sok kegantengan, dasar Aep..”
“Biar nama gue Aep, tetap ngga mengurangi kegantengan gue. Buktinya lo masih ngebet sama gue, dasar kunti sang*.”
“Hahahaha…. Masih mending Mantili si pedang setan dari pada Mona si kunti sang*.”
Tawa Dewi pecah begitu saja, puas rasanya bisa membuat wajah Mona memerah menahan malu dan marah. Gadis itu segera mengajak Roxas untuk menuju kantin.
Suasana kantin masih ramai oleh penghuni sekolah yang tengah mengisi perutnya. Dewi memesan satu porsi baso tahu dan es jeruk, sedang Roxas memesan mie instan goreng plus telor ceplok, untuk minumnya seperti biasa nebeng pada Dewi. Sambil menunggu pesanan, Dewi dan Roxas berbincang santai. Terdengar suara-suara beberapa siswa di sana yang memanggil nama Mantili dan Aep. Berita nama panjang kedua murid kelas 12 IPS 3 itu memang langsung tersebar ke seantero sekolah.
BRAK!
“Ini ngga bisa dibiarin! Gue harus bikin perhitungan sama pak Adrian!” Dewi memukul meja dengan kepalan tangannya.
“Gue setuju, ayo kita kasih dia pelajaran,” sahut Roxas.
“Gue juga setuju,” celetuk Micky yang langsung mendekati keduanya begitu sampai di kantin.
“Ngapain lo ikut-ikut?” tanya Roxas.
“Dia udah nyuruh gue ngosek WC selama tujuh hari!”
“Kan lo sendiri yang minta, PEA!” Roxas menoyor kepala temannya itu.
“Ya harusnya dia ngga usah kabulin dong!”
“Udah.. udah.. kalo si Micky monyet mau ikutan ngga apa-apa, nambah sekutu buat bales pak Adrian malah lebih baik. Sini… gue punya ide.”
Dewi menggerakkan tangannya, Roxas dan Micky sontak langsung mendekatkan wajahnya. Dengan suara pelan Dewi menjelaskan rencana pertama mereka untuk mengerjai Adrian.
“Gimana?” tanya Dewi.
“Cuma gitu doang?” seru Micky.
“Itu buat awalan. Kita ngga akan balas sekaligus, tapi dicicil, biar dia ngga betah dan mengundurkan diri jadi walas kita,” Roxas dan Micky mengangguk-anggukkan kepala menyetujui usulan Dewi.
“Jadi nanti pulang sekolah, siap ya?”
“Siap!” jawab Roxas dan Micky bersamaan seraya mengangkat kedua ibu jarinya. Dewi tersenyum licik membayangkan di tengah siang bolong Adrian mendorong kendaraannya.
🌸🌸🌸
Pukul setengah dua siang, kelas 12 IPS 3 sudah diperbolehkan pulang. Dewi, Roxas dan Micky masih bertahan sebentar di dalam kelas di saat teman-temannya mulai meningalkan ruangan belajar tersebut. Dewi memberi secarik kertas pada Roxas berisikan merk motor yang dikendarai Adrian beserta nomor platnya. Kedua pria itu kemudian bergegas keluar kelas menuju parkiran motor.
Micky bertugas mengawasi keadaan sekitar. Mereka sengaja memilih waktu di saat banyak siswa tengah sibuk mengeluarkan motor dari parkiran. Roxas berpura-pura menjatuhkan tas miliknya di dekat motor milik Adrian. Sambil memungut pas, dia mengempesi kedua ban motor tersebut. Usai melakukan tugasnya, dia bersama Micky bergegas menuju kantin.
“Gimana?” tanya Dewi saat Roxas dan Micky sampai di kantin.
“Beres. Bentar lagi pak Adrian bakal dorong motor wkwkwk..” seru Micky.
“Pom bensin jeung tambal ban-na jauh. Ngeprot kesang tah si pikasebeleun (Pom bensin sama tambal ban jauh. Pasti keringetan tuh si orang nyebelin),” lanjut Roxas sambil terkekeh.
Ketiganya kemudian meninggalkan kantin sambil membawa minuman. Mereka memutuskan pindah lokasi ke tempat yang bisa memantau langsung pergerakan Adrian. Setelah sepuluh menit berlalu, target yang ditunggu akhirnya muncul juga.
Kening Adrian mengernyit saat melihat kedua ban motornya kempes. Setahunya tadi pagi saat berangkat, kondisi bannya baik-baik saja. Matanya kemudian memandang sekeliling, dan tak lama kemudian dia kembali menuju ruang guru.
“Ngapain dia balik ke ruang guru?” tanya Micky.
“Palingan mau nanya di mana pom bensin atau tambal ban,” jawab Roxas.
Di saat ketiga masih menunggu Adrian, tiba-tiba seorang pesuruh di sekolah datang menghampiri mereka.
“Dewi, Roxas sama Micky, kamu dipanggil pak Adrian ke ruang guru.”
“Ngapain?” tanya Micky bingung.
“Ngga tau. Udah cepetan ke sana, ditungguin kalian.”
Tanpa menunggu jawaban ketiga murid tersebut, sang pesuruh sekolah segera pergi. Mau tak mau Dewi, Roxas dan Micky segera menuju ruangan guru. Di kepala mereka terus bertanya-tanya apa yang diinginkan guru baru itu.
TOK
TOK
TOK
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam. Masuk.”
Mendengar perintah Adrian, ketiga murid tersebut masuk lalu mendekati meja yang ditempati Adrian.
“Bapak panggil kita?” tanya Dewi.
“Hmm..”
“Ada apa pak?”
“Aep dan Micky, kalian bawa motor saya ke tambal ban untuk diisi angin.”
“Hah??”
🌸🌸🌸
Satu kata buat Aep ama Micky.. Sokooooorrrrr🤣🤣🤣🤣
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!