"Bawa semua berkas ini keluar dari ruanganku, segeraaa!!!!".
Suara lantang Askara membuat asisten itu gemetar. Dimana ia harus membawa pulang kembali berkas yang sudah lelah ia siapkan untuk dapat bekerjasama dengan seorang pemimpin yang mendapat julukan macan asia. Penolakan itu didasari karena Askara tidak ingin bergabung dengan perusahaan milik sang bibi karena wanita itu terkenal sangat licik.
"Apa kau ingin menghancurkan perusahaanku Laras, tidak semudah itu".
Kedua tangan Askara yang berada di atas meja pun mengepal erat layaknya seorang macan yang bersiap untuk menyambut musuhnya. Askara sangat paham dengan watak sang bibi, mungkin setelah ini wanita itu akan meminta bantuan kepada kakek Arbani.
Benar saja saat mendapat penolakan dari keponakannya membuat hati Laras meradang, dirinya sangat geram pada perbuatan Askara karena tidak mau membantunya. Laras pun mencari cara bagaimana bisa meluluhkan hati lelaki tampan yang arogan itu.
Larasati pun mendatangi kediaman kakek Arbani dan menceritakan semua yang terjadi padanya, bahkan ia juga melebih lebihkan fakta untuk memojokan sang ponakan.
"Larasati, mungkin Askara melakukan hal itu didasari alasan yang kuat".
"Alasan apa ayah? Kita ini adalah keluarga, tapi begitu tega Askara menolakku seperti itu. Dan aku yakin dia tidak ingin melihat perusahaanku jaya, justru ia lebih senang jika perusahaanku bangkrut".
"Larasati, Askara tidak mungkin sejahat itu".
"Percuma, ayah selalu membela dia".
Perdebatan itu pun tak berlangsung lama karena emosi sudah menguasai hati Larasati, membuatnya tidak menerima nasehat dari sang ayah dan memilih pergi meninggalkan rumah mewah yang dulu pernah ia tempati itu. Sedangkan Kakek Arbani mulai menghubungi sang cucu untuk bertanya tentang alasan Askara menolak kerja sama dengan bibinya.
"Hallo, ada apa kakek menghubungiku?".
"Askara, apa benar kamu telah menolak untuk bekerja sama dengan bibimu?".
"Sudah kuduga dia pasti mengadu?".
"Jadi benar, ada apa Askara. Mengapa kalian selalu bertengkar".
"Kakek tidak perlu khawatir, Askara melakukan itu semua karna ingin bibi berdiri tegak di atas kerja kerasnya sendiri bukan bantuan dari pihak lain, dengan itu jerih payahnya selama ini akan membuatnya bangga dimasa yang akan datang".
Mendengar penjelasan dari sang cucu membuat kakek Arbani merasa tenang, dan ia berpikir mengapa Larasati tidak bisa berpikir jernih seperti Askara. Kakek Arbani terus membedakan antara kedua keturunannya itu.
Sedangkan di sisi lain Askara Raditya Cetta tersenyum puas karena tebakannya benar, Larasati akan mengadu pada sang kakek. Dari dulu ia tidak pernah mempercayai sang bibi karena dianggap wanita itu terlalu murah berbicara atau seperti memprovokatori jika terjadi suatu masalah.
Setelah selesai bekerja, Askara pun pulang kerumah mewah sang kakek dan merebahkan tubuhnya diatas kasur miliknya. Kemewahan benar benar terpancar jelas dari sudut rumah. Dimana setiap sisi ruang memiliki lampu kristal yang berkilau.
Askara melihat lampu itu memancarkan sinar begitu indah, tak terasa mata pun ikut terpejam hingga ia tertidur pulas.
***
Pagi itu, cahaya surya sudah memancarkan sinarnya dan mata yang tadinya terpejam kini perlahan berkedip karena silaunya.
Tok..tok..tok.
Suara ketukan pintu terus bergema di telinga Askara hingga membuatnya menjadi emosi, Lelaki tampan itu membentak sang asisten rumah tangga dengan nada tinggi dan kasar.
"Berhenti mengetuk atau kau ku pecat".
Mendengar ancaman itu membuat sang asisten spontan memberhentikan ketukannya dan perlahan memberitahu jika kakek sudah menunggunya untuk sarapan.
Tik..tik..tik..
Langkah kaki Askara terdengar jelas saat ia menuruni tangga, kakek Arbani pun menyambutnya dengan tersenyum simpul di wajahnya.
"Apa tidurmu nyenyak wahai cucuku".
"Tidak, asisten mu mengganggu tidurku".
"Askara, kapan kau akan berubah".
Mendengar teguran kecil dari sang kakek membuatnya diam tak bersuara, Askara melanjutkan makan tanpa berkata apapun hingga sang kakek beranjak dari kursi untuk kembali beristirahat sedangkan Askara mulai melangkahkan kaki untuk pergi ke kantor.
Maski perusahaan kosmetik terbesar di kota kediri itu masih atas nama Kakek Arbani namun, Askara yang sekarang menjadi ceo dan akan menjadi pemiliknya diwaktu yang sudah ditentukan.
Sesampainya di kantor Askara disambut oleh beberapa staff kantor untuk memberi hormat pada sang ceo hingga memberikan ucapan selamat pagi kepada boss besarnya itu. Askara yang terkenal arogan dan sombong enggan untuk membalas ucapan karyawannya, justru ia berjalan lurus tanpa menghiraukan mereka.
"Ganteng sih, tapi sombongnya".
"Shust.. kamu mau dipecat".
Staf itu menggelengkan kepala saat ditegur salah satu temannya karena mengatai ceo muda berusia 27 tahun itu. Dan mereka semua kembali bekerja seperti biasanya.
Dirumah, kakek Arbani mendadak rindu kepada istri dan anak sulungnya, ia meminta pengawal untuk mengantar dirinya berziarah ke makam kedua nya hingga lima belas menit mereka telah sampai di pemakaman khusus keluarga bangsawan.
Di Depan batu nisan kedua orang yang sangat kakek Arbani sayangi itu, ia menangis. Hati pilu bercampur sedih ketika mengingat kenangan bersama kedua nya namun kini mereka berada di alam yang berbeda. Istri tercinta pergi meninggalkannya saat ia sedang berada di luar negri hingga anak sulungnya atau papa Askara Meninggal dalam tragedi kecelakan masal.
"Iriyana, aku sangat merindukanmu. Lihatlah aku mulai rapuh tanpamu. Mahesa anakku, apa kau tau Askara sekarang sudah besar dan sangat pemberani. Kau pasti bangga padanya".
Beberapa kali butiran putih itu membasahi pipi keriput kakek Arbani hingga ia mendengar seorang gadis juga menangis di sebarang.
"Hu..hu..u..u ayah. Ibu. Aku rindu hu..hu..hu".
Isak tangis gadis itu membuat kakak Arbani mengalihkan pandangan ke arahnya, hingga berjalan dan menghampirinya sembari bertanya dengan lembut padanya.
"Wahai gadis manis, mengapa kau menangis? Apa kau juga kehilangan orang yang amat kamu sayangi".
Gadis itu pun terkejut dengan kedatangan kakak Arbani, dengan menundukan kepala ia menjawab jika dirinya merindukan kedua orang tuanya.
"Kedua orang tuamu pasti bangga memiliki anak gadis secantik kamu".
"Terimakasih kek, semoga orang tuaku mendengar pujian dari kakek".
Kakek Arbani pun tersenyum mendengarnya hingga ia tersipu dengan kecantikan gadis polos yang menyita perhatiannya itu.
"Siapa namamu nak?".
"Bella".
"Nama yang cantik seperti orangnya, kau bisa memanggilku kakek Arbani".
Sejak saat itu kakek Arbani mengenal Bella bahkan, ia juga mengantarkan gadis polos itu pulang. Kakek Arbani bertanya dengan siapa dia tinggal dan ternyata setelah kepergian ayah ibunya, Bella diasuh oleh keluarga pamannya.
"Terimakasih kek, sudah mengantar Bella".
"Sama sama nak, kakek pergi dulu. Salam untuk pamanmu".
Setelah mobil kakek Arbani meninggalkan Bella, kini gadis itu mulai melangkah memasuki rumah. Alangkah terkejutnya ia ketika sang bibi menyiramkan seember air ke arahnya.
Byuuur Rrrrrrrrr
"Dari mana saja kamu. Jam segini baru pulang?".
"Tadi aku ke makam ayah dan ibu".
"Jangan bohong kamu. Aku melihat seseorang mengantarmu pulang, siapa dia? Apa dia pacarmu".
"Tidak bi bukan. Tadi aku diberi tumpangan".
"Jangan bohong kamu".
Sorot mata bibi Tamara pun memerah, ia menjambak rambut panjang Bella sembari menyeretnya ke dalam kamar mandi. Tamara juga menyiram Bella tanpa henti. Meskipun sang ponakan sudah berteriak meminta ampun.
"Kau keluar rumah sudah hampir 2 jam dan pekerjaanmu belum selesai. Apa kau disini tidak punya malu? Apa ini rumahmu?".
"Maaf bi, ampun. Tolong ampuni Bella,bi".
Suara rintihan Bella yang merasa kesakitan karena jambakan sang bibi pun menggema di telinga. Namun, dengan kejam Tamara menghiraukan rintihan Bella dan terus menyiksa sang ponakan.
*
*
*
*BERSAMBUNG...
"Bella.. bella.. bella. Hentikan tamara kasian bella. Apa kau ingin membunuhnya?".
"Ponakan kesayanganmu ini sudah melakukan kesalahan, aku harus menghukumnya".
"Tapi jangan seperti ini tamara, kasian bella. Dia pasti punya alasan".
Bibi tamara pun tersenyum getir menanggapi ucapan suaminya, kini ia memandang sinis ke arah bella dan menatap tajam sembari berlalu pergi.
Paman arya pun memeluk bella dan membawanya ke tempat yang lebih aman hingga memberikannya handuk untuk menghangatkan tubuh sang ponakan.
"Apa yang sebenarnya terjadi bella, mengapa bibimu sampai semarah itu?".
"Aku hanya rindu kepada ayah dan ibu, itu sebabnya aku berziarah ke makam mereka. Bibi marah karna aku pulang terlambat paman, maafkan aku".
Bella pun kembali ke kamar untuk mengganti pakaian sedangkan paman arya dan bibi tamara sedang bertengkar hebat di ruang tengah karna bella. Paman arya menganggap jika istrinya itu sudah sangat keterlaluan dan tidak seharusnya ia menghukum bella seperti itu, namun bibi tamara justru tersulut emosi mendengar ucapan sang suami.
"dia pulang terlambat dan pekerjaannya belum selesai bagaimana aku tidak marah. Lagi pula hukuman yang kuberikan itu setimpal dengan apa yang telah dia lakukan".
"Tamara, bella dari kecil sudah ditinggal kedua orang tuanya. Apa kau tidak sedikit merasa iba padanya".
"Untuk apa? Kita selama ini yang telah membesarkannya dan seharusnya dia memiliki rasa malu tinggal disini secara gratis".
"Selama ini dia sudah membantumu melakukan pekerjaan rumah hingga ia tidak bisa pergi sekolah layaknya anak anak pada umumnya, masihkah itu belum cukup bagimu?".
Mendengar suaminya terus membela sang ponakan membuatnya membanting vas ke lantai hingga suara pecahan itu mengngagetkan viona yang baru saja pulang bekerja.
"Ada apa ini? mengapa ibu menghancurkan vas bunga itu".
"Tanyakan itu pada ayahmu yang selalu membela keponakan kesayangannya itu".
"Ada apa ayah? Apa yang bella lakukan hingga ibu marah".
"Sudahlah viona kamu pasti capek, istirahatlah nak".
"Begitu istimewanya bella dimata ayah, hingga membuat ayah sangat menyayanginya daripada aku, anak kandung ayah sendiri".
Paman arya pun tidak membalas ucapan sang anak, ia memilih meninggalkannya dan pergi keluar rumah untuk menetralkan suasana hati. Sedangkan viona merasa sangat kesal pada bella hingga ia berjalan menuju kamar bella yang berada di sisi paling ujung rumah.
"Bella.. bella.. bella. Dimana kau?".
Brakk..
Viona menendang pintu kamar bella dengan kasar hingga mengatai gadis polos itu dengan berbagai kata kasar dan memakinya tanpa henti.
"Lihatlah bella, karna kau ibu dan ayah ku bertengkar. Sebenarnya apa maumu ha?".
"Kau hanya membawa musibah dalam keluarga kami".
"Semenjak kehadiranmu di rumah ini, keluargaku jadi berantakan".
Bella hanya bisa terdiam tanpa membalas ucapan sang sepupu karna merasa jika ini memang kesalahannya, meskipun pernyataan itu sangat menyakiti hatinya namun bella memilih bungkam sembari meneteskan air mata hingga viona jengkel dan meninggalkan kamar bella.
Malam ini hati bella sangatlah hancur, tiada satu orang yang bisa ia jadikan teman untuk mencurahkan isi hatinya dan mendengarkan keluh kesahnya. Bella berdiri di belakang jendela sembari memandang langit yang penuh bintang dan berdoa meminta agar penderitaannya segera usai.
Tanpa sadar salah satu bintang jatuh tepat setelah bella mengucapkan permohonan yang membuat hati gadis polos itu berbinar.
"Semoga apa yang aku ucapkan menjadi kenyataan".
Sedangkan di kediaman kakek arbani, larasati bertamu tanpa permisi. Dirinya mulai menyuruh beberapa pelayan membuatkan makanan layaknya sang tuan rumah. Melihat tingkah sang bibi begitu mengesalkan membuat askara angkat bicara.
"Untuk apa kau datang kemari?".
"Bukan urusanmu, lagi pula ini juga rumahku".
"Sejak kapan ini menjadi rumahmu? Setelah kau angkat kaki dari sini tidak ku izinkan lagi kau kembali kerumah ini".
"Askara kau jangan keterlaluan".
"Sudah hentikan".
Suara kakek arbani pun menghentikan pertengkaran kedua nya, hingga menyuruh askara meninggalkan mereka berdua dan larasati mulai menyampaikan maksud kedatangannya.
"Ayah, bisakah kau menyuntikan dana ke perusahaanku. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih, hutang perusahaan membuat kepalaku ingin pecah. Aku membutuhkan bantuanmu".
"Bisa saja ayah memberimu uang, tapi anggaplah ini seperti pinjaman dan kau harus mengembalikannya".
"Ayah, aku ini anakmu. Mengapa kau sekejam ini padaku".
"Laras, ku kira kau sudah dewasa tapi ternyata kau harus banyak belajar dari askara".
"Jangan bandingkan aku dengan askara".
"Jika kau tidak ingin aku bandingkan maka jualah rumahmu dan bayar hutangmu".
"Apa? Lalu aku dan suamiku harus tinggal dimana ayah".
"Kau bisa kembali kerumah ini".
Ucapan singkat dari sang ayah itu membuat larasati terdiam, diri kembali kerumah dengan perasaan sendu dan saat tiba dirumah suaminya sudah menyambutnya dengan gembira.
"Bagaimana sayang, apa ayahmu memberimu uang?".
"Uang..uang..uang dan uang saja dipikiranmu. Kau tau bagaimana harga diriku jatuh karena harus mengemis di hadapan ayah?".
"Mengapa kau menyalahkanku, ini semua demi perusahaan".
"Jika saja kau tidak memakai uang perusahaan, aku tidak akan menjual harga diriku".
Bagas tetap mengelak jika ini bukan salahnya namun kenyataan tidak bisa ditutupi, bagas telah menguras habis aset perusahaan untuk kebiasaan berjudinya hingga ia dijebak dan kalah. Beratus ratus juta bahkan milyaran hutang yang harus keduanya bayar membuat pertiangkaian itu semakin memanas.
"Lalu bagaimana sekarang?".
"Jalan satu satunya adalah kita harus menjual rumah ini dan kembali ke rumah ayah".
"Apa? Kembali kerumah itu. Aku tidak sudi satu rumah dengan askara".
"Aku juga tidak mau mas, tapi ini adalah solusi terbaik daripada kita harus berhutang pada ayah dan hidup seperti gelandangan".
Kesunyian yang terjadi setelah laras mengatakan semua obrolannya dengan sang ayah. Hati larasati pun merasa lelah jika harus berdebat lagi dengan suaminya dan ia lebih memilih pergi menuju kamar untuk merebahkan tubuhnya. Bagas sang suami pun juga merasa kesal mengapa mertuanya itu sangat pelit kepada anaknya sendiri dan lebih menyuruhnya untuk menjual rumahnya.
Bagas pergi dari rumah untuk menetralkan pikirannya namun justru ia menuju bar untuk mendinginkan isi kepala.
Kebiasaan judi bagas membuat larasati harus membayar hutang yang suaminya tanggung ditambah sang suami menguras habis aset yang dimiliki perusahaannya. Perusahaan Askara pun tidak menyetujui untuk bekerja sama dengan perusahaannya membuat laras sangat kebingungan dengan masalah keuangan saat ini.
Sedangkan di kamar terlihat askara tertawa kecil melihat bibinya pergi dengan perasaan sendu dan mulai menebak apa yang akan dilakukan wanita itu jika semua orang tidak mau membantunya.
*
*
*
*BERSAMBUNG.
HAY GAES GIMANA NIH PERASAAN KALIAN SETELAH MEMBACA EPISODE 2 ?? TERUS DUKUNG NOVEL SANG PEWARIS YA DENGAN CARA VOTE, KOMEN DAN LIKE. TERIMAKASIH. SALAM SAYANG DARI AUTHOR ♥️
Pagi itu Bella melakukan aktifitas seperti biasa, diawali dengan membersihkan rumah hingga mencuci baju membuat gadis polos itu seperti layaknya asisten rumah tangga.
"Bella.. Bellaa".
Teriakan Viona membuat Bella terkejut dan bergegas menuju sumber suara, terlihat sepupunya itu sedang duduk di meja makan menunggu sarapan.
"Ada apa kamu memanggilku Viona".
"Buatkan aku sarapan".
Bella pun menganggukan kepala dan mulai mengambil roti beserta selai untuk membuatkan sepupunya sarapan namun Viona justru marah karena merasa bosan.
"Buatkan aku yang lain, aku tidak mau sarapan roti".
"Tapi semua persediaan makanan di dapur sedang kosong, bibi belum memberiku uang untuk belanja".
"Seharusnya kamu yang berinisiatif untuk membeli, jangan bisanya cuma numpang".
Bella terdiam mendengar ucapan sang sepupu, pertengkaran di ruang makan itu membangunkan bibi Tamara yang sedang terlelap.
"Ada apa Viona? Mengapa kau marah marah".
"Aku bosan hanya sarapan roti, aku ingin makan daging".
"Jika kau ingin makan daging maka beri Bella uang untuk membelinya, ibu sedang tidak ada uang".
"Kenapa harus uangku?".
"Kau inikan bekerja pasti dapat gaji kan?".
"Iya tapi masalahnya bulan ini gaji ku belum turun, tau gak bu kenapa?".
"Memangnya kenapa?".
"Perusahaan tempatku bekerja akan segera bangkrut, karena terbelit hutang yang sangat besar bahkan sampai milyaran".
"Bos mu itukan kaya raya, bahkan dia anak dari pengusaha terkenal. Mengapa bisa bangkrut?".
"Entah lah bu, yang ku dengar perusahaan ayahnya menolak bekerja sama dengan perusahan kami".
Mereka sedang asyik bercengkrama tiba tiba Bella datang membawa tiga potong roti. Viona Mengambil dua potong roti untuk dibawanya ke kantor sedangkan satu yang tersisa dibawa bibi Tamara sembari bersantai di teras rumah. Bella hanya bisa terdiam ketika tidak mendapat jatah sarapan pagi.
Setelah viona pergi ke kantor bibi Tamara memanggil Bella untuk menyuruhnya membeli keperluan dapur ke pasar.
"Beli keperluan dapur sebelum paman mu kembali, dan beli juga daging untuk Viona. kasian anakku jika terus makan roti".
"Tapi bi, uang 100 ribu mana cukup untuk beli daging dan keperluan lainnya".
"Bibi gak mau tau, bagaimana kamu mengatasinya yang pasti kau harus bisa mendapatkan semua yang dibutuhkan".
Bella pun berjalan menunduk menyusuri jalan, hatinya bingung harus bagaimana namun saat dirinya tengah menyebrang ia hampir tertabrak sebuah mobil.
"Aaaaa..aaaa.aa".
Teriakan wanita cantik itu mengejutkan sang sopir hingga berhenti secara mendadak.
"Astaga".
"Maaf tuan, ada seseorang yang menyeberang".
"Coba kau lihat jamal, barangkali dia terluka".
Sopir itu menganggukan kepala dan segera menjalankan perintah dari sang majikan. Ternyata mobil yang melintas kencang hingga hampir menabrak Bella itu adalah mobil kakek Arbani.
sontak saja mengenali sosok gadis yang pernah ia temui di pemakaman tempo hari membuat lelaki tua itu turun mobil untuk memastikan sendiri jika Bella baik baik saja.
"Bella?".
"Kakek Arbani".
"Apa kau baik baik saja nak, maaf sopir kakek mungkin tidak melihatmu menyebrang".
"Tidak kek, aku yang salah. Bella yang tidak melihat jalan".
Melihat kerendahan hati wanita cantik itu membuat kakak Arbani merasa haru, ia pun menanyakan kemana Bella akan pergi.
"ke pasar kek, Bella ingin membeli beberapa kebutuhan dapur".
"Masuklah. kakek akan mengantarmu".
"Tidak perlu kek, Bella bisa jalan kaki".
Kakek Arbani pun meminta agar Bella tidak menolak ajakannya hingga gadis polos itu mengiyakan permintaannya. Disepanjang jalan wanita cantik itu hanya menunduk meratapi kertas berisi daftar sayur apa saja yang harus dibeli.
"Bella apa kau baik baik saja?".
Tanpa mengucapkan sepatah kata Bella hanya mengangguk namun lelaki tua itu menyadari jika ada hal yang membebani pikirannya.
"Katakan pada kakek apa yang sedang kau pikirkan nak, tidak baik menyimpan masalah sendiri. Siapa tau kakek bisa membantumu".
Mendengar ucapan kakek Arbani, Bella pun menjelaskan jika ia harus membeli berbagai sayur dan daging dengan uang seadanya hingga membuat hati lelaki tua itu terkejut dan merasa iba.
tiba dipasar kakek Arbani memberi 10 lembar uang 100 ribu yang membuat Bella terkejut. Seumur hidup belum pernah ia menerima uang sebanyak itu hingga Bella tampak bingung harus menolak atau menerima.
"Belilah kebutuhan keluargamu serta keperluanmu".
Tidak punya pilihan lain Bella pun menerima uang itu tetapi hanya mengambil secukupnya, yaitu 2 lebar uang saja dan meninggalkan sisanya.
"Terimakasih kek, ini sudah lebih dari cukup".
"Ambilah sisanya untuk kau simpan Bella, siapa tau suatu saat kamu membutuhkannya".
Kakek Arbani pun tersenyum dan wanita cantik itu menerimanya dengan rasa bahagia. Tak henti henti Bella ucapkan kata terima kasih pada lelaki tua itu hingga melambaikan tangan saat mobil kakek Arbani melaju.
Bella pun bergegas membeli semua keperluan rumah dengan riang gembira hingga ia membeli sarapan untuk dirinya. Tak lupa Bella membeli sebuah buku untuk menambah wawasan. Selama ini dirinya hanya bisa meminjam buku di perpustakaan kota tapi sekarang salah satu buku itu dapat ia miliki.
Meskipun ia tidak melanjutkan sekolah tetapi pengetahuannya tidak kalah dengan sepupunya itu, justru IQ Bella lebih tinggi dibandingkan Viona sebab ia sungguh sungguh belajar meskipun hanya membaca buku di perpustakaan kota.
Siang itu Bella pulang dengan rasa penuh kegembiraan dan sesampainya dirumah bibi Tamara merasa terkejut melihat barang belanjaan sang keponakan yang sangat banyak.
"Uang dari mana kamu bisa belanja sebanyak ini?".
"Bukannya bibi yang memberiku uang tadi".
Bibi Tamara pun merasa bingung karena tidak mungkin Bella bisa membeli banyak barang seperti ini dengan uang seadanya, namun ternyata wanita cantik itu mampu membelinya.
Sedangkan kakek Arbani merasa kasihan dengan nasib Bella dan menyuruh salah satu pengawalnya untuk menyelidiki seperti apa keluarga Bella.
Di Kantor saat Askara tengah bersantai sambil menikmati secangkir kopi tiba tiba Bayu yang dipercaya untuk menjadi asisten pribadinya itu memberitahukan jika nyonya Larasati sudah membayar sebagian utang kepada beberapa rekan kerja nya.
"Dari mana dia mendapatkan uang. Apa kakek yang memberinya?".
"Tidak tuan. Nyonya Laras telah menjual rumahnya".
Askara pun terkejut dengan ucapan Bayu hingga tiba tiba suara ponsel membuyarkan lamunannya. tertera nama kakek Arbani di layar ponsel hingga Askara bergegas untuk mengangkatnya.
"Kosongkan jadwal mu sore ini, kita harus makan malam bersama".
Pesan singkat telah dilontarkan sang kakek hingga membuat Askara terpaksa menyetujuinya tanpa bisa membantah. Sesampainya dirumah ia melihat bibi Larasati dan paman Bagas sudah berada di meja makan, tak lupa kakek Arbani pun juga sudah berada disana.
"Askara duduklah".
Lelaki tampan itu menggeser kursi di dekat kakek dan mulai bergabung dengan ketiga nya.
"Kakek menyuruhku pulang lebih awal apa karna kita kedatangan seorang tamu?".
"Askara bisakah kau sedikit menghormatiku sebagai bibimu".
"Ow..tidak perlu khawatir. Aku tipikal orang yang selalu menjunjung tinggi sikap profesional. Ada perlu apa kau kemari".
"Baguslah, itu memang perlu dilakukan oleh seorang pebisnis yang hebat. Aku akan tinggal disini".
"Sudah sudah apakah kalian akan terus bertengkar? Askara mulai malam ini bibi dan paman mu akan tinggal disini seperti sebelumnya".
"Aku sudah tau. Bibi pasti akan kembali kerumah setelah berhasil menjual rumah itu, namun rumah ini memiliki aturan. Semua di bawah komando ku. Dan satu hal lagi, aku tidak mengizinkan siapapun yang tinggal di sini keluar malam. Apa kau mengerti paman?".
"Apa maksud kamu Askara? Apa selama ini bagas selalu keluar malam".
"Tidak ayah mertua, saya tidak pernah keluar malam. Mungkin yang dimaksudkan Askara adalah pulang larut malam karena lembur kerja".
Mendengar pernyataan sang paman membuat Askara tersenyum sinis, ia melihat jika pamannya itu merasa panik karena ucapannya dan hal itulah yang membuat Askara merasa bahagia. Dari dulu ia tidak pernah menyukai paman Bagas, karena Askara sudah mengetahui sikap asli dari lelaki bejat itu. Suka bermain judi, mabuk mabukan hingga memiliki banyak wanita diluar sana namun anehnya hanya karna sebuah rasa cinta sang bibi menutupinya dari kakek Arbani.
*
*
*
*BERSAMBUNG..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!