NovelToon NovelToon

Trapped in You

Episode 1

Gadis itu menatap pria di hadapannya yang sedang serius dengan laptop dan buku tugas. Ini adalah percobaan yang kesekian kali untuk mendekati pria ini. Dan ia sudah mendapatkan penolakan juga untuk yang kesekian kalinya, tapi ia pantang menyerah. Ia bertekad untuk menaklukan pria yang dianggap seluruh mahasiswi di kampusnya dengan sebutan dingin dan sombong.

“Sampai kapan kamu mau ngerjain tugas itu? Jangan sok jadi mahasiswa teladan, deh.” Lila mulai mengeluarkan isi pikirannya. Sebenarnya ia senang hanya memandang pria dihadapannya ini, tapi dengan begitu akan sulit untuk melancarkan aksi.

“Sampai kapan kamu bakal gangguin aku? Apa kamu gak ada kerjaan selain gangguin aku?” Ryan membalasnya dengan sarkatis. Ia sudah terganggu sejak gadis ini datang mengganggu, ia yakin gadis ini hanya memainkan

taruhan ‘siapa yang berhasil menaklukan dirinya’ dan ia tak akan membiarkan hal itu terjadi. Banyak mahasisiwi di sini yang berusaha menaklukannya, dan itu hanyalah sekedar taruhan bodoh mereka.

“Aku gak semudah itu menyerah, kamu harus tahu itu. Dan aku gak melakukan taruhan, hanya pecundang yang ngelakuin itu.” Seharusnya ia lebih manis dalam menanggapi Ryan untuk menaklukannya, tapi bermanis-manis

terhadap Ryan hanya membuang-buang waktu.

“Dan kamu berharap aku percaya? Kamu salah satu pecundang itu. Apa kamu sefrustrasi itu karena jomblo?” Ryan mengatakan hal itu tanpa sekalipun memandang Lila di hadapannya.

Lila mulai terlihat kesal dengan perkataan Ryan. Ia tidak sefrustrasi itu, tapi ia tak akan goyah. Pria ini hanya mencoba untuk membuatnya kesal dan lebih cepat menyerah, ia sudah belajar banyak sejak pertama mengejar pria ini. Ia hanya tak ingin membuat usahanya sia-sia. Lila menarik napas perlahan dan mengeluarkannya. Ia butuh ketenangan menghadapi pria es ini.

“Kamu tahu kalau semua ini sia-sia, lebih baik cari hal lain yang lebih bermanfaat. Jangan habiskan waktumu untuk hal ini dan menyia-nyiakan waktumu.” Ryan kembali mengatakan hal itu tanpa memandang Lila. Ia sama sekali tak mendengar suara dari hadapannya, bahkan suara tarikan napas pun sudah tak terdengar lagi.

Ryan mengangkat wajahnya mengira Lila sudah pergi, tapi ia justru mendapatkan hal lain yang mengejutkan. Lila yang sudah tersenyun manis memandangnya. Awalnya ia sempat terkesima melihat senyum manis itu, tapi Ryan segera menyadarkan dirinya dan mendengus.

“Aku tetap akan seperti ini, Yan. Jangan bosen, ya, sama aku.” Lila kembali tersenyum manis walaupun Ryan tak melihat hal itu. Ia sudah bertekad menaklukan pria ini jadi hal lain tak akan mampu menggoyahkannya.

Ryan segera bangkit dan membereskan barang-barangnya, ia tak tahan melihat gadis ini. Atau ia sudah jatuh kedalam senyuman Lila tapi ia berusaha menyangkal? Ia tak peduli, ia hanya perlu menjauhkan diri dari gadis ini dan gadis manapun yang mencoba mendekatinya.

**

Ryan sebenarnya memiliki sifat yang bertolak belakang ketika berada di luar kampus. Ia bisa bersikap lembut di hadapan keluarga dan orang terdekat. Bukan tanpa alasan ia bersifat dingin ketika berada di kampus, ia memiliki pengalaman pahit tentang itu dan ia tak ingin pengalaman pahit itu terulang lagi. Dan untuk para mahasiswi di kampus yang suka bertaruh atas dirinya, ia sudah sering mendengar itu. Walaupun awalnya ia sedikit sakit hati dengan apa yang terjadi tapi lama kelamaan ia mulai terbiasa. Dan ia juga tau apa yang sekarang akan dilakukan oleh Lila. Gadis itu cukup tangguh melebihi gadis-gadis sebelumnya.

Ini sudah bulan kedua sejak Lila mulai mendekatinya dan ia belum memberikan reaksi apapun terhadap gadis itu, tapi anehnya gadis itu tak gentar. Dan juga ia sama sekali tak merasa terganggu dengan hal itu, ia malah menunggu-nunggu apalagi yang mampu gadis itu lakukan untuk membuat hatinya luluh.

Ryan sedang duduk di taman seperti biasa bersama laptopnya dan beberapa buku, ia bukan termasuk mahasiswa yang pintar dalam akademik tapi ia menghargai tugas yang di berikan Dosen dan juga ia tak terlalu ingin bersosialisasi dengan mahasiswa di sekitarnya jadi ia rela menghabiskan waktu dikampusnya dengan tugas-tugas itu.

Tiba-tiba sebuah kotak bekal sudah berada di hadapannya, dan ketika ia mendongak ia kembali mendapati Lila yang sudah tersenyum manis.

“Kayaknya tempat kamu di sini-sini aja ya, gampang banget nyari kamu. Apa kamu sengaja biar aku gak kesusahan nyari kamu?” Lila kembali berbicara dengan riang tanpa diminta, dan ia tampak percaya akan hal itu tak peduli lawan bicaranya akan menyukainya atau tidak.

Ryan tak menanggapi, ia kembali mengerjakan tugasnya. Bahkan gadis itu akan tetap berbicara meskipun Ryan hanya diam tak menanggapi apapun.

“Aku sengaja bikinin kamu bekal makan siang, soalnya kamu kayaknya gak pernah keliatan di kantin. Kamu sengaja diet atau lagi gak punya uang, aku bisa lho traktir kamu kalo kamu ngajakin aku makan siang di kantin.” Lila tetap membicarakan apapun dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.

Ryan bahkan heran, bagaimana mungkin gadis ini bisa tetap tersenyum setelah berbagai kalimat penolakan yang ia yakini mampu menyakiti hati. Terkadang Ryan kagum dengan gadis ini, apa gadis ini sangat menyukainya?

“Kamu tahu gak kenapa aku tetep deketin kamu walaupun kamu nolak aku terus?”

Ryan menghentikan dirinya yang tengah mengetik sesuatu di laptopnya. Ia juga sangat ingin mengetahui hal itu. “Karena aku yakin suatu saat nanti hati kamu bakal luluh walaupun itu lama banget, tapi aku percaya. Karang yang di hempas ombak aja lama-lama bisa kikis, apalagi hati manusia.” Lila kembali melanjutkan kalimatnya.

“Kamu gak takut dianggap cewek murahan karena ngejar laki-laki?’ Akhirnya Ryan menanyakan sesuatu setelah sekian lama menahan diri.

“Aku gak peduli, gak penting juga pendapat mereka. Aku hidup bukan buat dengerin pendapat mereka.”

“Mungkin kamu sekarang masih semangat dan gigih, tapi aku yakin sebentar lagi kamu bakal nyerah. Kamu gak sepintar itu buat tahu isi hati manusia lain, terkadang hati manusia bisa lebih keras dari batu.” Ryan mengatakan hal itu dan menatap Lila yang tak banyak mengeluarkan ekspresi. Ia yakin gadis itu akan berpikir kembali tentang apa yang sudah dilakukannya.

Tapi diluar ekspektasi, gadis itu kembali tersenyum seolah kata-katanya sama sekali tak berarti apapun untuk Lila. “Aku bisa buktiin kalo ucapan kamu salah. Aku pergi ya, jangan lupa bekalnya di makan. Semua cinta dan hatiku ada di makanan itu.” Lila bangkit dari duduknya dan segera berlalu meninggalkan Ryan yang sudah tak mampu berkata-kata lagi. Gadis itu benar-benar di luar dugaannya.

**

Lila membanting tasnya dengan brutal di kursi kelasnya, Icha yang sedang asyik membaca buku pun sampai kaget hingga mendongakkan kepalanya untuk menatap Lila dengan sebal.

“Pasti Ryan lagi.” Gumam Icha yang sudah tampak paham dengan kelakuan sahabatnya ini.

“Ryan ngeselin banget tahu, Cha!” Lila mulai menggerutu tanpa mempedulikan Icha yang sudah menggerutu juga sejak tadi. “Jangan-jangan dia beneran gay lagi? Udah dua bulan aku deketin dia dan selama itu pula aku di tolak, Cha. Ngeselin gak sih?”

Icha bahkan tak mempedulikan Lila yang terus mengeluarkan uneg-unegnya. Dia sudah kebal setiap hari mendengar gerutuan sahabatnya ini, jadi ia sudah tak kaget. Untungnya kelas masih sepi jadi ia tak perlu menanggung malu seperti sebelum-sebelumnya.

“Cha, dengerin gak sih? Aku tuh lagi kesel, Cha, kesel banget.”

Icha dengan kesal menutup buku yang belum habis di baca olehnya dan menatap Lila. “Anak SD juga tahu kalo Ryan ngeselin, kamunya aja yang sok heroik nyoba deketin dia dan kerjaan kamu cuma ngomel setiap hari,

kamu sehat, La?”

“Tapi Cha, kali ini—”

“Stop deketin dia kalo kerjaan kamu cuma mau ngomel aja.” Icha memotong omongan Lila yang masih ingin mengomel.

Lila menghela napasnya, mulai tampak putus asa. “Aku juga gak bakal deketin Ryan kalo bukan karena Kikan.”

Kikan adalah sahabat mereka yang lain, mereka bertiga adalah sahabat karib sejak pertama kali masuk di Universitas ini. Tapi suatu hari Lila mulai menyadari bahwa Kikan adalah orang ketiga dalam hubungannya dengan Joshua, mantan pacar Lila. Terkhianati? Sudah pasti. Apalagi yang melakukan hal itu adalah sahabatnya sendiri.

Lila pikir setelah ia putus dengan Joshua hidupnya akan tenang bahkan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk melupakan Joshua dan menganggap itu adalah pelajaran baginya. Tapi lagi-lagi ia dikejutkan oleh hal lain, Kikan mulai menyebarkan gosip bahwa Lila-lah yang sudah merusak hubungannya dengan Joshua. Belum hilang rasa sakitnya karena di khianati, ia harus menanggung rasa sakit hati dan malu dari teman-temannya karna dianggap

sebagai perusak hubungan orang lain. Bahkan setelah enam bulan berlalu, Lila masih harus menanggung pandangan sinis dari teman-temannya, yang lebih parah lagi Joshua bahkan sama sekali tak mendukung atau menyuarakan pendapatnya.

“Udah enam bulan, La, udah waktunya buat move on. Lagian mau sampe kapan kamu dendam kayak gitu?”

“Sampe mereka ngerasain apa yang aku rasain, bahkan kalo aku move on perasaan sakit hati itu masih nempel banget, Cha. Dan kamu ngapain bela mereka?”

“Aku gak ngebela siapa-siapa, aku cuma ingetin aja.”

“Makasih Cha, kamu masih mau temenan sama aku walaupun yang lain udah gak mau temenan sama aku.” Lila mulai merangkul Icha yang ada di sampingnya. Karena memang yang mau berteman dengannya saat ini hanya Icha, karna ia satu-satunya orang yang mengetahui perasaan sebenarnya Lila.

“Lagian kenapa musti Ryan sih? Banyak kali cowok ganteng di kampus ini.”

“Banyak memang, tapi mereka brengsek semua.”

“Memang Ryan gak brengsek?” Icha mulai memasang mode penasaran, karna Lila hanya mengatakan ia akan mendekati Ryan tanpa tahu motif sebenarnya. Jika hanya ingin membalas rasa sakit hatinya pada Kikan bukankah

semua laki-laki sama?

“Dia itu baik, tapi ada hal yang bikin dia jadi cowok sombong kayak gini. Lagian kalo dia brengsek dia udah nerima aku dari dulu, Cha.”

Icha tertawa mendengar ucapan yang terdengar jujur dari sahabatnya ini. Bahkan setelah ditolak berkali-kali ia masih sempat memuji Ryan, padahal setiap hari ia selalu datang pada Icha untuk mengadukan segala sikap menyebalkan Ryan.

“Kamu yakin gak bakal jatuh cinta sama Ryan ini?”

Lila memandang Icha dengan aneh, untuk apa ia jatuh cinta pada laki-laki yang bahkan tak pernah bersikap lembut padanya? Jika benar terjadi mungkin ia akan mendapatkan serangan pusing mendadak setiap harinya.

“Ya gak mungkin lah, Cha. Aku juga pengen kali nyari cowok yang lebih sopan dari Ryan.”

Icha hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan mengeluarkan senyum misteriusnya. “Well, asal jangan datengin aku pas kamu udah bener-bener jatuh cinta sama Ryan ini.”

**

Lila berjalan dengan santai di taman kampus, hari ini kelasnya kosong karena Dosen yang berhalangan hadir dan ia hanya berkeliling sejak tadi. Icha masih di kelasnya mengerjakan tugas, dan Lila sangat bosan jika hanya menungguinya membuat tugas. Ia berniat mencari Ryan, tapi pria itu belum ada di kursi yang biasa ia duduki karna itu ia berkeliling. Ketika sedang asik menikmati semilir angin dari beberapa pohon di atasnya, dari jaraknya saat ini ia mampu melihat Joshua dan Kikan. Lila berhenti di tempat, ia tak ingin berpapasan dengan mereka jadi ia berbalik berniat untuk menghindari mereka. Tapi ketika ia berbalik, Lila lebih terkejut lagi karena saat ini Ryan berada di hadapannya. Tepat di hadapannya.

“Eh, hai  Yan. Kok kamu di sini?” Lila tampak kikuk menyapa Ryan, sangat tak biasanya ia kikuk berhadapan dengan Ryan.

Ryan tak mengatakan apapun, ia hanya menatap Lila dengan tatapan yang tak mampu Lila jelaskan. Tiba-tiba Ryan menggenggam jemari Lila dan menariknya dengan lembut menuju jalan yang di hindari Lila tadi dan sudah pasti mereka akan berpapasan dengan Joshua dan Kikan.

“Yan, kamu mau bawa aku kemana?” Lila mencoba melepaskan genggaman tangan Ryan yang sangat kuat tapi tak menyakitkan. Ia khawatir akan berpapasan dengan Joshua dan Kikan, ia belum menyiapkan apapun untuk bertemu mereka.

Ryan menghentikan langkahnya dan menatap Lila, kali ini ia tersenyum, jenis senyum yang tak pernah di lihat Lila selama ini dan itu sangat manis. Lila untuk sesaat bahkan terpana dengan senyum yang di berikan Ryan, itu menambah kadar ketampanannya. Ryan sedikit menundukkan wajahnya dan berbisik di depan wajah Lila.

“Kamu mau berhenti ngomong atau aku peluk di sini?” Ryan masih mempertahankan senyumannya, dan Lila dengan bodohnya masih terpana memandangi Ryan dan tidak menjawab pertanyaan Ryan.

“Ck!” Ryan mendecak melihat Lila yang bahkan tak bergerak sesenti pun dari tempatnya dan segera memeluk Lila. Beruntung taman hari itu sepi dan hanya beberapa orang saja yang sedang berada di sana.

Lila baru tersadar ketika Ryan memeluknya, bahkan Lila tak mampu menolak pelukan Ryan. Lila merutuki dirinya sendiri yang dengan lancang terpesona pada senyum Ryan, tapi ia memang tak bisa menolak pesona Ryan

kali ini.

“Apa kamu begitu terpesona padaku?” Bisik Ryan tepat di telinga Lila.

Lila yang mendengar hal itu berusaha melepaskan diri dari pelukan Ryan, tapi Ryan semakin mempererat pelukannya. “Biarkan sebentar lagi, Lila.”

Ini pertama kali Ryan menyebutkan namanya dan entah kenapa hatinya tersentuh akan hal itu. Pria yang sejak dua bulan sudah menolaknya tiba-tiba memeluk dengan erat bahkan menyebut namanya dengan lembut. Apa pria ini di rasuki sesuatu? Atau ia sudah menyerah pada dirinya sendiri dan akan menerima dirinya? Lila bahkan sudah tak mempedulikan Joshua dan Kikan yang mungkin akan melihat mereka.

“Bagaimana kalau aku bilang aku akan menyerah padamu?” Ryan bertanya lagi dengan lembut.

Lila menegang di dalam pelukan Ryan, mimpi apa dia tadi malam sampai Ryan dengan mudahnya menyerah. “Hm?”

“Sa—sampai kapan kita akan berpelukan?” Lila bertanya dengan gugup, beruntung mereka berpelukan sehingga wajahnya yang sudah memerah tak akan terlihat.

“Sampai kamu menjawabku.” Ryan berucap dengan tenang, ia bisa merasakan detak jantung Lila yang berdetak sangat kencang dan tak teratur. Ryan tersenyum, ternyata gadis ini bisa gugup juga.

“Aku harus jawab apa?”

“Apa kamu sengaja tidak menjawabnya agar bisa berpelukan denganku?”

Lila kembali berusaha melepaskan pelukan Ryan lagi, tapi pria itu malah mempererat pelukannya lagi. Apa pria ini gila? Mereka masih ada di lingkungan kampus, bagaimana jika ada yang memperhatikan mereka?

“Ka—kalau kamu menyerah itu artinya kita harus berpacaran.”

Jeda tiga detik sebelum Ryan melepaskan pelukan mereka, tapi Ryan masih menggenggam bahunya dan Ryan kembali menatap wajah Lila yang sudah memejamkan mata dengan  semburat merah di pipinya. “Kita pacaran mulai sekarang.” Ryan berbisik di depan wajah Lila.

Lila terdiam di tempat, ia masih memejamkan matanya. Ia tak mampu menatap Ryan, hilang sudah Lila yang dulu sangat berani menggoda Ryan. Ia sudah tak merasakan kehadiran Ryan di sekitarnya, jadi ia membuka matanya perlahan dan ia masih menemukan Ryan berdiri di hadapannya.

“Kamu tak ingin menatap pacarmu? Dulu bahkan kamu sangat gigih mengejarku.”

Lila kembali merutuki dirinya sendiri, ia tak tau harus senang atau tersiksa. Rencananya sudah berhasil membuat Ryan menjadi pacar tapi ia bahkan tak bisa memandang Ryan sedikitpun. Lila perlahan mendongakkan kepalanya menatap Ryan yang tetap tersenyum padanya.

**

Sudah tiga hari sejak kejadian Ryan dan Lila berpelukan di taman, dan berita itu sudah sangat viral di fakultas Ryan maupun Lila. Tak ada habisnya mereka membahas kejadian itu, seperti misalnya, ‘bagaimana mungkin Ryan sama Lila bisa kayak gitu? Ryan kan kalem orangnya, pasti si Lila yang kecentilan godain si Ryan.’ dan beberapa kalimat menyakitkan lainnya. Lila bahkan sudah tiga hari juga absen dari kelasnya dengan alasan sakit.

Sebenarnya itu tidak sepenuhnya bohong, Lila memang sakit, hatinya yang kembali sakit karena ini mengingatkan dirinya dengan kejadian enam bulan lalu ketika Lila putus dari Joshua. Ketika semua mahasiswa yang hampir ia temui berkata buruk tentang dirinya. Lila memang tak peduli dengan pendapat orang lain, ia terbiasa cuek dengan apapun tapi kembali mendengar kalimat tersebut rasanya sangat menyakiti hatinya. Karena itu ia menghindar sesaat, ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang-orang yang mengatainya, setidaknya ia perlu menguatkan hatinya terlebih dahulu.

Dan setelah cukup tiga hari ia bersembunyi, ia akan kembali menghadapi kenyataan yang kembali menyesakkan dan ia harus segera menemui Icha karena hanya dialah teman satu-satunya yang akan kembali mendukungnya di segala kondisi apapun. Beruntung ia menemukan Icha yang berada di perpustakaan yang terkenal sepi.

“La, sebenernya ada apa lagi sih? Kenapa bisa kamu pelukan sama Ryan di taman?” Icha langsung menanyainya tanpa basa basi untuk bertanya kabar, setidaknya itu lebih baik karena Lila sendiri tidak tahu harus menjawab apa jika ditanyai tentang kabarnya.

Lila menghembuskan nafas lelah, ya ia memang lelah dengan drama kehidupannya yang melebihi drama korea itu.

“Aku juga gak tahu, Ryan tiba-tiba dateng dan meluk aku. Tapi beneran Cha, itu bukan inisiatif aku atau trik buat dapetin Ryan, malah dia sendiri yang bilang udah nyerah sama perasaannya dan terima pacaran sama aku. Aku gak tahu, apa mungkin dia sengaja buat balas dendam atau gimana, aku beneran gak tau, Cha.”

Icha ikut menghela nafasnya, “Aku gak tahu deh siapa yang foto kalian dan nyebarin di grup fakultas dan bikin itu heboh, hebohnya bisa sampe ngalahin gosip Lucinta Luna yang transgender.”

Lila tertawa. “Ya kali aku di samain sama Lucinta Luna, Cha. Beda jauh lah, aku lebih orisinil ya.” Dan Icha ikut tertawa karena hal itu.

“Sebenernya waktu itu aku hampir papasan sama Joshua dan Kikan dan pas aku mau ambil jalan lain tiba-tiba Ryan dateng dan meluk aku gitu.”

“Kenapa kamu gak berontak? Kan bisa aja kamu langsung nolak pelukan dia.” Icha menatap Lila dengan curiga dan Lila yang di pandangi seperti itu mulai salah tingkah.

“Ya, se…sebenernya… Dia meluk aku erat banget Cha, gimana bisa mau lepasin coba…” Lila menjawab dengan gugup, bisa di bilang Ryan adalah pria pertama yang melakukan hal tersebut pada Lila dan lagi Lila sudah terpesona ketika Ryan memberikan senyumannya.

“Dia yang meluk kamu erat atau kamu yang nikmatin pelukan dia?”

Lila menatap Icha yang masih terlihat curiga, ia harus mengendalikan dirinya sendiri. Ryan memang tampan tapi tujuannya bukan untuk tergoda olehnya dan untuk apa juga ia berpikiran seperti itu pada Ryan?

“Apa kamu gak ngerasa aneh sama Ryan yang tiba-tiba nyerah gitu aja sama aku? Aku juga curiga sama hal ini.”

Icha membanting bukunya dengan dramatis di atas meja ketika Lila mulai mengalihkan topik pembicaraan. Salah satu sifat buruk Lila adalah yang tak mau jujur pada perasaannya sendiri dan selalu mengelak. Padahal sudah puluhan kali Icha mengingatkan akan hal itu tapi sepertinya tak ada yang bisa di ubah dari hal itu.

“Aku mau ke kantin, butuh asupan tenaga buat ceramahin kamu.”

Lila hanya menunjukkan cengirannya, “Dan kamu harus traktir aku.” Lalu Icha mulai bangkit dari duduknya.

“Cha, tungguin dong! Kamu boleh makan sepuasnya asal yang murah harganya.” Lila mengejar Icha dan teriakannya tertahan agar ia tak di marahi oleh penjaga perpustakaan yang galak itu.

Ryan menatap kedua sahabat itu dan tersenyum, ia memang sudah sejak tadi di perpustakaan itu dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Ini bukan yang pertama kali tapi ia benar-benar tak sengaja melakukan hal itu. Ryan menggeleng-gelengkan kepalanya, gadis itu ceria dan tak bisa di tebak, ia sepertinya tak mampu menjalani kehidupan kuliahnya jika tanpa sahabat tercinta itu. Dan bahkan ia sudah berpacaran dengan gadis itu, entah

apa yang di pikirkannya saat itu tapi anggap saja itu bukan dirinya yang melakukan hal itu tapi seseorang dari alam bawah sadar.

**

Ryan masih duduk di tempat favoritnya dengan tugas baru dari dosen, ia sudah semester empat, semester paling krusial untuknya. Matanya tiba-tiba melihat Lila dari kejauhan, biasanya ia akan merecoki Ryan tapi sejak kejadian itu Lila seperti menghindarinya. Ryan tak kecewa dengan hal ini, ia justru bahagia.

Hari itu ia bisa mendengar suara detak jantung Lila sangat kencang dan suaranya yang berubah gugup tak seperti biasanya. Selama dua bulan ini ia terbiasa melihat Lila yang ceria dan percaya diri tapi karena kejadian itu ia jadi merasa bahagia karena itu artinya Lila terpengaruh oleh dirinya. Ryan tersenyum mengingat hal itu, gadis itu berbeda dari gadis-gadis yang selalu bertaruh untuknya.

Ryan masih memandangi Lila yang sepertinya sudah terlarut dalam dunianya sendiri. Jika memang begitu maka ia harus mengikuti permainan yang sudah ia mainkan secara tak sadar, bukan karena ada perasaan lain yang tumbuh di hatinya, hanya saja ia ingin melihat seberapa jauh Lila mampu bertahan di dekatnya.

Ryan berjalan menghampiri Lila, ia sepertinya tak menyadari kehadiran Ryan karna telinganya di sumbat oleh earphone. Ryan semakin melebarkan senyumannya ketika sudah duduk di samping Lila, Lila menyadari itu tapi ia berpura-pura seolah Ryan tak ada. Ryan seperti berhadapan dengan gadis asing yang baru ia temui.

“Hai pacar.” Ryan melepaskan salah satu earphone yang terpasang dan mengatakannya langsung di telinga Lila.

Lila mengatur napasnya, ia lupa bahwa Ryan sangat menyukai taman ini dan selalu ada di taman ini. Lila mengedarkan pandangannya ke sekitar dan menemukan lumayan banyak mahasiswa yang ada di taman hari ini,

mereka memang tak melihat ke arahnya tapi Lila tahu mereka memperhatikannya.

Lila memaksakan senyumannya dan perlahan bangkit dari duduknya. “Aku ada kelas, aku pergi dulu ya.”

Ryan menahan tangan Lila dan memaksanya duduk kembali. “Gak bawain bekal makan siang lagi? Aku ketagihan sama bekal yang kemarin.” Ryan mengucapkan itu tanpa beban dan tak berhenti memandang Lila yang sudah gugup setengah mati di sebelahnya.

“Aku beneran ada kel—”

“Setelah pelukan kemarin apa kamu mau hal lain lagi? Ciuman mungkin?”

Lila menatap Ryan dengan horor, apa pria ini benar-benar sudah gila? Padahal dua bulan yang lalu pria ini menolaknya seolah Lila adalah gadis murahan yang suka merayu pria tapi sekarang pria ini duduk di sampingnya dengan senyuman main-main di wajah tampan itu. Sangat jelas pria ini sedang mengerjainya dan pria itu sangat menikmatinya. Lila menguatkan hatinya, ia tidak boleh lengah lagi oleh pesona pria ini.

“Kamu sebenernya ngapain? Mau balas dendam sama aku?” Masih ada getaran di suaranya tapi sudah lebih baik dari kemarin dan barusan.

Ryan tersenyum mendengar pertanyaan Lila, belakangan ini ia sering tertawa dan gadis ini penyebabnya, entah ia harus bangga atau tertekan. Ia mengelus kepala Lila dan bermain-main dengan rambut panjangnya.

“Aku juga penasaran, baru kali ini aku benar-benar merasa hidup—”

“Apa kamu Ryan yang sama yang aku temui dua bulan lalu?” Lila tak sabar, mahasiswa yang ada di sini pasti sudah mulai mereka cerita dan gosip yang bagus untuk di sebarkan. Terkutuklah Ryan dan sikap sok perhatiannya itu. “Atau jangan-jangan kamu ada kembaran?” Lila merasa syok sendiri dengan pemikirannya. Itu bisa saja terjadi dan kembarannya itu ingin balas dendam terhadap Lila.

Ryan yang mendengar hal itu sontak tertawa dengan kencang sampai pegangan di tangan Lila ia lepas begitu saja. Mungkin ini pertama kalinya Ryan terlihat tertawa lepas di hadapan seluruh mahasiwa mulai melirik ke arah mereka. Ryan bahkan tak memedulikan hal itu, ia hanya terus tertawa hingga rasanya perutnya ingin meledak.

Lila harusnya menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri, tapi ia justru terpaku pada tawa Ryan yang baru ia lihat hari ini. Entah mengapa ia sangat mudah terpesona pada Ryan, bahkan hanya dengan sebuah senyuman ia sudah tak berkutik lagi. Ia mulai menyesali rencana yang ia buat sendiri, benar kata Icha harusnya ia mencari pria lain. Kenapa dari sekian banyak pria pilihannya malah jatuh kepada Ryan.

“Imajinasi kamu liar banget, ya?” Ryan menarik napas lagi untuk menetralkan tawanya. Sangat jarang seorang Ryan mampu tertawa lepas seperti ini. Efek gadis ini padanya benar-benar luar biasa dan ia mengakui itu.

Lila melipat tangannya di dada. Ia menyipitkan matanya menatap Ryan yang masih menampilkan sedikit tawanya. “Sebenarnya kamu kenapa?”

Ryan mengangkat bahunya acuh dan tampak tak peduli. “ Kita pacaran. Kamu bahkan mengiyakan sendiri tanpa perlu aku yang meminta?”

Lila memalingkan wajahnya. Ya, ia juga sadar apa yang sudah dilakukannya tiga hari yang lalu tapi kenapa sekarang ia merasa ingin menjauh dari pria ini.

“Ya aku memang bilang gitu, tapi caranya salah. Kamu bahkan seenaknya peluk aku di depan umum dan bahkan ada yang videoin kita sampe masuk ke grup kampus.” Lila berusaha mengatakan itu tanpa berteriak dan tetap

menekankan bahwa ia marah. Marah dan bingung sebenarnya.

“Bukannya kamu gak peduli tanggapan orang lain terhadap kamu? Apa kamu tipe orang yang suka menyembunyikan hubungan dari orang lain?”

Lila merasa frustasi, sebenarnya berapa banyak yang ia katakan pada pria ini? Tidak semua yang ia katakan bohong, ia hanya ingin mencoba lebih percaya diri pada dirinya sendiri. Itulah sebabnya ia mengatakan hal itu, hanya untuk menutupi segala rasa rendah dirinya.

“Apa kamu menyerah secepat itu pada perasaanmu sendiri? Semudah itu?”

“Dan kamu sendiri yang bilang kalau karang yang lama-lama kehempas ombak aja bisa rapuh, dan aku rasa aku sudah mengalaminya.”

Dan setelahnya Lila benar-benar kehilangan kata-kata. Ingatkan dirinya nanti untuk menyumpahi dirinya sendiri. Bagaimana mungkin pria ini bisa mengingat semua yang ia katakan? Kenapa dari semua laki-laki harus Ryan? Padahal ia bisa saja mencari pria lain, tapi pilihannya tetap pada Ryan saat itu dan ia memang sedikit menyesal.

“Aku ke kelas dulu.” Lila segera meninggalkan Ryan tanpa mengatakan hal lain lagi. Lila yang ceria dan percaya diri yang dulu suka mengganggu Ryan telah hilang.

Ryan tersenyum melihat Lila yang meninggalkannya, ia juga sebenarnya tak tau apa yang sudah di lakukannya. Ia hanya ingin melihat sampai sejauh mana Lila bisa bertahan pada dirinya, ia tak pernah menyerah pada perasaannya sendiri hanya saja Lila seperti objek menarik yang sulit untuk di lepaskan. Katakanlah ia jahat, tapi yang ia rasakan pada Lila memang seperti itu. Ia belum jatuh cinta pada gadis itu dan semoga tak pernah terjadi. Lila terlalu baik untuknya dan jatuh cinta pada gadis itu juga bukan pilihan terbaik.

**

Episode 2

Lila kembali murung, menatap ke luar jendela kelasnya tanpa minat sama sekali, ia kembali merenungkan hal-hal apa saja yang sudah ia lakukan di masa lalu. Sebenarnya ia termasuk gadis yang mencari aman di hidupnya, ia sebisa mungkin meminimalisir masalah yang akan menimpa hidupnya tapi semua itu seolah tak cukup dan ia terus mendapatkan masalah.

Dan semakin hari masalahnya terasa semakin menumpuk, ia bahkan bingung harus bersikap seperti apa. Ia ingin tertawa saja dengan semua masalah ini tapi itu semua terasa palsu, ia bahkan sangat tahu bahwa hampir semua mahasiswi di fakultasnya tak menyukainya tapi ia selalu berpura-pura seolah itu bukan hal penting. Itulah kenapa ia hanya berteman dengan Icha yang bisa di bilang sangat mengenalnya luar dalam.

Lila menjatuhkan kepalanya di lipatan tangannya, ia tak ingin terlihat menyedihkan tapi berpura-pura bahagia juga bukan pilihan. Ia ingin menyalahkan Ryan atas semua masalah yang menimpanya tapi semua juga berawal dari dirinya jadi ia harus seperti apa lagi menanggapi semua masalah ini, ia ingin mengadu pada Icha tapi rasanya sangat salah karna terus menerus bergantung pada sahabatnya itu. Jadi pilihan terbaiknya adalah merenungkan segalanya di kelas yang sudah kosong sejak satu jam yang lalu.

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, ia harusnyasudah pulang atau jalan-jalan sebentar bersama dengan Icha.  Ia sudah seperti gadis yang tak ada harapan hidup sama sekali, lagipula apalagi yang harus ia harapkan pada hidupnya. Ia sudah patah hati sejak enam bulan yang lalu, bahkan patahan itu masih terasa sampai sekarang.

Katakanlah ia gagal move on dan rasanya ia sangat ingin untuk membalaskan rasa sakit hatinya pada mantan pacar dan selingkuhannya. Mungkin terdengar seperti remaja SMA yang labil, tapi memang itu yang ia rasakan saat ini tapi justru perasaan ingin balas dendam itu yang menimbulkan masalah pada hidupnya. Memang seharusnya ia mendengarkan nasihat Icha tapi rasa sakit hatinya jauh lebih besar dari apapun bahkan ia sendiri sulit untuk mengontrol.

Lila merasakan kehadiran seseorang di sampingnya, ia membiarkan hal itu. Ia tidak ingin bertemu siapapun saat ini apalagi jika yang duduk di sampingnya saat ini adalah Ryan, jika dulu ia yang bersemangat mengejar pria itu walaupun hanya sekedar trik tapi ia lumayan menikmatinya. Tapi kali ini ia hanya ingin sendirian merenungi nasibnya, setelah ini mungkin dia bisa memutuskan apa yang harus ia lakukan.

“Jadi kamu bener pacaran sama Ryan?”

Lila mendengarnya, tapi suara ini sangat tidak asing di telinganya dan ini bukan suara Ryan. Lila segera menegakkan tubuhnya dan mendapati Joshua di sampingnya. Mantan yang sangat ingin ia hindari.

Lila melihat ke sekelilingnya, memastikan ada orang selain dirinya karena sejujurnya ia sangat tidak ingin berbicara dengan Joshua lagi. “Kamu ngomong sama aku?” Lila menampilkan wajah polos dan sebenarnya itu juga satu pertanda bahwa ia enggan melihat wajah Joshua lagi, tapi sepertinya Joshua tak memahami itu.

“Segitu bencinya kamu sama aku?” Joshua bertanya lagi, ia terlihat kesal dengan kenyataan bahwa Lila sudah tak melihatnya seperti dulu ketika mereka berpacaran, harusnya ia sadar dengan yang ia perbuat tapi ia kesal dengan keadaan sekarang.

Lila tak menjawab pertanyaan Joshua, harusnya ia sudah tahu jawaban dari pertanyaan itu tapi ia masih menanyakan hal yang sama. Lila kembali mengalihkan pandangan pada jendela besar di sampingnya. Moodnya baru saja jatuh ke dasar jurang dengan kehadiran Joshua di sini dan sepertinya pria itu akan tetap di sini hingga Lila mengajak bicara.

Lila menghembuskan nafas, ia lelah dengan permainan yang ia buat sendiri dan wajahnya sekarang sudah sangat berlipat-lipat hingga terlihat seperti seseorang yang tengah depresi.

“Aku menyesal, La.” Joshua mengatakan itu setelah keberanian yang ia  kumpulkan, wajahnya tertunduk bahkan untuk menatap Lila terasa berat. Ia benar-benar menyesali perpisahannya dan Lila dan ia juga menyesali perselingkuhan dengan Kikan, tapi sepertinya Lila belum menyadari semua itu.

Lila masih bergeming di tempatnya. Ia tak menyangka Joshua akan mengatakan hal itu setelah sekian lama, ia bahkan tak berharap Joshua akan menyesali semua perbuatannya. Mungkin memang Lila ingin membalas perbuatan Joshua dan Kikan tapi belakangan ini ia sudah menyadari bahwa semua yang ia lakukan sia-sia dan hanya menyakiti dirinya sendiri. Lila bahkan tak peduli jika Joshua akan meminta maaf padanya atau tidak.

Lila bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pintu keluar, ia semakin merasa tak nyaman dengan semua ini. “Kamu bener-bener pacaran sama Ryan?”

Lila berhenti melangkah, wajahnya sudah terlihat kesal sejak tadi dan sekarang kekesalannya sudah memuncak. Lila menarik napas perlahan dan membuangnya untuk menenangkan emosinya, tangannya masih memegang

gagang pintu dan ia sudah siap untuk keluar dari ruangan ini.

“Sebenci itu kamu sama aku, ya?”

“Kamu bodoh atau memang ingin mencari masalah denganku?” Kata-kata itu terdengar sangat dingin bahkan untuk Lila sekalipun, mungkin terdengar jahat tapi ia juga tak bisa berpikir untuk melembutkan kalimatnya.

“Di hari kamu lebih memilih Kikan di banding aku, kita sudah selesai. Jangan pernah berpikir kita bisa saling sapa seperti dulu.” Setelah mengatakan hal itu, Lila segera berlalu dari ruangan itu meninggalkan Joshua dan kekecewaannya.

**

Lila berjalan gontai menuju halte bus yang tak jauh dari gerbang kampus, sekarang sudah hampir pukul enam sore. Kembali ke rumah juga bukan pilihan yang baik, tapi ia tak tahu harus kemana jika bukan pulang ke rumah. Ibunya yang protektif itu pasti akan menanyainya berbagai macam hal karena ia pulang telat.

Walaupun Ibunya bekerja, ia sangat peerhatian pada Lila dan memastikan anak gadis satu-satunya itu tercukupi semua kebutuhan yang di perlukan. Menjadi orang tua tunggal sangatlah sulit, harus berperan sebagai Ibu dan Ayah sekaligus. Salah satu alasan kenapa Lila begitu ceria dalam menghadapi semua masalah.

Ia tahu betapa lelah Ibunya, harus bekerja dan harus mengurusi Lila, tapi Ibunya sama sekali melarang Lila untuk bekerja. Lara Julita—Ibu Lila—yang usianya sudah mencapai kepala empat itu adalah wanita yang sangat di hormati dan juga di sayangi Lila. Lila selalu berusaha menyimpan kesedihannya untuk diri sendiri karena tak ingin sampai Ibunya tahu lalu juga merasa sedih. Tanpa di sadari kebiasaan itu mulai terbawa dalam lingkungan sosial Lila, itulah yang membuat banyak mahasiswi membencinya.

Ia bahkan tak bisa terbuka dengan Icha yang sudah banyak membantu dan menjadi sahabat satu-satunya yang di miliki Lila. Lilanduduk di halte yang kosong, mungkin ia akan berjalan kaki saja nanti alih-alih naik bus. Jalan-jalan sebentar mampu membuat pikirannya tenang untuk beberapa saat.

Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di hadapan Lila, yang tak ia pedulikan. Masalahnya lebih penting di banding pemilik mobil yang menghentikan mobil tepat di hadapannya itu.

“Lila.”

Lila tersadar dari lamunan ketika mendengar suara yang memanggilnya itu, ia menatap mobil di hadapannya yang kaca penumpang sudah terbuka menampilkan Ryan di kursi pengemudi. Lila memejamkan matanya, bisakah

hari ini jadi lebih buruk lagi?

Ia tahu kelakuannya sangat buruk selama ini, tapi bertemu Joshua dan Ryan dalam kurun waktu yang sebentar sama sekali tak ada dalam agendanya. Kalau bisa ia malah ingin jika tak bertemu mereka.

“Kamu memanggilku?” tanya Lila dengan wajah datar.

Hal yang sampai sekarang tak di percayainya adalah Ryan yang bisa berubah secepat itu. Ia tahu seperti apa Ryan dari rumor-rumor yang beredar di sekitar kampus. Pria itu sangat dingin dan hampir tak menanggapi para gadis yang mencoba untuk mendekatinya. Sama sekali tak ada yang berhasil sampai Lila mencobanya.

Dua bulan memang cukup lama, tapi untuk tipe pria seperti Ryan dua bulan itu sangat singkat, Lila bahkan tak perlu bekerja lebih keras karena Ryan sudah dengan sukarela menyerahkan dirinya.

Pada akhirnya, Ryan memilih keluar dari mobilnya. Ia tahu akan sedikit sulit untuk berbicara pada gadis itu. Lila adalah satu-satunya gadis yang mampu membuat Ryan bertekuk lutut dan melakukan apapun yang tak seharusnya ia lakukan. Memang tak ada cinta dalam hati Ryan, hanya saja Lila berhasil membuat jiwa penasaran yang ia miliki keluar di permukaan.

“Aku tak tahu apa yang sedang kamu mainkan, tapi berpura-pura tak terjadi apapun di antara kita juga sangat mengesalkan.” Ryan berdiri di hadapan Lila kali ini.

Lila menaikkan bahunya tak acuh. “Kamu yang memulai hubungan aneh ini, dan aku perlu waktu untuk berpikir. Mungkin menurutmu ini hal yang biasa, tapi untukku ini sangat memuakkan.”

“Oh ya? Jadi aku sedang di salahkan sekarang? Gimana caranya kamu ngelakuin itu padahal udah jelas kalau kamu awal dari semuanya, aku hanya membantumu.” Ada raut jenaka di wajah Ryan yang membuat Lila semakin

kesal.

Sepertinya ia sudah salah memprediksi soal pria ini, ini sangat berbeda dari apa yang di pikirkannya. Lila tak benar-benar ingin berhubungan dengan Ryan, ia hanya akan sedikit bermain dengan pria itu, tapi malah ini yang ia dapat. Mungkin pepatah ‘apa yang kamu tanam, itulah yang kamu tuai’ benar adanya. Nasehat Icha memang yang paling benar, tapi ia tak menanggapinya.

“Apa yang kamu inginkan?” tanya Lila. Ia masih mempertahankan wajah datar yang ia miliki sebisa mungkin.

“Jadi sekarang situasi sudah berbalik, eh? Aku penasaran kemana perginya gadis yang menggodaku selama dua bulan kemari dan sangat manis. Apa kebetulan kamu mengenalnya?” ucap Ryan dengan geli.

Lila tahu, ia tak bisa mengakhiri semua ini seperti yang ia inginkan. “Aku minta maaf atas sikapku selama ini, itu memang kesalahanku. Tolong hentikan semuanya.”

Ryan hanya menatap Lila yang masih memberinya raut wajah datar. Ada sedikit rasa kecewa yang terselip di hatinya, tapi kenapa ia harus kecewa? Karena gadis itu sudah menyerah? Apakah tiba-tiba hati Ryan berubah dengan cepat?

“Aku tak yakin bisa, bukankah ini tak adil untukku? Aku akan membuatnya semakin menarik untukmu, jadi tunggu saja.”

Setelah mengatakan itu, Ryan segera memasuki mobilnya tanpa berkata apapun dan langsung meninggalkan Lila yang masih terduduk di kursi halte itu. Memang takkan mudah, kan? Apa yang di harapkannya lagi? Dunia memang tak pernah berpihak padanya kalaupun gadis itu ingin.

**

“Bu, Lila pulang,” ucap Lila ketika memasuki ruang tamu rumahnya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, waktu yang sangat tepat untuk makan malam.

“Ibu di dapur, La!”

Lila segera berlari menuju dapur dan menemukan Ibunya sedang menata meja makan. Ketika sudah sampai di rumah, Lila sebisa mungkin menyembunyikan seluruh raut sedih di wajahnya. Ibunya sudah memikirkan banyak hal, Lila hanya tak ingin menambah beban pikiran sang Ibu.

“Wah, makan malam.” Lila berseru takjub melihat makanan yang tersaji lengkap di meja makan, ia memeluk Ibunya dari belakang lalu mencium pipinya.

“Kok kamu pulangnya malem banget? Ibu pikir kamu nginep di rumah Icha,” ucap sang Ibu lembut. Ia mengelus lengan anak gadis satu-satunya itu dengan sayang.

“Kelas hari ini padet banget, Bu, belum lagi tugasnya yang banyak banget itu. Ya ampun, Lila pusing banget liatnya.”

Sang Ibu hanya tersenyum melihat omelan Lila. Lara sangat paham sekali bagaimana sikap anak gadisnya ini, itu seperti rutinitas yang tak pernah bosan ia lakukan. Mendengarkan omelan si anak. Beruntunglah Lila tumbuh menjadi gadis yang sangat ceria, Lila itu bisa di bilang sangat kekurangan kasih sayang dari Lara.

Lara bahkan harus menitipkan Lila di penitipan anak ketika ia bekerja. Seluruh harinya hampir ia habiskan di tempatnya bekerja. Tak ada keluarga yang bisa ia mintai tolong, karena keadaannya dulu yang hamil tanpa suami, seluruh keluarganya seolah menutup mata akan kehadiran Lara.

Jadi, Lara berjuang sendiri untuk menghidupi dirinya dan juga sang anak gadis yang sekarang ini sudah tumbuh dengan baik.

“Sekarang kamu ganti baju, baru kita makan,” perintah Lana pada Lila yang masih setia memeluknya itu.

Tak lama kemudian, Lila sudah muncul di ruang makan dengan baju santai. Ia menghampiri Ibunya yang sudah duduk di meja makan menunggu. Mereka makan dengan khidmat dan tenang.

“Bu, Lila boleh nanya gak?” tanya Lila di sela-sela kunyahan nasi di mulutnya.

“Mau nanya apa, sayang?”

“Ibu gak kepikiran untuk nikah lagi?”

Lara terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan anaknya. “Kok tumben kamu nanya kayak gitu?”

Lila menatap Ibunya yang sibuk dengan makanan di piringnya. Sebenarnya Lila bisa menebak jawaban Ibunya. Jawaban bohong yang selalu sang Ibu berikan padanya. Diam-diam ketika Lila terbangun di tengah malam ketika ia masih di sekolah menengah dulu, ia selalu melihat Ibunya menangis sembari memandangi sebuah foto. Foto yang sangat Lila yakini sebagai Ayahnya.

Semakin ia dewasa, semakin ia menyadari seberapa besar rasa sakit yang di tanggung Ibunya, dan pemikiran untuk menjodohkan Ibunya dengan seorang pria selalu hadir di kepalanya.

“Biar Ibu gak kesepian, lagian Ibu masih cantik, Lila yakin banyak pria-pria yang diem-diem naksir Ibu,”  jawab Lila dengan senyum jenaka.

“Ibu udah punya Aisyah sama Wita, kenapa Ibu harus kesepian. Ibu mau fokus ngurus anak gadis Ibu yang mulai cerewet ini.” Lara tersenyum pada sang anak. “Lagian kamu yang harusnya nyari pacar, masa udah semester empat belum dapet-dapet juga.”

Aisyah dan Wita adalah karyawan yang di pekerjakan Lara di toko bunga dan juga toko baju kecil-kecilan miliknya yang berada di lantai satu rumah mereka. Berkat kegigihannya dalam bekerja dan menabung, Lara bisa membuka usaha dari tabungan yang ia miliki selama ini. Walau tak besar, setidaknya itu cukup membantu keuangan mereka, dan semakin kesini kondisinya semakin baik.

Lila mengerucutkan bibirnya. Ia memiliki pacar, tapi bukan jenis pacar yang akan di kenalkan pada Ibunya. Lagipula Lila berniat untuk mengakhiri hubungan anehnya dengan Ryan. Hubungan satu pihak yang di klaim Ryan karena kesalahannya.

“Gak ada yang menarik di kampus, Bu. Lila maunya yang spesial.”

Lara sontak mendadak tertawa mendengar ucapan anaknya. Sebenarnya ia sangat buta terhadap kehidupan pribadi Lila, gadis itu tak pernah menceritakan semuanya secara rinci. Lila juga tak pernah menceritakan masalahnya, ia hanya menceritakan hal-hal ceria atau lelucon yang di lontarkan temannya. Lara sudah lama curiga akan hal itu, tapi ia tak ingin menekan anaknya terlalu jauh.

Ia percaya kalau Lila akan lebih terbuka padanya suatu hari nanti. Untuk sekarang, seperti ini saja sudah cukup. Cukup hanya ada dia dan juga Lila, keluarga kecil mereka.

**

Ryan memarkirkan mobilnya di garasi rumah bertingkat dua itu. Rumah milik Bibinya yang sudah sejak kecil ia tinggali. Ia bersyukur masih ada yang mau mengurusnya ketika kedua orang tua yang harusnya merawat dan

menjaga malah melepaskan tanggung jawab itu. Sampai sekarang ia bahkan tak tahu apa yang membuat kedua orang tuanya seperti itu.

Ryan sudah pernah berpikir untuk keluar dari rumah Bibinya dan menyewa satu apartemen studio hanya untuk dirinya saja, tapi ia tak pernah di izinkan.

“Bibi ini cuma sendirian, masa kamu tega mau tinggalin juga.” Itu yang di ucapkan Bibinya ketika pertama kali mengajukan gagasan yang ia miliki.

Sejak saat itu, Ryan tak pernah membahas masalah itu lagi. Suami sang Bibi sudah meninggal karena kecelakaan, hanya ada Ramona yang sedang berkuliah di Singapor. Ramona adalah anak satu-satunya sang Bibi yang

dua tahun lebih tua di banding Ryan. Ramona dan Ryan sangat dekat, semua rahasia terkelam Ryan ada pada gadis itu.

Ryan adalah sosok pendiam sejak perceraian orang tuanya, dan hingga sekarang ia masih memiliki sifat tersebut di dirinya. Sangat sulit untuk mengubah sifat seseorang yang sudah di bentuk dalam dirinya, apalagi jika di bentuk dalam pengalaman pahit masa lalu yang terkadang suka menimbulkan trauma tersendiri.

“Ryan, kamu udah pulang?” tanya sang Bibi yang sedang menonton televisi. Ia mendengar suara pintu terbuka ketika pria itu masuk.

“Iya, Bi. Tadi ada kelas tambahan, jadi Ryan pulang telat,” ucap Ryan.  Ia segera menghampiri sang Bibi yang sedang menonton tayangan di televisi di hadapannya.

“Kamu udah makan?”

“Udah, Bi. Bibi udah makan?”

Sang Bibi hanya tersenyum dan mengangguk sebagai tanda jawaban. “Oh ya, ada paket yang datang buat kamu tadi siang.” Sang Bibi menyerahkan sebuah kotak berukuran sedang kepada Ryan.

Raut wajah Ryan seketika berubah. Kotak ini selalu datang untuknya dalam berbagai bentuk, terkadang ia menerima baju, sepatu, jam tangan, parfum, dan juga barang-barang lainnya. Ini sudah bulan Mei, bulan kelahirannya, dan lusa adalah ulang tahunnya—enam belas Mei.

Tak ingin membuat khawatir sang Bibi, Ryan tersenyum simpul. “Ryan ke atas dulu, Bibi jangan tidur malam-malam.”

Ryan langsung beranjak menuju lantai dua menuju kamarnya. Ia menatap kotak yang berada di tangannya, ada amplop kecil di atasnya yang ia yakini sebagai surat. Ia membuka kotak tersebut yang ternyata berisi sepatu, lalu menutupnya lagi dan memasukkan kotak tersebut ke dalam lemari yang memang berisi kotak yang sama dalam ukuran berbeda.

Pengirim semua hadiah itu adalah Ibunya yang entah berada di mana, dan selalu di kirim beberapa hari sebelum hari ulang tahunnya. Tapi, semua hadiah itu hanya berakhir di lemari tanpa di buka atau di kenakan oleh Ryan. Suratnya juga tak ada yang di baca olehnya sama sekali.

Anggap saja ia sangat muak dengan semua hadiah itu, itu sudah berlangsung sejak ia lulus SMA. Ia hanya tak habis pikir, kenapa baru memperhatikannya sekarang setelah sekian tahun ia terabaikan. Ia benci tentu saja, dan hadiah itu tak bisa membuatnya mengurangi kebencian yang ada di hatinya.

Hal itu memang salah, tapi ia harus berbuat apa lagi? Ryan takkan bisa jika harus menyambut Ibunya dengan tangan terbuka tanpa memikirkan kesalahan apa yang Ibunya dulu perbuat. Percayalah, itu sangat berat, dan Ryan harus menanggung semua itu selama beberapa tahun. Ryan bahkan sangat membenci nama panjang yang ia miliki karena ada nama Ayahnya di belakang nama Ryan itu sendiri.

Ryan menghempaskan tubuhnya di kasur. Ia sangat lelah dengan kehidupan yang ia miliki, sama sekali tak berarti

untuknya. Ia hanya menjalani saja tanpa ada jiwa di dalam hidup itu sendiri. Tak ada impian yang benar-benar ingin ia raih, tak ada gadis yang benar-benar ingin ia kencani, Lila mungkin pengecualian karena berhasil menarik

perhatiannya walau sedikit.

Itu tak berarti ia menyukai Lila, ia hanya cukup tersanjung dengan sikap yang di miliki gadis itu, apalagi dengan

berbagai gosip yang gadis itu terima. Ryan tahu segala hal tentang Lila, bahkan gosip-gosip murahan itu juga. Ia tak mencari tahu, hanya saja berita itu sudah menyebar begitu saja di segala penjuru, bagaimana mungkin Ryan tak mengetahui?

Bermain-main sedikit tak masalah, kan? Toh gadis itu juga yang memulai segalanya.

**

Sebenarnya tak ada kehidupan kampus yang menjadi impian Lila, ia hanya butuh ketenangan dan menjadi tak terlihat mungkin. Tak terlihat dalam artian tak ada yang mengusiknya, biarkan saja gadis itu sendiri, tak perlu melakukan apapun terhadapnya. Itulah yang di inginkan Lila, tapi entah kenapa keadaan seolah tak mendukungnya.

Pagi tadi ketika ia sampai di kelasnya, hampir semua mahasiswa menatapnya dengan bisik-bisik yang tak mengenakkan. Ia tak melakukan apapun pada hari sebelumnya, ia justru memilih menyendiri agar orang lain tak mengusiknya, tapi sepertinya apapun yang di lakukan Lila selalu menjadi masalah untuk orang lain.

Setelah kelas berakhir, Lila langsung menghampiri Icha di kelasnya. Ia tak menggubris tatapan menghakimi dari siapapun yang ada di kelas Icha. Mungkin lain kali Lila harus ikut casting menjadi artis, karena ia sudah memiliki banyak orang yang membencinya, takkan sulit untuk menjadi terkenal, ia hanya perlu menciptakan skandal.

“Ada apa, Cha?”

Icha hanya mengangkat kedua alisnya bingung dengan pertanyaan tiba-tiba Lila. Lila yang mendatanginya, tapi Lila

pula yang menanyainya. “Dari pagi tadi semua orang ngeliatin aku mulu padahal aku gak ngapa-ngapain,” ucap Lila memperjelas pertanyaannya.

“Kamu gak buka grup chat kelas kamu?” tanya Icha.

“Udah jarang aku buka karena gak ada info penting, emang ada gosip apa lagi?”

“Intinya ada foto kamu sama Joshua di kelas  berdua, dan kamu bisa simpulin apa yang terjadi setelahnya.”

Lila segera mengambil ponsel yang ia letakkan di dalam tas dan membuka ruang obrolan kelasnya. Entah siapa yang mengambil foto mereka, bahkan hampir semua isi obrolan itu adalah menjelek-jelekkan Lila. Hal itu membuat Lila tersenyum miring.

“Mereka bahkan gak tahu apa yang kami omongin tapi mulai mencaci maki aku, aku heran kenapa mereka bisa kuliah di sini,” ucap Lila dengan senyum miring.

“Kamu gak marah sama semua itu?” Icha menatap Lila tak percaya. Harusnya, reaksi pertama yang orang berikan

ketika mendapati di caci maki seperti itu adalah marah, tapi lihatlah reaksi Lila yang tampak santai seperti tak terjadi apapun.

“Memang apa gunanya aku marah? Mereka kayak udah gak peduli aku marah atau gak.” Lila mengedikkan bahunya. Ia sendiri tak mengerti kenapa ia di benci begitu banyaknya di sini.

Lila masih sibuk dengan ponselnya, tak sadar jika Icha sudah menatapnya sedari tadi. Icha adalah sahabatnya yang paling peka dan juga setia, ia tak tahu, tapi ia merasa kalau Lila menyimpan banyak rahasia yang hanya gadis itu tahu. Semua sikap cerianya seperti hanya kamuflase untuk menutupi semua kegundahan dalam dirinya.

“Kantin yuk, Cha, laper banget aku. Abis ini kamu masih ada kelas, kan?”

“La,”

Lila membalikkan tubuhnya menatap Icha yang yang seperti ingin mengucapkan sesuatu. “Kenapa, Cha?”

“Kamu bisa, kok, cerita sama aku kalau kamu udah gak tahan sama kelakukan orang-orang ini. Kamu gak perlu

nyimpen itu sendiri,” ucap Icha dengan khawatir.

Lila tertawa menanggapi Icha dengan raut khawatir itu. “Kamu kayak gak kenal aku aja, Cha. Ryan aja bisa takluk

sama aku, apalagi mereka yang gak ada apa-apanya sama Ryan. Kamu tenang aja.” Lila segera beranjak dari tempatnya setelah mengatakan kalimat itu.

Icha hanya menatap kepergian sahabatnya dengan raut cemas yang tak hilang. Ia tahu seberapa tangguhnya gadis

itu, tapi terkadang ada raut sedih di wajahnya yang secara tak sengaja ia tunjukkan pada Icha. Mungkin tak mudah untuk terbuka, tapi Icha yakin gadis itu akan melakukannya nanti.

**

Episode 3

Ryan terpekur menatap layar laptop di hadapannya, ia harusnya sudah berada di kelasnya, tapi karena tak melihat

informasi di ruang obrolan kelasnya ia tak tahu kalau hari ini kelasnya kosong karena dosen yang mengajar sedang berhalangan hadir. Awalnya ia ingin duduk di taman kampusnya saja, tapi perpustakaan sepertinya lebih bagus, cuaca juga sedang sangat panas.

Perpustakaan sangat sepi siang itu, hampir tak ada mahasiswa di dalamnya malah, kecuali Ryan. Tak masalah karena itu lebih bagus, karena akan menjadi masalah kalau perpustakaan ramai. Karena tak ada tugas yang ingin ia kerjakan, ia hanya memandangi layar laptop itu tanpa minat.

Mungkin membaca buku atau novel akan mengusir bosan, batinnya. Takkan ada yang ia lakukan juga jika pulang ke rumah, Bibinya pasti akan berada kantor dan ia akan sendiri juga, jadi tak ada bedanya. Ia segera melangkah ke rak buku paling belakang untuk mencari bacaan yang menghibur, ia bosan membaca diktat kuliah terus-terusan.

Langkahnya terhenti ketika melihat seseorang yang duduk di lantai dengan earphone terpasang di telinganya dan juga buku di pangkuannya. Ia tak bisa memastikan dengan jelas karena rambut panjang gadis itu yang menutupi wajahnya, sepertinya ia tertidur.

Dengan pelan Ryan menepuk lengan gadis itu—sudah pasti gadis karena rambutnya panjang—siapa yang tahu kalau ternyata gadis itu pingsan. Perlahan kepala gadis itu terangkat, dan keduanya kaget satu sama lain. Gadis itu tidak tidur, ada jejak air mata yang sudah mengering di pipinya.

Ryan menatap gadis di depannya yang ternyata Lila itu, dan ia bisa melihat dengan jelas kalau gadis itu baru saja

menangis, atau gadis itu sudah menangis untuk waktu yang lama. Ia bahkan tak tahu harus mengatakan apa, jika saja bukan Lila maka akan lebih mudah baginya untuk bertanya. Atau akan lebih baik jika Lila saat ini tak dalam keadaan menangis.

“Aku hanya memastikan tak ada yang pingsan di perpustakaan ini,” ucap Ryan dingin.

“Terima kasih sudah mengatakan hal itu,” jawab Lila dengan suara serak.

Lila memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan sebelum bangkit dari duduknya. Setelah makan di kantin

bersama Icha tadi, ia memutuskan untuk berdiam diri di perpustakaan karena kelasnya masih dua jam lagi. Dan ia tak menyadari kalau ia bisa menangis di perpustakaan ini.

“Sepertinya aku mengganggumu, aku akan pergi.” Lila sudah hampir melangkah ketika Ryan mencekal lengannya.

“Jam berapa kelasmu selesai?” tanya Ryan dengan raut datarnya.

“Ada apa?”

“Aku hanya bertanya pada pacarku, mungkin kamu mau pulang bareng.”

“Terima kasih, tapi kalau kamu mengatakan itu untuk mengasihaniku maka lebih baik kamu simpan untuk dirimu

saja.”

Alih-alih marah, Ryan justru tersenyum. Ia sepertinya sudah bisa menduga balasan yang akan di berikan oleh

gadis ini. Lila yang menggodanya kemarin dan selalu menampilkan senyum manisnya seolah menghilang, di gantikan dengan Lila lain yang lebih sarkas dan dingin padanya. Ryan benar-benar tak menduga perubahan semacam ini, atau jangan-jangan Lila sengaja bersikap seperti itu untuk mempermainkan perasaan Ryan?

Ryan menarik cekalan tangan Lila mendekat pada dirinya, hingga Ryan bisa melihat dengan jelas wajah gadis yang

berani-beraninya mempermainkan dirinya sedemikian rupa. Lalu apa Ryan merasa di permainkan oleh Lila? Apa secara tak langsung Ryan sudah mulai menyukai Lila?

“Aku masih penasaran kemana perginya gadis yang menggodaku habis-habisan kemarin, wajahnya sangat mirip

denganmu, hanya saja ia lebih manis.” Ryan berbicara di depan wajah Lila. Ryan sangat menjulang tinggi di hadapan Lila yang tingginya hanya mencapai dada pria itu.

“Bukankah aku sudah minta maaf kemarin?” tanya Lila. Matanya pasti sudah memerah sekarang, antara menahan

amarah dan juga tangis.

Ia takut jika ada orang yang memotret dirinya dalam kondisi seperti ini. Kalimat yang ia baca di ruang obrolan kelasnya sangat menyakiti hatinya. Ia bohong pada Icha dengan mengatakan tak ada yang salah dari semua hal itu. Kali ini jika ada orang tak bertanggung jawab yang memotret dirinya lagi, ia mungkin akan benar-benar hancur, entah kalimat apalagi yang akan ia terima.

Ryan bisa melihat dengan jelas wajah Lila, gadis itu memang sangat cantik ia akui. Bola matanya berwarna hitam

legam, sangat kontras dengan pipinya yang putih. Mata itu terlihat sedikit sedih untuknya, dan ini baru pertama kali ia lihat. Gadis itu selalu memancarkan keceriaan, hari ini sangat berbeda.

“Aku tak tahu apa yang sedang kamu mainkan di sini, tapi aku akan melakukan apapun yang aku suka, cukup adil,

kan?”

Lila menatap wajah dengan senyum ejekan itu dengan datar. Ya, ia akui ini memang salahnya. Kenapa harus

bermain-main dengan pria ini yang ternyata lebih mengerikan dari yang ia tahu? Tak ada jalan kembali, jadi nikmati saja karma dari perbuatannya.

**

Ryan tak mengerti dengan tubuhnya yang tak mendengarkan instruksi dari otaknya untuk segera pulang. Ia justru

bersandar di depan pilar yang berada di dekat kelas Lila. Padahal sudah sangat jelas gadis itu menolak ajakannya tadi, api justru hal itu yang membuatnya penasaran.

Ketika pintu kelas itu terbuka, muncul seorang dosen pria yang seketika membuat Ryan menundukkan kepalanya

sembari mengulas senyum. Lalu di sertai dengan rebut-ribut mahasiswa yang berebut untuk keluar kelas dengan cepat. Mahasiswi yang secara tak sengaja menyadari kehadiran Ryan, memandangi Ryan dengan pandangan heran.

Alasan pertama karena Ryan dari Fakultas Komunikasi, jarak dari fakultasnya dan Fakultas Seni Rupa itu jauh, ia

harus memutar arahnya ke belakang lagi. Alasan kedua tentu saja itu ada hubungannya dengan Lila.

Satu menit berselang, ketika seluruh mahasiswa itu sudah meninggalkan kelas, Lila muncul di depan pintu.

Ryan tersenyum melihat gadis itu, sangat terlihat jelas kalau Lila sama sekali tak akrab dengan teman sekelasnya. Ryan seperti melihat dirinya dalam versi gadis dalam diri Lila.

“Lila,” panggil Ryan.

Lila menoleh dan sangat kaget mendapati Ryan berdiri tak jauh dari kelasnya. “K…kamu ngapain di situ?”

“Kamu lupa obrolan kita di perpustakaan tadi?”

Lila sangat ingat obrolan singkat itu, tapi tak menyangka kalau Ryan benar-benar menunggunya, bahkan di depan

kelasnya. “Kamu sejak kapan di situ?”

Ryan tampak berpikir, ia juga tak terlalu ingat sejak kapan berdiri di sana, yang pasti cukup untuk berpikir

kenapa ia harus melakukan apa yang ia lakukan saat ini. “Yang jelas aku melihat dosenmu keluar tadi.”

Lila semakin menatap Ryan dengan horor, itu artinya teman-temannya melihat keberadaan Ryan di sana, dan itu

sudah cukup untuk menjdai bahan gosip baru mereka. Lila menggelengkan kepalanya dengan miris lalu berbalik berniat untuk meninggalkan Ryan. Pemandangan selanjutnya kembali membuat kepalanya pusing, salah satu sumber masalahnya sedang berdiri menatapnya.

Tanpa perlu berpikir panjang, Lila kembali menatap Ryan. Dari kedua pria yang ada di sana, tak ada satupun dari

mereka yang sangat ingin Lila temui, tapi mungkin Ryan sedikit lebih baik. Ia menatap Ryan dengan tatapan penuh pinta, ia sama sekali tak mengatakan apapun berharap Ryan mengerti keinginannya.

Reaksi yang Ryan berikan justru hanya mengangkat kedua alisnya tak mengerti. Ia tahu pria lain yang berdiri di

depan sana, Joshua, mantan kekasih Lila yang sangat fenomenal itu. Salah satu alasan yang membuat Ryan semakin tertarik pada Lila. Otaknya langsung berpikir dengan cepat dan menemukan satu ide menarik.

Ryan tersenyum dengan idenya itu dan langsung menundukkan wajahnya untuk meraih wajah Lila dalam genggaman tangannya. Lagi-lagi Ryan tersenyum mendapati wajah kaget Lila yang benar-benar kaku. Ia mencium kedua pipi Lila secara bergantian.

“Aku melakukannya dengan baik, kan?” bisik Ryan di hadapan Lila.

Lila benar-benar syok dengan apa yang Ryan perbuat, ciuman itu tak terduga padahal Lila hanya meminta Ryan untuk membantunya, tapi bukan dengan menciumnya.

“Ayo, aku akan mengantarmu pulang.” Ryan merangkul bahu Lila dan membawanya berjalan menjauhi Joshua yang menatap mereka dengan raut wajah yang tak bisa di jelaskan.

Lila juga sama sekali tak menatap ke belakang, ia terlalu syok dan yang ia lakukan hanya mengikuti kemana Ryan

akan membawanya.

**

“Kita mau kemana?” tanya Lila ketika mobil melaju di jalanan yang tak ia kenal.

“Well, lihat saja nanti, kamu yang memintaku untuk menolongmu.”

Ada senyum jahil di wajah Ryan yang tak luput dari penglihatan Lila. Entah apalagi yang bisa di lakukan pria itu

setelah memeluk dan juga menciumnya di depan Joshua. Bisa saja besok gosip baru akan kembali tersebar di kampus. Gosip yang hanya berawal dari foto yang tersebar di ruang obrolan kelasnya, lalu perlahan mulai menyebar ke beberapa mahasiswa dari fakultas lain.

Sepertinya Ryan sama sekali tak mengetahui hal itu, ia terlihat hanya peduli pada keinginannya untuk membalas

dendam pada Lila. Ini karma yang sedang ia jalani, tapi kenapa rasanya menyesakkan? Dan ia tak sekuat itu untuk menahan semuanya, kepura-puraan yang selama ini ia tampilkan bisa saja luntur seiring berjalannya waktu.

“Turunkan aku di sini,” ucap Lila dengan dingin.

Ryan menatap Lila di sampingnya tak percaya, gadis ini benar-benar berkepribadian ganda. Baru beberapa menit yang lalu gadis itu meminta pertolongan Ryan, tapi sekarang langsung berubah menjadi Lila yang tak tersentuh. Dari tempatnya duduk saja ia bisa melihat dengan jelas wajah dingin itu.

“Kita di tengah jalan raya, jangan yang aneh-aneh.”

“Aku hanya ingin di turunkan di sini, itu bukan hal aneh,” ucap Lila yang dengan berani menatap Ryan. “Atau aku

akan lompat dari sini.”

Ketika mendengar kalimat Lila, Ryan segera menepikan mobilnya di tepian jalanan yang tak terlalu ramai. Lila segera membuka pintu mobil itu yang sayangnya masih di kunci oleh Ryan.

“Aku bener-bener gak ngerti sama kamu. Apa kamu selalu seperti ini pada setiap pria? Aku bahkan sangat membenci diri sendiri yang tanpa sadar mulai terpengaruh sama kamu.”

“Aku udah minta maaf sama kamu, dan kamu sama sekali gak di rugikan di sini. Kalau kamu ingin membalas dendam, aku terima, tapi saat ini aku cuma ingin keluar dari mobil ini.”

Ryan menggeleng-gelengkan kepalanya. Jika harus jujur, Ryan sudah mulai terpengaruh oleh Lila sejak gadis

itu selalu memberikan senyum manis miliknya padahal tahu kalau Ryan sama sekali tak menggubrisnya. Ia terkesan dengan kegigihan gadis itu, dan sekarang ia sangat penasaran dengan perubahan sikap gadis ini.

“Kamu melakukannya seolah-olah itu semua sama sekali gak berarti,  aku udah salah menyangka semua sifat kamu kayaknya.”

Setelah kalimat itu di ucapkan, bunyi klik terdengar, dan tanpa mengatakan apapun Lila langsung keluar dari mobil itu. Mobil Ryan pun langsung melesat pergi, mungkin ini bisa di bilang sebagai pengalaman pertama Ryan yang

penasaran terhadap lawan jenis. Naïf memang, tapi itu memang kenyataan.

Ryan sangat kesal, tapi ia tetap tak bisa menampik kalau Lila masih membuatnya penasaran. Apa bertemu mantan

kekasihnya sangat mempengaruhi Lila? Gadis itu terlihat selalu menghindar jika bertemu Joshua dalam berbagai kesempatan, ia sering memperhatikannya secara tak langsung, dan hanya dua kali ia ikut terlibat.

Bahkan setelah ini ia masih tetap penasaran dengan Lila. Jika Ramona tahu hal ini, ia pasti akan sangat kegirangan atau mungkin akan mengadakan pesta dua hari dua malam untuk merayakan Ryan yang akhirnya tertarik pada gadis.

**

Setelah kelasnya barakhir siang itu, Lila segera memasuki toilet. Ia harus berlari menuntaskan hajatnya karena

toilet favoritnya berada di  lantai satu, sedangkan kelasnya ada di lantai dua. Toilet di lantai satu ini sangat jarang

di kunjungi mahasiswi lain karena letaknya yang cukup jauh, dan itu yang di sukai Lila.

“Hai, Lila.”

Lila mendongak dari wastafel tempat ia mencuci tangan setelah menyelesaikan hajatnya, Kikan. Lila menundukkan

kembali wajahnya dan hanya fokus pada air yang mengalir. Kikan adalah orang yang paling ingin ia hindari setelah Joshua, tepatnya pasangan kekasih itu sangat tak ingin ia temui.

“Kayaknya kamu benci banget ya, sama aku. Padahal kalau di inget-inget kita deket banget dulu, sekarang kamu

kayak jijik banget sama aku,” ucap Kikan dengan santai. Ia tak peduli dengan raut wajah Lila yang sudah berubah.

Ya, kalau saja kamu gak ngerebut Joshua dan ngerusak persahabatan kita, batin Lila.

Lila sudah menyelesaikan kegiatan pengalih perhatian yang ia sengaja, ia menatap Kikan yang juga menatapnya dengan sinis. “Ada perlu apa?” tanya Lila datar.

“Aku gak tahu kamu pura-pura atau gimana, tapi kamu bener-bener gak punya malu banget. Setelah pacaran sama Ryan kamu masih juga ketemuan sama Joshua. Apa kamu memang terlahir kayak gitu? Bahkan satu kampus udah ngomongin kamu,” ucap Kikan. Ia menatap Lila dengan wajah remeh.

“Kamu marah karena itu? Baguslah, karena itu yang aku rasain dulu waktu kamu dengan gak tahu malunya ngerebut Joshua gitu aja.” Lila menjawab dengan dingin, wajahnya sangat datar tak seperti yang di harapkan Kikan.

“Kamu harusnya sadar kenapa dulu Joshua milih buat selingkuh di banding bertahan sama perempuan kayak kamu!”

“Dan kamu lebih suka jadi selingkuhan di banding persahabatan kita? Kamu lebih gak punya malu.” Lila berjalan melewati Kikan, dengan sengaja menabrakkan bahu mereka. Ia bisa saja mengamuk di toilet ini, tapi ia masih bisa berpikir dengan jernih dan tak ingin membuat drama lainnya.

“Oh ya, kalaupun kamu cuman jadi selingkuhan, setidaknya jangan bikin Joshua nyesel karena ninggalin aku. Jangan sampe kamu juga di selingkuhin Joshua,” ucap Lila ketika hampir mencapai pintu toilet.

Lila berjalan menuju tempat parkir, Icha sudah menunggunya di sana, mereka akan mengunjungi toko buku dan juga perpustakaan untuk mencari referensi dari tugas masing-masing. Lila sudah menolak ketika Icha meminta tadi, tapi ia juga sedikit trauma ketika mengunjungi perpustakaan kampus. Lila tak ingin bertemu Ryan, secara sengaja

ataupun tidak.

“Sori lama, Cha, tadi ketemu kecoa di toilet,” ucap Lila begitu sampai di hadapan Icha.

“Apa hubungannya?” tanya Icha polos.

“Aku musti ngusir kecoa itu dulu, tadinya mau di bunuh aja, tapi gak tega.” Lila tertawa kecil dengan pikirannya

yang tiba-tiba menyamakan Kikan dengan kecoa. Tak ada hewan yang mampu menggambarkan Kikan secara detail, kecoa cukup mirip, sama-sama harus di hindari karena sangat menjijikkan.

“Aneh, deh, kamu. Yuk, ah, jalan ntar ketinggalan bus.” Icha menggelengkan kepalanya dengan ucapan Lila yang

terdengar sangat aneh di telinganya.

Ketika mereka akan melewati gerbang, mereka melihat Ryan yang sedang memeluk seorang wanita. Mereka

terlihat cukup akrab dan sepertinya seumuran. Icha yang melihat pemandangan itu segera menatap Lila di sampingnya yang tak memberi reaksi apapun. Pada akhirnya Icha dan Lila melewati tempat Ryan dan wanita yang di peluk itu tanpa mengatakan apapun. Lila hanya memasang wajah datarnya bahkan hingga mereka sampai di halte bus.

“Cewek tadi siapa, La?” tanya Icha.

“Pacarnya mungkin.”

Icha diam, ia jadi tak bisa membalas lagi padahal ia sangat penasaran dengan wanita itu. “Bagus deh, jadi

aku bisa lepas dari Ryan. Paling bentar lagi bakal ada gosip kalo aku jadi selingkuhan lagi, kayak dulu.” Lila tertawa. Bukan jenis tawa karena bahagia, tapi miris. Entah kapan ia bisa menemukan ketenangan dalam kehidupan kampusnya ini.

**

Ryan mengendarai mobilnya dalam diam. Perasaannya bercampur aduk karena Lila, ketika melewatinya tadi ia bahkan bisa melihat sorot dingin itu dari mata yang dua bulan lalu selalu tersenyum itu. Sepertinya efek gadis itu sangat kuat hingga Ryan bisa takluk dengan mudahnya seperti ini.

“Siapa cewek-cewek tadi?” tanya wanita yang berada di samping Ryan. Wanita yang tadi di peluk oleh Ryan.

Ramona.

Ramona adalah sepupunya yang sedang menyelesaikan kuliah di Singapor. Usianya terpaut tiga tahun lebih tua, dan sangat mengerti Ryan. Hanya Ramona yang mampu mendekati Ryan ketika lelaki itu menjauhi semua orang.

“Mahasiswa juga, Mon,” jawab Ryan acuh. Tanpa perlu di jelaskan, Ramona sudah pasti akan mengerti, wanita itu

sangat peka.

“Mahasiswa yang spesial kayaknya, kamu ngeliatinnya kayak dia bakal ilang.”

Ryan melirik Ramona yang sudah tersenyum geli, ia tak bisa lolos dengan alasan apapun. Walau jurusan kuliah

Ramona adalah bisnis, ia sangat mampu menerka kepribadian seseorang dalam sekali lihat. Katanya itu adalah bagian dari pengalaman hingga ia bisa sangat akurat dalam menebak.

“Ini pertama kalinya kamu kayak gitu, dan aku percaya sama instingku yang akurat.”

“Nggak…,”

“’Nggak’ berarti ‘ya’.” Ramona tersenyum setelah seenaknya memotong ucapan Ryan. Hal favoritnya adalah membuat Ryan kesal, itu membuat lelaki tampan ini lebih manusiawi.

“Empat tahun di Singapor gak bikin kamu lupa bahasa Indonesia, kan?” Ryan bertanay dengan kesal.

“Itu kosakata terbaru kamu. Kamu selama ini gak pernah bilang gimana perasaan kamu secara jujur. Semua perasaan yang coba kamu sangkal itu sama artinya dengan kamu mengiyakan hal itu.”

Ryan hanya diam, ia sudah tahu kalau akan berakhir seperti itu. Ia juga ak bisa menyangkal karena memang itu

semua adalah kebenaran. Sepupunya itu lebih cocok jadi Psikolog di banding harus meneruskan perusahaan peninggalan mendiang Ayahnya.

“Well…,”

“Aku suka sama dia, caranya ngeliat orang lain itu keren. Apalagi waktu dia ngelewatin kamu tanpa ngomong apapun. Jadi, kamu harus perjuangin dia.” Ramona menepuk bahu Ryan memberinya semangat.

Raut kesal itu sudah tercetak jelas di wajah Ryan. “Aku belum bilang apapun, Mon,” ucapnya dengan helaan napas

pasrahnya.

Walaupun Ramona lebih tua, ia tak mengizinkan Ryan memanggilnya dengan sebutan Kakak. Terdengar sangat tua

padahal wajah Ramona sangat awet muda dan tak terlihat kalau ia sudah berumur dua empat.

“Kamu gak perlu bilang apapun, karena dia gadis pertama yang bikin kamu tertarik, kamu harus perjuangin dia

apapun yang terjadi. Dan aku gak menerima penolakan!”

“Kamu bahkan belum kenal dia.”

“Aku gak peduli, kamu hanya perlu kejar dia.”

Ryan menggelengkan kepalanya, ini adalah reaksi yang sudah ia duga. Lagipula Ryan sama sekali tak bisa mencegah kalau Ramona akan bertemu dengan Lila secepat itu. Saat ini pikirannya kembali melayang pada Lila. Apa benar rasa penasarannya setara dengan rasa tertarik yang ia miliki?

**

Icha dan juga Lila sudah berada di perpustakaan kota sejak tadi, dan masing-masing mereka sedang mengerjakan

tugasnya dalam damai. Lila yang selalu berisik pun mendadak damai ketika berhadapan dengan tugas yang ia miliki.

Hanya Icha yang tak tenang, entah kenapa ia masih memikirkan Ryan dan seorang wanita yang mereka temui secara tak sengaja. Semenjak pertanyaan Icha di halte tadi sampai mereka berkeliling di toko buku lalu berakhir di perpustakaan seperti sekarang, Lila hanya diam dan terlihat sangat fokus pada tugas miliknya.

Dalam sejarah persahabatan mereka, Lila tak pernah seserius itu mengerjakan sesuatu. Lila cukup pintar, hanya saja ia terlalu alergi untuk mengerjakan tugas.

“Aku lebih milih dapet kuis dadakan di banding ngerjain tugas sebanyak ini,” ucap Lila kala itu.

“Bilang aja kamu males, La, alesan aja kerjaannya.”

Lila hanya tersenyum manis mendapat bantahan dari Icha seperti itu. Kalau di ingat lagi, itu adalah terakhir

kalinya Icha melihat Lila tertawa dengan tulus, tanpa beban. Saat ini, walaupun Icha melihat Lila yang tersenyum bahkan bercanda dengannya, rasanya sangat berbeda dengan masa lalu.

“La, aku masih penasaran sama cewek yang bareng Ryan tadi,” ucap Icha pada akhirnya. Ia tak bisa menyimpannya lagi.

“Tumben banget kamu sepenasaran ini, biasa juga gak peduli.” Lila masih terpaku pada laptop dan juga buku-buku

di sampingnya, sama sekali tak menoleh pada Icha.

“Aku cuman gak mau kamu di sakitin lagi, La, kalo ternyata itu pacarnya Ryan gimana, dong?”

“Ya bagus, dong. Aku lebih suka kayak gitu.”

“Ada yang kamu sembunyiin, kan?” tanya Icha penuh selidik.

Lila kali ini menoleh pada Icha. Icha ini juga sangat cocok jika mengambil jurusan Psikolog alih-alih ekonomi,

karena Lila selalu menjadi korban ketajaman perasaan Icha. “Sebenernya aku ngeri tahu gak, sih, kalo lagi bareng kamu. Semua rahasia aku bisa kamu lihat secara langsung tanpa perlu aku kasih tahu.”

“Beruntung banget pokoknya kamu punya temen kayak aku, harusnya aku pasang tarif buat pertemanan kita,” ucap

Icha bangga.

Lila tertawa tanpa suara, mereka akan di marahi oleh penjaga perpustakaan jika berisik di sana. “Aku bakal

cerita sama kamu kalo ada sesuatu, Cha. Aku juga gak peduli sama Ryan itu, bener yang kamu bilang soal dia cuman mainin aku aja, dan aku nyesel gak dengerin omongan kamu dari awal.”

“Bener kayak gitu?”

Lila mengangguk dengan yakin, ia tahu Icha tak semudah itu untuk percaya. Mungkin juga Icha sudah tahu tentang

semua hal yang Lila sembunyikan, ia hanya tak ingin terlalu membebani sahabatnya itu. Dari pengalaman selama empat semester mereka bersama, Lila takkan berbicara ketika di paksa, ia akan berbicara ketika ia memang ingin

membicarakannya. Lila memang tak mudah membagi perasaannya, ia tak ingin orang lain terbebani dengan semua kisah hidupnya.

“Kamu tahu, kan, kalo kamu bisa nyeritain segalanya sama aku?”

“Aku tahu, Cha, kamu sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Semuanya baik-baik aja kok.”

Bohong. Ini sudah kesekian kalinya Lila mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja padahal ia sedang tak baik-baik saja. Ia tersakiti dengan semua ulah Kikan dan juga ruang obrolan kelasnya, bahkan dengan teman sekelasnya, sekarang sudah bertambah dengan Ryan dan mungkin Joshua. Lila juga tersakiti jika mengingat Ayahnya, semua hal yang bisa ia ingat hanya tentang rasa sakit.

Ketika ia berada di kamarnya seorang diri, ia akan menangis tanpa suara. Ia tak ingin menjadi beban untuk

orang lain, ia akan menanggung semuanya sendiri, tapi kenapa rasa sakitnya semakin bertambah parah?

**

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!