NovelToon NovelToon

Sebatas Menjadi Istri Boneka

1. Kisah Dimulai

Kisah ini, milik seorang gadis bernama Merilin Anastasya. Seorang gadis tangguh yang harus menggantikan posisi ayahnya sebagai kepala keluarga.

Sebenarnya dia memiliki kakak laki-laki, namun, kakak laki-lakinya memilih lari dari tanggung jawab, menjadikan Merilin tidak punya pilihan. Selain hidup demi keluarganya. Demi adik laki-lakinya yang masih SMU dan ibu yang membutuhkannya.

Merilin Anastasya adalah seorang gadis yang baru saja mekar bak kelopak bunga. Dia lulus kuliah dengan nilai yang baik dan memuaskan. Dia memiliki keluarga yang harmonis. Ayah dan ibu yang saling mencintai. Kakak laki-laki pekerja keras dan sayang pada keluarga dan kakak laki-lakinya juga sudah memiliki kekasih. Bahkan mereka sudah berencana berencana menikah.

Jangan juga lupakan, adik laki-laki Merilin, Harven. Walaupun anak SMU itu agak cool dan seenaknya namun dia tidak pernah membuat masalah. Hasil rapornya juga memuaskan. Dia bisa masuk ke universitas pilihannya dengan nilainya itu.

Hidup Merilin terasa sempurna. Dia memiliki teman akrab yang walaupun tidak banyak namun sudah berteman dengan mereka dalam hitungan tahun. Merilin selayaknya gadis muda pada umumnya. Sering berkumpul menghabiskan waktu bersama sahabatnya. Makan bersama sesekali, nonton kalau ada film baru dan populer yang sedang ramai di sosial media, menginap diakhir pekan dan mengobrol sampai pagi juga mereka lakukan, atau sesekali belanja bersama selepas mendapatkan uang gaji.

Merilin mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan besar. Andez Corporation, sebuah perusahaan konstruksi yang bergerak di bidang pembangunan perumahan dan apartemen mewah. Dia mendapatkan pekerjaan di kantor pusat setelah magang selama enam bulan. Saat ini gadis itu masuk dalam divisi pusat dokumentasi data dan promosi. Ada beberapa bagian di dalam divisi tempatnya bekerja. Tugasnya adalah sebagai pimpinan redaksi majalah bulanan Andez Corporation. Majalah yang berisi kerja dan kesuksesan Andez Corporation, yang akan dikirimkan pada relasi bisnis, rekanan, dan bisa dimiliki setiap karyawan.

Hidup yang sempurna bagi seorang gadis yang baru berusia 23 tahun.

Setelah menata karirnya dengan baik, sekaranglah saatnya. Merilin ingin mulai memberanikan diri untuk memperjuangkan cinta yang selama ini hanya bisa ia lakukan dalam diam dan keheningan.

Bukan cinta bertepuk sebelah tangan, karena dia belum memiliki keberanian mengungkapkannya. Selama ini ia berhasil menyembunyikan perasaannya dengan rapi, tanpa seorang pun tahu. Menurutnya tidak ada yang tahu selain sahabat baiknya. Tapi entahlah.

Gadis itu menyebut cintanya sebagai cinta dalam kesunyian. Mencintai dalam keheningan.

Begitulah skenario hidup yang dibuat Merilin. Dia capai satu persatu impiannya. Pekerjaan yang stabil lalu mengejar cinta. Setelah ia merasa telah menjadi wanita yang pantas bersanding dengan laki-laki yang ia sukai. Dia akan memberanikan diri mengakui perasaannya.

Namun semua rencana hidupnya langsung tercerai berai dalam hitungan bulan saja, runtuh seperti dedaunan yang gugur di musim kemarau. Rencana hidupnya porak poranda laksana tertelan badai angin topan.

Kondisi keluarganya telah menyeretnya ke dalam sebuah lubang hitam yang menghancurkan masa mudanya. Saat usianya masuk usia 23 tahun, dia harus menggantikan posisi ayahnya sebagai kepala keluarga.

Kejatuhan keuangan perusahaan adalah awal mula. Merilin hidup hanya demi keluarga dan menyimpan semua keinginan pribadi dan mengejar cintanya dalam kotak besi. Mendorongnya masuk jauh ke lubang hatinya yang paling dalam. Dia hanya akan melihat kenyataan di depan matanya sekarang. Bahwa dialah yang bertanggung jawab menggantikan ayah. Dia buang kunci yang menyimpan semua perasaannya. Supaya dia tidak melirik lagi laki-laki yang ia cintai lagi. Mungkin suatu hari nanti dia akan berani membuka kotak itu. Setelah dia hidup lebih baik.

Mungkin, akan ada kesempatan itu. Dia berharap.

...🍓🍓🍓...

Perusahaan Ayah Merilin mengalami kebangkrutan, berawal dari sebuah proyek besar yang dia kerjakan dengan rekanan bisnis. Rekan bisnis yang sudah ia anggap sebagai saudara itu kabur membawa semua uang modal proyek. Akhirnya ayah Merilin menanggung hutang perusahaan sendirian. Properti perusahaan tergadai satu persatu. Rumah megah yang awalnya menjadi symbol kesuksesan keluarga mereka pun akhirnya harus terjual untuk menutup hutang perusahaan. Memenuhi tuntutan gaji karyawan untuk terakhir kalinya.

“Habis, semuanya habis. Tidak ada lagi yang tersisa.” Ayah meratapi nasibnya di sudut rumah. Di depannya dokumen perusahaan yang berserak.

Langit mendung menyambut Merilin dan keluarganya, saat mereka harus pindah di sebuah petak sempit padat penduduk. Rumah kontrakan alakadarnya. Hidup sambil memalingkan muka saat berpapasan dengan orang yang mereka kenal di masa lalu. Karena seiring dengan bisik-bisik dan tatapan iba membuat mereka semakin merasa terluka. Merasa terhina, merasa hancur dan kehilangan semua kehormatan dan semangat untuk hidup.

Ayah yang mulai sakit-sakitan karena tersiksa secara mental, fisik dan psikis karena rasa tertekan serta rasa bersalah, ayah berfikir karenanya lah perusahaan hancur. Akibat kehancuran perusahaan menjalar menjadi hancurnya kebahagiaan keluarganya.

Badan ayah yang kurus kering menunjukkan bagaimana depresi itu memakan berat tubuhnya. Saat pagi dia hanya duduk termangu menatap jendela. Makanan atau minuman yang kadang dia sentuh, namun sering berserak berantakan. Ayah mengalami gangguan mental yang merusak kesehatan tubuhnya.

Seperti itulah hidup membalikkan nasib Merilin.

Akhirnya ayah yang sakit-sakitan, beberapa kali harus di rawat di RS. Saat tubuh tak lagi mampu bertahan, laki-laki itu meninggal dunia. Meninggalkan semua beban. Airmata yang bercucuran bercampur sesak dan takutnya menghadapi masa depan menjadi hari-hari Merilin melepas kepergian ayahnya.

Hutang ayah yang belum terselesaikan. Hidup kedepan bersama ibu yang terpukul berlibat ganda dari yang lain. Semuanya rasanya semakin mencekik gadis itu.

Apalagi, saat kakak laki-lakinya berlutut sambil menangis memeluk kakinya. Setelah semua prosesi pemakaman ayah baru saja selesai.

“Aku mohon Mei, biarkan aku pergi dari sini, kalau tidak aku juga bisa ikut mati. Mei, aku mohon.” Tugasnyalah menggantikan ayah. Namun dia sudah merasa kalah bahkan sebelum memulainya.

“Kak jangan begitu Kak, aku juga takut Kak.” Merilin ikut menangis. “Kita lakukan sama-sama Kak.”

“Aku bisa mati Mei, kalau aku bertahan di keluarga ini. Aku mohon biarkan aku pergi.”

Kakak Laki-laki Merilin, Bramanta, sudah bertunangan dengan kekasihnya, bahkan pembicaraan tentang pernikahan sudah terjadi jauh hari. Sebelum semua kebangrutan perusahaan ayah berawal. Kebangkrutan keluarganya ia simpan rampat dari keluarga calon istrinya. Karena dia tidak yakin, cinta di antara mereka bisa sekuat itu untuk menghadang penolakan keluarga. Untuk mendapat restu dari orangtua kekasihnya saja butuh waktu sampai setahun lamanya.

“Aku akan membantu melunasi hutang ayah, tapi aku mohon biarkan aku pergi dari keluarga ini. Kau tahu kan sebentar lagi aku akan menikah. Kenapa semuanya jadi kacau begini. Semua karena ayah yang terlalu percaya pada rekan bisnisnya,” ujarnya bercampur antara isak dan muak.

Merilin memeluk kepala kakak laki-lakinya yang masih sesenggukan.

Jangan salahkan ayah lagi Kak, ayah juga sangat menderita sebelum kematiannya.

“Mei, biarkan aku pergi Mei. Aku mohon.”

Rasanya Merilin pun ingin berteriak marah dan kesal. Bagaimana laki-laki yang seharusnya menggantikan ayah sebagai kepala keluarga malah ingin pergi dan membasuh tangannya meninggalkan semua kekacauan yang diwariskan ayahnya.

Namun gadis itu teringat bagaimana perjuangan hubungan kakaknya dengan calon istrinya, membuatnya mengigit bibir tak bisa mengatakan apa pun. Memang dia yang harus mengalah, agar semua orang bisa tersenyum dengan bahagia. Dia pun akan pura-pura tersenyum.

“Menikahlah Kak, aku yang akan menjaga ibu dan Harven, tapi aku mohon, jangan lupakan kami.”

Begitulah akhirnya Merilin mengizinkan Bramanta menikah dengan kekasihnya. Sebuah pernikahan yang dilangsungkan dengan kemeriahan.

Seiring waktu yang berjalan janji tinggalah janji, Bramanta memang masih mengirim uang untuk membantu melunasi hutang ayah setiap bulannya. Namun hanya sebatas itulah hubungan keluarga mereka terjalin. Bagi Merilin, kakak laki-lakinya telah menjadi orang asing.

Sekarang gadis mungil dengan bola mata lebar yang jernih itu, harus menarik lengan bajunya. Mengikat rambut panjang ikal kecoklatan miliknya tinggi di belakang kepalanya. Mengucek matanya kuat agar tidak menyisa tangis walaupun setetes saja.

Dia yang harus berjuang bertahan hidup untuk ibu dan adik laki-lakinya.

Merilin menjelma menjadi kepala keluarga di usianya yang masih sangat muda.

Bersambung

2. Tawaran Menikah

Merilin Anastasya, di usianya yang baru saja 23 tahun menggantikan semua peran ayahnya sebagai kepala keluarga.

Ibu yang terlalu terkejut dengan perubahan situasi sepeninggal ayah, menjadi sering melamun. Dia memang masih bekerja dan beraktivitas, namun terkadang tatapannya nanar dan kosong selalu tertangkap di matanya, terlihat saat dia berjalan menyusuri trotoar sendirian untuk bekerja, atau saat di depannya ada makanan yang sudah siap ia makan. Lamunannya selalu terbang jauh entah kemana. Ibu terlalu kehilangan ayah, hingga akal sehatnya menolak kenyataan kematian ayah. Sesekali dia masih melipat pakaian ayah. Berbicara kalau ayah sedang pergi bekerja.

Dan akhirnya kecelakaan itu terjadi, saat ibu hendak pergi bekerja di sebuah kedai makanan. Ibu tertabrak pengendara motor yang melaju dengan kencang. Bahkan pengemudi itu lari dari tanggung jawab. Ibu ditolong pejalan kaki dan dilarikan ke RS.

Merilin jatuh tersungkur di sisi tempat tidur RS mendapati ibunya yang koma selama 3 hari. Wajah yang menua karena tekanan batin semakin menyakiti hati gadis itu. Apalagi setelah sadar pun wanita itu nyaris tidak mengenali siapa pun. Dari mulutnya hanya terucap nama suaminya. Menyebut nama suaminya. Bercerita tentang pertemuan dengan suaminya, dan hari-hari manis saat keluarga mereka masih bahagia. Dia hanya menyimpan kenangan manis dalam memori ingatannya.

Merilin harus menanggung semua biaya pengobatan jangka panjang ibunya yang tidak sedikit jumlahnya. Airmatanya mengering seiring dengan tangis lelahnya menjalani hidup. Merilin, gadis yang baru mekar menyeruak, meredup dan layu dengan sendirinya.

Hingga suatu hari, laki-laki yang secara diam-diam ia sukai datang mengajaknya makan siang. Diantara airmata, laki-laki itulah yang mengulurkan tangan padanya. Sedikit banyak tahu apa penderitaan Merilin. Seniornya di kampus, yang juga teman kakak laki-lakinya. Dia tahu rahasia keluarga Merilin. Dialah Serge Alevando, laki-laki yang sudah dianggap Merilin malaikat penyelamatnya. Bahkan pekerjaan bergaji besar yang sekarang dia dapatkan juga karenanya.

Sudah beberapa tahun dia menyimpan perasaan yang mungkin suatu hari nanti berani ia utarakan. Nanti, Ketika dia bisa duduk tegak di hadapan Serge tanpa membawa semua derita kehidupannya. Saat semuanya normal dan ia merasa pantas untuk meraih tangan laki-laki itu.

“Bagaimana keadaan ibu?” ujar Serge dengan penuh perhatian.

“Baik Kak, terimakasih sudah membantuku mencari perawat khusus.”

Karena kalau tidak Harvenlah yang harus menunggu ibu karena dia sendiri harus bekerja. Dia bisa menyisihkan sebagian gajinya untuk membayar perawat khusus. Karena bantuan Serge dia mendapat perawat dengan tarif yang masih bisa ia jangkau.

Serge meneguk minumannya. Membetulkan kacamata bening yang menutupi bola mata indahnya. Memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan Merilin. Ada yang ingin ia katakan, tapi suaranya tercekik karena keraguannya. Diraihnya lagi gelasnya, mengusir perasaan ragu, hatinya masih maju mundur. Lagi-lagi menyentuh hidungnya, kebiasaan kalau dia sedang terserang panik.

Bilang tidak ya, bilang tidak ya. Aku bingung!

“Mei apa kau mau menikah?” Akhirnya terlontar juga pertanyaan itu, ia bernafas lega karena Tuhan membantunya mengucapkan pertanyaan yang sudah kelu di ujung lidahnya. Bibirnya mengucap kelegaan.

Deg.

Tangan Merilin gemetar, terlepas dari gelas kopinya yang berembun. Pertanyaan tiba-tiba itu menyambar seluruh akal sehatnya.

Apa aku ketahuan mencintainya diam-diam.

Padahal dia sudah merasa sangat sempurna menyembunyikan perasaannya.

“Kak Ge, aku…”

Merilin terbata, hatinya berbunga namun pikiran sehatnya menamparnya pada kenyataan. Saat ini, kau sama sekali tidak pantas untuk Serge. Kau hanya akan menjadi beban yang melilit laki-laki yang kau cintai. Sadarlah Mei, bertubi-tubi panah kesadaran menancap di akal sehatnya.

“Aku tahu bagaimana beratnya kau menjalani semua ini.” Kata-kata Serge menahan Merilin untuk bicara. ”Sebenarnya aku ingin memukul Brama kalau bertemu dengannya, tapi setiap kali kami bertemu aku tetap tidak bisa memukulnya.” Tertawa karena hatinya yang lemah. Karena dia juga tahu bagaimana kakak laki-laki Merilin harus hidup pontang panting dan bersandiwara di depan mertuanya.

Merilin tersenyum. Mendapat sentuhan kata-kata seperti itu saja dari orang yang ia sukai, dia sudah merasakan kebahagiaan. Sudah menjadi obat mengusir laranya.

“Tapi,” Serge meraih gelasnya, meneguknya pelan. Meletakan dengan hati-hati sebelum melanjutkan kalimatnya. “Mungkin dengan menikah, paling tidak kau tidak perlu memusingkan masalah keuangan.”

Bagaimana aku bisa mengatakan kata-kata begini pada gadis setegar karang ini. Serge lagi-lagi berkubang dalam kegalauan.

Merilin masih menyimak. Dengan kepala tertunduk, ada rasa malu yang menyisip di hatinya.

Uang sewa tempat tinggal, pengobatan ibu, biaya sekolah Harven. Semua itu yang selalu mengejar Marilin. Gadis itu pun tahu betapa menyedihkannya hidupnya.

Tapi, dengan kondisiku yang begini, apa aku bisa menikah. Aku pasti hanya akan menjadi beban untuk kakak.

Apa dia bisa membawa wajahnya di depan orangtua seniornya dengan kondisi keluarganya yang seperti sekarang. Bukan hanya persoalan status dan uang, namun ibunya yang sakit.

“Mei, Merilin, bagaimana? Apa kau mau menikah.”

Merilin tersentak kaget ketika kali kedua pertanyaan itu disebutkan. Pikirannya sedang membumbung tinggi menembus ambang batas kesadarannya.

“Aku…”

“Tapi…” Serge memotong, karena dia terlihat merasa bersalah “Ah, sudahlah, anggap aku tidak mengatakannya, aku tidak ingin menarikmu dalam kehidupan yang semakin rumit ini.”

Eh, apa maksudnya.

Diantara dua orang yang sedang terdiam. Pelayan kafe melintas untuk mengantar pesanan ke meja pelanggan lain. Sementara pikiran keduanya berlabuh pada dua hal yang berbeda.

Bagaimana ini, kalau Merilin kecewa padaku. Serge berperang dengan nuraninya. Kalau dia berfikir aku merendahkan harga dirinya.

Kenapa si kakak ini, bermain-main dengan perasaanku. Apa karena dia sudah tahu aku suka padanya. Hati Merilin yang jatuh pada praduga.

Cukup lama keduanya berkomunikasi dalam diam dengan diri masing-masing.

“Maaf ya Mei, aku tahu bagaimana susahnya situasimu. Terkadang hanya melihatnya saja aku bisa ikut merasakan beratnya jadi kamu.” Serge kembali menghangatkan hati Merilin dengan perhatiannya. Pikiran labilnya akhirnya mendorongnya menuntaskan apa yang sudah ia mulai tadi.

Kakak, kalau kau mengatakan itu aku malah merasa tidak pantas sama sekali untukmu.

“Kau yang tidak pernah memikirkan dirimu sendiri.” Laki-laki itu melanjutkan kata-katanya. “Kau yang senang saat aku sekedar memberimu kupon makan di kantin kantor. Kau yang bahkan masih memakai tas yang kuberikan beberapa tahun yang lalu.”

Merilin menyentuh tas di atas meja. Benda berharga pemberian Serge.

Karena kakak yang memberikannya, bukan hanya tas ini, kupon makan juga hadiah yang berharga untukku karena itu hadiah dari kakak.

“Kau pasti tidak pernah menggunakan uang hasil kerja kerasmu untuk dirimu sendiri kan. Ibu yang butuh biaya pengobatan yang banyak, adikmu dengan biaya sekolahnya bahkan hutang ayahmu. Semua itu mengejarmu setiap bulan.”

Eh, memang benar sih itu pengeluaran rutinku yang menyesakkan hati. Tapi aku menyukai tas ini dan memakainya bertahun-tahun dan menjaganya karena ini hadiah dari kakak. Aku tersenyum bahagia dengan kupon makan di tanganku, juga karena itu hadiah dari kakak.

“Mei.” Serge meraih tangan Merilin. Membuat jantung gadis itu langsung berloncatan. “Apa kau mau menikah untuk menyelamatkan keluargamu.” Akhirnya mengatakannya lagi, dasar plin plan batin Serge sendiri.

Disatu sisi pernikahan ini akan membuat Merilin bebas dari jeratan keuangan yang melilitnya, namun dalam situasi lain ada neraka baru yang akan di hadapi gadis di depannya.

Ah, terserahlah, yang penting aku katakan dulu. Ujar Serge berhasil memantapkan hati.

Kepala Merilin refleks mengangguk mendengar pertanyaan Serge. Dengan dada yang berdebar kencang. Perasaan malu dan tidak pantas bersanding dengan seniornya rasanya lenyap begitu saja berganti perasaan bahagia.

“Benarkah, kau mau menikah dengan Tuan Rion?”

Mata Merilin terlihat membelalak kaget.

Kenapa dari mulut seniornya keluar nama seorang laki-laki yang bahkan jika melihatnya dari kejauhan saja Merilin selalu memalingkan wajah. Melihat tubuh tinggi tegap itu dia merasa rendah diri. Paras tampan dan dingin yang sangat bertolak belakang dengan seniornya. Pemilik sekaligus bos ditempatnya bekerja Andez Corporationt. Melihat wajahnya saja sudah membuatnya merasa terintimidasi.

Situasi macam apa ini? Kenapa jadi Tuan Rion? Bukan Kak Serge yang mau menikah denganku?

Bersambung

3. Kesalahpahaman

Merilin masih belum mempercayai apa yang dia dengar. Kenapa sampai Kak Serge menyebutkan nama CEO mereka.

“Tuan Rion Kak? Rionald Fernandez, CEO kita?” Merilin menunjukan wajah kebingungan. Apalagi saat melihat seniornya yang tampak biasa saja, berarti dia memang tidak salah bicara gumam Merilin.

Bisa-bisanya aku tidak tahu malu, berfikir Kak Gege juga menyukaiku.

Hati Merilin kembali terdampar di kenyataan. Dia bersyukur dalam hati, tidak ada sepatah kata pun keluar pengakuan cinta tadi. Kalau saja terucap isi hati dan perasaannya yang selama ini ia simpan rapat, akan semalu apa ia sekarang. Dia pasti memilih menggali pasir dan membenamkan wajahnya di sana.

Untung saja, aku tidak bicara apa pun.

“Apa aku belum mengatakan dengan siapa kau akan menikah Mei?”

Merilin menggeleng, menunggu penjelasan. Namun wajah sedih Merilin memunculkan sesal di hati Serge. Kenapa dia sampai menawarkan pernikahan ini pada Merilin pikirnya. Padahal rasa sedih Merilin hanya bermuara pada fakta kalau Serge sama sekali tidak menyukainya. Kalau Kak Serge yang ia sukai tidak menyukainya. Itulah yang membuat gadis itu bersedih.

“Kakak…”

Suara Merilin terdengar getir. Namun dia meraih gelasnya, menghabiskan sisa kopinya. Batuk-batuk kecil mempertahankan intonasi suara. Mengoyangkan batu es yang membentur pinggiran gelas.

Serge belum meneruskan kalimatnya. Dia masih saja terlihat bimbang. Apa mau melanjutkan tawaran atau menyudahi semuanya.

Sementara Serge sedang kebingungan, Merilin menyusuri masa lalu di wajah laki-laki yang ia sukai.

Dari gaya rambut dan caranya menyisir rambut, sampai kaca mata yang sangat pas di wajahnya itu. Membuat Serge terlihat semakin tampan dan mempesona. Wajah hangat yang memiliki senyum ramah dan jenaka. Rambut serge yang sedikit berombak. Kacamata minus yang selalu bertengger di hidungnya. Laki-laki di hadapannya bukan hanya memiliki paras fisik yang sempurna. Semua hal yang berupa tampilan luar itu di tunjang dengan hatinya yang hangat juga.

Benih bernama simpati itu muncul sejak pertama kali dia bertemu dengan Serge di kampus. Serge yang popular dikalangan para mahasiswa, baik laki-laki dan perempuan. Hanya dengan mencuri-curi pandang setiap kali bertemu, sebatas itulah benih simpati terpupuk menjadi suka dan cinta dengan sendirinya. Bahkan saat dia melihat Serge dengan kakak laki-lakinya yang juga berteman akrab, dia tidak pernah berani melewati batas untuk lebih dari sekedar menyukainya dalam diam.

Cinta dalam keheningan, yang akan ia jaga sampai ia memiliki keberanian mengutarakannya nanti.

Walaupun semenjak meninggalnya ayah dan perginya kakak laki-lakinya mereka menjadi lebih dekat, dia pun tak pernah menunjukan rasa suka itu. Serge adalah malaikat baginya. Merelakan pundaknya mengantikan kakak laki-lakinya yang memilih lari mengejar kebahagiaannya sendiri. Merilin semakin menyimpan perasaannya jauh ke dalam labirin hatinya, karena merasa tak pantas untuk Serge hari ini.

Kelak, suatu hari nanti, dia akan menyatakan perasaannya, kalau hidupnya sudah menjadi lebih baik.

“Ehm.” Keduanya kembali dari lamunan ketika suara deheman menyadarkan pikiran mereka berdua.

Serge batuk kecil, kembali mengumpulkan konsentrasi. Memandang Merilin, gadis yang sudah ia anggap lebih dari teman, bahkan sudah seperti adik sendiri. Gejolak batinnya sebenarnya menolak keras. Apa dia akan menjerumuskan seseorang yang sudah seperti adiknya dalam pernikahan yang dari awal saja sudah seperti pernikahan kontrak yang penuh dengan penderitaan. Namun dilain sisi dia merasa dengan pernikahan ini semua masalah keuangan yang mengejar Merilin bisa selesai dalam sekali kerjapan mata saja.

Baiklah, ayo lanjutkan, ini demi kebaikan Merilin. Siapa tahu, kebaikan hati Merilin bisa meluluhkan hati yang sudah membatu milik Rion. Serge sedang berusaha meyakinkan hati, kalau keputusannya bicara begini tidak salah. Ini semua demi Merilin gumamnya.

“Kakak, ada apa dengan Tuan Rion?” Merilin mengulangi pertanyaannya lagi.

Ahhh, terserahlah dengan apa yang akan terjadi kedepannya. Ayo katakan saja sekarang! keyakinan memenuhi dada Serge. Semua demi Merilin pekiknya dalam hati.

“Sebenarnya aku sedang mencari wanita yang mau menikah dengan Tuan Rion.” Setelah terucap, nafasnya lebih plong. Ruangan tempat mereka duduk sudah mulai terasa sejuk dan nyaman. Para pelayan yang lewat pun tak terlalu mengganggu pandangan, padahal tadi rasanya dia sesak dan bingung.

Namun sebaliknya untuk gadis yang ada di depannya. Perasaan sakit yang langsung menjalar di seluruh tubuh Merilin, bukan hanya karena fakta menyedihkannya hidupnya. Namun inilah jawaban yang akan ia terima kalau sampai dia menyatakan perasaannya. Serge yang baik hati namun tidak menyimpan sedikitpun rasa suka padanya dan menggangapnya wanita.

Dia baik, karena memang hatinya yang baik. Dan itu terasa sangat menyayat hati.

“Kenapa Kak sampai Tuan Rion harus mencari istri dengan cara seperti ini?”

“Ah, kau pasti aneh ya mendengarnya karena ini tentang Tuan Rion.”

Tentu saja ini terdengar aneh, Merilin tahu siapa Rionald Fernandez , laki-laki sempurna yang dilihat dari kaca mata manapun hanya tertulis sempurna. Keturunan keluarga konglomerat. Kekayaan yang berlimpah, statusnya sebagai satu-satunya penerus keluarga, menjadi buah bibir di kantor. Wajah yang rupawan bak pahatan, tingginya yang semampai, kulit bersihnya yang dipadukan dengan wajah dingin dan jarangnya dia tersenyum. Semakin membuatnya elegan dalam balutan jas kantor.

Huaaa, aku seperti membaca chat orang kantor kalau sedang membahas Tuan Rion.

Tapi kenapa, laki-laki seperti Tuan Rion, harus pusing memikirkan pendamping gumam Merilin. Putri-putri konglomerat yang lain pasti sudah antri mendapatkannya. Dia pun bisa menikah dengan selebriti cantik dan terkenal kalau dia mau.

Bahkan teman-teman kantorku saja bisa seharian membahasnya. Baik tentang wajah, gaya berpakaian. Sampai foto yang diam-diam mereka ambil.

“Dia kan Tuan Rion Kak, Kakak tahu kan kami di kantor punya fans club Tuan Rion.”

Serge tertawa. Ya, tentu saja dia tahu. Para karyawan yang terkadang memotret CEO mereka dari kejauhan. Yang selalu berbisik setiap kali mereka lewat. Grup chat fans club pengusir lelah dan gilanya rutinitas pekerjaan, membuat petinggi kantor membiarkan. Sebatas mereka tidak memunculkan gosip yang memperburuk citra perusahaan atau CEO mereka. Toh Rion juga tidak perduli, sebatas mereka membicarakannya di kejauhan dan tidak mendekat ke arahnya.

Merilin malu sendiri, walaupun dia bergabung dalam grup untuk diam-diam mendapatkan foto laki-laki yang selalu ada di samping Tuan Rion. Tapi entah kenapa dia seperti ketahuan mencuri.

“Walaupun banyak yang mengidolakan Tuan Rion dan selalu bermimpi menikah dengannya, tapi semua juga cukup tahu diri Kak, membicarakan Tuan Rion sudah cukup memenuhi fantasi romantisme memiliki pasangan yang sempurna. Itu saja.”

Merilin sampai menutup wajahnya karena merasa malu dengan apa yang dia katakan.

“Dan tidak ada yang benar-benar berani melewati batas untuk benar-benar mengejarnya.” Penjelasan selanjutnya gadis itu malah membuat Serge tertawa.

“Haha, kau juga rupanya diam-diam suka padanya ya. Tipemu yang dingin, dingin angkuh begitu ya.”

Wajah Merilin langsung merah karena kaget dengan prediksi Serge.

“Tidak Kak! Bukan begitu.”

“Haha, sudahlah, tidak apa-apa.” Tersenyum riang ketika melihat gadis di depannya salah tingkah dan berusaha menjelaskan. “Siapa pun akan suka padanya, dia tampan dan punya segalanya, mungkin cuma senyum saja yang tidak punya. Haha.”

Dan aku lebih suka laki-laki yang hangat dan selalu menebarkan senyum pada semua orang. Gumam-gumam di bibir Merilin, sambil menggoyangkan gelas. Batu es mulai mencair habis.

Ingin sekali kata itu ia ucapkan, namun hanya bisa ia telan kembali dalam pikirannya.

Aku menyukaimu Kak, aku menyukai Kak Serge, sekretaris Tuan Rion.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!