"Kau adalah bekas luka yang paling kucintai tanpa tetapi. Kau momentum yang tertuliskan untuk lepas dari garis takdirku. Satu yang kuyakini dan takkan kulerai, kita memilih mengakhiri cerita kita bukan karena kita saling membenci, atau sudah tidak lagi saling mencintai. Namun... tidak ada jalan lain yang terbaik untuk kau dan aku selain... perpisahan. Timing kita bertabrakan tanpa peringatan. Lalu kita terberai, sebelum akhirnya menjelma menjadi bekas luka yang tak terurai, dihati masing-masing."
...****...
September, 2017
"Aku akan menggunakan permintaan ketiga aku sekarang." Ucap Gadis berparas cantik itu dengan suara yang bergetar. Siapapun tahu, ia sedang menahan tangisannya agar tidak pecah detik itu juga.
Sementara pria tampan berwajah oriental yang duduk di hadapannya seraya menundukan kepalanya dalam-dalam, menanti dengan penuh antisipasi. Ia tahu hari ini akan tiba. Dan ia sudah mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari untuk hari ini. Tapi saat hari ini tiba, tetap saja hatinya terasa sakit. Ia terlalu ngeri membayangkan bagaimana hidupnya tanpa gadis ini. Gadis yang ia cintai dan ia jaga dengan sepenuh hati selama bertahun-tahun. Saat hari ini berakhir, ia tidak akan lagi menemukan seseorang seperti ini. Dulu, sekarang, dan bahkan hingga nanti, sampai batas waktu yang tidak ia ketahui, gadis ini akan selalu menjadi satu-satunya. Sampai hari ini berakhir, ia bukan lagi orang yang sama.
"Aku... nggak mau ketemu sama kamu lagi, Calvien Nicolas." Putus Aira dengan perasaan hancur. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah.
Final! Hari ini dan hari-hari kemarin yang penuh kenangan manis dan luka sudah berakhir. Sungguh-sungguh berakhir. Nico terdengar menghela nafas untuk meminimalisir perih di dadanya sekarang. Semua kenangan yang ia lewati bersama Aira, terbersit lagi di kepalanya seperti sebuah film yang diputar ulang. Kenangan yang terlampau indah itu, justru membuatnya sejuta kali lebih sakit sekarang.
Tapi Nico tidak bisa mengatakan apapun. Kendatipun Aira sangat ingin mendengar suaranya lagi, kendatipun jauh di dasar hatinya yang terdalam Aira masih berharap bahwa pria ini akan menahannya.
Satu detik, dua detik, dan... Aira menganggukan kepalanya beberapa kali dan membiarkan sebulir air matanya lagi-lagi lolos jatuh di pipinya. Sudah berakhir. Sekarang sudah benar-benar berakhir. Inilah akhirnya.
"Dan terakhir... happy birthday, Nico."
Itulah ucapan terakhir Aira sebelum benar-benar pergi, dan menyisakan Nico hanya seorang diri di tempat itu. Waktu sudah menunjukan tepat pukul duabelas malam. Tanda hari itu sudah berakhir. Dan di hari yang sama juga, Nico genap berusia 23 tahun. Ini hadiah ulang tahun paling menyakitkan yang pernah ia dapatkan, namun layak ia terima.
"Maaf, Aira."
Ujarnya pelan di tengah keheningan malam. Bahkan ketika ia sangat ingin mengejar gadis itu, ia sudah tidak memiliki daya lagi. Melepaskan dan dilepaskan, adalah jalan terbaik satu-satunya yang bisa mereka tempuh sekarang.
Sampai hari ini berakhir, Nico bukanlah Nico yang sama lagi.
Dan setelah pertemuannya dengan Aira, Nico menghabiskan sisa malam itu dengan menangis sejadi-jadinya.
Biarkanlah untuk malam ini saja, Nico menumpah-ruahkan segala air matanya, sebab mulai esok hari, ia harus memasang 'topeng' di hadapan Aira, berpura-pura bahwa ia tidak apa-apa dengan perpisahan mereka.
...----------------...
"Waktu berlalu begitu lama. Aku telah melewati rangkaian piknik panjangku tanpamu. Begitu kita bertemu kembali, aku tidak bisa mengelak dari rasa bahagia yang mendera setiap sel dalam tubuhku. Namun, aku terlalu payah untuk menunjukkannya padamu. Tetapi biarkan kutanyakan ini;
apa kabarmu?"
...****...
Juni, 2012....
"RIO! RIO! RIO! RIO!"
Sorakan dari penonton yang memenuhi tribun lapangan outdoor SMA Patuh Karya di pagi menjelang siang itu semakin membahana saat Rio hendak melakukan tembakan di detik-detik akhir pertandingan basket yang dilakukan dalam rangka memeriahkan acara Class Meeting. Ia melakukan lay-up dengan sempurna lalu memasukan bola itu ke dalam ring dengan gayanya yang selalu terlihat elegant.
Semua penonton, terutama penonton dari kelasnya semakin menggila. Dan ketika wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan yang sekaligus juga merupakan tanda kemenangan bagi kelas Rio, semua teman-teman sekelasnya langsung berlari ke tengah lapangan untuk menyerbu Rio.
"ERGH ****!!" Erang salah satu cowok dari tim kelas lawan dengan kesal. Meski kesal, ia juga turut senang atas kemenangan yang diraih oleh sahabatnya itu. Dialah Rakha, salah satu sahabat kental Rio yang juga tergabung dalam tim basket SMA Patuh Karya.
Meskipun Rakha adalah kapten dalam tim inti, tapi tetap saja ia tidak bisa mengalahkan Rio di pertandingan class meeting kali ini.
Rio menatap Rakha, ia tersenyum mengejek ke arah cowok berwajah tampan itu sambil membalik jempolnya. Rakha mendengus. Kali ini Rio boleh sombong, tapi di tim inti, Rakha tetap adalah kaptennya. Awas saja nanti, Rakha akan menghukum Rio atas kekalahannya ini.
Berbeda dengan Rakha, Nico yang juga merupakan salah satu sahabat mereka, berlari ke arah Rio dan memberikan ucapan selamat. Tentu saja, hal itu semakin membuat Rakha yang satu tim dengan Nico agak kesal. Tidak lama Rakha melepas kekesalannya, ia lalu berlari menyusul Rio, Nico, dan Natta yang saat itu sedang berkumpul, dan memeluk ketiga sahabat kentalnya itu dengan penuh suka cita.
Cukup bersikap seperti lawan. Ini saatnya kembali menjadi kawan.
Di tengah selebrasi Empat Sekawan itu, perhatian Nico tahu-tahu tertuju pada seorang Gadis yang tidak mengenakan seragam, yang baru saja turun dari lantai dua. Merasa mengenal gadis itu, Nico pamit pada kawan-kawannya. Ia berkata, "bentar. Gue ada urusan."
Nico berlari agak kencang, dan membuat Rio, Natta, dan Rakha yang belum mengetahui apapun merasa sedikit heran. Tetapi mata elang Rakha, berhasil menangkap sosok gadis yang sedang dikejar oleh Nico sekarang. Rakha tampak berfikir, dan sedikit memiringkan kepalanya. Samar-samar bahkan tanpa ia sadari, gadis itu sudah berhasil menarik perhatiannya.
"Aira!" Panggil Nico dengan nafas agak tersengal.
Aira menghentikan langkahnya, lalu berbalik. "Nico?" Sambut Aira yang sedikit heran melihat Nico sekarang.
"Gimana? Udah beres urusannya?"
"Udah." Jawab Aira sekenanya.
Nico terdengar mengatur desauan nafasnya. Setelah agak terkontrol, ia kembali berkata pada Aira, "tunggu aku bentar, ya? Aku ganti baju dulu. Kita pulang bareng."
Tanpa mendengar jawaban Aira, Nico berlalu dari hadapannya dan segera pergi untuk mengganti pakaiannya. Aira menganggukan kepala pelan lalu mencari tempat yang nyaman untuk menunggu Nico.
Sementara dari kejauhan, Rio, Rakha, dan Natta yang memang sejak tadi memperhatikan Nico mulai bertanya-tanya tentang gadis yang baru saja dihampiri oleh Nico. Rio bertanya pada kedua sahabatnya, apakah ada dari mereka yang tahu siapa gadis itu. Tapi baik Rakha maupun Natta sama penasarannya dengan Rio sekarang. Mereka sama-sama tidak tahu.
Ketika Rio dan Natta berlalu pergi mengikuti teman-temannya yang lain, Rakha justru diam di tempatnya sembari memperhatikan gadis yang baru saja dihampiri Nico. Menyadari bahwa Rakha tidak bersama mereka, Rio menoleh kebelakang dan memanggil Rakha.
"Rakha, ayo!"
"Iya, iya."
Rakha terkesiap sejenak, lalu segera menyusul Rio dan Natta.
...****...
"Harusnya kamu nggak usah repot-repot nganterin aku. Aku nggak suka nyusahin orang lain." Ucap Aira membuka obrolan dengan Nico yang tengah fokus menyetir membelah jalanan.
Masih teringat jelas, bagaimana kemarin Nico terlihat begitu terang-terangan menolak kehadirannya. Tapi tidak sampai berhari-hari, Nico justru bersikap baik padanya. Aira jadi berfikir, apa jangan-jangan Nico memiliki dua sisi?
"Dia Aira. Anaknya Almarhum Tante Shania. Dia akan tinggal bersama kita. Mulai hari ini." Itulah jawaban Mama Nico saat Nico menanyakan perihal kehadiran Aira yang secara tiba-tiba di rumah mereka. Merasa tidak diajak diskusi terlebih dahulu, Nico merasa sedikit kesal.
Bukannya Nico tidak mau menerima kehadiran Aira, tapi semua ini terlalu mendadak bagi Nico. Kedua orang tuanya bahkan tidak memberi tahu Nico dari jauh-jauh hari. Nico yang memang memiliki pemikiran dewasa, merasa perlu diberitahu tentang apapun keputusan kedua orang tuanya. Dia ingin selalu dilibatkan dalam hal apapun yang memiliki sangkut-paut dengan dirinya. Namun Aira yang belum mengenal sosok Nico malah salah memahami maksud Nico. Aira sudah kadung menarik kesimpulan, bahwa Nico tidak menerima kehadirannya secara penuh dan sungguh.
"Mama sama Papa harusnya ngomong dulu sama Nico. Nico juga berhak tahu apapun yang kalian rencanakan selama itu ada sangkut pautnya sama Nico."
"Tapi dia Nana, Nic. Nana temen masa kecil kamu dulu. Mama cuma mikir kalau ini bakalan jadi kejutan buat kamu."
Nico terdiam sejenak. Ia pun mengingat sosok Nana kecil yang dulu pernah sangat dekat dengan dirinya semasa kecil. Bisa dikatakan, bahwa Nico sangat menempel pada Nana dulu. Tapi entah bagaimana caranya Nico bisa tidak sadar sejak awal. Kini dalam hatinya mulai timbul penyesalan. Ia terlalu emosional menyikapi permasalahan kali ini.
Dan lalu, bagaimana bisa ia dengan mudahnya melupakan Nana? Nananya yang dulu sangat dekat dengannya, dan begitu ia sayangi.
"Maaf kalau kamu ngerasa Papa dan Mama tidak melibatkan kamu. Tapi situasinya juga sedang tidak tepat. Keputusan ini kami ambil dua minggu yang lalu. Dan kamu sedang sibuk-sibunya dengan ujianmu. Papa sama Mama cuma nggak mau ganggu konsentrasi kamu."
Setelah tahu yang sebenarnya, Nico terlihat agak melunak meski masih agak sedikit kecewa. Lalu tiba-tiba perhatiannya tertuju pada punggung Aira yang berjalan menjauhi ruang keluarga. Nico yang sudah merasa menyesal sebelumnya, sekarang semakin merasa tidak enak hati. Aira pasti sudah mendengar semuanya.
"Maaf soal kemarin." Ujar Nico dengan penuh penyesalan. "Dan kamu sama sekali nggak ngerepotin aku." Lanjutnya kemudian.
Aira tiba-tiba berfikir, bahwa bisa saja alasan Nico mengantarnya pulang sekarang karena ia masih merasa tidak enak soal kejadian kemarin. Aira mengangguk paham. Kemarin Aira memang mengambil hati perkataan Nico, tapi sekarang tidak lagi. Ia berusaha memahami Nico. Meskipun ada sedikit kecewa di hatinya ketika Nico sama sekali tidak mengenalinya.
"Nggak apa-apa. Aku paham kok. Dan seandainya aku yang ada di posisi kamu kemarin, aku pasti bakalan nunjukin reaksi yang sama." Jawab Aira dengan lapang dada sambil menatap wajah Nico dari samping. Nico menoleh ke arah Aira dan tersenyum kecil. Meski begitu, Nico masih merasa tidak enak.
Saat Nico kembali menatap ke depan, Aira pun mengalihkan perhatiannya ke kaca samping. Ia menghela nafas pelan, lalu bergumam dalam hati, "tapi kamu nggak seharusnya ngelupain aku."
Saat mereka tiba di rumah, dan Aira hendak turun dari mobil, ia sempat berkata pada Nico, "jangan khawatir. Aku cuma setahun di sini. Setelah kuliah nanti, aku bakalan pindah. Dan satu lagi, aku tahu batasan-batasanku."
Aira pun keluar dan menutup pintu mobil. Nico tercenung mendengarkan pernyataan Aira barusan. Tapi rasa bersalahnya, tidak juga mau hilang.
...****...
"Kenapa Papa harus melihat nilai sampah ini, Rakhaditya Arya?" Ujar Arkha dengan nada penuh kemarahan sambil melempar kertas nilai Rakha dengan keras. Seluruh sel dalam tubuhnya dilingkupi oleh emosi yang membuncah ketika mengetahui bahwa Rakha hanya mampu menduduki peringkat ke-3
Ya, beginilah sisi lain kehidupan Rakha yang tidak diketahui oleh banyak orang. Saat di sekolah, atapun di depan teman-temannya, Rakha selalu mengenakan topengnya. Ia bersikap seakan seuluruh hidupnya baik-baik saja, ia terkenal sebagai sosok yang ceria dan humoris. Namun, tidak ada yang tahu, bahwa diam-diam ia menjalani hidup yang penuh tekanan dari Papanya. Papanya selalu menuntutnya untuk jadi yang terbaik, dan ketika Papanya merasa bahwa Rakha tidak memenuhi ekspektasinya, ia akan memuntahkan kemarahannya pada Putra Sulungnya itu, bahkan tak jarang Rakha dihujani pukulan oleh Papanya.
Dan kali ini, Rakha mendapatkan tamparan yang cukup kuat hingga meninggalkan bekas memerah di pipi kanannya.
"Kamu seperti ini sekarang, karena kamu terlalu banyak bermain-main! Semester berikutnya, Papa nggak mau lihat kamu main basket lagi. Fokus pada nilai-nilaimu! Kesenangan yang kamu dapatkan sekarang, tidak akan membantu apa-apa untuk masa depanmu. Paham?"
Dan seperti yang sudah-sudah, Rakha hanya mengangguk dan menyetujui semua perkataan Papanya meskipun pada akhirnya ia tetap memberontak. Setidaknya ia sudah berusaha keras. Rakha melakukan segala yang dia bisa untuk memuaskan Papanya tanpa harus meninggalkan kehidupannya. Tapi pada akhirnya, semua usaha yang dilakukan oleh Rakha tidak satupun mendapatkan apresiasi yang layak dari Papanya.
Rakha terduduk di sofa beberapa saat setelah Papanya pergi. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, berusaha menahan kemarahan dan rasa sakit yang selama ini ia pendam. Lalu tiba-tiba saja, adik perempuannya datang dan memegang tangannya yang terkepal untuk menenangkannya. Rakha menoleh ke samping, dan mendadak kemarahannya bisa sedikit mereda ketika melihat senyum menenangkan yang diberikan oleh Ranha,
"Kak Rakha sudah berusaha keras. Ranha bangga sama Kakak."
Rakha tersenyum. Diam-diam merasa terharu dengan hal sederhana yang dilakukan oleh adik manisnya. Ia lalu mengelus lembut puncak kepala Ranha, dan berkata, "sejak kapan kamu tumbuh sebesar ini?"
...****...
Rakha sedang duduk sendiri di Coffee Shop milik Rio. Salah satu tangannya menopang wajahnya, sementara tangan lainnya ia gunakan untuk mengaduk-aduk Ice Coffee-nya tanpa tenaga. Fikirannya jauh melayang. Semester kali ini benar-benar kacau. Kendatipun Rakha tidak menunjukkan rasa takutnya atas perkataan Papanya sore tadi, tapi dalam hatinya ia merasa khawatir.
Di tengah lamunan Rakha itu, Rio tiba-tiba saja muncul dan duduk di hadapannya. Rio memperhatikan wajah Rakha baik-baik, dan begitu ia melihat bekas merah d iwajah sahabatnya itu, Rio langsung mengangkat dagu Rakha. Pandanngan Rio terlihat begitu serius.
"Kali ini karena apa lagi? Karena peringkat lo turun jauh?" Nada bicara Rio terdengar cukup geram.
Rakha yang sejak tadi tampak murung, seketika mengubah mimik wajahnya dan sorot matanya hingga tampak semuanya berjalan baik-baik saja. Ia tersenyum lebar pada Rio, dan menjawab setengah bercanda, "gimana? Gue keren, kan? Lo harus liat muka Papa gue tadi. Dia bener-bener marah, hahaha..."
Rakha mengakhiri kalimatnya dengan tertawa. Tapi hal yang Rakha lakukan itu, justru membuat Rio semakin kesal.
"Rakha, gue serius! Lo nggak boleh kayak gini terus. Lo tertekan, Kha! Lo nggak bisa terus-terusan bersikap baik-baik aja. Seenggaknya di depan gue, Nico, sama Natta lo harus terbuka. Kita mungkin nggak bisa bantuin lo, tapi kita bisa mendengarkan cerita-cerita lo. Dan itu akan ngurangin beban di dada lo sekarang." Rio terdengar melunak di akhir perkataannya.
Beberapa saat kemudian, Rakha menghela nafas panjang. Orang-orang tidak tahu beban apa yang sedang Rakha pendam saat ini, tapi sahabat-sahabatnya tahu dengan benar, bahwa tidak seharipun Rakha dapat bernafas lega, bahwa tidak seharipun ia lewatkan tanpa perasaan cemas dalam dirinya.
"Gue udah melakukan usaha terbaik gue, tapi kenapa Papa gue nggak pernah merasa puas dengan usaha yang udah gue lakuin? Saat gue dapat peringkat pertama, nggak pernah sekalipun Papa muji gue, dan bilang bahwa gue udah ngelakuin yang terbaik. Tapi begitu peringkat pertama gue merosot, Papa gue akan meluapkan emosinya tanpa perasaan. Yang sakit bukan bekas tamparan ini, Yo —" Rakha memberikan jeda seraya menunjuk ke wajahnya.
Rakha menatap Rio dengan seulas senyum. Tapi kedua matanya menggambarkan rasa lelahnya. Dan Rio bisa menangkapnya.
"Yang sakit itu... hati gue." Lanjut Rakha kemudian dengan perasaan perih yang coba ia redam.
Tidak lama setelah itu, Nico dan Natta datang bersamaan lalu bergabung bersama kedua sahabatnya yang mungkin sudah cukup lama menunggu kedatangan mereka. Namun, baru saja Nico dan Natta duduk, Rakha bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah toilet tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Di saat yang bersamaan, Rio memberikan kode pada Nico dan Natta untuk tetap diam dan tidak mengatakan apapun. Saat itu mereka sama-sama mengerti, bahwa Rakha butuh waktu sendiri. Setidaknya untuk saat ini.
Dan nanti, setelah Rakha keluar dari toilet, ia akan kembali bersikap seperti biasanya, mengubur semua rasa takut, cemas, dan kecewanya, lantas kembali menjadi Rakhaditya Arya yang bersembunyi di balik topengnya.
^^^To be Continued...^^^
^^^..^^^
Semua urusan menyangkut kepindahan Aira sudah terselesaikan dengan baik. Dan pada semester baru nanti di kelas duabelas, Aira sudah resmi menjadi salah satu siswi di SMA Patuh Karya. Meski sangat berat hati meninggalkan Pulau Banu, tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya dan tumbuh remaja, tapi inilah jalan yang Aira pilih, dan Aira tidak akan menyesalinya. Setidaknya untuk saat ini.
Kematian Ayah dan Ibunya dalam sebuah kecelakaan setahun yang lalu yang juga melibatkan Aira, menjungkir-balikkan kehidupan Aira dalam semalam. Semuanya berubah. Dan kenyataan bahwa ia harus kehilangan Ayah dan Ibunya dalam waktu yang bersamaan membuat Aira merasa begitu menyedihkan. Sesekali ia merasakan penyesalan, jika harus hidup sendiri, kenapa ia tidak ikut tewas sekalian dalam kecelakaan itu?
Hingga akhirnya, kedua orang tua Nico, yang Aira kenal sebagai sahabat dari Ibu dan Ayahnya, datang menemui Aira begitu mendengar kabar kematian Ibunya. Mereka mengajak Aira untuk ikut tinggal bersama mereka. Bukan keputusan mudah bagi Aira untuk menyetujui ajakan itu. Ia bahkan butuh waktu setahun lamanya untuk sampai pada kata sepakat. Dan akhirnya di sinilah Aira sekarang. Tidak ada satupun keluarga yang akan mengurusnya sejak kematian Ayah dan Ibunya. Aira juga tidak memiliki kerabat dekat yang bisa ia mintai pertolongan. Keluarga jauhnya bahkan lepas tangan pada Aira. Itulah pertimbangan terbesar Aira untuk menyetujui ajakan kedua orang tua Nico.
Dalam diam, Aira merasa seperti terbuang. Sampai akhirnya kedua orang tua Nico yang memang ia kenal juga sejak ia masih kecil datang menemuinya, perasaan Aira perlahan jadi membaik.
"Ikut sama Tante dan Om ya, Na?" Bujuk Regina untuk terakhir kali sebelum Aira menyetujuinya. "Bagaimanapun kondisinya sekarang, Nana harus tetap melanjutkan hidup Nana. Mendiang Ibu sama Ayah, pasti nggak mau lihat Nana terus-terusan terlarut dalam kesedihan. Seenggaknya demi Ibu dan Ayah, Nana harus lanjutin hidup dan raih semua mimpi Nana. Tante, Om Adryan, sama Nico akan selalu ada sama Nana. Kita akan jadi satu keluarga."
Aira menatap raut wajah Regina yang dipenuhi dengan ketulusan. Aira lalu beralih menatap Adryan yang tengah berdiri di ambang pintu, Adryan menatapnya dengan cemas. Cemas kalau-kalau Aira menolak mereka seperti yang sudah-sudah. Adryan lalu mengangguk pelan pada Aira sebagai tanda bahwa ia juga dengan tulus memiliki keinginan yang sama dengan istrinya.
Aira menghela nafas, lalu berkata dengan pelan, "ba—baiklah."
Adryan dan Regina tersenyum lega. Kali ini Adryan lebih mendekat pada Regina dan Aira. Ia mengusap lembut puncak kepala Aira sembari tersenyum lebar, "Nico pasti bakalan senang juga."
Aira Kelana adalah gadis remaja berusia 18 tahun yang terlahir dengan kecantikan alaminya. Menurut Regina dan Adryan, Aira sangat mirip dengan mendiang Ibunya ketika masih muda. Ia memiliki wajah kecil dengan tahi lalat di pipi sebelah kirinya. Rambut panjang lebatnya menutupi bahu, dan ia membiarkan poni tipisnya menjuntai di dahinya. Aira juga memiliki kecerdasan yang membuatnya selalu mendapatkan peringkat teratas di sekolah.
Tetapi Aira yang dulu memiliki keperibadian cerah, sekarang berubah menjadi sosok yang tertutup sejak kematian Ibunya. Kedua mata cantiknya yang dulu selalu berbinar seakan kehilangan cahaya.
"Bersikap baiklah pada Aira." Pinta Adryan dengan penuh kesungguhan pada Nico.
Setelah mendengar cerita kelam Aira dari Papanya, Nico semakin merasa bersalah atas ucapannya tempo hari pada gadis itu. Bahkan jika ia kembali pada waktu itu dan mengubah keadaan, Nico fikir rasa sesalnya tidak akan menghilang.
...****...
Aira sedang membaca sebuah buku di teras belakang saat tiba-tiba Nico datang dan mengambil posisi tepat di sampingnya. Menyadari bahwa ia tidak lagi sendiri di tempat itu, Aira mengalihkan perhatiannya dari buku yang ia baca, lalu menoleh ke arah Nico. Tatapannya pada Nico begitu lembut, tidak ada lagi kemarahan atau rasa kesal atas penolakan Nico tempo hari.
Tapi Aira merasa bingung sekarang. Ini kali pertamanya ia bertemu kembali dengan Nico setelah bertahun-tahun, tidak hanya menolak kehadirannya, Nico bahkan tidak menyadari bahwa dia adalah Nana, sahabat yang begitu Nico sayangi di masa lalu. Namun meski begitu, Aira tidak bisa menyalahkan Nico terlalu lama, apalagi membencinya.
"Hai, Aira!" Sapa Nico dengan canggung.
'kamu bahkan nggak manggil aku Nana' Balas Aira dalam hati. Sebersit rasa kecewa tiba-tiba mengusik hatinya. Dan atmosfer canggung yang Nico bawa, mau tidak mau membuat Aira merasa canggung juga.
"Hai, Nic! Kenapa?"
Nico tidak langsung menjawab. Ia terlihat ragu-ragu lalu mengusap belakang tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Dan Aira masih hafal gesture itu. Itu adalah gesture yang menunjukkan bahwa Nico sedang gugup sekarang. Dan sialnya, ini pertama kalinya Nico merasa segugup ini.
Setelah berhasil menenangkan diri, Nico pun mengulurkan tangannya di hadapan Aira untuk mengajaknya bersalaman seraya berkata, "maaf terlambat menanyakan ini, tapi... apa kabar, Aira?"
Aira tersenyum tipis, dan menyambut uluran tangan Nico dengan hangat. Lalu dengan tenang dan yakin, Aira menjawab,
"kabar baik. Senang rasanya ketemu kamu lagi..."
^^^To Be Continued...^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!