NovelToon NovelToon

Kau Bukan Milikku

Prolog

..._____________...

Kisah yang terlalu klasik namun tak termakan oleh masa. Bukan tentang cinta dalam diam  yang berakhir bahagia. Bukan, bukan itu. Namun bukan pula kisah romance pada umumnya. Bukan juga kisah cinta dalam diam dari seorang gadis miskin menyukai laki-laki kaya, lalu berakhir bahagia. Bukan itu. Terlalu mudah tertebak alurnya, jika akan berakhir seperti itu.

Ini hanya kisah klasik, seorang korban bullying yang memiliki kisah yang sama, kemudian ia juga menyukai seseorang dalam diamnya. Namun penjahat bullying bermain secara elegan. Namun mental ya tetap mental. Hancur pada akhirnya. 

Pernah terlintas dalam pikiran seorang Aleena Zain, sesuatu yang terjadi didunia ini tidak pernah adil. Orang yang hidup dengan kekayaan, maka mereka akan terus bahagia. Berbeda dengan orang yang tidak mampu, mereka akan terus menderita. Itulah hasil pemikiran sempit yang pernah terlintas dalam benak seorang Aleena. Aleena selalu berpikir mereka sukses dan bahagia karena mereka memiliki privilege  yang besar dari keluarganya. Cara berpikirnya selalu menggunakan fixed mindset. Dimana aku merasa orang sukses bukan karena kerja kerasnya, tapi karena pengaruh orang tuanya, baik secara finansial maupun dukungan. Lalu yang Aleena dapatkan hanyalah rasa iri yang membara. Kenapa bukan aku yang berada diposisi itu. Seharusnya, andai dan kata-kata lainnya yang hanya membuang waktu. 

Berbagai pikiran itu berkecamuk dalam benak seorang Aleena. Antara menerima dan juga mengeluh dalam kenyataan sangatlah berbeda tipis. Orang-orang disekitarnya selalu melemparkan kalimat bercandaan yang sengaja membuat sayatan hati terlalu menyakitkan. Simpel tapi menyakitkan. Luka siapa yang tahu, jika bukan kita yang memahami diri sendiri.

'Eh Aleena, minggir dong! kalau nulis tuh yang bener.'

'Kenapa yang nulis nggak Ahdia Rifaya aja sih? Padahal kan Rifa cantik banget. Nggak seperti yang nulis yang di depan itu.'

 'Itu tulisan apa tanjakan sih?'

'Yang bener dong kalau nulis. Bisa nulis nggak sih? Masa masih bagusan tulisan anak SD"

'Ganti aja ganti, nggak enak banget dilihat'

'Kamu nyadar nggak sih? tulisan kamu tuh jelek' perkataan itu keluar dari segerombolan anak laki-laki di kelasku sendiri. Mereka seperti paling famous, paling wow, paling membuat darah tinggi, dan mereka paling hebat dalam menjatuhkan mental orang lain. 

 Ada lagi kata-kata yang keluar secara tidak manusiawi. Ada beberapa kata yang sering aku dengar dari orang sekitar yang tidak menyukaiku.

'Eh ada kerbau betina lewat'

 'Aleena kamu tuh kurus banget kek papan berjalan'

'Kamu tuh nggak cantik sih tapi jelek'

'Item banget sih mukanya' entahlah aku sudah muak dengan perkataan orang-orang.

 'Kok sekarang gendutan, kemarin kayaknya masih kurusan deh' iya-iyalah orang dikasih makan. Pasti ngembang. 

'Muka kamu kok gitu banget sih' tatapannya dengan tidak menyukai.

 'Jorok banget sih itu muka, sampai jerawatan gitu?' entahlah, sudah berapa kali orang-orang mengatakan kalimat itu.

'Lah, perasaan kamu nggak pernah jerawatan deh. Kok sekarang muka kamu jerawatan banyak banget' kata orang yang tidak mengerti tentang seberapa besar aku mengobati tapi tak kunjung sembuh. Lagian tidak ada satu orang pun didunia ini yang berkeinginan memiliki muka berjerawat. 

'Makanya perawatan' mahal cuy. 

'Kok jijik yah ngeliat muka kamu sekarang.' kata perempuan bermulut cabe habanero menatapku dengan tatapan jijik. Dia tidak sadar kalau dia pernah mengalami jerawatan sampai lebih parah dari pada aku. Mentang-mentang muka dia sudah sembuh total, bahkan sekarang menjadi mulus, eh ternyata sekarang malah mengatai orang.

'Kamu cobain deh pakai produk ****** biar gak jerawatan.' Kata orang yang tidak tahu -menahu seberapa banyak aku coba produk tapi gagal total.

'Eh, ada bidadari bintang lima. Alias dari kecomberan' kata segerombolan anak laki-laki adik kelas ku ketika aku melewati koridor kelas mereka.

'Rambut kamu ada yang keluar tuh dua helai' kata salah satu anak perempuan mengingatkan dengan cara yang tidak baik. Ia malah menarik rambutku yang keluar tanpa sengaja. Lalu ia juga menarik rambutku sampai kepalaku sakit. Aku hanya diam. Ada beberapa helai juga rambutku rontok.

'Eh itu ada kuna, Eh Kuna dapat salam dari Aleena. Salam cinta katanya' kata mereka berbohong, lalu mereka terbahak menertawaiku. Mereka sengaja menjodohkan aku dengan orang yang tidak aku sukai.

'Bener tuh, Aaleena suka sama kamu' kata seorang perempuan yang menggunakan kedok sahabat, tapi nyatanya dialah orang yang tidak memiliki hati.

'Kalian cocok deh sama-sama buruk rupa'

'Ayo dong samperin Kuna nya, jangan cuman diem aja'

'Ciee ... kaya ada yang lagi kasmaran'

Itulah kata-kata yang selalu aku dengar. Simpel, tapi menyakitkan. Dear Allah, sudahkah aku menderita. Aku lelah atas perkataan mereka. Aku baru menyadari selama ini aku mengalami bullying. Sampai aku tidak ada mood ingin masuk sekolah lagi. Rasa malu begitu besar. Ketakutan begitu hebat. Tidak memiliki keberanian. Hancurlah mentalku.

Biasanya anak SMA selalu rentang dengan kisah cinta abu-abu bukan? Nah kalau Aleena, jangankan cinta lawan jenis. Hidupnya saja penuh bullying. Dia tidak pernah memikirkan cinta? Memangnya ada yang suka sama Aleena? Mustahil sekali kalau ada yang menyukainya. 

Bertahan hidup dengan segala kondisi yang tidak memungkinkan, merupakan paksaan yang tidak ingin melanjutkan kehidupan masa depannya. Kata-kata menyakitkan terus datang. Hanya diam yang terus Aleena lakukan. Melihat semua orang tidak menyukainya sampai membuat mentalnya hancur. Semua hal tersebut merupakan kebiasaan yang dilakukannya selama dibully. Namun pada akhirnya Aleena menyerah karena kehidupannya telah,

         'Retak'

1. Awal dari Bullyan

...Namanya juga manusia, pasti ada stressnya. Kalau stress itu artinya kita masih waras. Kita harus bersyukur, karena masih bisa mikir....

...-RETAK...

...__________________ ...

Siapa yang tidak marah, jika setiap melewati koridor kelas selalu di catcalling hewan? Manusia diciptakan penuh kesempurnaan, namun akalnya terkadang mereka lupakan. Padahal semestinya mereka berpikir sebelum berbicara. Memang dasar sifatnya manusia, jika mereka tahu salah pun, mereka hanya akan mengatakan namanya juga manusia pasti ada lupanya. Lupa—seolah akan menjadi alasan khusus bagi sebagian orang untuk menutupi kesalahan mereka. Alih-alih mereka meminta maaf, justru mereka tidak ingin disalahkan. Dan kebanyakan juga selalu menyalahkan orang yang seharusnya mereka minta maaf kepada orang tersebut.

"EH ADA KERBAU BETINA LEWAT." Seru salah satu adik kelas bergender laki-laki. Itulah catcalling yang mereka lakukan setiap aku melewati kelas mereka. Mereka langsung menatapku dengan tatapan jijik. Aku hanya melewati dengan diam tanpa bersuara. Menurutku meladeni ucapan mereka hanya sesuatu yang sia-sia. 

Yang aku ingat, aku tidak pernah sekalipun membuat kesalahan pada mereka. Tapi setelah aku telusuri,mereka memang seperti itu. Korbannya juga bukan aku saja, melainkan sudah banyak orang menjadi korban atas keusilannya. 

"Eh bidadari surga, ngapain diam saja. Ngomong dong!" kata Dani penuh ejekan sambil tertawa keras. Lalu tawa itu mengundang teman-temannya untuk mengikuti tertawa mengejek. Orang yang waras mengatakan bidadari surga untuk orang yang benar-benar ingin dipuji. Namun mereka karena kurang waras, mengatakan pujian itu hanya untuk mengejek semata. Dimanakah akal sehat mereka? Jawabannya telah dipensiunkan.

"Kasihan-kasihan, kasih jalan aja deh. Lagi nggak mood nih, gangguin manusia macam dia." Kata Mabrur sengaja memerintahkan teman-temannya yang dianggap bukan sahabat, melainkan seperti pengawalnya. Aku hanya tersenyum miris. Inilah alasanku malah pergi ke sekolah. Ada saja mulut yang tidak disekolahkan.

         

Aku berjalan kembali menuju kelas. Sesampainya dikelas, aku mendapati Alfana sudah duduk tenang dibangku kami. Alfiana—teman sebangku yang lumayan dekat. Dia sangat baik. Ada minus sifatnya, salah satunya, dia  merajuk tidak jelas dengan waktu yang tidak tepat. Aku selalu memanggilnya Fian, karena mudah saja. 

Hari pertama masuk sekolah ajaran tahun baru, merupakan kebahagiaan besar bagi anak-anak sekolah, terkecuali aku. Aku memiliki tekanan besar yang mengharuskan aku harus masuk sekolah. Bukan karena tuntutan dari orang tua, melainkan diri sendiri. Pikiranku sudah aku luruskan sejak aku menginjakan kelas empat SD. Aku selalu berpikir, Allah telah memberikan kesempatan untukku agar aku belajar di jenjang yang orang-orang hanya sebagian mendapat kesempatan itu. Mengingat aku berasal dari dusun terpencil. Untuk sekolah saja menurutku kesempatan besar. Karena banyak anak sekitarku yang tidak mampu melanjutkan pendidikan tingkat menengah atas.

  Aku sekolah di SMAN 74 Bojong. Sekolah Negeri yang berbasis Islami. Namun sayangnya, seketat apapun peraturan, kalau individunya tidak mentaati peraturan ya sama saja. 

 Aku memiliki teman yang bisa dihitung jari, salah satunya Alfiana, sahabat dekat yang selalu ada untukku. Baik bahagia maupun sulit.

"Hai Aleena, ayo duduk. Ini buku kamu, terima kasih." Kata Alfana dengan sangat ceria. Aku tersenyum simpul sembari mengambil buku Matematika yang diberikan Alfiana. Aku duduk disebelah Fiana. 

"Tumben jam segini baru berangkat?" Tanya Fiana ketika aku sudah duduk di sebelahnya. Aku hanya menghela nafas seakan pasrah dengan keadaan. 

"Tadi sebelum berangkat saya nyuci baju sama ngepel dulu." Jelasku. Namanya anak dari keluarga yang sederhana, apapun harus dilakukan sendiri. Karena aku dan Mamah saling berbagi tugas rumah sebelum aku berangkat sekolah. Sampai terkadang, aku menginginkan berangkat sekolah tanpa harus mengerjakan pekerjaan rumah terlebih dahulu. Tapi jika aku diam saja layaknya patung, aku juga merasa tidak enak hati dengan Mama. 

"Oh gitu. Oh ya Na. Kitakan sekarang sudah kelas 11 bentar lagi kelas 12, kira-kira kamu mau lanjut kemana?" Tanya Alfiana lagi. Aku yakin anak itu sudah memiliki target cemerlang untuk masa depannya. Aku dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki keberuntungan dalam hidupnya meliputi  finansial yang cukup, keluarga yang selalu mendukung keputusan anaknya, sementara aku sebaliknya. 

"Qodarullah, saya nggak tahu. Mungkin bisa jadi kerja, kalau memang  Allah memberikan kesempatan, aku akan melanjutkan ke perguruan tinggi." Jelasku. Aku sekolah disini karena beasiswa 60 persen. Sisanya aku mencari uang sendiri untuk bertahan hidup. Aku masih memiliki kedua orang tua, namun finansial kami benar-benar tidak terlalu mencukupi.

Aku memiliki tiga bersaudara. Kakak dan adik laki-laki. Kakak aku merupakan lulusan pesantren, salah satu pesantren ternama di kota Tegal. Aku memanggilnya dengan panggilan Mas, seperti panggilan pada umumnya di suku Jawa. Namanya Rasyid Dan adik aku masih berada di bangku SMP kelas sembilan. Selisih usiaku dengan Syabani hanya dua tahun. Sementara selisih antara aku dan Mas Rasyid sekitar sembilan tahun.

 "Kalau kamu sendiri mau lanjut kemana?" Tanyaku.

 "Saya mau lanjut jurusan pendidikan Agama Islam." katanya dengan yakin. Aku mengamini ucapannya.

"Masya Allah, semoga Allah memberikan kelancaran atas semua niat baikmu." Kataku. Alfiana mengamini ucapanku.

"Kamu masih digangguin sama adik kelas songong itu, yang masih duduk di kelas  sebelah? Kenapa kamu nggak balas mereka, Na? Kenapa kamu diam aja?" Tanya Alfiana cukup gemas melihat tindakanku hanya diam. Karena aku tidak seberani untuk mengalahkan mereka. Jika aku sudah bicara dengannya maka meja ini berubah menjadi meja debat politik. Dia anak yang lumayan peduli terhadap orang lain yang sedang berada dalam tekanan batin. Aku hanya menghela nafas pasrah. Hanya Alfiana orang lain yang tahu akan keluh kesahku.

"Bukan sekarang waktu yang tepat untuk membalas mereka. Saya akan membalasnya diwaktu yang sangat tepat. Dengan cara yang lebih baik, bukan cara kotor seperti mereka. Kalau bukan saya yang membalasnya, Allah tahu cara terbaik membalas tindakan hambanya." Jawabku dengan ringan.

"Baiklah terserah kamu aja deh, Na." Kata Alfiana pasrah. Kepalaku hanya mengangguk saja.. 

"Hai, Aleena. Saya pikir kamu belum berangkat?" Kata seorang perempuan dengan bau semerbak parfum bunga tujuh rupa. Tanpa aku mendongak kepala pun, aku terlalu paham sampai hafal dengan parfum yang perempuan itu pakai. Sosok yang baru menyapa yang datang sekitar 10 detik yang lalu, dengan suaranya yang khas mendayu.

 Karena dia mengajakku bicara, aku mengangkat kepalaku dan melihat siapa yang datang. Penampilannya yang nyentrik, semua serba licin adalah ciri khasnya. Ia memakai lip cream berwarna  orange. Dia—Nala perempuan cantik, yang memiliki postur tinggi, sekitar 170 centimeter, kulit yang berwarna kuning langsat. Dan karakter utamanya yaitu, judes serta enteng tangan. Dia juga seperti anti terhadap laki-laki. Ia sangat menjaga jarak terhadap laki-laki. Memang dalam syariat Islam diajarkan seperti itu, tapi sayangnya caranya yang salah total. Banyak orang beranggapan dia itu tidak memiliki hati. Sebenarnya niatnya sudah benar, namun cara yang digunakan benar-benar  gagal ia pahami.

Kita sebagai kaum muslimah sudah sepatutnya menjaga diri dari kaum laki-laki. Baik pandangan, jarak, sekaligus sikap kita. Namun bukan sikap enteng tangan yang di maksud. Kita diperbolehkan jaga jarak terhadap orang yang bukan mahram kita, namun sikap kita sebaiknya dijaga agar yang bukan mahram kita tidak salah menangkap sikap kita.

 Walaupun seperti itu, tidak menampik jika Nala menyukai seseorang. Dan bukan menjadi rahasia umum lagi, jika Nala diam-diam menyukai laki-laki sekelas kami. Laki-laki itu bernama Hafiz Arkanza. Laki-laki yang memiliki tinggi sekitar kurang lebih 175 centimeter. Kulit kuning langsat yang cerah, alis serta bulu mata yang tebal secara simetris, ia juga memiliki lensa mata berwarna coklat terang. Siapa yang tidak mengenal sosoknya.         

  For your information, ketika  baru masuk MPLS nama Hafiz Arkanza seperti menjadi topik trending utama sampai bertahan dalam beberapa minggu di sekolah kami. Semua orang langsung mengenalnya.

          

Aku jadi teringat suatu moment  terbaik. Ketika aku di ajak Ayuna untuk melihat Hafiz. Itulah pertama kali aku bertemu dengan Hafiz Arkanza. Laki-laki yang mampu meluluhkan hati para perempuan sebagian SMAN 74. Hampir seantero SMAN 74.

"Aleena," panggil seorang perempuan yang bermata sendu. Yang memiliki tinggi badan sekitar 150 centimeter. Namanya Ayuna. Ia memanggilku dengan jarak yang agak jauh. Suaranya yang melengking akan mudah terdengar oleh siapapun. Biarpun demikian jika dia sedang bernyanyi suaranya begitu menghipnotis. Suara Ayuna memang bagus. Lalu ia berlari menghampiriku. Kemudian ia berbisik tepat pada telingaku.

      

"Bisa nggak, kalau berbisik nggak perlu kenceng-kenceng suaranya?" Kataku memperingatkan. Bukannya meminta maaf Ayuna hanya senyum cengengesan.

 

 "Kamu tau nggak, yang namanya Hafidz Arkanza? Dia cakep banget, macam Zayn Malik." Katanya dengan memuji secara berlebihan. Seolah tidak mengenalinya sebuah kerugian besar.

Mungkin memang sudah menjadi tabiat seorang perempuan. Mungkin juga akan mendapat slogan baru yang berbunyi, dimanapun gosip beredar maka disitulah seorang perempuan berpijak. Jika soal gosip perempuan lah paling utama tahu. Berbeda denganku, aku justru tidak tertarik dengan gosip yang menyebar, apapun itu. Menurutku, selagi orang itu tidak menyusahkan kehidupanku, aku tidak perlu repot-repot mencari tahu tentang mereka. Toh itu bukan urusan terpenting bagiku. Jika soal gosip apalagi tentang pria berwajah tampan akan mudah sekali menyebar hanya hitungan detik. Sebaliknya jika tentang matematika dan fisika mereka langsung berpaling hanya hitungan detik. Katanya, matematika adalah musuh utama bagi kami. Bisa jadi Hafidz akan dinobatkan sebagai pria tertampan versi TC Candler forbes school SMAN 74. Mungkin inilah yang dinamakan bintang sekolah dadakan.   

 "Masya Allah." Kataku mengingatkan. Setiap seorang muslim yang sedang memberikan pujian, alangkah baiknya memuji penciptanya terlebih dahulu dengan kata masya Allah. Setelah itu makhluk yang diciptakannya. Namun kita sering lupa bukan sekali dua kali, karena seringnya lupa kita tidak mampu menghitung berapa banyak kita melupakan sesuatu ketika memuji ciptaannya, tanpa memuji sang Khalik terlebih dahulu. Bisa jadi kita terlalu menikmati keindahan ciptaan Allah hingga kita lupa betapa sempurnanya Sang Khalik yang menciptakan makhluknya dengan bentuk sebaik-baiknya. 

"Masya Allah, pokoknya dia masya Allah banget. Dia secakep Zayn Malik." Katanya dengan hiperbola. Raut wajahnya saja mengatakan betapa kagumnya dia pada anak laki-laki yang bernama Hafidz. Kemudian Ayuna malah menarik lengan tanganku tanpa seizinku. Entahlah dia akan membawaku kemana.         

"Kamu mau bawa saya kemana?" Protesku.

"Tenang Na, saya cuman pengen nunjukim yang namanya Hafidz itu yang mana." Jelasnya ketika kami sudah sampai di koridor kelas 10 MIPA 4. Yang benar saja, kami berhenti tepat satu meter dari pintu kelas 10 MIPA 4.

"Itu dia, mirip Zayn kan?" Katanya dengan menunjuk seseorang. Aku mengikuti arah jari telunjuknya. Mataku terhenti ketika menangkap sosok laki-laki yang badannya kira-kira setara denganku. 

 "Itu yang kamu bilang mirip Zayn? Mirip dari mananya, Ayuna?" tanyaku memastikan, apa mata minusku semakin bertambah atau Ayuna dalam pengaruh halusinasi. Sampai aku tidak bisa melihat laki-laki itu mirip Zayn. 

"Itu yang kamu bilang mirip Zayn Malik? Seragamnya berantakan, rambutnya kucel, dan—" aku langsung mengomentari penampilan laki-laki yang baru aku lihat. Aku yakin itu benar yang dimaksud Ayuna. Tapi mengapa harus dimiripkan dengan Zayn Malik. Dia tidak ada tampang mirip-miripnya. Ternyata, 

"Bukan yang itu, kalau itu namanya Rabi. Kalau Hafidz itu yang berdiri tepat di belakang Rabi, baru itu yang namanya Hafidz."  Ayuna menjelaskan dengan emosi yang memuncak. Bodohnya aku malah menatapnya secara lekat. 

 "Oi, jangan bilang kamu langsung terpana pada pandangan pertama." Katanya penuh ejekkan. 

 "Ya siapa juga yang menolak ketampanan dari Hafidz Arkanza. Dia buang nafas saja banyak yang suka." Lanjutnya mengagetkanku. Mungkin sedari tadi Ayuna fokus mengawasiku. Perempuan jika sudah menyukai sesuatu maka dia tidak akan segan-segan memujinya secara berlebihan. Tapi tidak berlaku bagi semua perempuan, mungkin hanya berlaku pada Ayuna saja.

"Siapa juga yang terpana. Saya itu cuman perhatiin mukanya, nanti kalau misalnya ada kepentingan mendadak dari guru, terus  salah orang lagi, kamu bakalan marah-marah." Kataku beralasan dengan nada yang agak meninggi. 

"Iya deh iya, yang hatinya sudah mati." Katanya. Lalu Ayuna pergi begitu saja. Dia yang menarik lengan tanganku kesini, dua juga yang pergi tanpa mengajak terlebih dahulu. Dasar teman kurang akhlak.

 Dari awal hingga saat ini, pria yang bernama Hafiz Arkanza selalu menjadi perbincangan hangat di sekolah kami. Ada saja yang membawakan berita tentangnya. Yang mencari berita sepertinya kurang kerjaan. Terkadang aku mengetahui dari A sampai Z tanpa aku ingin ketahui. Aku seperti sudah mengenalnya dari bayi. Ingatanku selalu mampu mengingat pembicaraan orang lain. Itulah mengapa hampir 70 persen aku bisa tahu tentang Hafiz. 

 Istilahnya, aku bukan siapa-siapa namun aku tahu segalanya tentang dia. Aish lebai sekali kata-kataku ini. Bagaimana aku menampik tentang sosoknya. Hampir semua anak seantero SMAN 74 selalu membicarakannya. Apa telinga dia tidak panas setiap hari. Atau bisa jadi, menjadi tabungan transaksi amal ibadah. Masya Allah hebat banget bukan? Orang lain yang melakukan ibadah, sementara dia yang mendapat pahalanya.

 Usianya memang baru menginjakan ke 17 tahun, di tahun ini. Dia seusiaku. Tapi Hafiz memiliki wajah paling menarik seantero SMAN 74. Biasanya orang memiliki wajah tampan seringkali membosankan. Tapi Hafiz, berbeda. Dia memiliki wajah tampan sekaligus karisma yang begitu menarik ketika orang yang melihatnya. Tenang, dia tidak memakai susuk kok. 

 Dia memang terlihat kalem, baik kepada semua orang, tegas, berwibawa dan juga banyak yang menghargainya. Pembawa nya memang mengesankan bagi siapapun tanpa terkecuali.Ia juga berasal keluarga yang terpandang. Namun hanya beberapa perempuan yang berhasil mendapatkan hatinya. 

Kita beralih lagi topik pembahasan Nala.

"Sekitar sepuluh menit yang lalu, saya baru sampai, kenapa?" Tanyaku pada Nala. Ia duduk di samping mejaku dan Alfiana. 

"Nggak papa, cuman nanya." katanya, kemudian anak itu Nala menggantungkan tas ransel di samping mejanya. Tas ransel dengan warna merah muda. Nala menyukai sesuatu yang bersifat feminim.

Ketika aku sedang berjalan keluar, aku membuka pintu terlebih dahulu. Terlihat segerombolan pasukan Dima Pra, datang dengan mengangkat wajahnya sampai dagunya terlihat sudut siku-siku 90°. Seperti yang terlihat, wajah songongnya sangat terdeskripsi secara jelas. Dia, dan pasukannya merupakan salah satu diantara para pembully yang selalu membuat mentalku perlahan hancur. Perkataannya selalu sederhana, namun menyakitkan.

"Bisa minggir?" Kata Yoginas kepadaku. Dia  sudah berdiri tegak di depanku. Aku hanya melirik mereka semua dengan mata jengah. Setelah itu aku langsung melewati mereka, seolah mereka hanya angin berlalu. 

Aku memang pemalu, tapi aku memiliki sikap yang agak judes sekaligus dingin. Jadi aku mampu menutupi rasa maluku dengan karakterku itu. Aku melihat mereka dengan tatapan seperti itu karena ada alasan yang logis. Merekalah yang selalu menjatuhkan mental ku dengan hebat. Terkecuali Hafiz.

Ya, Hafiz Arkanza. Dia memang salah satu dari bagian anggota pasukannya Dima Pra. Namun bedanya Hafiz memang tidak pernah membully, tapi tetap saja dia hanya diam layaknya warna abu-abu. Tidak pernah sedikitpun membela siapa yang benar atau yang salah. Dia hanya menginginkan posisi yang aman. Toh, bukannya seorang Aleena Zain bukan bagian penting siapapun darinya. Jika saja dia tahu rasanya dihancurkan mentalnya, mungkin dia akan melindungiku. Tapi sayangnya posisiku tidak semenarik perempuan cantik incaran orang-orang. Jadi tidak ada yang peduli. Termasuk orang-orang yang katanya, menganggapku dekat. 

Setelah aku mengambil salah satu catatan buku Biologiku di kelas sebelah, yang dipinjam oleh Laela beberapa hari yang lalu. Setelah itu aku kembali ke ruangan kelas. 

...___________...

...Bersambung...

2. Ingin Menyerah

Aku merasakan seperti lelah berkepanjangan. Fisik sehat, namun tidak dengan hati serta pikiran. Terkadang ingin menangis menjerit, namun rasa gengsi yang terlalu tinggi telah menguasai dalam diriku begitu besar. Aku tidak memiliki keberanian untuk menangis. Aku hanya takut, jika ada orang yang melihatku dalam keadaan menangis, akan mudah bagi mereka semakin menindasku. Aku bersikap layaknya orang normal yang sedang baik-baik saja. Namun yang terjadi sebenarnya jiwaku seperti sudah mati karena ditinggal rohnya.

Aku seperti memiliki raga, namun sayangnya tidak memiliki nyawa. Aku melihat orang sekitarku selalu tertawa bahagia. Yang aku lakukan saat ini hanya membaca materi biologi. Sampai aku merasa materi itu sudah aku pahami diluar kepala. Mungkin karena saking seringnya dibaca berulang kali.

"Aleena, aku mau curhat boleh?" kata Alfana. Aku heran dengan orang-orang sekitarku. Mereka dengan leluasa percaya dengan orang lain. Sekaligus cepat mempercayai orang lain untuk meminta pendapatnya. Namun Alfiana tipe orang yang tertutup, hanya saja dia curhatan dengan orang terdekatnya saja.  Padahal menurutku sekecil apapun curhatan bisa menjadi hal pribadi sekaligus rahasia. Orang lain akan mudah mengetahui kelemahan kita.

Dan anehnya mengapa mereka selalu mempercayakan aku sebagai tempat curhatan mereka. Terkadang aku selalu memberikan solusi yang menurutku baik, tapi mereka juga mau dinasehati. Aku terlalu sempurna menutupi semua celah kesedihanku. Sampai orang lain merasa, seorang Aleena hidupnya selalu baik-baik saja tanpa masalah. 

"Silahkan." Kataku.

"Jadi gini," katanya dengan menjeda mengambil nafas dalam-dalam.

"Sebenarnya aku suka sama Zaldi. Tapi kamu jangan mikir aneh-aneh." Katanya.  Sedetik kemudian aku berpikir dan menatapnya dengan ketidakpercayaan. Namun hal itu pasti terjadi tanpa keinginan kita  Padahal aku belum mengatakan satu katapun namun dia sudah mencurigai ku.

"Suudzon." Kataku. Lalu aku meletakan buku biologi didepan meja. Setelah itu aku menyengaja mengganti posisi dengan berhadapan dengan Alfiana. 

"Oke aku lanjutin, kamu tahu gak? Aku sebelumnya pernah suka sama orang. Tapi orang itu nggak suka balik sama aku. Padahal niatnya aku cuman mau diam-diam suka sama dia tapi malah ketahuan. Udah gitu kita jadi nggak temenan lagi." Jelas Alfiana merasa keraguan hebat.

Mencintai belum tentu dicintai. Apalagi perempuan, jika saja kaum perempuan paling hormat dan sekaya Sayyidatina Khadijah mungkin mereka ingin menyatakan cintanya terlebih dahulu. Namun mereka akan lebih memilih menjadi Sayyidatina Fatimah yang mencintai dalam diam tanpa sepengetahuan si pemiliknya.  Aku mendengarkan secara detail. Aku juga tidak memotong pembicaraan sedikitpun. Setelah Alfana selesai, baru aku mulai angkat bicara. 

"Intinya gini, nggak semua orang yang kita suka, bakal suka balik. Yang paling parah, kalau kita diem-diem suka, yang kita takutin cuman satu. Mereka malah menghindar kaya musuh. Karena orang itu nggak suka sama kita. Itu wajar banget sih. Setiap orang pasti pernah merasakan kayak kamu." Jelasku lalu menjeda. Aku ingin mengungkapkan kalimat yang kiranya benar namun tidak menyakiti orang lain.

"Fian, kalau dia gak suka balik atau dia suka balik, iya itu keputusannya. Kita nggak bisa maksain orang lain harus suka sama kita. Tapi kamu jangan pesimis dulu. Kalau dianya nggak suka yang mungkin, dia bukan yang terbaik. Percaya deh." kataku.

"Iya sih Na, tapi tetep aja pasti sakit berulang kali. Kenapa sih harus ada cinta di dunia ini?" katanya.

"Kalau nggak ada cinta ya, adanya peperangan, Fiana." Kataku.

"Nggak gitu juga kali, Leen." Katanya mulai merajuk. Aku sudah mengatakan sebelumnya. Dia bisa merajuk kapanpun waktunya dengan waktu yang tidak mampu ditebak. Itulah Alfiana Rosdiana.

 "Terus aku harus apa dong? aku suka banget sama dia. Tapi aku nggak yakin. Kalau dianya suka balik sama aku. Pasti dia sukanya yang bening, yang kinclong, yang putih, yang cantik, dan yang perfect." Katanya terus mengeluh.

"Kaca jendela dong. Putih, bersih, kinclong," kataku langsung mencarikan suasana. 

"Nggak gitu juga, Aleenaaaaaaaa. Argh …. sebel." Alfiana malah berteriak. Kami berdua menjadi tontonan penghuni kelas IPA 3 kelas 11, karena mereka langsung memperhatikan kami. Posisi kami berdua benar-benar memprihatinkan. Aku dan Fiana hanya garuk-garuk tengkuk kepala sambil tersenyum simpul.

"Ngapain lihat-lihat?" Kata Fiana dengan menaikkan volume suaranya. Aku hanya menahan tertawa ketika semua orang  membeli karena bentakan dari Fiana. Lalu mereka melanjutkan aktivitasnya kembali. Sekarang bukan jam kosong, melainkan kami sedang mengerjakan soal fisika. 

"Fian, udah dulu ya curhat ngenesnya. Sekarang kita harus ngeliat sesuatu yang nyata harus dikerjakan. Fisika loh ini fisika, Bu Devi." kataku mengingatkan. Tanpa aku jelaskan Fiana juga mengetahui.

"Bu Devina juga lagi izin nggak masuk. Tenang aja." katanya dengan ringan hati tanpa beban.

"Tenang-tenang apanya, nanti giliran tiba-tiba dikumpulin, panik. Aku nggak mau ikutan ketenangan kamu. Kamu nyadar gak? Ketenangan kamu bisa mencelakai orang." kataku.

"Lebay." katanya malah memaki.

"Ais, kamu tuh, dahlah mau ngerjain." kataku.

"Emang bisa? Saya saja belum paham. Baru juga minggu kemarin dijelasin. Itu aja masih simpang siur masuk ke otak." Katanya semakin malas. Mungkin efek dari suka dengan Zaldi, jadi otak serta kemalasan berpindah tempat pada kepribadiannya Fiana.

"Kan ada youtube, FIAN. Kita cari caranya yang mudah dipahami. Zaman sekarang semuanya dipermudah, jangan cari banyak alasan hanya karena kitanya yang terlalu malas." Kataku lalu membuka handphone lalu mengecilkan volume. Aku bukan orang yang menyukai earphone. Karena aku merasa tidak nyaman jika memakai earphone, telingaku terasa sakit.

"Oh iya, nggak keingetan."

"Iya-iyalah, orang ingetnya sama dia doang. Kalau jatuh cinta jangan cuman pakai hati doang. Otak juga harus dipake. Biar nggak makan hati terus."

"Kalau otak nggak bisa multitasking, setidaknya fokus pelajaran dulu. Ya walaupun multitasking itu mitos. Coba deh denger penjelasannya youtuber Kak Gita S***** sama youtube Satu per***" Jelasku

"Oke nanti aku dengerin." Katanya.

 "Kalau nggak lupa?" Tanyaku,  dia hanya tersenyum tanpa bersalah.

Bu Devina selaku guru Fisika kami, sedang tidak masuk, dikarenakan ada urusan mendadak. Guru di SMAN 74 hampir semua guru,killer. Yang lembut, yang baik, yang bijaksana, dan yang humoris bisa dihitung dengan jari. 

Anehnya ketika guru killer mengajar, otakku akan lebih cepat menangkap semua materi yang diajarkan oleh mereka. Berbeda jika gurunya terlalu baik dan humoris maka, semua materi yang diajarkan akan terasa sulit masuk ke otak. 

Bu Devina juga termasuk dari sekian banyaknya guru killer di sekolah kami.  Aku mengingat, ketika Bu Devi baru masuk semester dua kelas 10. 

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya Devina Savitri, yang akan menggantikan Pak Eko Susyanto di pelajaran Fisika sampai kalian kelas sebelas semester dua" Kata guru perempuan yang memiliki tinggi 150 centimeter. Dengan kaca mata coklat gelap yang bertengger di hidungnya. Semua mata tertuju padanya. Hening seketika. Seakan Bu Devina merupakan malaikat pencabut nyawa. Dan benar saja aura kekillerannya sudah tercium dari awal masuk kelas kami.

"Saya tidak menyukai anak yang suka bolos di jam saya, telat masuk sekolah, atau tidak mengerjakan tugas. Saya tidak akan berbaik hati. Kalian paham. "

"Ini nomor handphone saya, saya harap kalian catat. Jika ada tugas segera dikerjakan. Saya tidak menyukai keterlambatan sekaligus tidak akan akan mengulangi yang saya jelaskan. Hanya sekali penjelasan kalian harus paham" katanya seperti sedang menuntut untuk menjadi sempurna. Memangnya bisa?  Kalau tidak dipaksa ya tidak akan mampu. Manusia memang seperti itu, selalu mampu ketika dipaksakan. Mau atau tidak mau akhirnya melakukan. Ikhlas atau tidak urusan belakangan.

...       _______ ______...

...Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!