NovelToon NovelToon

SEPASANG KSATRIA PEDANG

Awal Yang Baik

Di sebuah tebing yang dikenal penduduk setempat dengan nama Tebing Maut, terdapat sebuah rumah besar dan layak di dasarnya.

Dahulu tebing ini banyak memakan korban baik binatang binatang yang jatuh maupun para pemburu. Namun kini tebing itu sudah tak lagi memakan korban jiwa karena sebuah keluarga tinggal di sana.

Pinggiran pinggiran tebing kini telah dikeruk agar bibir tebing terlihat lebih tinggi sehingga tak ada orang atau binatang yang berani mendekat setelah tau bahwa tanah bebatuan berbukit itu adalah dasar tebing yang curam.

Di dasar tebing terlihat seorang remaja yang tampan berbadan tegap dengan rambut tebal panjang melewati bahu yang di ikat ke belakang.

Remaja itu bernama Jiraiya. Dialah yang menjadi pelipur lara dan juga teman bermain seorang gadis kecil bernama Cindi Cantika putri gurunya yang bernama Satria.

Telah hampir setahun Jiraiya berada di sana menggantikan kedudukan putra pertama Satria dan Sari bernama Mahesa yang sedang belajar ilmu beladiri dari kakeknya.

Pagi itu, seperti biasa Jiraiya sedang berlatih di bawah air terjun yang besar dengan gerakan sepasang pedang pusaka keluarga Ong yang diwarisi dari kakeknya.

Puluhan meter di depannya, duduk seorang pria berusia 35 tahun yang tampan dan gagah dengan sinar mata mencorong tajam memandang setiap gerakan Jiraiya di atas batu yang menyembul dari dalam sungai.

Pria berambut putih panjang melewati bahu itu berseru pelan,

"Ulangi lagi jurus 30 sampai 67 sekali lagi."

Meski tampaknya hanya berbisik saja, namun telinga Jiraiya dapat menangkap suara gurunya dengan jelas. Padahal suara gemuruh nya air terjun saat itu sangat memekakkan telinga.

Dapat dibayangkan bagaimana hebatnya keahlian tenaga sakti yang dikerahkan melalui suara gurunya sehingga dapat disalurkan seperti itu.

Kini Jiraiya tampak mengulang lagi seperti perintah gurunya tadi dengan sepasang pedang yang di timpa berton ton air yang jatuh dengan jarak beberapa kilometer dari atas.

Mata jiraiya kini memerah dan kepala nya pusing bergaung diakibatkan hampir tiga jam di timpa gemuruh air yang semakin lama semakin besar.

"Cukup, mari kita kembali." Ucapan Satria menghentikan gerakan latihannya.

Dengan hati lega, Jiraiya kini berlari di belakang gurunya yang hanya tampak seperti berjalan saja. Namun sebentar saja gurunya telah berada kembali jauh di depannya.

Satria sengaja mencoba ketahanan muridnya. Namun, Jiraiya yang memang sudah hampir pitam dan pingsan dari tadi, kini tampak seperti tidak bersemangat untuk mengejar gurunya.

"Guru, aku ingin memetik kelapa dulu ya?, haus dari tadi." Seru Jiraiya yang membuat bibir gurunya tersenyum melihat tingkah nya.

Memang kalau di pikir, bagaimana dia mau memanjat kelapa? berlari mengejar gurunya saja dia tidak mampu lagi. Yang membuat Satria tersenyum menahan geli hatinya adalah Alasan bahwa Jiraiya haus sekali.

Padahal sudah hampir tiga jam berada di bawah air terjun yang jernih dan segar yang memang menjadi sumber air minum mereka selama ini.

Tanpa memperdulikan muridnya, Satria terus berjalan perlahan dan beberapa saat kemudian, bayangannya sudah tak tampak sama sekali.

Jiraiya yang melihat gurunya telah pulang, segera merebahkan dirinya telentang di atas rumput du bawah pohon rindang itu.

"Bodoh kau Jiraiya, mengapa harus malu mengaku ke guru bahwa kau memang lelah dan lemah? ngapain berbohong? bodoh," Sambil rebah memejamkan matanya, Jiraiya mengomel kepada dirinya sendiri.

Jiraiya tak tau bahwa gurunya kini berada jauh di atas pohon tepat di atas kepalanya sedang menahan kelucuan hatinya menyaksikan sikap Jiraiya yang meskipun sudah hampir enam belas tahun usianya, namun masih seperti kelakuan anak anak.

Mungkin hal itu dipengaruhi oleh teman bermainnya sehari hari, yaitu Cindi dan Candu yang menjadi Naga tunggangan gurunya.

Baru saja Jiraiya membuka mata, dia meloncat kaget setengah mati ketika matanya bertemu pandang dengan Satria yang menatapnya dengan tajam dari atas pohon.

.---***---. .---***---. .---***---.

Di puncak Gunung Kidul terdapat sebuah lubang yang tidak begitu besar tertutup tanaman merambat yang begitu banyak sehingga tak akan ada orang yang dapat melihat mulut gua jika tidak menyibakkan semak di muka pintu tersebut.

Jauh ke sebelah dalam gua tersebut yang menurun ke bawah, terlihat seorang bocah remaja berumur 12 tahun lebih kurang sedang duduk dikelilingi oleh bulatan bulatan sebesar bola kasti di sekelilingnya.

Dari arah lubang tersebut, keluar hawa panas dan asap yang banyak terhirup oleh remaja yang tidak lain adalah Mahesa.

Cara bersemedi seperti demikian memang telah diajarkan secara turun temurun oleh leluhur Kek Hafiz yang bahkan tidak diketahui oleh Kek Hafiz sendiri bahwa penghuni puncak gunung kidul adalah leluhurnya sendiri.

Setelah mencapai 3000 kali tarikan napas menghirup udara dan asap yang keluar dari dasar gunung itu, Mahesa pun berhenti dan kini dengan langkah tegap dia berjalan ke arah gurunya.

"Mahesa, kau harus berlatih lebih keras. Jangan merasa puas dengan apa yang telah kau capai."

"Baik Kek." Jawab Mahesa ramah dan sopan.

"Sekarang duduklah dan mari kita sarapan,"

"Mari kakek," Jawab Mahesa yang duduk dengan sopan dihadapan kakeknya.

Selesai mereka berdua sarapan secara sederhana, Mahesa segera mandi dengan air yang mengalir keluar dari liang liang batu di sudut gua.

Air yang suhunya mencapai 40 s/d 50 derajat celsius itu sangat baik bagi perkembangan tulang dan aliran darahnya. Begitu kata kakek yang menjadi gurunya tersebut.

Setelah berendam hampir sejam lamanya dalam keadaan bersemedi, Mahesa beristirahat merebahkan tubuhnya dekat dengan tempat semedi sang kakek.

Teuku Muhammad Hafiz sebenarnya adalah kakek daripada ibunya yang bernama Sari. Namun karena batin mereka begitu dekat, maka Mahesa hanya memanggilnya kakek begitu saja.

Kek Hafiz yang dimasa mudanya terkenal dengan sebutan Bocah Ajaib itu memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia biasa.

Bahkan sebagian penduduk dusun di kaki gunung menyebutnya Dewa penjaga gunung yang menjelma dari sosok malaikat. Sungguh aneh aneh pendapat manusia yang terkadang tidak sampai pemahaman nya ke arah seperti itu.

Setelah beristirahat kurang lebih dua jam lamanya, Mahesa yang berada di gua puncak gunung tersebut kembali berlatih dan bersemedi atas petunjuk petunjuk gurunya.

Begitulah keadaan Mahesa sehari hari yang membentuknya menjadi calon pendekar besar kelak suatu saat nanti.

.---***---. .---***---. .---***---.

Keadaan Nusantara saat itu sedang dihebohkan oleh Dua Monster besar berbentuk ular di daerah Kalimantan.

Telah lama sekali, mungkin sepuluh tahun yang lalu warga di sekitar Kalimantan Timur pernah geger akibat kemunculan seekor ular raksasa yang di sebut Tangkalaluk.

Setelah dulu pernah mengganas di desa dan dusun sekitaran Kutai Barat, Tangkalaluk kini kembali mengganas di sebuah kampung di perbatasan Samarinda bersama seekor ular besar lainnya.

Namun ada yang berbeda dari Tangkalaluk yang muncul kini. Ular ini hampir dua kali lebih besar dari Tangkalaluk yang dulu muncul. Sedangkan ular besar yang satu lagi yang jenis nya sedikit berbeda dari Tangkalaluk bahkan hampir mencapai 3 kali lipat ukuran Tangkalaluk.

Seluruh masyarakat di Nusantara selalu berada dalam keadaan takut kalau kalau saat mereka tidur, ular naga besar itu akan memangsa keluarga mereka bulat bulat.

Kabar tersebut segera tersiar ke seluruh penjuru Nusantara, baik di dusun dusun maupun di kota kota besar hingga membuat pihak pemerintah mengutus para ahli untuk menghadapi dua ekor ular besar tersebut.

Bersambung ...

Petualangan Pertama

"Jiraiya, kau di panggil gurumu Nak," Seru seorang ibu yang tampak cantik dan anggun dengan suara penuh kasih sayang.

"Sebentar ibu saya segera ke situ," Jawab Jiraiya sambil berpamitan kepada Candu dengan memakai isyarat suara suara aneh.

Sesampainya di depan rumah, Jiraiya melihat gurunya sedang duduk bersama istri dan putrinya yang masih berusia beberapa tahun di bangku teras depan.

"Maaf Guru, ada apa memanggilku?" Tanya Jiraiya dengan wajah tampannya yang ceria.

"Duduklah Jiraiya. Hari ini kau harus pergi untuk melaksanakan tugas penting. Sebulan kemudian aku akan menyusul mu sekalian menjemput putraku di Gunung Kidul."

"Tugas apa Guru?" Jiraiya kembali bertanya dengan alis berkerut dan bibir masih tersenyum.

"Serahkan surat surat ini kepada Kakak ku, kepada Paman Andi di Kota Silim dan juga kepada Bibi Lina di Desa Gesik Kutai Barat daerah Kalimantan Timur. Denah tempat tinggal mereka sudah ku tuliskan di belakang sampul surat. Bekal mu hanya cukup untuk makan diperjalanan selama sebulan."

"Baik Guru, kapan saya berangkat?" Tanya Jiraiya senang.

"Nanti sore kau berangkatlah. Jangan suka menurunkan tangan maut dan jangan berbohong, aku akan menemui mu sebulan lagi di Gesik."

"Baik Guru." Jiraiya berkata sambil membungkukkan tubuhnya dalam dalam.

Karena hari masih pagi, Jiraiya mengajak anak gurunya bermain,

"Ayo Cin Moi (Adik Cin) kita bermain."

Cindi yang tertawa sambil menepuk tangannya kegirangan menjawab,

"Ayo kakak, ayo," Jiraiya segera menggendong Cindi yang kini genap berusia 7 tahun.

Terlihat Jiraiya berlari ke sana kemari menggendong Cindi yang tertawa cekikikan. Sungguh luar biasa jalinan perasaan ini.

Dulu ketika berusia setahun, Cindi di rawat oleh kakak Satria yang baru saja kehilangan putri nya karena kecelakaan. Untuk sedikit menghibur kakak iparnya, Sari menahan perasaan hatinya dan rela menyerahkan putri semata wayangnya kepada kakak nya.

Namun seiring berjalannya waktu, kakak Satria kembali dikaruniai anak perempuan. Sehingga Cindi yang berusia lima tahun itu dikembalikan kepada Satria dan Sari dua tahun yang lalu.

Setelah mengajak Cindi bermain berkeliling menunggang Candu, Jiraiya segera mengajak Cindi pulang karena waktu tengah hari tiba.

Setelah mandi dan makan siang bersama, Jiraiya yang baru saja selesai sholat berjamaah segera membungkus pakaian nya dalam sebuah tas ransel besar yang dulu menjadi milik gurunya.

Ketika sore hari tiba, Jiraiya pun berangkat menyusuri hutan dengan diantar Satria sampai ke bukit pertama di atas permukaan tebing dengan menunggang Candu.

Jiraiya yang berjalan dengan riang gembira sambil bernyanyi bersenandung merdu, memasuki sebuah Dusun yang menembus ke pantai dan dia singgah sebentar di rumah Mak Nem yang enam bulan lalu menjadi orang tua angkatnya.

Hanya setengah jam saja Jiraiya singgah di rumah Mak Nem yang sangat besar dan mewah di dekat Masjid Pantai Olele, untuk kemudian melanjutkan perjalanannya ke arah kota Banda Aceh sesuai petunjuk denah lokasi di belakang sampul surat.

.---***---. .---***---. .---***---.

Di sebuah pulau yang sangat terkenal sebagai salah satu tempat bertemunya seluruh petarung di penjuru dunia setiap tahunnya, terlihat banyak pasukan berlatih dibawah komando Seorang remaja tinggi besar berwajah oriental pedalaman Tiongkok.

Dengan suara menggema Tuan Muda Bu (Bu Sam Khi) memberikan aba aba yang di ikuti oleh gerakan pasukan berbaju merah yang sangat banyak. Tidak jauh dari situ tampak ratusan pasukan berbaju kuning dilatih oleh rekannya bernama Bong Gan.

Di sebelah samping bangunan besar juga terlihat ratusan orang berbaju hijau dilatih oleh Khong Ki dengan pukulan pukulan mantap bertenaga. Suara menggema memenuhi angkasa disebabkan teriakan tiga pasukan besar itu.

Tempat itu bernama Pulau Bon atau lebih dikenal dengan nama Bon Island yang berjarak ratusan mil dari pinggiran pelabuhan Phuket yang masuk ke wilayah daratan Thailand.

Tempat ini dulunya dibangun oleh keluarga Ong yang menjadi pelarian perkumpulan hebat di daratan China yang kemudian dirampas oleh seorang pelarian yang sakti bernama Gulikan. (Baca Cerita SIHIR SATRIA PEDANG NAGA)

Namun karena pengkhianatan bawahannya yang dibuat cacat olehnya, Gulikan meninggalkan pulau bersama keluarganya.

Kini pulau besar tersebut dihuni oleh hampir 800 orang. Ketua pulau sakti yang dikenal dengan panggilan nya Ketua Bu, kini membuat pulau Bon menjadi perguruan silat yang kini terbesar di Thailand.

Para murid dibagi menjadi 7 tingkat yang kesemuanya dipimpin oleh tingkat satu.

Murid tingkat satu hanya 7 orang saja, mereka adalah Bu Sam Khi dan Bu Su yang merupakan putra Ketua Bu sendiri. Ada pula Khong Ki putra ketua Khong yang telah tewas dan juga Bong Gan yang menjadi keponakan ketua lama yaitu ketua Gong yang juga telah tewas tahun lalu. Tiga orang tingkat pertama lainnya adalah tiga saudara kembar yang merupakan keponakan luar Ketua Bu bernama Lai Tek yang di panggil Twako, Lai Kwan yang dipanggil Jiko dan Lai kwo yang di panggil Samko oleh semua murid tingkat satu yang lebih muda dari mereka bertiga.

Rencana yang dulu pernah diaturnya bersama kedua rekannya yang juga menjadi pimpinan pulau dulu, akhirnya dapat terlaksana meski diantara tiga sahabat itu, hanya Ketua Bu saja yang masih hidup.

Begitulah keadaan pulau yang telah terlalu banyak memakan korban berdarah itu. Nampaknya, melihat keadaan pulau kini, akan lebih banyak jatuh korban ke depannya. Entahlah, siapa yang tau???

.---***---. .---***---. .---***---.

Pemuda tanggung berusia 16 tahun melangkah perlahan menyusuri hutan sebelah titi perbatasan yang menghubungkan Kota Silim dengan kepulauan jawa.

Dengan langkah tegap dan hati ceria Jiraiya melangkah perlahan hingga terdengar suara bentakan keras,

"Hei, berhenti kau anak muda," Beberapa pria sangar bertampang preman mendekatinya dari arah belakang.

"Maaf, kalian siapa?" Tanya Jiraiya dengan wajah biasa saja.

"Siapa kau dan darimana asal mu? Mengapa kau membawa senjata tajam?" Tanya pria kekar yang menjadi pimpinan.

"Aku adalah Jiraiya, aku ingin menuju ke kota Silim untuk keperluan keluarga." Jawab Jiraiya dengan alis berkerut.

"Serahkan senjata mu sekarang juga,"

"Kalian siapa?" Bentak Jiraiya dengan suara sedikit keras.

"Banyak tingkah kau, Hiaaat,," Serangan dilakukan oleh kepala preman ke arah Jiraiya yang mampu berkelit dengan mencelat ke belakang.

Lima bawahan preman lainnya segera menyerang Satria dengan pukulan pukulan kuat yang sepertinya dapat merontokkan tulang kecil nya itu.

"Hei, apa apaan kalian? Sudah bosan hidup ya?" Keceriaan Jiraiya kembali dan dia sengaja mengolok olok preman preman itu sambil mengelak dan balas menyerang.

Para preman yang telah terkena tamparan dan tendangan itu menjadi sangat murka dan marah sehingga membuat mereka menyerang lebih dahsyat lagi.

Semakin besar tekanan, semakin besar pula pantulan. Agaknya pelajaran fisika itu cocok sekali dengan keadaan Jiraiya yang semakin gencar pula menyerang hingga beberapa anak buah preman kini mengaduh aduh kesakitan.

"Sebenarnya siapa kau anak muda?" Kepala preman yang merasa gentar kini bertanya membentak dengan kemarahan meluap.

"Aku adalah murid pendekar besar Satria Putra Mahmud."

"Ahhh, Maafkan kami yang telah lancang menyerang," Seru kepala preman tiba tiba.

Segera sikap mereka berubah, Jiraiya mereka ajak duduk dibawah pohon besar dan pimpinan preman berkata,

"Maafkan kami sekali lagi Tuan muda. Sebenarnya kami adalah utusan pemerintah yang menyelidiki tentang jejak sepasang ular besar di kalimantan. Kami mendengar beberapa hari yang lalu muncul disini namun kini telah kembali menyeberang laut ke daerah perbatasan Kutai Kartanegara. Banyak kelompok seperti kami dipecah oleh pihak pemerintah namun, jika pun kami dapat berhadapan dengan ular tersebut, bukannya dapat menangkap, bahkan kami yang akan celaka." Tutup cerita kepala yang sebenarnya adalah utusan pemerintah itu.

"Aku pernah mendengar bahwa dulu guruku pernah mengalahkan tiga ekor ular besar itu bersama Candu, tapi aku mana tau bagaimana cara mengalahkan naga itu, kalau cara mengenyangkan nya tau." Seru Jiraiya yang memancing tawa enam orang itu.

Setelah bercakap cakap beberapa lama, Jiraiya pamit dan berjanji akan menemui mereka di Kutai barat dua minggu lagi.

Berjalan lah Jiraiya melewati titi panjang berjalan kaki yang membawanya ke Kota Silim di Provinsi kepulauan Baru.

Sedikitpun Jiraiya tidak tau, bahwa seluruh sepak terjangnya dari awal memasuki hutan di Aceh dulu, di lihat oleh empat pasang mata dari tempat tersembunyi. Mereka adalah Satria, Sari dan Cindi yang menunggang Candu menuju ke Gunung Kidul.

"Assalamualaikum,"

Seruan orang mengucapkan salam mengejutkan Mahesa dari semedinya.

"Wa alaikum salam." Jawab Kek Hafiz dan Mahesa secara bersamaan.

Ayah, ibu, adiiik,,," Mahesa berseru girang seraya berlari merentangkan tangan memeluk adiknya.

"Bang Hesa,, Hihihihi," Seru Cindi yang di putar putar dalam pondongan Mahesa.

Setelah dipersilahkan duduk oleh Kakeknya, Sari, Satria dan Cindi segera mencium tangan kakeknya dengan penuh hormat dan haru.

"Kakek, kami mau minta izin kepada kakek untuk menjemput Mahesa selama dua bulan."

"Aku telah diberitahu Satria Nak. Kalian bisa kembali seminggu lagi menjemputnya. Karena masih ada latihan yang harus di selesaikan putra kalian." Jawab Kek Hafiz tenang.

"Memang kedatangan kami sekarang ini hanya karena permintaan cucu kakek yang manja ini nih," Seru Sari sambil mengucek kepala Cindi di pangkuannya.

"Besok, Saya akan mengantar mereka ke rumah Paman Haji, setelah itu baru saya akan menjemput Mahesa Kek," Satria berkata dengan tenang dan halus.

"Baiklah, kalau begitu mari ku ambilkan minum sebentar."

"Tidak usah Kek, biar Sari saja yang menyiapkannya. Kakek disini saja. Hesa, ayo temani ibu." Seruan Sari mengurungkan niat Kek Hafiz untuk bangun dari batu tinggi tempatnya bersemedi.

Bersambung ...

Pertemuan Pertama

Di Pulau Bana, Profesor Andi bersama beberapa ilmuan lain sedang mempersiapkan uji coba yang ke dua ratus kali.

Seorang pria yang menjadi pimpinan pulau hanya melihat saja kegiatan yang mereka lakukan di ruang bawah tanah.

Raja yang menjadi adik ipar Profesor Andi sekaligus pemimpin pulau Bana kini berjalan keluar ruangan tersebut untuk menyambut orang orang yang membawa barang yang mereka pesan seminggu yang lalu.

"Profesor Andi, apa kau tidak memiliki sampel zat yang meracuni anak kalian?" Seru Prof Michel yang dipanggil Profesor Mike oleh mereka

"Aku belum menemukan bahan bakunya Prof. Namun setelah diteliti, zat itu membuat ku teringat kepada proyek beberapa tahun yang lalu." Seru Prof Andi sembari mengambil alat pipa penyuntik.

"Apa yang kau maksud projek gagal disini dulu?"

"Ya, jenisnya sangat mirip, namun ada beberapa molekul berbeda yang terdapat dalam sel darah putri ku dan putra Raja." Ucap Andi menjelaskan.

"Menurutku, akan sia sia saja uji coba kita kali ini jika zat dasar itu tidak kita ketahui." Prof Wang berkata.

Sesaat kemudian, tampak berjalan beberapa orang di iringi Raja yang mengantar mereka membawa barang barang didalam bungkusan karton yang tertutup rapat.

"Kak, barang keperluan kalian sudah tiba." Seru Raja kepada Andi yang mengangguk padanya.

Setelah menyuruh mereka meletakkan barang di sudut ruangan, Raja mengajak orang orang tersebut ke kamar di sebelah kanan dimana dia mentransfer harga barang yang telah diantarkan tadi.

Di luar ruangan, Andi berkata kepada para profesor lainnya,

"Kita istirahat seminggu, hari kamis kita lanjutkan uji coba,"

Semua Profesor itu mengangguk mendengar perkataan Andi yang memang di tunjuk sebagai pemimpin Projek tersebut.

.---***---. .---***---. .---***---.

Beberapa hari setelah mengantarkan istri dan putrinya di daerah Kutai Barat. Satria segera memacu tunggangannya kembali ke Kidul.

Tak perlu waktu lama bagi Satria yang menunggang naga aneh peliharaannya yang di panggilnya Candu itu untuk sampai ke Gunung Kidul.

Sesampainya di sana, Satria memperhatikan latihan putranya dari jauh. Dia sengaja tidak singgah ke puncak gunung tersebut agar tidak merusak latihan putranya. Satria kini berputar putar melihat sekeliling gunung kidul.

Saat sedang berputar putar tersebut, dia melihat seorang wanita dusun yang berlarian di dalam hutan di kejar seekor ular yang lumayan besar.

Ular sendok sebesar lengan anak anak itu terus mengejar dalam jarak yang hampir dekat.

Melihat itu, Satria segera menepuk punggung Candu sambil berkata,

"Candu kebawah sana," Tunjuk Satria dengan tangan kirinya.

Segera Candu melesat cepat, dalam waktu uang amat genting bagi wanita dusun itu, Candu menyambar dengan cakarnya membawa ular kobra itu ke atas dan melemparnya jauh.

Dapat dibayangkan, betapa kaget hati wanita itu melihat sosok mengerikan berbentuk ular besar bertanduk dengan sayap dan cakar dari dua pasang kaki yang kuat lewat di atas kepalanya.

Setelah menolong wanita dusun itu, Satria tidak menghiraukan lagi pekik dan jeritan ketakutan dari wanita dusun itu.

Satria memutuskan kembali ke gunung dimana putranya masih terlihat berlatih dengan tekun.

"Ayah,,"

"Lanjutkan Nak, ayah akan istirahat dulu."

Satria berjalan di dalam ruang gua yang luas itu menuju ke sudut dan mulai lah dia duduk melipat kakinya bersemedi dan mengatur nafas nya panjang panjang.

Beberapa hari kemudian, berangkatlah mereka berdua setelah mendapatkan izin dari Kek Hafiz yang tetap tinggal di gua tersebut.

Satria kini terlihat menuju ke arah Pulau Kalimantan di atas punggung Naga nya yang sangat setia bersama seorang remaja 13 tahun yang tampan dan lembut wajahnya.

Sesampainya mereka di perbatasan Kutai Kartanegara, dengan matanya yang tajam, Satria melihat dua ekor ular besar yang tampak seperti cacing dari atas sedang berada di tanah lapang yang luas dikelilingi oleh ratusan manusia.

Dengan cekatan, Satria mengisyaratkan Candu untuk turun. Semakin dia turun, semakin dia melihat bahwa ular ular tersebut tidak terikat, tidak bergerak, tidak terluka, tidak mengalami apa apa, hanya mendeprok saja seperti cacing mati.

Puluhan orang pria berteriak histeris saat melihat ada seekor naga besar turun dari angkasa membawa dua sosok manusia yang satu besar dan satunya lagi kecil turun ke tengah lapangan dimana seorang pemuda berdiri sangat dekat dengan kedua ular tersebut.

"Guruuu,," Seru pemuda itu yang tidak lain adalah Jiraiya.

"Jiraiya? Sedang apa kau disitu?" Tanya Satria saat telah turun dari punggung naga terbang tunggangannya.

"Maaf Guru, aku tertahan menenangkan ular besar ini disini, makanya aku belum bisa menjumpai Guru di rumah Bibi." Seru Jiraiya tenang.

"Apakah kau yang menjinakkan ular ular ini?" Cetus Mahesa tiba tiba.

"Ya, kau tentu Mahesa putra Guru dari Kidul kan?" Tanya Jiraiya sembari tersenyum senang.

"Benar, sambut serangan ku," Bentak Mahesa tiba tiba.

Jiraiya yang merasa bingung diserang tiba tiba oleh bocah remaja yang sangat di hormati nya itu melesat mundur mengelak ke sana sini dengan susah payah.

"Jiraiya, balas serangan, jangan membuat malu Gurumu," Satria berkata melihat Jiraiya yang sungkan kepada putranya.

Mulailah Jiraiya balas menyerang, ratusan orang utusan pemerintah dan para pawang yang berasal dari masyarakat sekitar itu diam seperti menahan nafas mereka.

Meski pertarungan yang mereka saksikan hanya di lakukan oleh anak remaja saja, namun sungguh melebihi perkelahian yang pernah mereka saksikan.

"Hait,," Mahesa mengelak dari tendangan Jiraiya yang mengancam bahunya.

"Hiaaath,,,," Serangan balasan Mahesa membuat ujung kaki Jiraiya terkena sampokan tangannya.

Kembali terjadi pertarungan sengit antara Jiraiya dan Mahesa. Satria yang menyaksikan hal itu mengerutkan keningnya dalam dalam.

Banyak mata memandang ke arah pria paruh baya berambut putih keperakan dengan wajah tampan yang diselimuti awan gelap.

Dalam hatinya, Satria sungguh penasaran sekali. Penasaran yang dibalut rasa girang tertahan di hatinya.

Bagaimana mungkin, putranya Mahesa yang baru setahun berlatih di kidul mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Gerakan gerakannya bahkan dapat mengimbangi Jiraiya yang berusia 4 tahun di atasnya. Bukan itu saja, Jiraiya juga telah dilatih dasar dasar yang hebat oleh Kek Hafiz saat di Kaltim dulu. (Baca Cerita SIHIR SATRIA PEDANG NAGA)

Jiraiya melanjutkan pelajarannya kepada Gulikan yang sakti, juga selama setahun ini, di gembleng oleh Satria dengan ilmu silat tinggi.

Namun jangankan untuk mengalahkan Mahesa yang masih bocah itu, mendesaknya saja dia tidak mampu.

Benar benar hebat putranya itu. Meski hati Satria senang mendapatkan kenyataan itu, namun jiwanya sebagai pendekar nomor satu belasan tahun lalu merasa kecewa karena ilmu yang diturunkan kepada muridnya masih begitu rendah dibandingkan latihan latihan yang di bentuk oleh Kek Hafiz di gunung kidul.

Setelah ratusan jurus mereka bertanding, belum tampak ada yang terdesak, Satria berseru,

"Cukup Mahesa, hentikanlah." Mendengar suara ayahnya, Mahesa segera mencelat tiga meter ke belakang tepat di samping ayahnya.

"Wah, kau sangat hebat." Seru Jiraiya secara tulus.

"Kau yang hebat, sekuat apapun aku berusaha, tidak pernah bisa mendesak mu." Balas Mahesa dengan wajah polos dan suara tenang.

"Baiklah, mari kita kembali," Ucap Satria menuju ke punggung Candu.

"Guru, biarkan aku dan Mahesa menunggang ular ular ini, kami akan melalui sungai depan ke Gesik." Seru Jiraiya sambil mendesis desis dan mengeluarkan suara suara aneh ke arah kedua ular naga itu.

"Terserah kalian" Jawab Satria.

Ratusan orang yang tampak berisik saling berbisik satu sama lain melihat dengan muka terbelalak pucat, kedua remaja itu tenang saja melangkah ke atas sambungan leher dan badan ular besar itu.

"Hati hati Nak," Beberapa pria tua memperingatkan mereka berdua.

Namun, dengan langkah tenang, Jiraiya melangkah ke arah ulat besar, sedangkan Mahesa dengan sedikit khawatir naik ke punggung Tangkalaluk yang lebih kecil untuk segera dibawa oleh kedua ular itu yang menggeliat geliat menuju ke arah sungai.

Dengan gelengan kepala dan decak kagum semua yang hadir, mereka berdua perlahan menjauh di atas tubuh ular yang meliuk liuk mengikuti aliran sungai bersama Candu yang telah lebih dulu memimpin dengan terbang di depan mereka membawa Satria di punggungnya.

Bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!