"Ibu... Lihatlah aku mendapatkan pekerjaan." Kata Ansella memamerkan seragam barunya.
"Wah... syukurlah, aku bangga denganmu Ansella, kau memang anak yang bisa di banggakan." Samantha memeluk Ansella dengan penuh kasih sayang.
"Aku bekerja di hotel berbintang yang sangat mewah, meskipun itu ada di wilayah Timur tapi ku rasa tidak masalah, karena rumah kita berada di perbatasan."
"Iya, semoga Tuan Gerlado dan Tuan Yaron akan memaklumi itu." Kata Samantha.
Kemudian, Samantha melirik seorang gadis yang sedang menyetrika baju-baju yang menumpuk.
"Cepat selesaikan laundry-laundry itu, aku akan pergi makan di luar bersama Ansella, untuk merayakan keberhasilan Ansella mendapatkan pekerjaan, sebentar lagi baju-bajunya akan di ambil." Kata Samantha.
"Ibu, aku juga harus bekerja. Aku tidak bisa terlambat lagi. Kemarin aku sudah menyelesaikan laundry nya, dan aku terlambat masuk."
"Daisy! Kau berani membantah ibumu yang sudah merawatmu dari kecil hingga susah payah, kau berani melawanku!" Kata Samantha mendelik.
"Tapi Bu..."
"Tidak ada tapi-tapi, lihat kakak mu, dia mendapatkan pekerjaan yang layak dan bagus, dia bekerja di hotel berbintang yang mewah, bagaimana bisa kau tidak malu Daisy, kenapa kau masih bisa leluasa menunjukkan wajahmu ke semua tetangga tanpa rasa malu karena hanya bekerja di cafe sederhana!" Kata Samantha.
"Kenapa harus malu Ibu? Aku juga bekerja dan mendapatkan uang halal, aku tidak menjual diriku atau merendahkan diri agar mendapatkan pekerjaan." Kata Daisy.
PLAKKK!! Tamparan keras tiba-tiba melayang di pipi Daisy, hingga membuat kepala Daisy miring, Daisy juga terkejut dan membelalakkan mata menatap lantai. Ansella geram tersulut emosi dan menampar adiknya. Pipi Daisy seketika berubah menjadi merah.
Rasa panas dan menyakitkan begitu terasa di pipi Daisy, hatinya hancur, tidak ada hari tenang baginya, lebam satu sembuh pasti akan ada lebam dan bekas luka selanjutnya.
"Apa kau ingin bilang bahwa aku menjual diriku?" Ansella berdiri menantang di depan Daisy.
"Aku tidak pernah bilang begitu, tapi orang-orang yang mengatakannya."
"Kau mau mati ya!!!" Ansella berteriak histeris dan menjambak rambut Daisy.
"Aaaa lepaskan!! Sakit Ansella!! Lepaskan!!!"
"Kalau kau mau mati, dengan senang hati biarkan kakak mu ini membantumu Daisy! Biarkan aku yang membunuhmu Daisy!!!" Ansella menjambak Daisy dan menyeret Daisy masuk ke dalam tempat pencucian baju.
Kemudian Ansella mengambil selang air dan menyiram tubuh Daisy.
Tak puas Ansella mengambil serok sapu air dan memukul tubuh Daisy.
BUGG!!!
BUUUGG!!!
"Rasakan itu!!!" Teriak Ansella.
Daisy menangis tersedu-sedu, bahunya naik turun, ia menutupi tubuhnya yang basah dengan kedua tangannya yang basah pula, dan melindungi tubuhnya dari pukulan-pukulan Ansella.
"Sudah cukup Ansella." Kata Samantha dengan nada datar.
"Bersyukurlah Daisy, suasana hatiku sedang baik kali ini karena anakku mendapat pekerjaan yang bagus, jika tidak wajah memuakkanmu itu sudah ku tenggelamkan di dalam bak air agar kau tidak dapat bernafas." Ancam Samantha.
Daisy memangis dan menutupi wajahnya di lantai yang penuh dengan air.
"Selesaikan laundry-laundry itu atau kau tidak boleh keluar untuk bekerja. Kau paham!" Teriak Samantha.
"Ayo Ansella kita pergi. Kita harus merayakan keberhasilanmu mendapatkan pekerjaan, jangan lupa Ansella kau harus menggaet pria-pria yang mapan dan tampan di hotel itu, agar kau bisa hidup lebih enak." Kata Samantha mengelus kepala Ansella.
Setelah terdengar pintu di tutup, artinya Samantha dan Ansella sudah pergi. Daisy masih meringkukkan tubuhnya di lantai, menangis sesenggukkan, perlahan ia bangkit dan mengambil pakaian ganti, dengan masih menangis ia harus segera menyelesaikan laundry-laundry itu agar ia bisa berangkat bekerja.
Daisy mengganti pakaian dan melanjutkan pekerjaannya.
Bagi Daisy hal semacam itu sudah ia dapatkan semenjak ayahnya menikahi Samantha. Sekarang pun entah dimana ayahnya berada ia tidak tahu.
Setelah semeninggalnya ibu Daisy, ayahnya menikah lagi dengan Samantha dan membawa seorang putri bernama Ansella. Bisnis ayah Daisy bangkrut dan Ayah Daisy menjadi pecandu alkohol, tidak pernah pulang dan tidak pernah mengurus Daisy.
Samantha yang merasa sakit hati di tipu oleh ayah Daisy kemudian melampiaskan semuanya pada Daisy, sejak kecil ia menyiksa Daisy. Samantha menjadi emosi dan naik pitam setiap kali melihat wajah Daisy. Apalagi saat itu Daisy masih kecil, ia di berikan tanggung jawab oleh ayah Daisy untuk menjaga Daisy. Sedangkan Samantha sendiri masih memiliki anak bernama Ansella.
Meskipun begitu, Daisy masih bersyukur tidak di usir dari rumahnya, itu adalah satu-satunya rumah peninggalan almarhumah ibunya, karena setelah kejatuhan Ayahnya semua harta milik ayahnya di jual untuk menutup hutang.
Mau tidak mau Daisy harus pindah ke kota yang kecil, dimana ibunya di lahirkan, dan menempati rumah itu bersama Samantha serta Ansella.
Karena kebutuhan sekolah Ansella dan Daisy pun semakin besar, Samantha memutuskan untuk membuka jasa cuci baju. Samantha membuka Laundry.
Samantha yang membenci Daisy, berulang kali menuntut Daisy untuk ikut mengerjakan pekerjaan Laundry itu, bahkan ketika masih sekolah menengah pertama, Daisy sempat demam, Samantha tetap mempekerjakan Daisy mencuci baju-baju.
Mirisnya, Samantha tidak memakai mesin pencuci, hanya memakai mesin pengering, mencuci baju selalu manual memakai tangan dan ketika sudah selesai barulah di keringkan memakai mesin pengering. Itu karena mesin nya terlalu mahal, Samantha harus membeli salah satu.
Menurut Samantha lebih baik mencuci manual namun setelah itu bisa di keringkan menggunakan mesin, jadi lebih cepat kering.
"Haaaaahh.... Akhirnya... Selesai... Badanku pegaaallll...." Daisy merebahkan dirinya, merenggangkan otot-ototnya di atas lantai dan memandangi langit-langit.
Cukup lama ia memandangi langit-langit rumahnya yang semakin lama semakin terlihat beberapa jamur karena rembesan air hujan. Air matanya kembali menetes dan menggenang, ia menyapunya dengan tegar, Daisy memang sedikit cengeng namun mentalnya sekuat mental besi.
"Ibu... Maaf, aku belum memiliki uang untuk merenovasi rumah ini."
TOK TOK TOK!!
"Permisi saya mau ambil pakaian."
Terdengar samar-samar dari balik pintu rumah, seseorang akan mengambil pakaian Laundry nya.
"Baiikk sebentaaarr..."
Daisy kemudian membuka pintu dan melihat itu adalah tetangganya.
"Ahh... Nyonya Rose, mau mengambil pakaian ya. Sebentar saya ambil kan silahkan duduk dulu."
Nyonya Rose kemudian duduk di teras rumah.
Tak lama kemudian Daisy membawa plastik berisi pakaian-pakain rapi yang sudah di lipat dan di setrika, baunya juga harum.
Nyonya Rose menerima itu.
"Daisy, ada apa dengan wajahmu."
Nyonya Rose hendak memegangnya namun Daisy mundur perlahan.
"Aahh... Nyonya Rose. Tadi saya terjatuh."
"Apa ibu mu memukulmu lagi!" Kata Nyonya Rose.
Daisy hanya diam.
"Wanita itu! Apa yang sebenarnya dia inginkan, apa dia memang sudah kehilangan kewarasan!"
"Bu... Bukan ibu saya. Saya terlibat sedikit pertengkaran dengan Ansella."
"Haaaahh!!! Lagi-lagi!!! Jika bukan Samantha pasti Ansella, sepertinya aku bebar-benar harus melaporkan mereka ke polisi!!!" Kata Nyonya Rose.
"Ti.. Tidakk Nyonya. Jangan... Saya mohon. Ini sudah tidak sakit lagi." Pinta Daisy.
"Kamu... Memang sebaik malaikat seperti ibumu...." Nyonya Rose membelai kepala Daisy dengan rasa iba, ia tahu bukan hal tepat untuknya ikut campur. Namun terkadang hatinya sangat sakit melihat Daisy selalu di perlakukan seperti itu.
bersambung
Negara Korkea di Kota B
"Astaga... Tunggu Aku... Tunggu....!!!" Teriak Daisy berlarian mengejar bus yang mulai melaju.
Daisy berusaha keras menyelesaikan laundry-laundry dengan cepat agar ia tidak terlambat bekerja lagi.
"Tunggu... Berhentii...!!!" Teriak Daisy berlari-lari sembari menggedor-gedor dan memukul badan bus bagian belakang mengenggunakan telapak tangannya.
Tak berapa lama perjuangan Daisy membuahkan hasil.
"CIIITTT!!" Bus itu mengerem dan berhenti kemudian membuka pintunya.
Daisy tersenyum lega, ia berlari dan berhasil masuk ke dalam bus lalu menekan dadanya yang sesak.
"Terimakasih, maaf." Kata Daisy ngos-ngosan.
Kemudian Daisy masuk ke dalam bus lebih dalam lagi untuk mencari tempat duduk.
"Astaga nafasku hampir saja terputus." Kata Daisy kemudian duduk sembari masih mengatur nafasnya yang masih ngos-ngos an karena berlarian.
Setelah itu, Daisy memasang headset pada telinganya dan memutar musik melalui ponsel sederhana miliknya agar ia lebih tenang.
Daisy kini berusia 19 tahun, ia adalah gadis tangguh bermental besi. Daisy melalui hidupnya penuh dengan air mata, dan siksaan dari ibu tirinya Samantha dan saudari tirinya Ansella.
Meski Daisy sudah bekerja dan bisa saja ia keluar dari rumah, lalu menyewa ruangan apartmen kecil namun itu tidak dapat Daisy lakukan, karena rumah itu adalah satu-satunya peninggalan nenek dan ibunya yang telah meninggal.
Ayahnya sendiri menghilang, pria yang seharusnya menjadi pelindungnya telah lama meninggalkannya dan entah berada dimana, hingga akhirnya Daisy menganggap bahwa pria itu telah mati. Apalagi setelah Daisy mendapatkan perlakukan tidak adil oleh ibu tiri dan saudara tirinya.
Daisy adalah anak yang pandai ia harus menelan pahitnya keinginan untuk bisa melanjutkan ke universitas dan lebih memilih bekerja, lantaran ibu tirinya yang tidak menyetujui jika Daisy melanjutkan ke perguruan tinggi.
Perjalanan menuju cafe tempat kerjanya tidak terlalu jauh, akhirnya bus sampai tepat waktu.
"Syukurlah, kali ini aku tidak terlambat. Ini semua karena ketangkasanku mengurus laundry-laundry itu dengan cepat. Kau hebat Daisy, kau yang terbaik." Kata Daisy memuji dirinya sendiri, tak lupa ia mengelus kepala nya sendiri juga.
Daisy kemudian masuk dan mengganti pakaiannya dengan seragam kerja, ia sudah bekerja di cafe itu kurang dari setahun, selama lulus dari sekolah Daisy bekerja serabutan hingga akhirnya ia mendapatkan pekerjaan tetap itu di cafe atas bantuan Brian.
Setelah mengganti seragam kerja, Daisy menaruh tas nya di loker, kemudian ia mulai membersihkan ruangan cafe.
"Tumben kau tidak terlambat, apa ibu mu sedang murah hati?" Sapa seseorang di belakang, dan tentu saja seseorang yang tidak asing bagi Daisy.
Pria itu bediri dengan menyedekapkan tangan.
Daisy tahu siapa pria itu hanya dengan suaranya, lalu ia menengok dan memutar matanya membuat wajah yang malas. Wajah Daisy terlihat menggemaskan.
"Kau tahu ibuku Chef Brian, mana mungkin itu terjadi, jika itu terjadi matahari pasti terbelah. Aku tidak terlambat bekerja karena kepintaranku, kecerdasanku, keuletanku, ketangkasanku dan karena otot-otot besiku serta mental bajaku yang bisa menyelesaikan laundry-laundry itu dengan kecepatan turbo." Kata Daisy kemudian mengibaskan rambutnya untuk menyombongkan dirinya.
"Ha...Ha... Haha... Haha... Baiklah... Aku tahu itu." Kata Brian tertawa hingga air matanya keluar sembari menunjuk otot-otot Daisy.
"Melihat perkasanya dirimu dan kerasnya otot-otot tanganmu. Makanya aku semakin meragukanmu apakah kau benar-benar wanita." Kata Brian terkekeh kekeh.
"Ssshhhh.... Melihat mulusnya kulitmu apakah benar kau adalah pria? Dasar...!" Daisy memasang wajah jelek. Namun wajah Daisy justru terlihat semakin imut bagi Brian.
Sudah sejak lama Brian menyimpan perasaan sukanya pada Daisy, semakin hari hatinya semakin penuh dengan Daisy.
Namun, Brian tidak berani untuk mengungkapkan perasaannya, karena ia tahu bahwa Daisy tidak pernah sedikitpun terbesit untuk memiliki pasangan.
Daisy hanya fokus pada hidup yang ia jalani saat ini, Daisy fokus untuk bertahan hidup dari pekerjaannya dan dari keluarganya.
Bahkan, Daisy tidak pernah sekalipun menyinggung tentang cinta apalagi pernikahan. Brian takut jika ia mengungkapkan perasannya, justru membuat hubungan mereka yang sudah terjalin akrab akan canggung dan menjadi renggang.
Bagi Brian, bisa dekat dan saling bercanda dengan Daisy sudah membuat Brian bahagia.
Daisy kemudian melanjutkan untuk mengelap meja, rambutnya sedikit menganggu karena selalu jatuh di wajahnya.
"Kau harus mengikat rambutmu ke belakang." Kata Brian mengeluarkan ikat rambut milik Daisy yang ada di kantung apron.
"Chef Brian... Biar aku saja." Kata Daisy.
"Diam saja. Tanganmu kotor, aku terampil melakukan ini."
"Yeah... Apa kau sering mengikat rambut wanita dari belakang sehingga sangat percaya diri seperti itu." Ejek Daisy.
"Bhahahah....!!! Ya, kau tahu kan? Ketika manager memasuki ruangan dapur? Dia selalu menyuruhku untuk mengikatkan rambutnya saat tangannya sedang sibuk membuat bahan atau adonan." Bisik Brian.
"Kurasa Manager memang memiliki perasaan mendalam padamu Chef Brian." Bisik balik Daisy.
Brian diam dan tidak menanggapi karena baginya, perasaan serta hatinya sudah ia berikan pada satu orang, itu adalah gadis yang ada di hadapannya.
"Tadaa... Sudah selesai." Kata Brian.
"Ikatan rambut yang manis kan? Membuat Daisy semakin terlihat cantik." Kata Brian.
"Terimakasih Chef Brian." Kata Daisy.
"Baiklah jam kerja sudah di mulai aku harus ke dapur dan memasak. Kuharap terus begitu Daisy, jangan sampai terlambat, atau manager akan menghukum mu lagi." Kata Brian sedih dan khawatir.
"Aku mengerti." Kata Daisy tersenyum.
"Mmm... Daisy... Sebenarnya Ansella menghubungiku." Kata Brian kemudian.
Daisy berhenti mengelap meja.
"Ansella mengatakan bahwa ia mengajakku minum, katanya dia baru saja mendapatkan pekerjaan, dia ingin merayakannya denganku. Tapi aku menolaknya."
Daisy masih diam.
"Seharusnya dia tahu aku ada di pihak siapa." Kata Brian.
Daisy diam sejenak lalu ia merasa harus melakukan sesuatu.
"Brian... Sebaiknya kau menemuinya, dia akan terus salah paham denganku."
"Aku akan menemuinya tapi bukan untuk minum dengannya, melainkan untuk mengatakan dan menegaskan bahwa aku tidak menyukainya." Kata Brian.
Daisy dan Ansella serta Brian bersekolah di tempat yang sama. Saat itu Brian menjadi osis di sekolah itu, dan Ansella sangat menyukai Brian.
Namun, Brian muak dengan sifat dan sikap Ansella karena selalu saja menganiaya Daisy. Puncaknya adalah ketika saat itu Brian mengantar pulang Daisy ke rumah.
Ansella telah membuang sepatu Daisy dan sepeda milik Daisy di persawahan tepi jalan yang mereka lalui untuk pulang, hingga membuat kaki Daisy terluka, hanya karena Daisy memperoleh peringkat pertama di sekolahnya sedangkan Ansella berada di peringkat bawah.
Ansella marah karena Daisy tidak memberikan jawaban ketika ujian, membuat Ansella kesusahan dan menjadikannya berada di peringkat bawah.
Kemudian Ansella meluapkan amarahnya kepada Daisy, ia membuang sepeda Daisy ke persawahan, merebut sepatu Daisy secara paksa di bantu dengan teman-temannya hingga membuat lutut Daisy terluka dan tidak bisa berjalan.
Brian yang mengetahui itu kemudian menolong Daisy, ia menggendong Daisy untuk pulang.
Sampai di rumah, melihat Daisy di gendong oleh Brian membuat Ansella semakin gelap mata, ia menuduh bahwa Daisy telah merebut dan mencuci otak Brian agar Brian membenci Ansella.
Kini usia mereka sudah dewasa dan sudah bekerja, Ansella tetap saja menyalahkan Daisy, bahwa Brian tidak menyukainya karena Daisy telah bermain kotor dengan cara menghasut Brian agar membenci Ansella.
bersambung
"TLING!" Suara bel pintu cafe berbunyi pertanda jika ada pelanggan yang masuk.
"Selamat datang." Sapa Daisy.
"Americano 1." Kata pria itu.
"Baik, Americano 1. Maaf Tuan, apakah anda mau tambahan lain seperti dessert tuan? Kami memiliki aneka macam dessert untuk menemani americano anda agar lebih manis." Kata Daisy lagi dengan ramah dan sibuk mengetik di mesin kasir.
Pria itu menatap Daisy, gadis cantik dengan rambut di kucir kuda memakai seragam cafe, dan terlihat feminim.
"Boleh. Pilihkan yang paling manis." Kata Pria itu.
"Baik Tuan, saya akan mengantar pesanan anda, mohon tunggu sebentar Tuan." Kemudian Daisy melihat pelangan itu dengan tersenyum.
"TLING!" Bel pintu kembali berbunyi.
"Selamat datang..." Sapa Daisy.
"Tuan Dereck anda harus kembali, Tuan Benjove Haghwer sebentar lagi akan melakukan Zoom meeting ( meeting online melalui perangkat laptop / sistem ruang ) dengan anda membahas proyek hotel nya yang akan di bangun di Kota S." Seorang wanita cantik dengan pakaian kerja datang.
"Aku menunggu Americano milikku, dan Dessert nya." Kata Dereck.
"Akan saya bawakan Tuan."
Dereck melirik Daisy yang masih sibuk meracik pesanan. Dalam hati, ia memiliki percikan-percikan perasaan melihat bagaimana cantiknya seorang gadis yang baru ia temukan.
Dalam perjalanan hidupnya sampai sekarang, hingga ia ada di berbagai negara, baru kali ini Dereck menjumpai gadis energik yang cantik dan sangat murni.
Kulit Daisy yang bening dan putih mulus, dengan leher jenjang yang terekspose membuat Dereck beberapa kali melirik pada Daisy.
Tubuh ramping Daisy, wajah polos, lugu nan cantik adalah perpaduan yang sempurna.
Meski Daisy tanpa riasan, namun Dereck mengagumi kecantikannya.
"Baiklah. Kau bawa ke hotel Casey." Kata Dereck.
Kemudian Dereck pergi meninggalkan Cafe.
Setelah beberapa saat kemudian Daisy selesai menyiapkan pesanannya.
"Saya yang akan membawanya, tadi adalah atasan saya." Kata Casey.
"Aaah... Baik. Terimakasih." Kata Daisy ramah.
"Tapi, Dessert ini apakah pesanannya juga?"
"Ya, sudah di bayar." Kata Daisy.
"Aneh, biasanya Tuan Dereck tidak suka makanan yang manis." Kata Casey sembari berlalu pergi dan keluar dari cafe dengan wajah bertanya-tanya.
Waktu berjalan dengan cepat, seharian ini cafe cukup sepi. Biasanya Cafe akan ramai oleh para pekerja kantoran atau para pelajar, namun hari ini mungkin beberapa orang sibuk dengan pekerjaan mereka dan para pelajar sedang sibuk mempersiapkan ujian.
Daisy sudah berkemas akan pulang dan Brian menepuk bahunya.
"Mau ku antar?" Tanya Brian.
Daisy menggelengkan kepalanya dengan sangat yakin dan tersenyum.
"Aku kecewa sekali, kau selalu menolakku."
"Aku tidak mau Ansella terus-terusan salah paham padaku."
Brian mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah. Hati-hati ya." Kata Brian.
Daisy mengangguk.
Ketika Daisy sudah masuk ke dalam bus, ponsel Brian bergetar, pria itu melihat siapa yang menghubunginya dan mimik wajahnya berubah menjadi terlihat kesal.
"Ya. Dimana?" Tanya Brian.
"Okey, aku kesana." Kata Brian.
Kemudian Brian memakai helm fullface nya dan mulai mengendarai motor sport nya ke tempat si penelpon berada.
Tak butuh waktu lama, akhirnya Brian sampai di sebuah bar yang cukup terkenal.
Brian masuk dan mencari-cari orang yang sudah menunggunya, setelah melihat targetnya Brian mendekatinya dan mengetuk meja kaca bar dengan menggunakan jarinya.
"Briiiannnn.... Aku tahu kau akan datang." Kata Ansella tersenyum.
Kemudian Ansella menuangkan bir ke dalam gelas dan menyodorkan nya pada Brian, kemudian menepuk tempat duduk di sebelahnya, memberikan kode agar Brian duduk di sampingnya.
"Aku datang bukan untuk minum." Kata Brian.
Ansella membuat mimik wajah bertanya.
"Aku katakan padamu, jangan pernah sakiti Daisy lagi, dia tidak pernah bersalah atas penolakanku padamu. Aku sudah katakan padamu berulang kali bahwa aku tidak pernah tertarik padamu dan jangan pernah lagi melimpahkan semua pada Daisy. Jangan melibatkan Daisy lagi tentang perasaanmu yang ku tolak." Brian menatap dengan nanar pada Ansella yang terkejut pria itu memberondongnya tanpa aba-aba.
Ansella menelan ludahnya, air matanya mengalir dan ia menghapusnya dengan cepat.
"Okey... Aku mengerti, tapi... Kenapa harus Daisy." Kata Ansella.
"Kenapa harus Daisy? Aku juga tidak tahu, tapi hati ku tetap hanya Daisy." Kata Brian.
Ansella menahan air matanya agar tidak benar-benar membanjiri pipinya, kemudian dia meminum bir nya dengan rakus dan meletakkan gelasnya dengan membantingnya.
"BRAKK!!!"
"Aku anggap kau sudah mengerti, dan jangan pernah lagi mengganggu Daisy!" Kata Brian kemudian ia pergi meninggalkan Ansella yang menggeram marah.
Ansella yang duduk sendirian kemudian meremas gelasnya.
"Kau salah Brian, semakin kau melindungi Ansella semakin aku akan menyiksanya, bahkan jika perlu aku akan membunuhnya. Jika aku tidak bisa mendapatkanmu, Daisy juga tidak bisa mendapatkanmu." Kata Ansella.
Hingga akhirnya, tengah malam Ansella baru pulang ke rumah dengan keadaan mabuk berat, dia terus-terusan memaki dan menghina Daisy, keadaannya benar-benar kacau.
"Daisy keparat!"
"Daisy bodoh!"
"Daisy... Daisy... Daisy.... Aku muak dengan nama itu!!!"
"Lihat saja saat aku pulang kau akan ku habisi!"
"BRRAAKKK!!!" Ansella membanting pintu dan berjalan sempoyongan menuju kamar Daisy.
"BRRAAKKK!!!" Pintu yang di buka secara kasar menimbulkan suara keras dan membuat Daisy terkejut, ia baru saja terlelap.
"Kau kenapa." Kata Daisy.
"Brengsekkk!!!" Teriak Ansella dan menggeram langsung berlari dan melompat ke atas ranjang Daisy.
Ansella mencekik Daisy dengan sangat kuat.
"An... An... Anselll...." Daisy tidak dapat mengatakan sesuatu, dia tidak bisa berteriak untuk meminta tolong.
"Mati!!!"
"Matiilah kauuu Daisy!!!"
Ansella berteriak-teriak dan mencekik Daisy hingga sekuat tenaganya.
Merasa ada kegaduhan, Samantha pun bangun dan memeriksa. Samantha yang melihat Ansella sedang mencekik Daisy langsung melerai anaknya
"Ansella... Ansella... Apa yang kau lakukannn..." Kata Samantha khawatir jika Daisy akan kehilangan nyawanya.
Namun, bagi Samantha bukan khawatir akan kehilangan Daisy, melainkan ia takut Ansella akan di penjara jika Daisy sampai mati.
"Ibuuuu....!!!" Ansella berhenti mencekik Daisy dan memeluk ibunya.
"Uhukkk!!! Uhuuukkk!!! Uhuukkk!!!" Daisy memegangi lehernya dan terbatuk batuk, ia mengambil nafas panjang-panjang dan dalam hingga berbunyi.
"Ibuuuu... Brian menolakku lagi.... Katanya dia membenciku karena aku selalu kasar pada Daisy, pasti Daisy yang mengadu pada Brian, dan sekarang Brian membencikuu buuu.... Aku sangat marah... Kau tau kan Buuu... Aku sangat mencintai Brian dari pertama kali melihatnya di sekolah...." Ansella menangis dan merengek di pelukan ibunya.
Kemudian Samantha melihat Daisy dengan tatapan iblis.
"Kau... Kau... Selalu saja membuat onar ya!! Kau selalu saja membuat Ansella di benci oleh orang-oarag!! Kau selalu merasa lemah agar semua orang mengasihi mu kaannn!!! Kau tidak tahu rasanya berjuang merawat anak yang tidak lahir dari rahimku kan!!! Kau seharusnya sadar diri Daisy!!! Siapa yang telah memberikanmu makan dan membesarkanmu!!" Samantha mendelik pada Daisy.
"Aku juga tidak hanya makan dan tidur seperti babii! Laundry masih berjalan karena aku yang mengerjakan nya dan uangnya masuk ke dalam kantongmu." Kata Daisy.
"Apa kau bilang!!? Ansella pergilah ke kamar, biarkan ibu yang memberikan pelajaran berharga pada anak tidak tahu diri ini!" Kata Samantha.
"Baik ibu..." Ansella kemudian pergi meninggalkan kamar Daisy.
Sedangkan Samantha mengambil sapu lidinya dari ruangan tengah dan membawanya ke kamar Daisy.
bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!