Ares menatap lurus ke depan dengan pandangan kosongnya. Entah apa yang dipikirkannya, tapi yang sekarang ia sedang merasa sedih karena sesuatu yang membuat amarahnya meledak.
Ditangan dan wajahnya telah terdapat banyak luka, luka itu didapatkan karena dirinya sendiri yang kehilangan kendali dan menyakiti tubuhnya sendiri. Selalu seperti itu, apa ada rasa sakit diraut wajahnya? tidak.
Ares bahkan tak peduli luka-luka ditubuhnya mengeluarkan darah, meskipun tak banyak tapi cukup perih jika dirasakan di tubuh.
Tak begitu lama, seorang wanita paruh baya datang mendekatinya sambil membawa kotak obat. Dia bundanya Ares, wanita yang paling dihormati dan ditakuti oleh pria pemarah itu. Meskipun moodnya sedang buruk, tapi ia tak akan menghindari sang ibu seperti orang lain.
"Sini, bunda obati." Aisyah mengambil tangan sang anak dan mulai mengobati goresan-goresan kuku di tubuh anaknya.
"Bunda, dia pergi dengan pria lain." Akhirnya gumamnya terdengar lirih.
Aisyah menarik nafas panjang, ternyata masalahnya masih hal yang sama. Deanra, gadis manis yang dari dulu menarik perhatian anaknya. Tapi siapa yang mau dengan putranya ini, orang-orang bahkan takut berdekatan dengannya.
Penyakit autisme yang diderita putranya ini telah membuat kehidupan mereka terlihat begitu menyedihkan di mata orang lain. Meskipun tak cukup parah, tapi terkadang jika Ares sedang emosi ia sering kali bertindak di luar nalar.
"Ares, dia hanya pergi bersama teman-temannya. Kamu jangan marah lagi, ya?"
Ares hanya diam tak menyebut perkataan ibunya lagi. Rasa cemburunya melihat Gadis yang disukainya telah membutakan hati dan pikirannya. Andaikan dia sempurna, andaikan dia mempunyai keberanian ,sudah dari dulu akan ia kejar gadis itu untuk dirinya miliki.
Setelah selesai mengobati luka sang anak, Aisyah kembali pergi meninggalkan sang anak sendirian. Ares putranya yang sangat tertutup, selain itu ia juga yang mempunyai kekurangan membuat keluarga yang lain sering kali membicarakannya.
Aisyah tak malu punya anak penderita autisme, tapi ia selalu sedih melihat anaknya yang selalu menyendiri. Yang putranya inginkan hanya satu, dan itu sangat sulit untuk didapatkan.
Deanra, bocah kecil yang dulu sering bermain bersama Ares. Gadis itu sekarang mungkin sudah lupa dengan kenangan itu, tapi bagi putranya itu kenangan indah yang tak mungkin ia lupakan.
****
Deanra melangkah dengan bahagia diiringi dengan senandung kecil yang keluar dari bibir tipisnya. Berlahan ia mulai membuka pintu toko bunga miliknya dengan senyum yang penuh semangat.
Diumur nya yang ke dua puluh dua ia telah memiliki sebuah usaha yang sangat disukainya. Memiliki tokoh bunga adalah suatu impian, siapa sangka doanya akan terkabulkan dengan begitu cepat. Tanpa bantuan kedua orang tuanya ia bisa memilikinya, meskipun kata orang-orang tak seberapa, tapi ini cukup luar biasa baginya.
Baru juga masuk, ponselnya telah bergetar didalam tasnya. Deanra semakin tersenyum lebar melihat siapa yang menelponnya sepagi ini.
"Sayang ... Kenapa menghubungi ku sepagi ini?" Berucap dengan manja, membuat seseorang yang suaranya masih terdengar serak disebrang sana tertawa kecil.
"Aku rindu," ucapnya disela tawanya.
"Baru juga ketemu tadi malam, bagaimana mungkin masih rindu. Kamu benar-benar pembohong," Deanra tertawa geli. Meskipun pria ini hanya berkata gombal padanya, ia akan tetap bahagia, karena sepertinya ia benar-benar telah jatuh pada cinta kekasihnya ini.
"Apa kamu tidak tahu, sayang. Dengan kamu itu jangankan semalam, satu menit saja berbisah aku sudah sangat rindu. Jadi jangan bilang begitu lagi, ya? atau aku akan marah padamu."
Ucapan itu sangat manis, Deanra bahkan sampai mengigit bibirnya menahan gejolak dalam hati yang terlampau bahagia. Pertama kali mencoba menjalin hubungan dengan seorang pria, siapa sangka akan semanis ini pacaran. Ia bahkan sangat bersyukur mendapatkan pria yang begitu baik dan lembut padanya, dan ia mulai berpikir, mungkin Dia memang jodoh yang dikirimkan tuhan padanya.
"Baiklah, baiklah ... Aku akhiri dulu ya, Kai. Aku harus buka toko, kau tahukan aku ini wanita yang sangat sibuk."
"Ya, aku tahu. Karena itu kamu sering kali mengabaikan ku karena bunga-bunga jelek itu!" Kiran berucap penuh kekesalan. Semenjak berpacaran dengan Deanra pria itu mendadak membenci tanaman cantik itu, itu semua karena bunga-bunga yang menurutnya tak berguna itu telah mencuri perhatian kekasihnya.
"Kai ... Mereka begitu indah, bagaimana bisa kau katakan mereka jelek, sayang. Aku bahkan tak bisa sedetikpun mengabaikan mereka, terlihat begitu menyegarkan mata." Deanra berucap dengan penuh kasih sayang sembari mengelus sayang bunga Lily di tangannya.
"Tak bisa sedetik mengabaikan mereka, tapi kamu mengabaikan ku lama-lama, sayang." rajuk manja Kiran, lagi-lagi hanya dibalas dengan tawa renyah sang kekasih di sebrang sana.
"Dasar manja,"
"Hanya padamu."
"Aku tau. Dan berharap akan selalu seperti itu," gumam Deanra pelan. Harapannya takdir akan membuat mereka berdua bersama, hanya itu saja, Deanra tak ingin yang lainnya.
Setelah itu mereka mengakhiri panggilan itu dengan senyum yang masih sama-sama mengembang di bibir mereka. Sederhana, tapi cukup mereka dimabuk kepayang. Deanra kembali sibuk membuka tokoh bunganya, sebenarnya ia punya satu karyawan, tapi dia tak masuk hari ini karena sakit.
Deanra tersenyum manis saat satu pelanggannya datang, tapi hanya sesaat, saat ia tahu siapa yang datang senyumnya langsung menghilang.
"Kak Aras," gumam Deanra pelan. Ia melihat tatapan mengerikan pria itu, Deanra bergidik ngeri, entah mengapa ia jadi takut begini.
Meskipun ia telah lama mengenal pria ini, tapi tentang rumor yang menyebar tetap saja ia ketakutan. Ia mendengar jika Ares mengidap penyakit gangguan jiwa, meskipun awalnya ia tak percaya, tapi setelah melihat saat pria itu lepas kendali ia tak bisa lagi menolak kenyataan itu. Pria yang pernah kenal dengannya waktu kecil, siapa sangka akan jadi begini.
Ares mengambil setangkai mawar merah, lalu tanpa berkata membayarnya pada Deanra dengan tampang dinginnya. Selalu seperti ini, hampir setiap hari dia datang ke toko ini hanya untuk membeli setangkai bunga mawar. Tentu saja alasan lainnya datang kesini bukan hanya untuk membeli mawar, tapi melihat sang pemilik mawarnya.
Ares mengecup bahagia bunga ditangannya. Tak ada yang lebih membahagiakan dalam hidupnya selain bisa melihat dan memiliki yang dimiliki oleh gadisnya itu. Ah, gadisnya, senyum Ares semakin mengembang setelah memikirkan jika Deanra jadi miliknya.
"Dari mana?"
Ares tersenyum senang, "dari tokoh bunga Dean, Bun."
Aisyah hanya tersenyum saja. Ia mengusap lembut kepala putranya, lalu memanggil sang suami.
"Bunda sama ayahmu pergi sebentar ya, Ar. Kamu tinggal dirumah sama bibik dulu," Ia berkata seperti itu bukan karena tak berani meninggalkan anaknya sendiri, tapi hanya menginginkan sang anak saja. Sebenarnya Ares tak akan ada masalah jika tak ada yang membuat emosinya naik. Bahkan ia terlihat seperti orang normal, hanya saja sikapnya yang terlalu cuek dan dingin membuat rumor tentang penyakitnya semakin meyakinkan.
Ares adalah pria yang tampan. Jika wanita sekali melirik dijamin akan langsung jatuh cinta pada dirinya. Parasnya yang menawan, ditambah tubuh yang begitu perfek, siapa yang tak akan terpesona. Hanya saja saat orang lain mengetahui tentang penyakitnya, ia kan langsung dijauhkan.
Setelah melihat kepergian sang bunda, Ares langsung melangkah masuk kedalam kamarnya sembari membawa setangkai mawar itu bersamanya. Tak ubahnya seperti seorang manusia yang terobsesi, Ares bahkan berperilaku berlebihan seperti itu juga. Memajang begitu banyak foto Deanra, dia bahkan mempunyai foto gadis itu dari kecil hingga dewasa seperti sekarang.
"Aku akan selalu menunggu mu," satu kalimat yang selalu ia ulang-ulang setiap melihat foto Deanra. Kegiatan kecil ini saja sudah membuatnya begitu bahagia, lalu bagaimana jika suatu hari nanti gadis itu benar-benar ada didepannya?
******
Aisyah tak percaya ia akan kembali ke rumah sahabatnya yang telah begitu lama tak saling bertegur sapa. Bukan karena dia dan sahabatnya bertengkar hingga tak pernah bertemu lagi, tapi karena kesibukan dan juga tak lagi punya waktu untuk bersilahturahmi. Lagi pula senja keluar sahabatnya pindah, dan tak jadi tetangga lagi, mulai saat itulah mereka jarang bertemu.
"Ayo diminum, Mbak Aisyah. Maaf ya jika gak disambut dengan baik, kami tak menyangka akan kedatangan tamu yang begitu spesial."
Aisyah tersenyum lebar, "Seharusnya saya yang minta maaf padamu Syakira. Bertamu gak bilang-bilang, membuat keluarga mu repot."
Aisyah tahu kedatangannya sangatlah mendadak, mungkin saja keluarga ini marah pada dirinya yang datang tak tahu waktu. Tapi sekarang ia sedang tak peduli, pikir kalut telah membuat dirinya berani mengambil keputusan gila ini untuk sang anak laki-laki semata wayangnya.
"Tak ada yang repot, aku bahkan merasa sangat senang dengan kedatangan mu, Mbak." Syakira ikut duduk di sofa sebrang, "Bagaimana kabar Ares, apa sekarang dia baik-baik saja?"
"Dia sangat baik, Sya." Aisyah menyenggol lengan suaminya, memberi isyarat agar pria itu mengatakan tujuan mereka datang kemari. Tapi melihat suaminya hanya diam akhirnya Aisyah mencubit pelan paha suaminya, hingga pria paruh baya itu mulai memahami maksud istrinya.
"Maaf Abas, apa kita bisa bicara berdua dulu?" Abi tak bisa langsung bicara, meski mereka juga tak akan terkejut dengan pembicaraan ini, tapi alangkah kebai jika mereka berbicara berdua dulu.
Mereka berada di taman belakang, duduk di kursi kayu yang sepertinya memang disediakan oleh tuan rumah ini untuk sekedar bersantai.
"Ada apa? kenapa kamu terlihat begitu kawatir," Abas dan Abi yang memiliki umur yang sama mereka akan langsung sebut nama saat berbicara. Selain itu mereka berdua juga cukup dekat saat masih jadi tetangga dulu, jadi tak ada rasa sungkan berbicara lagi di antara mereka.
"Apa kau masih dengan janji mu waktu dulu?"
Abas terkejut mendengar pertanyaan aneh yang terlontar dari mulut sahabatnya. "Janji apa?"
"Janji untuk menikahkan anak kita apabila mereka dewasa nanti." Abi berbicara dengan serius, ia berharap Abas tak akan melupakan kata-katanya sendiri.
Abas mendesah panjang. Inilah yang dia kawatirkan. Ternyata hari mengerikan ini datang juga. kenapa dia bilang mengerikan? Itu semua karena beberapa perubahan besar telah terjadi di keluarga mereka dan juga keluarganya sendiri.
Tak dipungkiri jika dia telah mendengar rumor tentang anak Abi yang berbeda itu, dan membuat hatinya ragu. Sekarang ditambah dengan sang putri yang telah menemui seorang pria yang dicintainya, lalu bagaimana caranya ia menepati janjinya dulu yang telah terucap.
"Apa pernikahan itu harus terjadi?"
"Kenapa?" Abi tersenyum tipis, "kau pasti ragu sekarang. Dengan kenyataan putraku yang berbeda dengan orang lain, tentu akan membuat mu mengubah keputusan mu." Ia tak akan memaksa Deanra menikah dengan anaknya jika ditolak oleh Abas. Meskipun harapannya besar mereka Setu, Ares pasti akan sangat senang jika perjodohan ini terjadi.
"Aku tidak ingin anakku terluka, Bi. Kamu pasti tau apa yang aku cemaskan."
"Tak perlu kawatir. Ares tak akan melukai putrimu setelah menikah nanti, itu janji ku." Abi berucap yakin. Ia tau sifat putranya, tak aka melukai sesuatu yang menjadi kesayangannya.
"Apa jaminannya?"
"Aku ... Sebagai ayahnya, jika anakku menyakiti putrimu, maka datang lah padaku aku aku yang akan menjadi jaminannya."
Abas terkejut, tak ia sangka Abi akan se gila ini untuk kebahagiaan anaknya. Tapi ia juga tak bisa mengiyakan begitu saja, masih begitu banyak pertimbangan yang harus dilakukan, apalagi putrinya tak mungkin akan setuju dengan perjodohan ini.
"Bagaimana jika putri ku tak setuju, Bi. Apalagi akhir-akhir ini ia bilang telah memiliki kekasih. Apa aku harus memaksanya?"
Dengan cepat Abi langsung berkata, "tidak perlu memaksa, Abas. Meskipun anakku tak bisa menerima wanita lain selain putri mu, tapi sebagai seorang ayah aku juga tak akan tega jika putrimu terluka karena kehendak kami."
Abas menganguk mengerti. Meskipun ia sedikit ragu, tapi bukankah janji yang telah ia ucapkan harus di tepati. Lagi pula ia percaya pada keluarga Abi jika putrinya akan lebih baik jika menikah dan tinggal bersama keluarga lain, mungkin itu akan lebih menakutkan lagi jika suatu hari anaknya tersakiti dan terluka.
"Aku akan membicarakan ini dengan istriku dulu," tak berani mengambil keputusan terburu-buru, ia harus meminta pendapat istrinya dulu.
"Tentu saja, kami akan menunggu kabar baiknya."
Setelah berbicara sebentar, akhirnya mereka memutuskan untuk kembali masuk dan bergabung bersama istri-istri mereka.
"Mas, bagaimana?" bisik Aisyah yang terlihat kawatir.
"Nanti akan mas ceritakan," Aisyah menganguk setuju.
Abi segera berpamitan pulang. Hari sudah cukup malam, jadi pembicaraan mereka berhenti sampai disitu dengan keputusan yang belum tentu.
Syakira segera menarik suaminya setelah sang tamu meninggalkan rumah. Ia juga tak sabar untuk bertanya, apa yang dua pria itu bicarakan dibelakang sehingga begitu lama.
"Mas, kalian...,"
"Stt, beritanya nanti aja ya, Dek. sekarang kita makan dulu ya, mas udah lapar." Abas menghentikan pertanyaan yang akan dilontarkan istrinya. Lebih baik nanti saja dibicarakan pikirnya.
******
Yuk tinggalkan jejak☺️
Deanra menatap kedua orang tuanya dengan kawatir. tak biasanya ayahnya akan berbicara serius seperti ini dengannya jika tak ada hal yang sangat penting. Dulu pernah sekali ayahnya berbicara serius seperti ini, dan ternyata sebuah berita yang membuat ia kecewa dengan orang tuanya. Tapi itu hanya sesaat, sekarang ia bahkan sangat bersyukur dengan keputusan ayahnya.
Tapi sekarang apa? Apa ada sesuatu lagi yang akan membuat dirinya mengambil langkah ekstrim lagi. Deanra terkekeh geli, kenapa ia segitu berburuk sangka pada orang tuanya.
"Ayah, ada apa? Kenapa serius begini, sampai menyuruh Dean pulang cepat?"
"Ada yang ingin ayah bicarakan." Abas sebenarnya tak tahu harus mulai dari mana. Ia juga takut melukai hati Putri kecilnya ini, bagaimana pun ia sudah tahu anaknya sedang mencintai seseorang pria, tapi disatu sisi ada janji yang harus ia tepati.
"Bicara saja, Yah. Kenapa ragu begitu? Apa ini sangat penting?" Deanra semakin mendesak sang ayah untuk berbicara. Ia capek menerka-nerka apa yang akan dibicarakan pria kesayangannya ini, tapi dari tadi menunggu tak juga berbicara.
Deanra beralih menatap sang ibu, "Ibu, ada apa? Apa ada sesuatu yang sangat serius?" Sebenarnya Deanra juga ingin bertanya kenapa hanya dirinya yang dipanggil sang ayah dan ibunya, sedangkan adik laki-lakinya tak diajak.
Abas menarik nafas dalam, lalu ia mulai berkata dengan suara beratnya tapi terdengar tegas.
"Deanra, Ayah ingin kamu segera menikah...," ucap Abas terputus, ia menatap putrinya yang sedikit terkejut.
"Ayah ... menikah? Tapi kekasihku belum berpikir tentang pernikahan ayah, kami belum membicarakannya." Deanra Tak yakin kekasihnya akan langsung segudang pernikahan mendadak yang diminta oleh orang tuanya ini.
"Bukan Dengan kekasih mu, Deanra. Tapi dengan anak teman Ayahmu!" Syakira langsung berkata yang langsung membuat senyum Mali putrinya sirna seketika.
Bak mendapat pukulan keras, Deanra merasa dunianya berputar. Menikah? dengan pria lain? Dijodohkan? Ia menatap Ibu dan ayahnya dengan gamang.
Ia merasa perkataan ini benar-benar lucu. Ia tak pernah memikirkan ada pemikiran seperti ini pada orang tuanya.
"Ibu hanya bercanda kan? Gak mungkin kalian menjodohkan aku dengan pria yang tak aku cinta. Ayah, jangan bercanda, ini gak Luca." Deanra cemberut, ingin membuat ayahnya berkata ini hanya bohong dan ingin mengerjai nya saja.
Syakira menatap sang suami, meminta pria itu berucap tegas pada putrinya jika ini kenyataan bukan bercanda. Meskipun tak tega, tapi mereka pikir ini juga yang terbaik, banyak hal sudah mereka pertimbangan masalah perjodohan ini, dan akhirnya mereka setuju.
"Ayah tidak bercanda. Ini kenyataan, dan kamu harus siap menerima ini, De."
Deanra bagaikan kehilangan kata-kata. Matanya berkaca-kaca, menagis mendengar keputusan yang mengerikan ini. Jika ini nyata, mungkin sebentar lagi hidupnya akan hancur, ia tak akan mungkin menerima pria lain selain kekasihnya.
"Ayah, aku gak mau dijodohkan."
"Ini sudah keputusan kamu, De! Kamu tidak bisa menolak, karena kalian terlah dijodohkan sedari kecil, dan itu tak akan mungkin diputuskan." Abas berkata dengan tegas, tak ingin mendengar penolakan dari sang anak. Apalagi setelah mendengar kekasih putrinya tak ada rencana untuk menikah dengan Denara, ia semakin yakin keputusan yang ia ambil ini.
"Aku gak mau Ayah, bunda. Denara sudah punya pacar, Denara gak mau nikah sama pria lain!" Gadis itu terisak dan mengeraskan suaranya menolak permintaan sang ayah.
Abas sebenarnya tak tega, ia melembutkan sedikit wajahnya, tak ingin galak-galak pada sang putri kesayangannya.
"Baiklah ... Ayah akan membatalkan perjodohan jika dalam waktu seminggu ini kekasihmu siap melamar Mu, Deanra. Tapi jika tidak kamu harus menikah dengan pilihan ayah. Bagaimana?" Abas memberi pilihan. Ia akan memberi kesempatan pada Deanra mengambil keputusan.
Deanra tersenyum senang, "Ayah serius? Ayah, aku yakin Dilo akan datang melamar ku sesuai permintaan ayah. Bahkan aku yakin dia juga akan siap jika ku ajak menikah dalam waktu seminggu ini." Denara berkata dengan gembira. Ia sangat yakin kekasihnya sangat mencintainya, pasti dia akan senang mendengar kabar baik ini. Dan dia tak perlu menikah dengan pria yang tak dicintainya.
"Iya, Ayah serius. Tapi ingat perjanjian ini Deanra, hanya seminggu. Dan jika kamu gagal kamu harus siap menikah dengan pria pilihan Ayah!"
"Baiklah, Denara janji ayah, Ibu. Dilo pasti akan. datang kerumah dan melamar Denara, dan sekalian tak akan berpikir untuk memisahkan kami lagi," ucap Denara dengan percaya diri.
Melihat putrinya tersenyum lagi, Abas hanya bisa menarik nafas panjang. Sedangkan Syakir menatap suaminya dengan kesal. Padahal ini sudah dibicarakan, dan Deanra harus menerima perjodohan ini, tapi sekarang malah berubah keputusan.
Denara segera berlari masuk kedalam kamarnya, meninggalkan kedua orang tuanya dengan pemikiran yang kalut.
"Kenapa kamu berkata seperti itu mas? memberinya pilihan? Bukankah tadi kita sudah sama-sama setuju jika Deanra menikah dengan Ares saja. Tapi setelah malah berbeda perkataan mu,"
Abas memijit keningnya yang terasa berdenyut, "Mas juga gak tahu, Dek. Mas hanya gk tega melihat putri kita bersedih. Lagi pula bukankah ini lebih baik, memberi pilihan padanya?"
Syakira tak menjawab, tapi ia juga mengakui jika keputusan suaminya ada benarnya juga. Bukankah mereka dari awal setuju untuk tidak terlalu menekan sang anak.
"Baiklah, terserah mas saja." ucap Syakira. Ia segera berlalu masuk kedalam kamarnya dan sekarang tinggalah hanya Abas yang merasa pusing. Ternyata memutus kehidupan sang anak ketika setelah dewasa sangatlah tidak mudah, lebih sulit dari yang dia pikirkan dulu.
*******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!