Menikah dengan seseorang yang dicintai dan dikagumi adalah dambaan setiap wanita. Ega pun demikian, mengharapkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis. Namun, pernikahan di usia muda ternyata penuh tantangan. Meskipun terluka oleh cinta yang menyakitkan, ia teguh mempertahankan ikatan pernikahannya.
"Dulu aku selalu beranggapan kalau cinta itu hanya kebodohan, tapi ternyata dibalik itu ada ketulusan yang tanpa pamrih."
Mengapa saat aku yang jatuh cinta harus merasakan pahitnya cinta bertepuk sebelah tangan?
Akankah ini bayangan masa laluku yang kini menghantuiku?
Baiklah akan ku ubah alur ceritaku sendiri?
"FIRMANTARA TAMA, KUPASTIKAN KAMU AKAN MENJADI TAKDIRKU"
"Apakah cinta semenyakitkan ini?" _ Ega
Sungguh menyebalkan! Mengapa harus dijodohkan di zaman modern seperti ini? Ini bukan abad Datuk Maringgih! Apalagi harus menikah dengan perempuan tak dikenal uh…? Lupakan nongkrong; semua waktuku akan habis untuk mengurus istri.
"Hemmm-. Btw Ega cantik juga ya? comel lagi."
"Diam, tidak perlu diperjelaskan secara rinci." _Tama
...ΩΩΩ...
Setahun sebelum pernikahan Ega dengan Tama.
Mentari pagi hari menyapu aspal, membias di bodi motor biru kesayangan Ega. Kuda besinya memasuki lahan parkiran motor, sejak masa sekolah, seolah telah terpatri menjadi miliknya. Tak seorang pun berani memarkirkan motor disini, sekalipun Ega absen. Mereka tahu, gadis tomboi itu menyimpan kekuatan yang mampu melukai siapa pun yang menghalangi jalannya. Para pengganggu, bahkan sesama perempuan, ciut nyali di hadapannya. Laki-laki? Ia tak segan menghajar siapa pun yang berani menantang. Namun, belakangan ini, sebuah kelembutan mulai menyelimuti sisi kerasnya. Banyak lelaki mencoba mendekat, tetapi hanya dua yang mampu bertahan menghadapi keras kepala dan keegoisan Ega. Mereka yang mampu menaklukkan hati seorang ratu jalanan.
"Terjebak dalam pusaran cinta segitiga membuatku kehilangan kendali, hingga jatuh dan terluka," ucap Ega lirih.
"Egaaa!" Pekikan nyaring itu familiar di telinganya. Baru selangkah kaki Ega memasuk pintu kelas, ia menoleh, sosok perempuan cantik itu mendekat. "Ada apa, Finatt?"
"Itu, Fikri. Mencarimu! Ia bertanya? kapan kau akan membalas perasaannya. Aneh sekali! Kau memberi pelet apa padanya? Ia benar-benar tergila-gila! Belum lagi Fizri, si bucin akut lainnya!" Finatt tertawa terbahak-bahak, matanya berkaca-kaca.
Ega menutup mulut Finatt. "Ssst… jangan bicara seperti itu! Jangan sampai ada yang mendengar, aku malu tahu!" Ega melotot, membungkam mulut sahabatnya yang asal bunyi. Wajah Finattalia memerah karena hampir kehabisan oksigen. "Ga! kau ingin membunuhku. Sungguh kejamnya dirimu Ratu Jalanan..."
Terkekeh sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal sama sekali. "Eh, Finatt! Ada solusi enggak nih? Aku lelah dikejar terus oleh mereka. Di kelas maupun di jalan," keluh Ega.
Finatt menjentikkan jarinya. "Aha! Aku punya ide! Beri mereka syarat! Misalnya, harus pandai mengaji, rajin sholat!" Finatt mengedipkan mata, bangga dengan idenya.
Ega menepuk jidat. "Tidak buruk sih, tap-"
"aku tak pernah berharap dicintai banyak orang. Cukup satu saja, please…" Ega berujar dengan nada sendu.
Finatt menyanggah dagu, menatap wajah Ega penuh perhatian. "Huft… resiko menjadi gadis cantik. Argh! aku juga cantik, Tuhan… tapi kenapa tak ada yang mendekatiku? Huhuhu…"
Ega meremas pipi Finatt dengan gemas, mengerutkan kening. "Hm, makanya jangan kebanyakan nonton drama Korea! Jdi tipemu kebawa dunia nyata, makanya jomblo terus."
Finatt salah tingkah saat Ega melirik seorang pemuda di lapangan basket. Ia tersipu malu, buru-buru mengalihkan pembicaraan dengan mengajak Ega ke kantin. Ega tersenyum, membuat pipi Finatt memerah. Mereka menuju lantai dasar. Seorang lelaki tersenyum pada mereka; Ega membalasnya dengan manis, sementara Finatt terlihat canggung, sesekali menarik nafas perlahan.
Ega tahu benar jika sahabatnya itu sangat menyukai ketua tim basket disekolah, namun ia memilih diam. Finattalia seringkali ketangkap basah sedang memberikan perhatian lebih kepada lelaki tersebut, meskipun terlihat jelas lelaki itu tak menampilkan ketertarikan, hanya menganggapnya sebagai penggemar biasa.
"Ega, ak-aku…" Finattalia meremas roknya, ragu-ragu. Ia berhenti, Ega menoleh, menatap Finatt yang matanya berkaca-kaca.
"Aku mencintainya, Ga… tapi aku tak bisa," isak Finatt, air mata menetes di pipinya.
Ega mengusap punggung Finatt dengan lembut. "Waktu akan menentukan segalanya, Finatt."
"Aku berharap tak pernah jatuh cinta. Itu hanya akan membuatku lemah," lirih Ega.
"Semoga aku menempatkan hati dengan seorang yang tepat, suatu hari nanti."
-Ega
...***...
Ega menarik nafas dalam-dalam. Ia terduduk di sebuah ayunan di sudut taman di depan rumahnya. Tatapannya fokus kepada kupu-kupu yang berterbangan di sana.
"Ironisnya, semakin kuhindari masalah, masalah justru membanjiriku tanpa henti," Ega bergumam, keputusasaan memenuhi hatinya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
Seketika itu juga, ponselnya meledak oleh notifikasi. Tentu saja, dari Fizri, si kekasih bayangan yang telah berbagi rahasia selama setahun penuh. Ega meraih ponselnya dari saku hoodie, jari-jarinya gemetar.
"Astaga! Laki-laki ini keterlaluan! Ponselku baru saja mati, sudah dibanjiri spam!" suaranya dipenuhi amarah dan kelelahan.
Ega merenung sejenak sebelum membalas kembali pesan itu. Merebahkan tubuh diatas kasur membuatnya berfikir sejenak. 'Apakah aku terlalu cuek untuk menjadi seorang pacar.'
Tangan Ega kembali menari-nari diatas layar, ia membalas pesan dengan singkat. Sedangkan seseorang yang kini berada dikota lain tengah gelisah menunggu pesan berikutnya.
"Aku tidak berbuat salahkan?" Ucap Fizri, pandangannya tak teralihkan dari ponsel yang kini ia genggam.
"Ega, semoga kamu tidak akan pernah berpaling dariku. Sejujurnya aku sangat takut kehilangan dirimu." Membuka galeri matanya tertuju pada sebuah photo. Manis dan cantik banget...
Perhatian Fizri teralihkan ketika melihat notif balasan Ega di layar. Senyum tipis kembali terbit diwajah tampangnya.
"Hem, dia pasti lagi pura-pura cuek lah tu… "
"Tapi aku sangat... suka cara dia seperti ini."
Ega merasa perutnya tergelitik saat membaca isi pesan dari Fizri. Ini yang ia suka dari sosok ini, dia selalu memberi keceriaan dalan hidupnya. Selama ia berpacaran dengannya, sosok itu tak pernah sama sekali memberinya kesedihan maupun kesepian.
"Fizri… entah sampai kapan kita akan bersama. Yang pasti untuk saat ini, aku sangat bersyukur dengan kehadiranmu."
Beberapa saat, suasana menjadi sangat hening. Ega pun hanya menatap meja belajarnya, otaknya terasa buntu untuk mengerjakannya tugasnya. Sejarah lagi! Kenapa kita harus mengingat masa lalu sih, seharusnya yang berlalu biarlah berlalu.
Sampai akhirnya ponselnya kembali bergetar. Dengan malas ia melihat notif didalam layar ponselnya. Sontak Ega terkaget melihat isi pesan. Ega terdiam sejenak melihat banyaknya pesan yang masuk dari Fizri. Ia memilih untuk tidak merespon pesan itu, ia langsung menonaktifkan ponselnya. Melempar benda itu diatas kasur.
"Dari mana curut itu dapat info ini sih?!" Ega menggerutu, jengkel.
"Pasti dari Finatt, dasar sahabat nggak banget!" Umpatnya kesal.
"Aduh, mati aku! Kalau dia tahu Fikri yang ngejar-ngejar," Ega mengacak rambutnya frustasi. "Semoga dia cuma ngarang aja. Ya Tuhan!"
Triiiingggg…
Ponselnya berdering. "Ish, video call lagi," Ega menerima panggilan dengan ekspresi malas.
Senyum terpaksa mengembang di bibirnya. "Biar dia penasaran dulu, hehe," gumamnya.
Vc tersambung…
"Yang… kamu makin cantik deh," puji Fizri, cengar-cengir.
"Oh, jadi selama ini gue kurang cantik?" Ega manyun.
"Sayangku, Ega…"
"Aduh, salah ngomong!" batin Fizri panik.
Ega langsung memutuskan panggilan.
Cepat-cepat Fizri buka chat, berusaha ngerayu Ega. Dia tahu persis sifat Ega, kalau lagi bete, bisa-bisa di-ghosting. Fizri cuma bisa geleng-geleng kepala, dengan sangat menyesal.
Notifikasi dari Ega bikin dia langsung loncat kegirangan. Ponselnya muter-muter di udara, kayak lagi nari-nari saking senengnya. Cuma Ega yang bisa bikin keajaiban kayak gini, hari biasa jadi kayak pesta.
Hari berikutnya, senyum merekah di wajah Fizri. Panggilan video dari Ega, yang dinanti-nanti, akhirnya datang.
Video call terhubung
"Ciee… ada yang kangen… hati-hati, jangan sampai beban rindu itu memberatkanmu! Biar aku saja yang menanggungnya, aku rela memikul beban apa pun demi dirimu," goda Fizri, sambil tersenyum dan mengedipkan mata.
"Sok puitis. Eh, btw, kamu masih lama di sana?" tanya Ega.
"Hem—"
"Kenapa, Yang…?" panggil Fizri, lembut namun sedikit panjang.
"Oh, gitu! Ya sudah. Aku cuma bertanya," sambut Ega dengan nada jengkel.
"Ihh, Yang… kok jutek, aku sedih loh!" Fizri pura-pura sedih.
"Siapa yang sedih?" tanya Ega.
"Aku!"
"Sayang—"
"Aku-boleh-minta-oleh-oleh-khas-Makassar, nggak?" Ucapnya langsung inti dengan satu tarikan nafas, memalingkan wajah kearah lain karena malu
"HAHAHAHA," Fizri tertawa puas. "Cuma itu saja?"
"Hem."
"Kalau tidak mau, tidak apa-apa."
"Sayang…!"
"Hem."
"Sayangku, Ega."
"Hem."
"Jangan jutek-jutek, aku sedih loh!"
"Ihh, siapa yang jutek? Ingat, to the point itu menghemat waktu," balas Ega.
"Ck, aku hanya bercanda… Emang sayangku mau apa?"
"… Emm, mau oleh-oleh dong! Itu saja, kalau mau sih? Aku juga tidak memaksa."
"Jangan galak-galak, nanti cantiknya hilang loh!"
"Yaa… sudah. Kalau memang tidak mau memberi, ya sudah! Aku tidak memaksa kok," Ega mengalihkan pandangan, kecewa.
"Maaf. Aku hanya bercanda, Yang… Ya Allah," Fizri memperlihatkan sesuatu di layar.
"Tara… Yangg… masih marah ya? Jangan gitu dong, baru saja video call sudah ngambek-ngambek saja!" Fizri memohon.
"Aku capek, mau tidur," kata Ega datar.
"Waduh, pakai 'gua', 'lo' lagi. Mampus! Siap-siap kena ghosting lagi kalau begini," batin Fizri.
"Iya, Sayang! Tidurlah, good night. Ingat, di sini ada yang merindukanmu. Besok ketemu di kelas atau di kantin sekolah?"
"Good night, terserah," Ega memutuskan panggilan.
"Sabar… untung pacar, kalau tetangga sudah kubom," batin Fizri lega.
...ΩΩΩ...
Pagi itu, Ega duduk termenung di lapangan sekolah, ransel masih tergantung di bahunya. Ia menatap langit biru, mengamati taman bunga yang diramaikan kicauan burung, dan daun-daun kering yang berputar-putar ditiup angin.
Duarrrrrrr… suara itu mengagetkannya. Ega dari lamunam panjangnya.
"Finatt, pagi-pagi sudah bikin jantungku berdebar! Untung aku tidak lemah jantung, bisa-bisa mati muda aku," gerutu Ega, napasnya memburu.
"Jangan begitu, Ega! Ingat, kalau kamu mati, nggak ada lagi yang dibucinin Fizri, kan kasihan juga dia. Lagian kamu ini jutek sekali! Aku heran, kok Fikri bisa-bisanya bucin akut kayak Fizri, sih!" Finattalia menjelaskan panjang lebar.
"Ihhh… Finatt, aku lagi…" Ucapan Ega terpotong.
"Sayangku, Egaaa…" Suara itu familiar.
"Waduh, kira-kira dia dengar nggak, ya? Finatt sampai sebut nama Fikri segala!" Ega tersenyum terpaksa.
"Kalian lagi ngobrol apa, sih? Curhat kangen sama aku, ya? Tenang, aku sudah datang kok," Fizri datang, langsung menggenggam tangan Ega erat-erat.
Finatt hanya menggeleng melihat tingkah Fizri yang kini berdiri di samping Ega.
"Huff, untung dia tidak mendengar," gumam Ega lega.
"Yang, pergi yuk ke taman akhir pekan nanti," ajak Finattalia.
"Hem, yang. Bukannya aku tidak mau, tapi kamu tahu sendiri kan? Kita kan pacaran diam-diam, kalau sampai ketahuan, bisa habis aku," Ega memasang wajah memelas.
Tanpa mereka sadari, Fikri menyaksikan kemesraan Ega dan Fizri dari kejauhan. Rasa cemburu menggelegak. Brukkkk! Sebuah pukulan keras mendarat di tembok dekat kelas Ega.
"Fiz, kita mau ke kantin, lepas tanganmu itu kenapa! Nempel terus kayak perangko yang dilem pakai lem setan… Tenang, Ega tidak akan kemana-mana kok," Finattalia menatap tajam kearah Fizri.
"Sibuk saja kamu, Nat! Cari gebetan sana, jangan jomblo terus, nanti lumutan," ledek Fizri.
"Ihh, gini-gini aku banyak gebetan, kok," Finattalia membela diri.
Ega terkekeh melihat interaksi Finatt dan Fizri.
"Hem—" Ketiadaan respon dari keduanya.
Ega berdehem. "Ehem… ehem… ehem!"
"Yang, aku lapar, kami mau ke kantin… Nanti malu diliatin guru," Ega memohon.
"Ok! Siap, Sayang. Makan yang banyak ya? Ingat, meski kamu gendut, cintaku tidak akan berkurang sedikit pun!" teriak Fizri sebelum pergi.
Finattalia mencibir. "Eh… Ga, sadar nggak sih, tadi Fikri lewat pas kamu lagi dipeluk Fizri?" bisik Finattalia di jalan menuju kantin.
"Tidak, sih. Gimana ekspresi dia, Finatt?"
"Ya, dia marah lah! Dia kan tidak tahu kalau kamu sudah punya pacar. Tau nggak, saking kesalnya dia sampai mukul tembok, terus pergi dengan wajah kecewa banget," jelas Finattalia.
"Serius? Kira-kira endingnya nanti gimana, ya?" Ega cemas.
Finattalia merangkul Ega. "Ada aku, semuanya pasti beres."
"Thank you… kamu memang sahabat terbaikku," ucap Ega.
Perut mereka berbunyi bersamaan, keduanya tertawa kecil dan berjalan menuju kantin.
"Jujur aku bingung, terkadang aku berfikir seperti apa cinta sebenarnya."
"Ada apa antara mereka berdua? Jangan-jangan mereka sudah pacaran? Semenjak kapan?!" Fikri menggeram, amarahnya membuncah. Raut wajahnya memerah, tangannya mengepal erat.
"Bahkan kalau mereka memang pacaran, aku harus merebut Ega darinya. Bagaimana pun caranya!" Matanya menyala, penuh dendam.
"Firzahra Ega, kamu adalah milikku! Ditakdirkan untukku, bukan untuk bocah itu!" Umpatan kasar lolos dari bibirnya. "Sialan!" Ia menatap tajam ke arah seberang jalan, sebuah rencana jahat mulai terpatri di benaknya.
Senyum licik mengembang, membayang-bayangi rencana licik. Tatapannya tajam, mencari sasaran. Ia melihat seseorang di seberang jalan, sebuah ide jahat mulai terbersit dalam pikirannya. Sebuah senyum sinis terkembang di bibirnya, menandakan rencana liciknya untuk merebut Ega.
"Ega kau membuatku gila, kan-kuberantas penghalangku dihadapanmu."
-Fikri.
...ΩΩΩ...
Bel sekolah berdentang, menandai berakhirnya jam pelajaran. Siswa berhamburan keluar kelas, menuju parkiran. Ega hampir sampai di motornya, tetapi sebuah suara menghentikannya.
"Ega… tunggu!"
Ega menoleh. Fikri berdiri di sana, wajahnya tegang. "Ega, ada hubungan apa kamu sama Fizri? Dia lengket banget sama kamu, aku yang bener-bener suka aja nggak seintens itu."
"Dia itu—" Penjelasan Ega terpotong. Fizri muncul tiba-tiba, seperti siluman. "Kadang aku mikir, punya pacar kok kayak jelangkung, datang nggak dijemput, pulang nggak diantar," batin Ega, terkekeh kecil.
"Kau ngapain di sini?! Jangan-jangan yang dibilang orang itu bener, kau suka sama pacar aku dan sengaja ganggu dia?!" Fizri menggebrak, amarahnya membuncah. Tatapannya tajam menusuk Fikri.
"Waduh… di balik sikap puitisnya, ternyata ada jiwa singa yang siap menerkam mangsanya," Ega mengamati kedua lelaki itu dengan hati-hati.
"Eh, ingat! Selama ijab kabul belum terucap, Ega masih bisa jadi milik siapa pun!" Fikri membentak, tak mau kalah.
Untungnya, suasana parkiran sedang sepi. Hanya mereka bertiga yang tersisa. Kalau tidak, pasti sudah jadi tontonan gratis dan siap-siap masuk ruang BK. Finattalia sudah pulang duluan. Fikri dan Fizri beradu mulut, seperti dua ayam jago yang siap berkelahi. Dan akhirnya… Bukk! Bukk! Dua pukulan mendarat, meninggalkan luka lebam di wajah mereka.
Kesabaran Ega habis. Plak! Plak! Tamparan mendarat di pipi Fikri dan Fizri, membuat mereka meringis kesakitan. "Auuhh!"
"Mau kutambah lagi, hah?! Heran sama kalian, sudah besar juga! masih aja suka berkelahi!" Ega geram, dia menaiki motornya dengan kesal, melaju kencang. Meninggalkan mereka berdua yang kini saling menatap tajam satu sama lain.
"Awas lo! Gue bakal rebut Ega dari lo…" Fikri mengancam, tapi Fizri mengabaikannya, lebih memilih mengejar Ega yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi.
Konflik antara Fikri dan Fizri tidak terselesaikan sepenuhnya, tetapi meninggalkan dampak yang signifikan pada hubungan Ega dengan kedua orang tersebut. Fikri tetap menyimpan rasa sakit hati, sementara Fizri menjadi lebih protektif terhadap Ega.
Dari kejauhan, Fizri menyusul Ega. Ia khawatir terjadi kecelakaan. Ega sering mengalami kecelakaan kalau sedang emosi.
Titit… titit… Suara klakson motor Fizri memecah kesunyian. Ega melirik dari spion, kemudian mengurangi kecepatan motornya, lalu menepi. Fizri datang mendekat.
"Yangg, jangan ngebut lagi, deh! Jantungku mau copot! Tenang, sayang!" Fizri menenangkan Ega yang hampir lepas kendali.
Fizri selalu menjadi penenang Ega, meski terkadang kata-katanya terdengar konyol. Tapi selalu tepat sasaran. Setelah beberapa saat, mereka berpisah, masing-masing pulang ke rumah.
...ΩΩΩ...
Angin sopoi-sopoi menenangkan jiwa dan ragaku. Dalam lamunan sambil menatap langit biru, kini jendela jadi tempat kehangatanku, disinilah aku meluapkan keluh dan kesahku, menulis kisah-kisah hidupku.
Sejenak aku berpikir, Fizri itu orang baik dan dia sangat menyayangimu, sampai kapan kamu menipu dengan kata cinta kepadanya. Padahal semuanya bullshit! Mari kita sudahi dia pantas bahagia dan dicintai. Tapi dia penyamangatku! Egois sekali bukan, tapi aku bisa apa? Terkadang aku berfikir kenapa ia harus datang di waktu yang tidak tepat.
"Fiz, apa yang harus kulakukan? Apakah kejujuran ini masih bisa membahagiakanmu? Kalau iya, aku akan jujur. Selama ini… aku sebenarnya tidak pernah punya perasaan apa-apa denganmu."
Ega telah bergumul dengan perasaannya selama beberapa waktu. Ia merasa bersalah karena telah membohongi Fizri dan menyadari bahwa hubungan mereka tidak sehat. Pengakuan kejujurannya adalah puncak dari proses pergulatan batinnya.
Triiing!
Suara ponsel membuyarkan lamunanku. Dengan malas, kuambil ponsel di sudut meja. Siapa sih, ganggu aja!
"Wah, panjang umur! Baru juga disebut, dia langsung terkoneksi aja. Kayaknya sinyalnya emang kuat banget, hahaha…," gumamku.
Video call terhubung
"Assalamualaikum, ukhti sayang," sapa Fizri, tersenyum tipis.
"Ih… tumben. Pasti ada maunya nih, hayo… apa?" balasku, sedikit curiga.
"Jawabnya kok gitu sih?"
"Iya, iya. Waalaikumsalam. Ada apa, sayang?"
"Hahaha…"
"Emang ada yang lucu, ya?"
"Maaf..."
"Terserah."
"Sayang… jangan gitu, nggak baik loh," tegarnya lembut. Aku suka sikapnya yang satu ini.
"Maaf, Fizri sayang!" Fizri tersenyum terpaksa, nada bicaranya sedikit menggoda.
"Wow! Akhirnya… aku nggak pernah sebahagia ini! Duh… mimpi apa aku, ya? Cubit dong!" Kegembiraan Fizri terlihat jelas, meski karena hal yang sepele.
"Ya Allah… sederhana sekali, ya," gumam Ega.
"ngomong apa, yang? Nggak jelas."
"Ah, nggak papa. Kamu salah dengar, huft."
"Udah dulu, ya? Aku mau istirahat."
"Siap, Bu Bos. Selamat beristirahat yang tenang, Sayangku."
Melihat wajah Fizri saja sudah membuatku merasa bersalah. Berbohong dan berpura-pura seolah sudah menjadi keahlianku. Sampai kapan aku akan menjalani drama ini? Fizri terlalu baik untuk disakiti seperti ini.
Di sisi lain, ada Fikri. Ia terus berusaha menjadi orang ketiga dalam hubungan kami. Keobsesiannya padaku sangat kuat, ia tak mau mundur meski tahu aku sudah berpacaran dengan Fizri.
Waktu berlalu begitu cepat sehingga Ega hampir saja melewati waktu Magrib. Ia bergegas mengambilnya wuduh. "Aku merasa lelah, baik secara fisik maupun mental, memikirkan situasi ini. Kisah cinta macam apa ini?"
...ΩΩΩ...
Suasana kelas dipagi hari terlihat masih sepi. Di dalam kelas yang dihuninya saat ini, hanya terlihat beberapa siswa yang melakukan piket kelas. Ega pun menoleh ke arah bangku di sebelahnya, sudah cukup lama ia berada di dalam kelas tapi belum ada tanda-tanda kedatangan sahabatnya. Akhirnya Ega memilih mengambil buku novel dari dalam tasnya. Baru beberapa kalimat dibacanya, seseorang memanggilnya dengan keras dari luar kelas.
"Ega…!" Suara Finattalia nyaring, memecah kesunyian.
Ega meletakkan novelnya di atas meja, lalu berjalan menghampiri Finattalia. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum berbicara.
"Ada apa, Finatt? Kayaknya serius banget," tanya Ega, raut wajahnya cemas.
"Itu, Ga… itu…," Finattalia ragu-ragu, suaranya sedikit gemetar.
"Apa sih, Finatt? Jangan bikin penasaran!" Ega mendesak, kecemasannya semakin terlihat.
"Itu, Ga… Fizri tadi pulang mendadak. Katanya keluarganya ada yang sakit, dia harus pulang kampung. Dia minta aku sampaikan ke kamu," Finattalia akhirnya menjelaskan.
Ega menghela napas lega. "Oh… kirain ada apa. Hampir saja jantungku copot gara-gara kamu, Finatt!"
"Hehehe… maaf," Finattalia meminta maaf sambil mencubit kedua pipi Ega.
"Hem…"
"Gak marah, kan?"
"Nggak."
"Beneran?"
"Iya."
Ega memeluk Finattalia erat-erat. "Makasih."
"Dia bilang bakal tinggal berapa lama di sana?"
Ega menggeleng pelan. "Nggak ada."
Kriiiing… kriiiing…
Bel berbunyi. Mereka berdua menuju kelas. Hari ini jam kosong hingga akhir pelajaran, karena para guru mengadakan rapat mendadak.
"Yes! Bebas tanpa beban pikiran, hahahah!" Ega berseru girang, suaranya cukup keras hingga membangunkan beberapa siswa yang sedang tidur.
"Ega! Berisik banget sih!" Seseorang menegurnya.
"Maaf," kata Ega sambil tersenyum.
"Finatt, ke kantin yuk… bosan di sini," ajak Ega.
"Hm, boleh juga. Oh iya, kamu bawa novel yang mau kupinjam?"
"Ada kok. Bentar, aku ambil dulu, ya."
"Oke…"
"Kenapa tiba-tiba aku merasa akan ada yang hilang dariku, tapi apa, siapa?" Ega mematung, jantung berdebar kencang. Melihat sesuatu yang terjadi pada diri Ega, membuat Finattalia menepuk punggungnya dengan pelan.
"Ga, kamu kok diam aja."
...ΩΩΩ...
"SELAMAT TINGGAL EGA. AKU AKAN SELALU MENCINTAIMU."
"Kini dia milikmu sepenuhnya, jaga dia. Tolong jangan sakiti hatinya."
"Hatinya memang batu tapi tidak dengan perasaannya."
"Meski dia tidak mencintaiku, dia tetap memperlakukan dengan baik."
"Kukira kita-kan, selalu bersama selamanya. Ternyata takdir berkata lain."
"Meski begitu, namamu akan selalu terukir di hati ini."
"Jaga kesehatanmu ya… aku tidak bersamamu lagi."
...ΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!