NovelToon NovelToon

Benang Merah Kehidupan Sindi

Melamar

Di bulan Desember ini, tepatnya di usianya yang genap 22 tahun, Sindi Permata anak dari seorang konglomerat tengah merayakan ulang tahunnya di sebuah hotel berbintang lima. Mata Sindi tak berkedip sedikitpun saat melihat ke arah David Setiawan, seorang CEO di perusahaan Hero Supermarket. Pria berusia 28 itu memiliki badan atletis dan wajah yang bersih membuat aura ketampanannya tak bisa hilang ditelan waktu.

“Mas David sangat ganteng malam ini, tak rugi aku mengundang nya di acara ulang tahunku.” Gumam Sindi yang terdengar oleh Lina sepupu sekaligus sahabatnya.

“Kamu yakin mau nembak dia malam ini?” Lina juga memperhatikan pria berhidung mancung di seberang sana yang tengah ngobrol.

Sindi mengangguk yakin tanpa berucap lagi.

Setelah acara inti selesai, Sindi naik ke atas podium dan memegang mic.

“Selamat malam semua yang hadir di sini, di acara ulang tahunku. Terima kasih sebelumnya atas kehadiran kalian semua. Malam ini adalah malam yang sangat indah bagiku. Terlebih dengan hadirnya seseorang di sini,” Sindi hendak menunjuk pada David, tapi pria berkemeja hitam itu telah hilang dalam pandangan beberapa detik yang lalu. Sindi menoleh ke sana ke mari tapi tak juga menemukan dia.

“Lina, naiklah!” bisik Sindi pada Lina yang tengah sibuk dengan ponselnya. Lina belum sempat membalas chatnya dan segera memasukkan kembali ponsel ke dalam saku.

“Iya,” sahut Lina yang segera mendekati Sindi.

“Kamu gantikan aku di sini, aku mau keluar sebentar!” tanpa menunggu penolakan Lina, Sindi turun begitu saja dari podium.

Lina sudah terbiasa disuruh ini itu oleh Sindi. Keluarga Lina sangat sederhana, oleh karena itu ayah Sindi memberikan penghidupan yang layak pada keluarga Lina yang membuat Lina berhutang budi. Dengan cara menjadi bawahan Sindi.

Sindi segera menjauh dari kerumunan dan menemukan David yang hampir memasuki mobil.

David tengah membalas chatnya.

“Tunggu, Mas David!” teriak Sindi hingga membuat David menoleh.

Sindi menghampiri David dan memegang lengan kemejanya dengan manja. “Kenapa kamu pergi, padahal acara intinya baru saja mulai,”

David tak langsung menjawab. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja. Menatap Sindi beberapa detik.

David tak menyukai logat Sindi yang kekanak -kanakan itu. Dengan kasar ia melepas tangan Sindi. “Aku lelah.” Sahut David sekenanya.

“Ini kan masih belum terlalu malam, bahkan kamu belum mencicipi kue ulang tahunku.” Ujar Sindi tetap dengan gaya bicaranya yang manja. Sindi bukanlah tipe gadis yang mudah menyerah. Ia menarik tangan David dan memaksanya masuk lagi ke dalam hotel.

“Lepaskan!” Sentak David membuat Sindi bergidik. Baru kali ini ia disentak seorang pria. Terlebih pria di depannya ini adalah pria yang sangat ia kagumi.

Sindi berencana menyatakan perasaannya di acara ulang tahunnya tepat di depan banyak tamu. Tapi sepertinya harapannya tertunda.

“Aku harus pergi.” Ujar David kemudian  Sindi melepaskan tarikannya.

David hendak berbalik namun tertahan lagi. Sindi tak bisa menahan keinginannya selama 2 tahun terakhir ini. Gadis berambut panjang sepinggang ini sangat menyukai David.

“Aku ingin menjadi istrimu. Menikahlah denganku!” Sindi dengan degupan jantung yang tiada henti  berhasil meloloskan beberapa kalimat yang meresahkan di hati. Perkataan Sindi seolah terdengar lelucon bagi David.

David berbalik sambil mentertawakan Sindi. Sindi pikir David menerimanya karena Sindi adalah wanita yang cantik dan tanpa kekurangan sedikit pun.

“Kenapa kamu malah mentertawakan aku?”

David menghentikan tawanya, lalu menatap mata Sindi. Wajah mereka hampir tanpa jarak yang membuat Sindi merinding. David mengendus telinga Sindi.

“Dia akan menciumku.“ batin Sindi sambil membawa kepalan tangan di depan dada.

“Aku tak menyukai gadis manja sepertimu. Jadi jangan mimpi kamu bisa menjadi istriku.” bisik David dengan tegas.

“Kenapa? Bukankah aku gadis yang cukup sempurna, aku cantik dan pintar. Apa kamu tak takut pada kekuasaan papiku? Jika kamu berani menolakku berarti kamu siap hancur.” Sindi hampir saja meneteskan air matanya. Namun sebisa mungkin ia menahannya.

“Kamu pikir aku takut dengan statusmu sebagai anak konglomerat? Sekali pun tidak tetap tidak. Buang jauh-jauh mimpimu itu!”

“Kamu sungguh tega Mas David, lihat saja nanti aku akan membuatmu menikah denganku baik kamu menolak sekali pun!”

"Cih, dasar cewek manja, bisanya hanya mengandalkan orang tua!"

Sindi melangkah pergi, menyenggol lengan kemeja David dengan kasar. Air matanya pun jatuh. Sindi menghentikan taksi lalu pergi.

David sama sekali tak takut dengan ancaman gadis manja itu. David masih mempertahankan nama sesorang yang bertahta lama di hatinya.

 Sementara di dalam hotel, Lina mencoba menghubungi Sindi tentang keberadaannya. Lina tak mendapat jawaban. Lina membubarkan acara pesta.

Pukul 9 tepat, Sindi sudah berada di istana nya.

Adam dan Zahara yang sedang berada di balkon mengetahui kepulangan putrinya. Mereka berdua segera menemui Sindi.

Sindi masuk ke dalam rumah dan mengamuk. Begitu melihat vas kesayangan Zahara, Sindi kalap dan menggulingkan vas tersebut hingga pecah tak berbentuk. Tak hanya itu saja, guci-guci lain juga menjadi sasaran Sindi.

Bantingan vas membuat hati Zahara berdenyut.

“Pi, ada apa dengan anak kita, mami nggak mau vas-vas yang lain jadi sasaran Sindi. Cepat Pi, cegah Sindi!”

Sindi hendak mengangkat vas bunga yang ada di pojok ruangan.

“Hentikan Sindi, kamu bisa membuat ruangan ini hancur!” cegah papi Adam.

“Argggg .... Hati Sindi juga hancur. Biarkan benda mati ini merasakan apa yang Sindi rasakan!”

Zahara sudah menduga putri semata wayangnya ini mulai tak waras. “Sindi, vas bunga Mami salah apa sama kamu, Nak!”

Sindi membanting vas yang ketujuh itu.

Zahara mengelus dada. “Sabar, anak cuman satu nggak tega mau dimarahin.” Zahara menghibur diri. Toh dia bisa beli yang baru lagi.

“Kamu bukan anak kecil lagi, Sindi, yang dengan seenaknya membanting barang. Pecahkan masalah dengan pikiran dewasa. Mau sampai kapan kamu begini jika setiap marah melampiaskan pada barang -barang. Bisa-bisa kamu tak laku.” Omel Adam yang membuat Sindi mengeraskan tangisannya.

“Huwa ... wa ... wa .... Papi jahat, malah doain anaknya nggak cepat laku!”

Zahara mendekap putrinya dan mengelus kepalanya. “Cerita sama Mami, ada apa?”

Sindi mulai tenang dan bercerita.

“Salah sendiri, masa cewek melamar cowok!” tukas Adam yang merasa malu dengan kelakuan putrinya.

“Papi kok malah menyalahkan Sindi!” Sindi tak terima disalahkan, ia bergerak cepat mengambil pecahan vas. Mengarahkan pecahan vas ke leher. “Sindi biar mati saja, kalau nggak bisa nikah sama mas David.”

Adam dan Zahara membulatkan mata. Mereka tak menyangka jika Sindi senekat itu.

“Jangan ...!!”

“Sindi, buang benda itu, papi janji akan membantu mu.! Papi sangat kenal dengan keluarga David. Papi pasti kan kamu akan menikah dengannya.” Teriak papi Adam cemas.

Zahara pun berteriak histeris tak kalah cemasnya. Ia tak ingin kehilangan putri kesayangan. “Iya Sayang, turun kan benda itu. Jika kamu mati, pria idaman kamu akan menjadi milik wanita lain. Kamu tidak mau kan itu terjadi?” ternyata ucapan mami Zahara mempengaruhi pikiran Sindi.

Sindi menatap kedua orang tuanya. “Apa benar kalian akan mewujudkan impianku ?”

Adam dan Zahara kompak mengangguk.

 

Adam menghubungi Bram Setiawan, ayah David dan menceritakan semuanya. Bram sangat setuju dengan tawaran Adam. Terlebih kekayaan yang mendominasi semuanya. Apa kata dunia jika menolak permintaannya. Namun David tetap menolaknya.

Keesokan paginya.

Sindi sedang berada di kampus.

“Kok wajah kamu kusut begitu, ada apa, semalam kamu juga sulit dihubungi. Anak-anak pada nanyain kepergian kamu semalam.” Lina tampak memperhatikan wajah Sindi yang murung.

“Aku ditolak sama mas David  semalam, oleh karena itu aku langsung pulang.”

“Gila, kamu beneran nembak David?” Lina tak percaya.

Sindi hanya mengangguk lesu.

“Kamu jangan nyerah gitu aja, eh aku dengar David itu suka banget makan coklat. Kamu bisa kasih hadiah ke dia. Dia juga suka banget sama cewek yang berambut pirang. Aku jamin deh, David makin lengket sama kamu.”

“Mas David suka coklat dan gadis berambut pirang ?” Sindi terpukau dengan perkataan Lina. Seolah harapan hidupnya telah kembali.

Sepulang dari kampus, Sindi langsung membeli banyak coklat dan pergi ke salon untuk mengubah warna rambutnya.

Sindi mengadakan pertemuan dengan David di sebuah restoran mewah.

Sebenarnya David enggan untuk bertemu. Tapi ia lakukan saja, seseorang telah memintanya untuk bersedia menemui Sindi.

“Cepat katakan ada apa kamu ingin menemuiku, aku harus pergi !” ujar David begitu ilfill dengan penampilan Sindi.

Kalau bisa David ingin segera mengakhiri pertemuan yang menyebalkan ini.

“Kok Mas David buru-buru banget ingin pergi, bahkan aku sudah berdandan cantik seperti ini. Oh, iya ini ada banyak cokelat untuk kamu.” Sindi mengeluarkan coklat dari dalam tasnya.

Bukannya tergiur bahkan David sontak berdiri. “Aku sudah cukup muak melihat penampilan kamu, bahkan kamu memberiku cokelat sebanyak ini? Aku sangat membenci makanan itu.” David segera pergi tanpa kata.

Sindi mematung menelisik penampilannya. Sindi menyimpan kembali coklat itu ke dalam tasnya. Air matanya merembes membasahi pipi. Hatinya hancur untuk yang kedua kali.

Heran

Sindi menggebrak meja, Lina yang tengah membalas chatnya mendorong kaca matanya ke belakang.

“Sindi, bagaimana pertemuan kamu dengan David?” Lina tahu semua yang ia katakan kemarin adalah bohong. Begonya Sindi mau saja menurut tanpa cari informasi dulu.

Sindi duduk di samping Lina dengan wajah ditekuk. “Aku ditolak lagi. Sial, baru kali ini aku gagal mendapatkan cowok.” Sepertinya Sindi tak merasa curiga dengan saran Lina yang menipunya.

Ketika SMA dulu, Sindi sangatlah mudah mendapatkan cowok dan tak satupun yang menolak  permintaannya. Dan baru kali ini ia ditolak cowok hingga dua kali.

“Emang David sialan, biar aku hajar pria itu! Dia nggak tahu sedang berlawanan dengan siapa,” ujar Lina geram seolah membenci David.

“Eh, jangan! Aku nggak rela ya jika cowok yang aku suka babak belur. Emangnya kamu mau hajar dia pakai apa?”

Lina menunjukkan deretan giginya. “Ditimpuk pakai sandal jepit.”

Sindi tersenyum dengan ulasan Lina yang baginya lucu. Lina sedikit lega karena tak mendapat amukan dari Sindi. Biasanya jika Sindi sedang marah, Lina bisa saja menjadi sasarannya. Disuruh ini itu lah. Sindi tak menyerah sampai detik ini. Ia memikirkan cara agar bisa dekat dengan David, meski sedang menunggu bantuan dari papi Adam.

“Aku heran deh sama kamu, kok David bisa akrab banget sama kamu?” tanya Sindi yang pernah memergoki Lina tertawa bersama David.

“Kamu lupa, mas David itu temen kak Felik saat SMA. Mas David sering pinjam montor waktu itu, dan karena aku lagi ada jadwal ulangan pagi, yah terpaksa aku dibonceng dia. Nah, dari situ aku dan mas David kenal.”

Felik adalah kakak kandung Lina.

Sindi manggut -manggut menyimak cerita Lina tentang David.

Sindi merasa kurang beruntung saja, ia pikir cowok yang menolong dirinya dua tahun lalu menyimpan rasa padanya, nyata nya salah.

Sindi ingat betul saat dirinya hampir tertabrak mobil ketika menyeberang, David mendorong tubuh Sindi menepi yang menyebabkan siku David berdarah. David menanyakan keadaan Sindi. Merasa diperhatikan, Sindi berasumsi kalau David menyukainya. Dari situ Sindi merasa pangeran hidupnya telah datang menghampiri dia.

Tiba-tiba ponsel Lina berdering. Lina minta izin untuk mengangkat ponselnya.

Lina berbicara sambil tertawa yang membuat gadis berkacamata itu terlihat bahagia.

“Lina lagi ngobrol sama siapa, sepertinya asyik sekali,” gumam Sindi memperhatikan Lina dari jauh.

Lina datang dan memasukkan ponsel ke dalam tas.

“Seru banget, lagi ngobrol sama siapa sih!”

“Mas David,” sahut Lina yang membuat hati Sindi merasa iri. Kenapa bukan dirinya yang berada di posisi Lina.  Begitu bahagia dan terlihat sangat akrab.

“Mas David hubungi kamu?” tanya Sindi seolah tak yakin dengan apa yang dia dengar barusan.

Lina hanya mengangguk tanpa dosa.

Sindi ingin bertanya tapi terlihat sangat kepo. Biarlah asal dapat informasi.

Hampir saja Sindi membuka mulutnya tapi Lina sudah terlebih dahulu menjawab rasa penasaran Sindi.

“Mas David cerita kalau baru saja ketemu sama orang gila.”

“Orang gila, kok bisa?”

“Iya, sepatunya mas David diminta gegara warnanya coklat. Mas David tentu saja nggak mau. Terus mas David nyuruh asistennya buat mengusir orang gila itu.”

“Kok mas David bisa cerita hal kayak gini ke kamu. Kamu sering ya curhat sama dia,”

“Nggak juga kok, emang dasarnya aja dia teman kakakku, jadi mungkin dia anggap aku adiknya juga.” Jangan sampai Lina salah berucap yang membuat Sindi cemburu.

Cemburu? Sudah pasti satu kata itu membuat sakit hati wanita. Bagaimana mana tidak, seorang pria yang kita sukai malah terlihat dekat dengan wanita lain yang tidak lain adalah sahabat kita.

Selesai ngobrol banyak tentang David, mereka masuk ke kelas.

“Eh, tuh lihat, si pirang datang!”

“Nggak bener, jadi cewek tuh punya harga diri, masa mau ngelamar cowok.”

“Untung saja ditolak, coba kalau diterima sudah pasti dunia rasa kiamat.”

Bagaimana mereka bisa tahu hal ini?

Sindi merasa dipermalukan dan ingin menangis. Gadis manja itu tak bisa berkutik jika sudah disudutkan seperti ini.

Lina menggenggam erat tangan Sindi dan memastikan akan baik-baik saja.

“Hei kalian, punya mulut di jaga ya! Cepat bubar sebelum aku timpuk pakai sandal jepit!” Lina merogoh tas dan hendak mengeluarkan sesuatu. Mereka yang baru saja mencibir segera bubar.

“Emang kamu bawa sandal jepit?” tanya Sindi yang mulai agak tenang.

Lina mengeluarkan tangannya yang kosong. “Ya enggak lah!”

Sindi pun tertawa. Dia merasa aman jika selalu berada dekat dengan Lina.

Sepanjang mata kuliah, Sindi tak fokus, matanya terus menatap keluar jendela. Mencari ide agar bisa memiliki David bagaimana pun caranya.

Minggu pagi udara sangat sejuk membuat banyak orang betah duduk-duduk di bawah pohon yang rindang. Termasuk Sindi.

Sudah satu jam yang lalu Sindi menunggu seseorang datang. Tapi sosok yang ditunggu belum juga terlihat batang hidungnya. Sindi mengangkat ponselnya.

“Datanglah sekarang, ada Lina juga di sini!” Setelah mengatakan itu Sindi mengirim pesan pada Lina untuk membelikan snack.

Dan benar saja, lima menit kemudian pria tampan dengan kaos warna biru tua senada dengan celana jeans datang menghampirinya.

Dugaan Sindi benar, pria dengan hobi bermain basket ini datang karena tahu ada Lina juga di sini.

Sindi memperhatikan David yang sepertinya mencari sosok lain selain dirinya.

“Lina sedang ke mini market, duduklah sebentar lagi dia pasti datang!”

David mengangguk dan duduk di samping Sindi. Tak banyak obrolan selain hanya menjawab iya dan tidak.

“Apa kamu sudah sarapan?”

“Iya,”

“Langit tampak cerah ya, beda dengan kemarin yang mendung di pagi hari.”

“Iya,”

“Kamu mau minum?” Sindi menyodorkan botol berisi air mineral.

“Tidak.”

Sungguh obrolan yang membosankan. Sindi ingin langsung ke topik permasalahan begitu Sindi mulai ambil suara, Lina berteriak dari jauh yang membuat David menoleh ke arahnya.

“Sindi, Mas David maaf ya menunggu terlalu lama!” ujar Lina sambil menyerahkan bungkusan.

“Enggak juga kok!” sahut David yang membuat hati Sindi terdepak.

Sindi membuka bungkusan. “Kita makan snacknya dulu baru jalan-jalan!”

Setelah menghabiskan 3 bungkus snack. Mereka bertiga bangkit.

“Bentar, aku buang dulu bungkusan ini ke tong sampah!” ujar Lina yang tak terpikirkan oleh Sindi untuk melakukan hal itu. Tentu saja poin ini menambah rasa kekaguman David.

Mereka bertiga berjalan bersama mengitari taman yang begitu indah. Banyak pasangan juga yang datang ke taman ini.

Sindi berada di tengah di antara Lina dan David. Sindi banyak bicara yang membuat David merasa bosan. Terlebih yang Sindi ceritakan hanyalah tentang dirinya sendiri. Cerita tentang Sindi waktu kecil.

David melirik Lina seolah memberi kode. Lina merespon. Tangan David terulur ke belakang menggapai tangan Lina. Mereka berdua saling bergandengan tangan. David menggenggam lembut tangan Lina. Wanita mana yang bisa menolak, tentu saja tak ada, bahkan mereka akan iri dengan perlakuan David.

“Coba deh tebak, apa yang aku takutkan saat aku kecil!” tiba-tiba Sindi melompat sambil berbalik. Menatap kedua pasangan yang ternyata sejak tadi bermesraan di belakangnya.

Mata Sindi menatap dua tangan bergandengan.

David segera melepas tangannya. Dengan sedikit gugup ia berkata. “Kamu jangan salah sangka, tadi ada semut di tangan Lina. Aku berusaha menghilangkan rasa sakitnya.”

“Rasa sakit apa yang David katakan? Tidak kah dia tahu betapa aku mencintaimu. Sakit hati ini melihat dirimu bergandengan mesra seperti itu.” Batin Sindi. Sindi menatap Lina.

Lina tak bisa berkutik untuk menyangkal.

Jadi Menikah

“Sindi,” gumam Lina lirih....

Sindi berkaca – kaca menatap mereka yang seolah mengabaikan dirinya sejak tadi. Apakah mereka tak mendengar Sindi tadi bercerita apa? Ataukah dirinya sekedar radio rusak yang berisik.

Sindi terpaku beberapa detik setelah itu dia berlari pergi meninggalkan mereka. Menghentikan taksi lalu pulang.

Lina sempat berlari mengejarnya namun semua sudah terlambat. Apakah persahabatan mereka akan putus secepat ini?

David menyusul Lina. “Seharusnya dia sudah tahu dari awal hubungan kita.”

Lina menatap David. “Tidak sekarang Mas David, keluargaku sangat berhutang budi pada tuan Adam. Dan aku sudah berjanji untuk mengalah demi kebahagian Sindi.”

“Mengalah katamu? Bahkan kamu rela menjadi kacung dari gadis manja seperti dia. Cih, kalau aku jadi kamu aku akan mempertahankan cintaku tak perduli siapa pun orang lain yang menghalangi.”

“Mas David, aku sejak kecil sudah hidup susah, tuan Adam datang dan memberikan apa pun yang sebelumnya tidak pernah aku miliki. Hanya mengalah yang bisa aku lakukan untuk membalas hutang budi mereka.”

“Lina, pikiran kamu terlalu sempit. Seharusnya kita bisa terbuka dengan hubungan kita, tidak seperti ini yang sembunyi -sembunyi.”

“Bertahanlah, aku yakin jika kita berjodoh pasti kita akan bersama.”

David menarik Lina dalam pelukannya.

Sementara Sindi sudah sampai di istana nya. Kebiasan buruknya terulang kembali. Baru saja vas bunga yang berada di pojok ruangan itu ditaruh oleh mami Zahara, dengan penuh amarah dan tanpa dosa Sindi memecahkan semua benda termasuk vas itu. Dia membanting vas bunga kecil pada meja kaca.

“Argggg....!” teriak Sindi histeris saat pergelangan tangannya terkena pecahan kaca.

Mami Zahara yang baru saja selesai mandi mendengar teriakan Sindi dan setengah berlari ke sana.

Beberapa asisten rumah tangga juga dibuat heboh. Mereka berlari ke sumber suara.

“Non Sindi!” pekik mereka serentak saat melihat darah segar mengalir deras.

“Nyonya! Nyonya!” teriak Surti menghampiri Zahara.

“Suara apa tadi, Bik?”

“Nona Sindi, tangan nya berdarah.”

Zahara melihat sendiri keadaan putri semata wayangnya. Benar saja, Sindi tengah merintih kesakitan. Pergelangan tangannya berdarah. Mata Zahara mengedarkan pandangan. Guci dan vas pecah semua tak ia hiraukan lagi. Yang ada dalam pikirannya hanya nyawa putrinya.

“Cepat hubungi tuan Adam!” titah Zahara.

“Baik Nyonya!” sahut Darma.

“Sindi,”

“Mami, tangan aku sakit,” rintih Sindi.

Zahara sendiri bingung harus berbuat apa. Bang Sukir datang melihat kondisi Sindi.

 

“Cepat  Bang Sukir, bawa nona Sindi ke rumah sakit!” titah Zahara sambil mengangkat tubuh Sindi dan dibantu para asisten rumah tangga.

“Sakit Ma,” rintih Sindi lagi.

“Nona Sindi kenapa Nyonya?” tanya bang Sukir panik.

“Percobaan bunuh diri, cepat !”

“Baik Nyonya!” bang Sukir segera ke garasi mengeluarkan mobil.

Sindi dilarikan ke rumah sakit dan segera mendapatkan penanganan.

“Sindi kenapa lagi Mi?” tanya papi Adam begitu tiba di rumah sakit.

“Papi, Sindi mau bunuh diri Pi, mami takut jika kehilangan Sindi,”  Zahara begitu cemas dan masih saja menangis. Dia salah sangka jika Sindi telah melakukan percobaan bunuh diri, padahal terkena pecahan kaca.

“Ini pasti ulah David. Sekarang bagaimana keadaan Sindi?”  terka papi Adam mengingat ancaman Sindi tempo hari.

“Sindi masih pingsan, Pi,” mami Zahara masih sangat cemas.

Karena jarang bahkan tak pernah melihat darah begitu banyak, apalagi darahnya sendiri, Sindi pingsan saat perjalanan menuju ke rumah sakit.

Papi Adam segera bertindak. Sat set, wat wet.

David datang ke rumah sakit menemui keluarga Adam.

“Tuan Adam, Anda memanggil saya?” David tak tahu untuk apa dia dipanggil datang ke sana.

“David, kamu harus bertanggung jawab atas perbuatan kamu terhadap putriku, Sindi!” ujar papi Adam tegas.

“Bertanggung jawab soal apa, bahkan kami jarang bertemu.” David belum mengerti juga.

“Sindi menginginkan kamu.”

“Saya tidak mencintai putri Anda.” Sahut David dengan jujur. Karena cintanya hanya untuk gadis berkacamata, Lina.

“Persetan dengan cinta. Ini soal nyawa yang menjadi taruhannya.”

“Nyawa? Apa maksud Anda?” tanya David tak mengerti.

“Sindi tengah terbaring di rumah sakit ini karena percobaan bunuh diri. Dan semua itu karena kamu!” Sentak papi Adam yang membuat David kaget.

“Sindi bunuh diri?” dalam benak David itu hal mustahil, mereka baru saja bertemu dan bagaimana bisa Sindi melakukan itu dengan begitu cepat.

Melihat David yang hanya diam, papi Adam mengancam David.

“Aku akan menjebloskan kamu ke penjara jika terjadi sesuatu pada putriku lebih dari ini. Nikahi Sindi sekarang juga!”

“Hah, menikah!” David tercengang.

Tentu saja dia tak mau masuk penjara, nama baiknya bisa tercemar dan itu bisa menurunkan citra perusahaan yang ia pimpin.

 

Pernikahan terjadi sudah antara David Setiawan dengan Sindi Puspita pada hari Minggu, pukul 19.00 di rumah sakit Medical Wiyata.

Lina yang mengetahui kabar Sindi masuk rumah sakit dari Zahara yang menghubunginya,  Lina segera ke sana dan tak tahu kalau ada David juga.

“Mas David,” pandangan Lina sedikit kabur, kepala nya pun seperti di hantam benda keras. Hatinya pun hancur seketika itu juga. Tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh kalau saja dia tak berpegangan pada ranjang pasien.

David terdiam seribu bahasa, ia tak bisa menjelaskan ikrar suci yang baru saja ia lontarkan, tentu Lina sang kekasihnya tak bisa menerimanya. David tertunduk lesu tak berani melihat gadis yang dicintai sedang terluka hatinya.

 Penghulu segera pergi setelah menjalankan tugas.

Sindi yang masih terkulai lemas tampak bahagia karena statusnya sudah menjadi istri dari David Setiawan. Kebahagiaan yang ia rasa saat ini mengalahkan rasa sakit di tangannya. Beberapa jam lalu ia selalu merintih sakit dan perih. Tapi semua itu sudah sirna diterpa hadirnya seorang suami.

Sindi menoleh ke arah Lina, “Aku kira kalian menyimpan hubungan rahasia di belakangku, tapi dugaanku ternyata salah. Mas David mau menikahiku dan memilihku sebagai istrinya.”

Lina masih tercengang dengan peristiwa ini. Sebisa mungkin ia memaksakan senyuman bahkan rasa sakit di hati yang menderma.

“Tidak mungki aku ada hubungan rahasia dengan mas David. Dia pria dewasa yang terlalu sempurna untuk kacung sepertiku. Selamat Sindi atas pernikahan kamu. Semoga kamu bahagia. Maaf, aku tidak bisa lama -lama di sini, asma ibu kambuh. Aku harus segera ke apotik.” Lina tak sanggup melihat mereka. Dia beralasan agar bisa pergi.

David terjeda hendak berkata.  Ia tak bisa berbuat sesuatu untuk mencegah Lina pergi.

“Ibu kamu kambuh lagi?” tanya Zahara simpati.

“Ia Nyonya, saya harus buru-buru pergi.” Lina sudah sampai di ambang pintu.

“Kenapa tidak kamu bawa ke rumah sakit saja?” tanya papi Adam.

“Tidak Tuan.”

“Masalah biaya, jangan khawatir. Kesehatan ibumu yang utama.” Ujar papi Adam.

“Ibu baik-baik saja setelah minum obat. Saya permisi dulu.” Pamit Lina yang segera pergi meninggalkan mereka. Sepanjang jalan air matanya mengucur deras. Bagaimana bisa pria yang berstatus kekasihnya bisa menikah secepat itu dengan sepupunya sendiri.

Di malam pernikahan mereka, David menjaga Sindi yang tertidur lelap. Hal ini membuat David jenuh. David beberapa kali menghubungi Lina tapi ponselnya tak diangkat. Setelah yakin Sindi tidak akan terbangun, David pergi meninggalkan Sindi menemui Lina di apartemennya.

“Lina, aku bisa menjelaskan ini!” ujar David setelah tiba di apartemen Lina.

“Untuk apa Mas David datang ke sini, sana pergi dan temui istri kamu!” usir Lina tak suka.

“Kamu mengusirku? Bukan ini yang aku inginkan.” David menerobos masuk dan menarik Lina dalam pelukan.

“Kamu sudah menikah.”

“Aku tak mencintai dia. Hanya kamu yang aku cintai.”

Kemudian David melahap bibir Lina. Keduanya pun melakukan hubungan yang tak sepatutnya dilakukan.

Disisi lain, Sindi membuka matanya. Tampaknya waktu menuju pagi masih lama. Dia mencari sosok David yang tak ada di ruangan itu.

“Mas David, aku haus, bisakah kamu mengambilkan aku minum?” Sindi mengedarkan pandang mencari sosok David lagi, mungkin dia sedang berada di kamar mandi. Sindi menunggu namun tak keluar juga. Jarum jam masih menunjuk pukul 2 dini hari. Sindi ingin mengambil ponselnya namun ia lupa tak membawanya. Sindi mencoba tidur lagi.

Keesokan paginya, David sudah kembali ke rumah sakit. Karena luka goresan tak begitu dalam, dan sudah membaik. Sindi diperbolehkan pulang.

“Pagi,” sapa David dengan ekspresi dinginnya.

“Mas David, kamu sudah datang, semalam kamu kemana Mas?” tanya Sindi.

“Ke apartemen. Ada berkas yang harus aku kerjakan.” Sahut David dengan datar.

Sindi memaklumi kesibukan David dan tak menduga yang aneh-aneh.

Office boy masuk ke ruangan Sindi untuk membereskan kekacauan kecil.

“Pecahan gelas?” David memperhatikan office boy yang sedang membersihkan lantai.

“Semalam aku haus dan memanggil kamu, tapi karena kamu nggak ada aku menggapai gelas di meja itu. Tanganku tak sampai, gelas terdorong hingga jatuh.”

Ada sedikit penyesalan menyergap hatinya, segera David mengabaikan rasa itu. Ini bukan salahnya. Pernikahan karena keterpaksaan lah penyebabnya.

 

 

Sindi dan David tinggal di apartemen.

“Malam ini kita tidur terpisah.” Ujar David memberitahu.

“Kenapa? Kita kan suami istri sekarang, di malam pertama pasangan suami istri akan menikmati malam mereka. Tapi kamu malah memintaku untuk tidur terpisah. Pernikahan macam apa ini?” protes Sindi tak terima.

“Ini bukan pernikahan yang aku inginkan. Orang tua kamu yang memaksaku untuk menikahi kamu. Sekarang pergilah ke kamarmu.” Seolah David mengusirnya.

“Kamu jahat, aku sudah dandan secantik ini kamu malah tak tergoda. Apa kamu tak memiliki sy@hw@t, hah!” ledek Sindi yang membuat David terpancing emosi.

“Jangan menghinaku! Tak pernah seorang wanita pun yang menghinaku, kamu baru sehari menjadi istriku sudah berani padaku.” David berjalan cepat ke arah Sindi dengan tatapan beringas. Menarik kasar tangan Sindi dan membawanya masuk ke dalam kamar. Menghempaskan tubuhnya di atas kasur.

“Aww ...!” pekik Sindi, pergelangan tangannya yang masih berbalut perban berdarah.

“Ini kan yang kamu inginkan, baik akan aku penuhi. Tapi camkan dan dengarkan baik-baik ucapanku. Aku tak menginginkan pernikahan ini dan sama sekali tak mencintai kamu.” David merobek lingerie hingga terlihat jelas bentuk tubuh Sindi.

Bukan ini yang Sindi inginkan.

David melakukan penyatuan dengan kasar hingga membuat Sindi meringis kesakitan. Setelah memberikan nafkah batin, David segera keluar kamar pindah ke kamarnya.

Sindi merasakan nyeri di kewanitaannya. Air matanya mengucur deras. Hatinya sakit, ia seperti kapas yang sudah ternoda. Suaminya tak menghargai dia sebagai istrinya.

“Pernikahan macam apa ini, bukan seperti ini yang aku harapkan.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!