Reiga tidak lahir dengan cacat. Wajah tampan berahang tegas terwaris apik dari sang ayah. Dunia sempurna bergelimang harta dan kasih sayang. Dukungan tersorak mendorong kiprahnya menjadi pemimpin penerus keluarga yang dominan.
Sayangnya ... selalu ada duri di dalam daging.
Musuh-musuh tersembunyi dalam rencana. Langkah demi langkah menjadi terjal.
Ia diburu untuk dibunuh.
Menghadapi dengan tubuh gemetar, terseok tanpa kekuatan. Sampai akhirnya menyerah dan berakhir di jurang kematian.
Satu dari lain hal; ITU HANYA KAMUFLASE!
Dimensi lain menunggunya untuk ditempa, belajar, perang, lalu kembali dengan garis tangan emas penuh kekuatan tanpa tandingan.
JUST WAIT!
Awan hitam berarak menguasai pelataran langit. Matahari tak lagi congkak. Alam dibantai udara kelam yang menjebak Kota Philo dalam kemuraman. Menambah suasana semakin gelap seiring selimut kabung di hati para penduduk. Bendera duka berkibar sungkan di tiap sudut kota besar itu.
Lexander Damaresh--Chairman Kerajaan bisnis Lexander Dinasty, pria yang dikenal semua orang dengan wibawa, kehangatan dan segala bentuk kemurahan hati, menyerah pada waktu setelah mengalami kecelakaan mobil di jembatan utama Kota Philo seminggu lalu. Mobil yang ditumpanginya bersama seorang supir, mengalami ledakan hebat dengan sebab yang belum diketahui hingga saat ini. Napasnya terembus habis dengan keadaan luka bakar di sekujur tubuh--di tempat kejadian. Meninggalkan segalanya tanpa kompromi.
Philo berkabung.
Seminggu berlalu pasca kematian Damaresh, suasana aktifitas kota seakan turut mati. Tak ada yang bersemangat walau sekedar melangkah melewati ambang pintu rumah untuk keluar. Semua berkubang di tengah getir dalam terjangan rasa kehilangan yang mendalam. Sosok hebat kesayangan mereka telah kembali ke pangkuan Sang Pencipta tanpa secuil pun kata pamit.
Tak terkecuali Alena dan putra semata wayangnya--Reiga. Kedua sosok itu adalah istri dan anak Damaresh.
Lebih dari sekedar berkabung, mereka benar-benar terlempar ke dalam titik terendah kehidupan. Bukan perkara harta yang tak akan habis tujuh turunan, melainkan kepedihan yang tak bisa digambarkan dengan apa pun walau tinta tak pernah habis dimakan zaman.
...****...
KASTIL MEGAH LEXANDER DINASTY
Sore ini ....
"Sampai kapan Ibu akan mengurung diri? Ibu harus makan. Aku takut Ibu akan sakit."
Suara halus seiring usapan lembut di pundaknya menarik Alena untuk mendongak. Wajah tampan putra satu-satunya nampak sendu merunduk menatap sepasang matanya yang gelap dikelilingi lingkaran hitam. Disentuh dan digamitnya telapak tangan Reiga di atas pundak lalu dikecupnya sekilas saja. "Ibu tidak apa-apa, Sayang. Ibu tidak lapar," kata lirihnya teriring senyum yang jelas dipaksakannya.
Reiga mensejajarkan diri duduk di samping wanita itu. Helaian tipis rambut yang menjuntai menutupi wajah sang ibu, ia selipkan ke belakang telinga beranting permata yang pucat pasi.
"Apa Ibu ingin kita pergi dari sini? Meninggalkan Dinasti dan memulai kehidupan lain di sebuah desa yang tenang?"
Pertanyaan itu sukses menarik sayu mata Alena menyorot wajah tampan anaknya dalam sentak keterkejutan. "Maksudmu?"
Kesiur napas Reiga terembus kasar. Dibantingnya pandang ke lain arah seolah tak ingin menunjukkan perasaan yang sebenarnya tak jauh berbeda dengan ibunya. "Aku tahu Ibu menginginkan semua itu sedari lama. Aku juga tahu, mereka tak pernah benar-benar menyukai kita, kecuali Kakek yang sudah tua itu. Setelah Ayah pergi, apa lagi yang bisa kita pertahankan di sini, Ibu? Aku takut Ibu akan menderita. Sementara aku tak bisa melakukan apa-apa."
Bukan tanpa alasan, baik Reiga mau pun Alena, keduanya sama-sama mengetahui bagaimana perangai kakak dan adik-adik Damaresh yang tak pernah menghendaki mereka berada dalam naungan Lexander Dinasty.
Beberapa detik Alena nampak tercenung. Sepasang telapak tangannya saling me.remas menggulung resah. Menimbulkan ruas tulang putih yang mengetat terbalut halus kulitnya. "Lalu bagaimana dengan Lexander Corp?" Ia melontarkan apa mengganjal dalam benaknya.
"Aku tidak peduli!" Reiga menegaskan.
"Tapi, Rei--"
"Siapa yang mengizinkanmu untuk tak peduli, Anak Bodoh?!"
Suara serak dengan aksen tegas menggaung menembus ruang. Dari ambang pintu, seseorang muncul memungkas obrolan Reiga dan Alena. Keduanya spontan menghela pandang ke asal suara.
"Kakek!"
"Ayah!"
Sepasang roda di kursinya diputar Ted Lexander dengan kedua tangan. Reiga bangkit gegas untuk membantu. "Kenapa Kakek di sini?! Kenapa sendiri? Mana Bibi Neola?!" cecar pemuda itu seraya mendorong kursi roda kakeknya mendekat ke arah Alena yang sudah berdiri menyambut di ujung tempat tidurnya.
"Aku tak ingin siapa pun mengikutiku," jawab Ted.
Alena turun bersimpuh di hadapan sang mertua, setelah kursi beroda yang membawa pria tua itu terhenti tepat di hadapannya. Dikecupnya sepasang tangan renta yang selalu mengusap kepalanya penuh kasih itu. "Ayah sudah makan?" tanya lembutnya.
"Makan?" Ted Lexander mengulang. Berat napasnya berembus terlihat penuh beban. "Ahh, kentang berbumbu itu bahkan terasa seperti petir yang berkeredap di lidahku."
Tiba-tiba tawa Reiga menggaung menanggapi. Dipeluknya pundak sang kakek dari belakang. "Kalau begitu apa lidah Kakek sudah mengandung listrik? Jika sudah, aku ingin meminjamnya untuk tugas rangkaian paralel di sekolahku."
"Anak kurang ajar!" hardik Ted dengan jitakan kecil di kepala Reiga seraya terkekeh.
"Hahaha." Reiga tergelak lagi.
"Reigaaa." Alena menggeleng dengan senyum tertahan seolah lenyap semua beban. "Hentikan tawamu!" titahnya pada sang anak.
"Reiga," panggil Ted Lexander memotong kemudian. Tipis senyumnya sesaat lalu telah berganti raut serius.
Kekehan Reiga mengendur perlahan lalu menghilang. "Ada apa, Kek?" Ia ikut serius.
"Ayahmu sudah pergi."
Suasana hening seketika. Air mata Alena terlihat mulai menitik kembali dalam pandang menusuk gamang pada Ted. Dia membuang wajah dengan perasaan kembali perih. Tubuh semampai miliknya ia angkat kembali ke atas kasur, lalu duduk di sana seperti semula.
"Belajarlah yang rajin, Nak," sambung Ted mempertahankan tatapnya pada Reiga.
"Sebenarnya apa yang ingin Kakek bicarakan?" Reiga menyela. Simpuh ibunya ia gantikan kini di hadapan sang kakek.
Rambutnya yang selalu gondrong dibelai halus pria tua itu.
"Kakek ingin kamu seperti Damaresh. Membawa kemajuan Lexander Dinasty. Mensejahterakan penduduk Philo dengan tanpa adanya pengangguran dan kemiskinan. Lanjutkan kiprah ayahmu, Nak." Wajah Ted Lexander menunjukkan pengharapan yang teramat besar pada cucunya.
Reiga seketika membatu. Belum setengah jam yang lalu ia dan ibunya membahas untuk keluar dari kastil, kini sebuah beban tiba-tiba menimpa dan menahannya untuk pergi. "Tapi aku tidak bisa, Kek. Aku tak akan bisa sehebat Ayah. Aku dan Ibu hanya butuh ketenangan."
"Kau pasti bisa, Reiga!" Ted menyergah cepat. "Ketenangan akan kau dapat dari keberhasilan. Kakek akan mengirimmu ke Granada, untuk sekolah bisnis di sana."
"Tapi bagaimana dengan Paman Thomas, Bibi Eleanor dan lainnya, Kakek?! Aku yakin mereka tak akan setuju. Mereka tak suka padaku," ujar Reiga penuh tekanan.
"Thomas kau bilang?" Ted Lexander tersenyum sinis. "Dia sudah merengkuh Lexander Company. Dan Eleanor, dia kupercayakan Lexander Terbuka. Mereka dan anak-anaknya tidak akan kekurangan apa pun!"
Reiga dan Alena saling beradu pandang dalam resah, meneguk liur susah payah.
Sejujurnya, mereka berdua tak menginginkan gelimang harta dan kekuasaan. Hanya sebuah rumah sederhana dengan sepetak tanah untuk bertani, dirasa sudah cukup menggamit senyum tanpa beban kepemimpinan. Sayangnya, Damaresh tak pernah bisa mengabulkan itu hingga ajal menjemputnya.
Dan pria tua di depan mereka, selain sebagai founder kerajaan bisnis Lexander, dia adalah Sang Aturan. Tak seorang pun bisa mengacaukan debutnya. Satu bait kalimat Ted Lexander membentuk harga mati. Sama seperti Mendiang Lexander--ayahnya, kakek buyut Reiga.
Lalu bagaimana Alena dan Reiga akan melalui semua dan bertahan dalam tekanan anggota Keluarga Lexander lainnya?
...🍃🍃🍃🍃...
Jangan lupa like!
Astaga! Kau membuatku gila!"
Eleanor terperanjat. Dada pria yang baru saja menemaninya bercumbu di atas kursi, didorongnya gegas melerai jarak. "Shittt!" Ia mengumpat menahan geram. "Kau pergilah!" titahnya pada pria itu.
Walau sama-sama terkejut, pria yang usianya sepuluh tahun lebih muda dari Eleanor itu, terpaksa menuruti titah. Sedikit dengusan dari mulutnya. Merapikan satu persatu kancing kemeja yang terlepas, kemudian berlalu dengan raut masam. Cukup sial setelah batang di balik celananya mengeras tanpa penyelesaian.
Thomas mengikuti geraknya dengan tatapan sinis melalui ekor mata, sampai pria muda itu menghilang di balik pintu.
"Ada apa kau datang ke sini, Thom?" Eleanor bertanya selanjutnya. Wanita 42 tahun yang tetap terlihat cantik itu mulai sibuk mempertebal lipstik di bibir yang telah habis dilumati pria simpanannya, berkaca pada cermin kecil yang menempel di dalam cepuk bedaknya. "Mengganggu saja!"
Thomas menanggap jengah, "Salahmu tak mengunci pintu!"
"Karena semua karyawanku tak serampangan sepertimu, Bodoh!" hardik Eleanor.
"Huuh! Kau masih saja bertingkah seperti jal4n9. Apa kau tak takut Helios mengetahui kelakuan tololmu ini?!"
Eleanor tersenyum kecut. Gemeletak bunyi lipstik yang dilemparnya ke atas meja terdengar kemudian. "Untuk apa aku takut?" katanya menantang sarkas. "Bagus jika dia tahu. Itu artinya dia harus mulai sadar, jika dia benar-benar tak berguna untukku dan anak-anak!"
Kursi beroda di hadapan ditarik Thomas kemudian duduk di sana. "Baiklah, terserah kau! Apa pun masalahmu dengan Helios, aku tak peduli."
Eleanor hanya menggedik bahu.
"Kali ini dengarkan aku, Elle!" Tatapan ketat membawa keseriusan di wajah Thomas. Kedua siku tangan ia tekan di atas meja menyangga dagu.
"Ada apa? Apa kau kalah berjudi lagi?" cebik Eleanor suka-suka.
"Diamlah!" Thomas menghardik. "Kubilang dengarkan aku!"
Keruh tatapan Thomas dipahami Eleanor, bukan saatnya bercanda lagi. Punggung ia benturkan pada sandaran kursi lalu menyilang tangan. "Baiklah. Apa yang ingin kau sampaikan?"
Cukup udara diraup kerongkongannya, perlahan dan hati-hati, Thomas mulai menyampaikan apa yang menjadi alasan di balik kedatangannya ke kantor Eleanor.
Pembahasan semakin serius dan membesi seiring semakin jauh pria itu menguntai kata.
"Jadi maksudmu ... kita juga harus menyingkirkan Reiga dan Alena?" Eleanor mengulang tak percaya.
"Tidak ada cara lain, Elle! Kalau tidak, bocah itu akan mengacaukan semua yang kita susun dengan susah payah selama ini."
"Lalu apa yang akan kau lakukan dengan rencana itu?" tanya Eleanor lagi.
Tarikan bibir Thomas membentuk seringai kelam. Tersirat niat yang jelas bukanlah hal yang lurus. "Kau yang akan melakukannya!"
...***...
Satu bulan kemudian ....
Turun dari sepeda motornya di halaman kastil Lexander Dinasty, remaja berambut gondrong itu baru saja pulang sekolah. Helm dikaitkannya di kaca spion, sedang kunci motor dimasukannya ke dalam saku celana. Ia lantas mengayun langkah dengan wajah santai seperti biasa.
Dari jarak setidaknya lima puluh meter, Reiga menangkap suara-suara tak biasa dari dalam kastil. Dihentikannya langkah sejenak mendengarkan dengan seksama. Menyadari milik siapa suara itu, ia laju berlari masuk secepat mungkin menghampiri sumbernya.
"Aku tidak berbohong, Ayah! Aku tidak mencuri apa pun milik Eleanor." Alena terus meraung di bawah kaki Ted yang bergeming di atas kursi rodanya.
"Ibu, ada apa?!" Reiga menyongsong dengan terkejut, menurunkan tubuh mensejajari lalu merangkul wanita itu.
"Reiga ...." Alena terisak di dada bidang putra tercintanya. "Ibu tidak mencuri apa pun!" Ia menjelaskan di sela isak.
"Ibu tenanglah,” katanya. Reiga mengangkat wajah, mengabsen satu persatu wajah orang-orang yang ada di sekeliling, lalu jatuh pada sang kakek. "Kakek, ada apa sebenarnya?"
Ted Lexander masih terdiam tak bisa menjelaskan. Ia mungkin bingung. Siapa yang harus ia hakimi saat ini. Sedang tak ada satu pun bukti yang bisa meyakinkannya membela Alena lagi, selain sehelai kertas kusut yang ditemukan Neolla di bawah bantal menantu kesayangannya.
"Ibumu mencuri dan merobek berkas perjanjian saham dengan klien yang kudapatkan susah payah." Eleanor mengambil jawaban. Wajah keruh bermahkota keangkuhan miliknya tak sedikit pun menatap keponakannya.
Reiga membeku gamang. Kepalanya turun merunduk perlahan menatap pucuk kepala Alena yang masih sesenggukan dalam peluknya. "Tidak!" sanggahnya tak terima. "Bibi Elle pasti salah. Ibu tidak mungkin melakukan itu."
"Apanya yang tidak mungkin, Reiga?! Ibumu iri padaku!" Eleanor menghardik keras. "Aku tahu Lexander Corp sedang lemah setelah kematian Damaresh. Beberapa investor menarik saham mereka kembali karena tak percaya pada pengelola yang dipilih Ayah. Tapi tak seharusnya ibumu merusak kesempatan dari apa yang baru saja kudapatkan! Dia pantas dihukum!"
Alena semakin sesenggukan. Geleng kepala sebagai bantahan terasa sia-sia aja.
"Kakek, apa Kakek tidak percaya pada Ibu?" Reiga mengharap dari itu setidaknya. Alena bukan tipe rendahan seperti yang dituduhkan. "Ibu pasti hanya difitnah!"
"Diam kau, Bocah!" Eleanor menghardik lagi. Telunjuk bercat kuku merah terang mengacung ke wajah Reiga. "Tidak ada fitnah di sini!"
Ted Lexander semakin beku. Tatapan matanya sulit dideskripsikan. Namun tak bisa dielak, hatinya cukup sakit melihat mata bening Reiga yang terus menatapnya meminta pengharapan. Ia memalingkan wajah berusaha menghindari kelemahan.
"Neolla, antarkan aku ke kamar. Aku ingin beristirahat."
Neolla--pelayan pribadinya hanya mengangguk tanpa kata, lalu mendorong kursi roda tuannya meninggalkan ruangan luas yang justru terasa pengap.
Reiga menatap kepergian kakeknya dengan raut sedih. "Kakek," panggilnya lemah. "Kumohon percayalah."
"Sudah kubilang berkali-kali, bukan? Kalian tak pernah pantas berada dalam naungan Lexander Dinasty. Kandang babi adalah tempat yang tepat untuk sampah tak berguna," cela sarkas Eleanor.
"Semua ini ulahmu 'kan, Bibi Eleanor?!" tuding Reiga menatap tajam pada sang bibi.
Senyuman sinis Eleanor menanggapi, "Jikapun iya, apa kau bisa membuktikannya?" Lalu berbalik badan ikut berlalu dari ruangan. Menghentak sepatunya menggugu angkuh.
Reiga menggeram marah, namun Alena menahannya untuk tak meledak melayani kesintingan bibinya.
Ini bukan yang pertama kali setelah kepergian Damaresh. Beberapa masalah juga sempat menimpa mereka dengan tema yang sama juga lainnya. Namun kali ini, sepertinya tak ada pengampunan. Ted Lexander bahkan tak lagi melontarkan kalimat sebagai pembelaan seperti yang lalu-lalu.
"Ibu ... kita keluar saja dari kastil ini." Reiga berkata lemah, yang kemudian diangguki Alena tanpa berpikir lagi.
Dipapahnya tubuh ringkih sang ibu untuk naik menuju kamarnya di lantai dua. Secara bergiliran, keduanya saling membantu berkemas barang-barang yang akan mereka bawa pergi ke dalam koper masing-masing.
"Nyonya dan Tuan Muda sedang apa?" Suara parau itu tiba-tiba terdengar dari ambang pintu kamar Reiga.
"Neolla," sahut lirih Alena.
Wanita paruh baya berseragam perawat itu menghampiri dengan raut sedih. Ditatapnya dua buah koper yang mulai penuh terisi barang-barang milik Reiga. "Kalian mau kemana?" tanyanya.
"Kami akan keluar dari rumah ini, Bibi Neolla." Reiga mengambil jawaban. Sedang Alena malah menangis tanpa bisa berkata-kata.
"Walau pun harta yang ditinggalkan Ayah sangat banyak, aku dan Ibu tidak akan membawanya sedikit pun. Tolong sampaikan itu pada Kakek, Bibi Neolla."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!