NovelToon NovelToon

Kuserahkan Suamiku Kepada Pelakor

Ponsel Siapa?

Dring!

‘’Handphone siapa yang berbunyi? Mas Deno? Nggak, aku hapal bagaimana bunyi nada pesannya. Tapi handphone siapa?’’ aku yang sedang menidurkan si kecil, bergegas mencari bunyi benda pipih itu. Kucari di seluruh ruang lemari, tak kutemui. Aneh! Di mana benda pipih itu sebenarnya? Ia kembali berdering, kali ini lebih lama. Kucoba merungkukkan kepala sedikit ke bawah. Cahaya apa itu? 

‘’Handphone siapa ini sebenarnya? Hanphone Mas Deno? Nggak, aku tahu bagaimana bentuk handphone suamiku,’’

‘’2 Panggilan tak terjawab dan 2 pesan dari WA? Siapa?’’ dengan hati terus bertanya, bergegas kutelusuri.

‘’Chika sayangku?’’ membaca nama yang tertulis itu membuat dadaku terasa sesak, hatiku bak ditusuk ribuan belati, dan tanpa disadari buliran air mata lolos begitu saja. 

‘’Apa Mas Deno begitu tega bermain di belakangku? Kalo nggak, siapa yang bernama Chika itu? Aku harus cek pesan di WAnya,’’ lirihku pelan dengan buliran air mata yang terus menetes.

‘’Mas, kapan sih mau menikahiku? Kita udah 4 tahun pacaran loh, Mas,’’

Kali ini tubuhku lemas tak berdaya, kubantingkan benda pipih itu ke ranjang.

‘’Empat tahun kamu selingkuh Mas? Kenapa aku nggak pernah tahu, begitu licik dan pandainya kamu menutupinya dari aku! Ya, bagaimana pun menyimpan bangkai suatu saat baunya akan tercium juga!’’

‘’Kau mau bermain denganku, Mas! Okey, aku ikuti permainanmu.’’ Kuseka air mataku dengan kasar.

‘’Ya, lelaki brengsek itu nggak perlu ditangisi. Air matamu akan terbuang sia-sia saja, Nela!’’

Kuraih benda pipih itu kembali dan kuhapus pesan yang dikirimkan pelakor itu dengan tangan gemetaran, begitupun dengan panggilan tak terjawab. Lalu kuletakkan kembali di bawah lemari. 

‘’Begitu rapatnya kau tutupi dari aku, Mas!’’

Kukembali merebahkan tubuh ke ranjang sembari menatap langit-langit kamar dan sesekali melirik buah hatiku sekarang yang berumur 5 tahun.

 Jika memandang ke anak hatiku sungguh terasa teriris dan iba dengannya, tetapi aku tak tahu harus bagaimana sekarang ini. Hatiku sungguh terasa perih sekali. Beraninya mas Deno bermain api di belakangku apalagi sudah 4 tahun, tetapi aku tak pernah tahu-menahu soal itu saking rapatnya dia menutup perselingkuhannya. Ya, bangkai yang disimpan lama-kelamaaan pasti baunya akan tercium juga keluar.

‘’Kau kira aku ini wanita apaan, Mas!’’ gumamku tersenyum sinis. Seketika pintu berderit. Aku berpura-pura tidur. Ya, pasti mas Deno yang memasuki kamar. Mungkin dia habis mandi, biasanya dia pergi ke kantor lebih pagi.

‘’Sayang, kamu masih tidur? Apa kamu nggak sholat?’’ cuih! Aku jijik mendengar kata ‘’Sayang’’ dari mulut lelaki seperti kamu mas. Sholat? Berpura-pura baik kamu ternyata ya agar perselingkuhanmu tertutupi. 

‘’Tukang selingkuh, nyuruh aku sholat. Hahah!’’ gumamku dalam hati. Aku masih berusaha berpura-pura terlelap.

‘’Yang, bangun dong. Udah jam berapa ini, bikini aku sarapan. Biasanya kamu lebih awal bangun daripadaku,’’ dia mengguncang tubuhku pelan.

‘’Apaan sih, Mas. Aku masih ngantuk nih. Kamu bikin mie aja sana!’’ suaraku berpura-pura seperti orang bangun tidur. Kuusap mata perlahan.

‘’Mie? Kok kamu gitu sih? Kan kamu tahu, aku nggak suka makan mie. Kamu kenapa begini?’’ terdengar suaranya mulai kesal denganku. Nanti malah curiga mas Deno dengan sikapku. Ahh! Aku harus bersikap seperti biasanya. Aku bergegas duduk sambil mengumpulkan nyawa.

‘’Ma’af deh, Sayang,’’ lirihku.

‘’Iya, kok kamu bicara kayak gitu. Kamu kan tahu kalo Mas nggak suka mie,’’ ucapnya lirih yang masih merapikan rambut lantas menatap ke cermin. Aku menyunggingkan bibir.

‘’Habisnya aku ngantuk banget, Mas.’’

‘’Ya udah, aku bikini kamu sarapan. Tapi aku nyuci muka dulu sebentar.’’ dia hanya mengangguk lantas tersenyum menatapku. 

‘’Sandiwara kamu sungguh luarbiasa, Mas!’’ gumamku dalam hati. 

Aku bergegas melangkah ke kamar kecil. Beberapa menit kemudian, aku telah selesai mencuci muka. Lantas menuju dapur. Kubuka kulkas. Alhamdulillah ada ikan dan juga sayur kol. Sebenarnya aku malas memasak buat suami yang tukang selingkuh, tetapi apalah daya sekarang aku hanya bisa bersikap seperti biasanya walau begitu menyakitkan. Aku bergegas menyiapkan semua bahan. Membersihkan ikan terlebih dahulu lantas memoles dengan bumbu-bumbu halus yang kubeli kemaren yaitu bawang putih, bawang merah, kunyit, dan kububuhi garam kasar sesuai selera. Lalu kurebus hingga matang. 

‘’Hatiku sungguh sakit. Terbayang olehku isi pesan wanita pelakor itu!’’ aku mengepalkan tangan. 

‘’Lelaki pembohong dan nggak tahu diri, nggak seharusnya aku pertahankan!’’ kesalku dalam hati. 

Seketika ikanku tampak sudah matang bergegasku menggorengnya. Beberapa menit kemudian, aku telah selesai memasak dan membereskan dapur terlebih dahulu. Seketika tangannya melingkar di pinggangku membuat sulit untuk bergerak, tanganku terhenti yang tengah mengelap kompor gas. Aku merasa muak dan jijik.

‘’Mas, ngapain sih? Ini aku sedang kerja loh,’’ sungutku. Mencoba untuk melepaskan rangkulannya namun tenaganya mengalahkan tenagaku.

‘’Mas kangen kamu, masa suami sendiri dimarahin.’’ Cuih! Aku sangat muak! Seperti hendak keluar isi perutku mendengar ucapanmu yang mungkin juga kamu ucapkan ke pelakor itu. 

‘’Sudah basi tahu nggak!’’ kesalku dalam hati.

‘’I—iya, Mas. Kan Mas tahu, aku lagi kerja,’’ lirihku kembali. Dia masih bergelayut manja.

‘’Mas pasti laper kan? Ya udah sarapan dulu, kan Mas mau kerja. Ntar telat loh!’’ ucapku melepaskan tangan Mas Deno dari pinggangku.

 Tampak dia terheran menatapku. Mudahan dia tak curiga dengan sikapku.

Tanpa memperdulikannya aku bergegas membawa masakanku ke ruang makan. Dan menatanya di meja. 

‘’Baunya sungguh mengunggah selera,’’ ucapku tersenyum memandangi masakanku dan kuletakkan nasi di meja makan. Seketika mas Deno menghenyak di kursi.

‘’Kamu kok berubah sekarang, Yang?’’ aku menatapnya heran dan berpura-pura tak mengerti apa yang diucapkannya.

‘’Apa sih maksudmu, Mas?’’ tanyaku sembari mengernyitkan kening.

‘’Kamu kayak berubah sekarang, Nel,’’ ulangnya kembali. 

‘’Hah? Berubah? Kamu nggak demam kan, Mas?’’ aku bergegas memeriksa keningnya. Lantas dia terkekeh. Lalu menatapku.

‘’Apaan sih kamu. Mas kan serius nanya,’’

‘’Kamu yang apaan, Mas. Kamu bilang aku berubah dari mananya berubah coba?’’ kesalku. Tanganku masih sibuk mengaduk kopi untuknya, sekilas menoleh kepadanya.

‘’Mas meluk kamu aja merasa gimana gitu, aku ini suamimu loh. Nggak biasanya kamu bersikap kayak gitu!’’ jawabnya ketus. Tampak dari raut wajahnya yang kesal. 

‘’Gayamu, Mas. Aku aja sebagai istrimu nggak kamu anggap, buktinya kamu selingkuh di belakangku tanpa sepengetahuanku! Kamu lebih menyakitkan hatiku!’’ batinku.

‘’Kan aku lagi sibuk kerja, Sayang. Masa sih itu aja kamu langsung ngambek,’’ ucapku lirih dan bergegas memeluknya walau terasa jijik olehku.

‘’Iya, iya. Ma’af deh, Sayang,’’ sahutnya seketika. 

‘’Segitu aja ngambek. Kamu egois, Mas! Di belakangku aja selingkuh!’’ batinku.

‘’Ya udah, kita sarapan dulu ya!’’ ucapku sembari melepaskan pelukan darinya. 

Dia mengangguk lantas tersenyum. Entah kenapa aku malas memandangi lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku ini. Mungkin karena aku sudah tahu kebusukannya, kelakuannya sudah terungkap melalui pesan di ponsel yang disembunyikan itu. Ya, aku tak pernah melihat ponsel yang diletakkannya di bawah lemari. 

Rasanya asing bagiku ponsel itu. Tak pernah mas Deno memakai ponsel itu dan baru kali ini aku melihatnya. Apalagi diletakkan di bawah lemari agar aku tak tahu. Mungkin dia lupa mematikan nada deringnya hingga terdengar olehku. 

‘’Mas, Mas. Kamu lihat aja, aku lebih licik dari kamu!’’ gumamku sembari tersenyum sinis memandanginya.

Bersambung.

Bagaimanakah kisah selanjutnya? Penasaran? Yuk, ikutin dan baca terus ya.

Jika suka dengan cerbung baru Author mohon dukungannya dengan cara meninggalkan jejak, like, komen dan share, serta Author tunggu kritik dan sarannya ya.

 Terima kasih yang sudah membaca cerbung recehku, sehat selalu, lancar rezekinya dan dimudahkan segala urusannya. Aamiin Ya Robbal ‘aalamiin. 

Instagram: n_nikhe❤

Ternyata Wanita Itu Juga Sekretaris Suamiku?

‘’Sayang, aku berangkat dulu ke kantor ya,’’ ucapnya sambil meraih tas hitam miliknya dan bergegas melangkah ke luar. Seperti biasa aku mengantarnya ke depan, teras rumah. Tak lupa seperti biasa aku meraih tangannya lantas mengecup punggung tangannya untuk takdzim. Aku tersenyum simpul dan mengangguk.

‘’Hati-hati, Mas,’’ sahutku kemudian menatapnya yang memasuki mobil. Dia mengangguk dan tersenyum. Senyumnya membuatku muak, entah kenapa sejak perselingkuhannya terungkap membuat aku begitu jijik dan benci kepadanya.

‘’Begitu pandainya kamu menutupi kebusukanmu selama ini, Mas. Berpura-pura setia ternyata kamu selama ini!’’ gumamku sambil menyunggingkan bibir, menatap mobilnya yang sudah mulai melaju lantas membunyikan klakson untuk pamit kepadaku seperti biasa. Dia membuka kaca mobil dan menatapku dengan seulas senyuman.

‘’Cuih! Sandiwaramu sungguh luar biasa patut kuacungi jempol kaki!’’ gumamku kesal sembari menahan rasa amarah yang sedang memuncak.

Aku terpaksa memberikan senyuman paksa lalu melambaikan tangan sejenak, mobilnya pun sudah hilang dari pekarangan rumah. Aku sungguh lega rasanya setelah berpura-pura bermanis muka terhadapnya.

Aku bergegas memasuki rumah mengunci pagar terlebih dahulu lantas melangkah ke dalam rumah. Oh iya, putriku sejak tadi pagi kubiarkan terlelap di kamar. Bergegas kumelangkah ke kamar.

‘’Duuhh! Anak Mama ternyata udah bangun ya, Sayang?’’ kudapati putriku sudah terduduk sambil mengusap pupil matanya, untung saja dia tak menangis.

‘’Mama,’’ ucapnya seketika.

‘’Iya, Sayang. Adik mandi dulu ya? Setelah itu baru kita sarapan,’’ sahutku tersenyum duduk di sampingnya.

‘’Papa, Ma?’’

‘’Papa Adik kerja untuk kita,’’ membuatku tersenyum mendengar ucapan putriku sekaligus juga teriris hatiku.

Bagaimana jika memang benaran mas Deno selingkuh lalu memilih pergi bersama selingkuhannya? Tak terbayangkan olehku gimana nasib putriku, pasti dia akan bertanya setiap saat tentang papanya. Dia sangat dekat sekali dengan papanya. Itu yang membuatku khawatir.

‘’Kok nggak minta izin dulu sama Adik?’’ ucapnya dengan logat anak kecil. Ya, biasanya dia selalu meminta izin kepada anaknya jika mau berangkat kerja. Atau paling tidak dia mengecup kening putriku jika hendak berangkat kerja walaupun putriku tengah terlelap. Tetapi sekarang?

‘’Adik tidur, Nak. Jadi Papa kasihan jika membangunkan Adik,’’ sahutku dengan tenang.

Kupandangi wajah mungilnya tampak merasa kecewa. Ada apa ini? Apa memang benar mas Deno sebelum pergi kerja tak mengecup kening anaknya dulu. Biasanya dia seperti itu jika hendak pergi bekerja. Tetapi kini apakah dia sungguh lupa saking buru-burunya berangkat ke kantor? Ahh! Apa dia mau ketemuan dengan si pelakor yang bernama Chika itu?

‘’Aku harus melakukan sesuatu,’’ gumamku.

Aku bergegas membawa putriku ke badhroom untuk memandikannya. Beberapa menit kemudian usai mandi aku bergegas membawanya kembali ke kamar dan memoles tubuhnya dengan minyak kayu putih lantas menaburi bedak my baby dan kupasangkan bajunya. Putriku Naisya tampak lebih senang usai mandi.

‘’Bibi!’’ panggilku seketika. Ya, sebenarnya aku punya ART tetapi jarang kusuruh memasak, karena suamiku biasanya lebih suka dengan masakan istrinya sendiri dibanding masakan bibi Sum. Seketika dia berjalan tergopoh-gopoh.

‘’Ada apa, Bu?’’

‘’Bibi pernah ngelihat Bapak menelpon siapa gitu, atau kayak mencurigakan. Bibi pernah lihat?’’ tanyaku to the point. Seketika dia terdiam tampak tengah berpikir.

‘’Pernah, Bu. Ketika tengah malam terdengar Bapak menelpon di dapur, Bibi kaget karena udah larut malam. Bibi kira siapa, eh tahu-tahunya Bapak,’’ Degh! Apa si pelakor itu yang menelpon tengah malam dengan suamiku?

‘’Emang kenapa, Bu?’’ tanya bibi Sum tampak terheran.

‘’E—enggak kok, Bi. Aku ingin tahu aja, soalnya Bapak pernah nggak ada di kamar waktu itu, soalnya udah malam banget. Dan ketika kutanya dia tengah menelpon di luar takut akunya keganggu kali, Bi,’’ kilahku mencoba untuk baik-baik saja. Bibi Sum menatap dan menelusuri wajahku, aku memalingkan muka sejenak berpura-pura sibuk merapikan baju Naisya.

‘’Syukurlah, Bu. Kalo ada apa-apa bilang aja sama Bibi ya? Jangan sungkan, Bu,’’ aku mengangguk lantas mencoba untuk tersenyum. Tampak wajah bibi Sum masih tak percaya dan sekaligus cemas denganku.

‘’Ya udah Bibi lanjut kerja dulu ya, Bu?’’ bibi Sum menunduk. Lantas aku mengangguk dan tersenyum. Bibi Sum pun hilang dari pandanganku. Mataku beralih memandang kepada Naisya yang tengah asyik bermain dengan boneka barbienya.

‘’Sayang, Adik laper kan?’’ dia membalas dengan anggukan.

Aku bergegas menggendong Naisya ke ruang makan. Dan membuatkan susu botol untuknya, karena hingga saat ini dia masih meminum susu botol dan roti sebagai tambahannya. Ya, diusia Naisya yang sudah 5 tahun dia tak mau memakan nasi sudah berulangkali aku mencoba memberikan nasi, cuman sesendok dimakannya itu pun sulit masuk ke mulutnya.

Naisya menungguku di kursi sedangkan aku sibuk membuatkan susu botol untuknya. Selalu terbayang olehku isi pesan si pelakor itu. Membuat hatiku kian remuk redam rasanya. Dadaku terasa sangat sesak dan air mataku lolos seketika. Kuseka dengan kasar.

‘’Aku bodoh! Menangisi lelaki brengsek kayak dia! Air mataku malah sia-sia jadinya!’’ gumamku tak berhentinya menyeka air mataku dengan kasar. Ternyata Naisya memandangiku sedari tadi.

‘’Ma,’’ panggilnya lirih.

‘’Eh, iya , Sayang. Nih susunya udah jadi,’’ aku bergegas membawa botol yang berisi susu ke tempat Naisya duduk. Tangannya bergegas meraih botol yang kusodorkan dan langsung meneguknya.

‘’Mama harus kuat demimu, Nak,’’ gumamku sambil menatap Naisya yang sibuk meneguk susu botolnya.

Hatiku hingga saat ini sungguh teriris, isi pesan pelakor itu selalu saja membayang di benakku. Ya, aku yakin dia memang selingkuhan suamiku. Apalagi dia mengatakan sudah empat tahun berpacaran dengan suamiku.

‘’Sungguh keterlaluan kamu, Mas!’’ aku mengepalkan tangan.

Seketika tandas tak bersisa susu botol itu lantas Naisya menyodorkan botol yang tak berisi itu kepadaku.

‘’Eh, udah habis ya, Sayang? Adik udah kenyang kan?’’ dia membalas dengan anggukan. Aku bergegas mengambil botolnya lantas meletakkan ke meja makan.

‘’Kita main ke kamar ya?’’ ajakku seketika.

‘’Ya, Ma. Tapi Adik mau kue,’’ aku tersenyum memandangi gadis mungilku itu.

‘’Di kamar masih ada kue Adik, nanti Mama kasih ya?’’ aku menarik tangannya pelan dan menuntunnya untuk melangkah ke kamar. Setibanya di kamar kuberikan kue dan kuletakkan mainan di depannya agar dia bisa duduk dengan tenang.

Aku bergegas meraih benda pipih di ranjang. Lantas menekan kontak seseorang.

Berdering.

‘’Wa’alaikumussalam, Fan. Kamu sedang sibuk nggak?’’ ucapku seketika.

‘’Eh, enggak kok, Nel. Tumben kamu nelpon aku.’’ suaranya di seberang sana.

‘’Aku takut ngangguin kamu kerja, makanya aku nggak pernah nelpon kamu,’’

‘’Kamu mah, Nel. Aku nggak sesibuk itu juga kali. By the way, ada yang mau aku bantu?’’

‘’Siapa tahu kan, Fan. Kamu kan kerja kantoran pasti sibuklah ya,’’ aku tertawa kecil.

‘’Di kantor tempat kamu bekerja ada namanya Chika nggak? tanyaku to the point. Karena mas Deno dan Fani sesama bekerja di kantor yang sama. Siapa tahu Fani tahu dan kenal sama si pelakor itu.

‘’Oh, Chika? Ada, dia sekretarisnya Deno, suami kamu.’’ Degh! Sekretaris? Aku sungguh terperanjat mendengar ucapan Fani barusan. Terdengar lirih tetapi menusuk di hatiku ini.

‘’Emang kenapa, Nel?’’ tanyanya heran seketika.

‘’Aku boleh minta nomor WA-nya? Pasti ada kan sama kamu, Fan?’’ aku memberanikan diri untuk meminta nomor ponsel si pelakor itu untuk menyusun semua rencanaku.

‘’Buat apa, Nel? Kamu cemburu sama dia? Dia hanya sekretaris Deno kok nggak lebih,’’ Fani seorang sahabatku bisa bicara seperti itu? Sejak kapan Fani seperti ini kepadaku?

‘’Kamu nggak akan tahu, Fan. Kalo nggak ada bukti perselingkuhannya, aku nggak akan kayak gini!’’ gumamku kesal.

‘’Aku pengen kenalan aja sama dia, biar lebih dekat. Apa salahnya sih aku meminta nomor WA-nya?’’ sahutku kesal dan mencoba untuk bersikap baik-baik saja padahal di hatiku sungguh terasa ditusuk ribuan belati.

‘’Jangan ngambek dong, Nel. Maksud aku tuh nanti kamu malah nuduh yang enggak-enggak ke Chika lagi,’’

‘’Suamimu itu nyari nafkah untuk kamu dan anakmu loh. Jadi saranku jangan su’udzon ya sama Deno,’’ tambahnya yang membuat dadaku semakin panas. Dia tak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi di keluarga kecilku. Bagaimana jika itu terjadi padanya? Aku menghela napas pelan dan berusahan menenangkan pikiran, namun tetap saja masih tersisa kesal di diriku.

‘’Kamu tahu kan gimana sikapku?’’ tanyaku ketus. Tanpa menanggapi ucapannya.

‘’Oke deh, kukirimkan nanti ya? Ya udah, aku mau lanjut kerja dulu,’’

‘’Sip! Jangan lupa ya? Lanjutkanlah kerjamu, ma’af aku menganggu, Fan. Assalamua’alaikum,’’ belum dijawabnya aku bergegas memutuskan sambungan dan meletakkan benda pipihku kembali ke ranjang.

‘’Kok begitu kata Fani ke aku ya? Dia nggak kayak Fani yang kukenal dulu ketika di SMA,’’ gumamku yang tak habis pikir dengan perubahan sikap Fani kepadaku.

Seketika benda pipihku berdering tanda ada pesan masuk dari aplikasi hijau itu. Gegasku raih. Ternyata benar, pesan dari Fani. Tampak Fani mengirimkan nomor si pelakor itu. Gegasku simpan dengan nama kontak huruf P saja.

‘’Makasih banyak yah, Fan,’’ balasku kemudian usai menyimpan nomor wanita pelakor itu. Aku akan menjalankan semua rencanaku secara perlahan. Kupandangi Naisya masih asyik bermain sambil mengemil kuenya yang tersisa.

‘’Bi! Bibi, aku mau minta tolong!’’ panggilku seketika.

‘’Iya, Bu. Sebentar,’’ ucapnya samar terdengar. Mungkin dia sedang beberes di belakang.

‘’Apa yang bisa Bibi bantu, Bu?’’ bibi Sum bergegas memasuki kamarku.

‘’Aku minta tolong belikan kartu buatku ya, Bi?’’

‘’Kartu? Kartu biasa untuk handphone maksud Ibu?’’ ucapanya mengernyitkan kening. Aku mengangguk secepatnya.

‘’Iya, Bi. Belikan aku kartu simpati dan kartu axis ya, isi paket datanya juga pulsanya sekalian,’’ pintaku aku bangkit dan membuka lemari untuk meraih dompetku.

‘’Nih, Bi! Bawa aja segitu, ntar kalo nggak cukup Bibi malah susah untuk balik lagi,’’ aku memberikan uang ratusan sebanyak dua lembaran.

‘’Kebanyakan ini mah, Bu,’’

‘’Nggak apa-apa, Bi. Bawa aja ya, siapa tahu harga kartu nambah,’’ bibi Sum bergegas meraihnya dan masih ragu menatap uang itu. Kembali kututup lemari dan kuedarkan pandangan ke Naisya yang tengah asyik bermain sedari tadi.

‘’Ya udah, Bu. Bibi beli dulu ya?’’ ujarnya seketika. Aku mengangguk lantas tersenyum. Bibi Sum bergegas keluar dari kamarku.

‘’Dik, tambah lagi kuenya?’’ tanyaku seketika menghampiri Naisya, karena kulihat di tangannya sudah tak ada lagi kue yang digenggamnya. Dia membalas dengan menggelengkan kepala.

‘’Ya udah, Adik lanjut main ya,’’

Tak berselang lama bibi sudah pulang dan memasuki kamarku.

‘’Ini, Bu. Oh ya, Bibi lupa nanyain berapa pulsanya. Bibi belikan aja deh semuanya,’’ ucapnya tersenyum yang tengah menyodorkan kartu.

Lantas aku tertawa kecil,’’Nggak apa-apa kok, Bi. Makasih banyak,’’

‘’Sama-sama, Bu. Kalo gitu Bibi lanjut kerja dulu,’’ bibi melangkah.

‘’Tunggu, Bi!’’ seketika bibi Sum menoleh.

‘’Iya, Bu?’’

‘’By the way, kartunya udah diaktifkan langsung kan?’’

‘’Udah kok, Bu,’’

‘’Ya udah, makasih sekali lagi ya, Bi.’’ bibi Sum hanya membalas dengan anggukan saja lantas bergegas kembali melanjutkan langkahnya keluar dari kamarku.

‘’Rencanaku harus berjalan dengan mulus!’’ gumamku tersenyum sinis memandangi kedua kartu di tanganku.

Bersambung.

**Bagaimanakah kisah selanjutnya?

Penasaran? Yuk, ikutin dan baca terus ya. Jika suka dengan novelku mohon supportnya dengan cara meninggalkan jejak vote, komen dan share ya Readers biar aku lebih semangat melanjutkan ceritanya. Terima kasih. Sehat selalu dan dimudahkan segala urusannya**.

See you next time!❤

Instagram: n_nikhe

Pengakuan Si Pelakor dan Rencanaku

Aku bergegas mencek benda pipih yang berada di bawah lemari itu. Kurungkukkan sedikit kepala untuk melihatnya.

‘’Lah, kok nggak ada hanphonenya? Bukannya kuletakkan lagi di sini?’’ lirihku terheran setelah meraba benda pipih yang tak kudapati lagi benda itu dan kembali menghenyak di ranjang.

‘’Atau? Jangan-jangan Mas Deno mencurigaiku, trus dia yang ngambil hanphone itu? Ahh! Itu bukan urusanku, sekarang yang penting aku udah mendapatkan nomor si Pelakor itu!’’ gumamku tersenyum sinis. Dan bergegas kuganti kartu dengan kartu baru yang tadi dibelikan bibi. Kupandangi putriku masih asyik dengan mainannya.

‘’Oh iya, nomor si pelakor itu belum kusalin,’’ gumamku yang bergegas menggganti kartuku kembali.Tak berselang lama sudah selesai kumenyalin nomor wattsapp wanita itu dan kembali mengganti dengan kartu baruku. Gegasku jalankan rencana yang kususun.

‘’Selamat siang, Mba! Ma’af menganggu jam kerjanya. Ini aku sepupunya Mas Deno. Mba, Mba Chika, bukan?’’ tulisku di aplikasi hijau itu setelah membuat akun baru. Tak berselang lama sudah tampak centang biru dua olehku, itu tandanya sudah dibaca olehnya.

P sedang mengetik.

‘’Selamat siang juga! Eh, sepupunya yang mana? Kok Mas Deno nggak pernah cerita ke aku ya?’’

Degh! Berarti mereka memang punya hubungan yang special. Kuhela napas yang sangat terasa sesak dan mengelus dada seketika.

‘’Masa Mas Deno nggak pernah cerita tentang aku ke Mba? Oh ya, jangan bilang kalo aku mengambil nomor Mba di hanphone nya Mas Deno dan jangan bilang juga soal aku menghubungi Mba. Aku takut dimarahin dan aku janji akan menutupi semua rahasia Mas Deno dan juga Mba, gimana? Kita sepakat?’’ balasku seketika dengan senyuman sinis.

Kupandangi masih centang dua, belum muncul berwarna biru. Ya, mungkin si pelakor itu tengah sibuk bekerja di kantor. Kupandangi putriku sudah terlelap dengan sendirinya di ranjang. Lantas kembali menatap benda pipih yang masih di genggamanku.

P sedang mengetik.

‘’Iya, Mas Deno nggak pernah cerita ke aku, biasanya apa pun itu dia selalu cerita. Istrinya juga diceritain ke aku. Sip, aku nggak bakalan bilang kok, tetapi kamu harus janji juga kalo kamu bakalan menutupi semua rahasia kita. Jangan sampe si sok suci itu tahu kalo aku selingkuhan suaminya. Aku mah malah beruntung jika dia tahu, tetapi Mas Deno menyuruh untuk merahasiakan dulu. Lagian kan Mas Deno baru punya satu orang anak sama dia. Nah, makanya setelah dia punya anak lelaki. Mas Deno bakalan menceraikan istrinya, karena Mas Deno udah muak dan nggak tertarik lagi sama tuh orang. Itu karena Mas Deno hanya menginginkan anak lelaki aja,’’

Degh! Astaghfirullah ‘al adziim Air mataku luruh seketika. Tubuhku terasa dihimpit batu besar, terasa sangat sakit dan aku melemparkan benda pipih ke ranjang. Aku terduduk lemas tak berdaya. Aku juga tak habis pikir dengan wanita murahan itu, segitu teganya dia bermain api dengan lelaki yang sudah punya istri. Dia juga wanita, tetapi apakah tak terpikir olehnya bahwa dia telah menyakiti hatiku dan hati putriku? Atau dia tak pernah berpikiran seperti itu atau memang wanita itu tak punya hati? Ya Allah!

‘’Allah, kukira Mas Deno adalah suami yang baik selama ini, ternyata apa? Begitu teganya dia berkhianat di belakangku. Dan dia akan menceraikanku setelah mendapatkan anak laki-laki dariku? Dasar lelaki brengsek! Lihat aja apa yang kulakukan sebelum kamu menceraikanku, Mas!’’ aku mengepalkan tangan.

Amarahku sudah berada di ubun-ubun, napasku terasa sesak dan buliran air mata tak hentinya menetes.

Kuseka dengan kasar,’’Lelaki brengsek kayak dia nggak sebaiknya dipertahankan! Jangan jadi wanita lemah, Nel! Kamu harus jadi wanita tangguh!’’ aku menyemangati diri sendiri.

Ya, lelaki seperti mas Deno yang tak pernah menghargai seorang istri, tak seharusnya dipertahankan lagi. Buat apa mempertahankan lelaki yang berselingkuh selama 4 tahun itu, dia sudah berkhianat di belakang kita dan dengan manis mulutnya mengatakan kalau cintanya hanya kepadaku seorang. Memang kalau lelaki itu mulutnya manis sekali. Aku bergegas bangkit dan meraih benda pipih yang sempat kulemparkan, untung tak rusak. Aku takut jika nanti si pelakor itu mencurigaiku. Oh iya, pesannya belum kubalas. Gegasku buka aplikasi hijau itu. Si pelakor?

‘’Nama kamu siapa? Eh, kenapa hanya diread doang? Kamu nggak suka sama aku?’’

Aku menghela napas kasar. Air mataku selalu saja menetes. Kuseka dengan kasar. Ya, aku tak boleh menangis karena lelaki itu. Dia tak pantas untuk ditangisi.

‘’Namaku, Imelda. Ma’af Mba, tadi aku dipanggil temenku. Udah membaca pesan Mba, eh nggak sempat membalasnya,’’ balasku dengan tangan gemetaran, aku mencoba menahan rasa sesak yang membuncah di dadaku ini.

‘’Ya Allah,! Tolong berikan aku kekuatan untuk semua ujian yang Engkau berikan kepadaku. Jangan biarkan aku mudah rapuh,’’ lirihku pelan dengan suara bergetar.

Semuanya sudah terungkap dengan jelas kalau yang bernama Chika itu memang pelakor, memang perebut suamiku. Tinggal aku menyusun rencana lain. Aku tak kan membiarkan dia memperlakukanku seperti itu. Gegasku ganti kartu ponsel kembali dan meletakkan kartu rahasiaku itu di bawah kasur. Aku menghela napas kasar dan menatap putriku yang tengah terlelap. Sudah lama aku dan mas Deno menunggu buah hati kami, hingga dihadirkanlah seorang putri cantik oleh Allah ke rahimku ini.

‘’Mama beruntung punya kamu, Sayang,’’ lirihku sembari mengecup keningnya.

Hatiku sungguh teriris dan sakit sekali terbayang semuanya, terbayang perselingkuhan mas Deno dengan wanita murahan itu. Semudah itu hatimu berpaling dariku mas, semuanya telah kuberikan padamu selama ini, tetapi apa balasannya. Bisa-bisanya dia berkhianat di belakangku, bisa-bisanya dia berselingkuh selama 4 tahun tanpa kuketahui. Saking pandainya dia menutupi semua. Aku tak tahu lagi yang ada di pikiran mas Deno, tak habis pikir dengan semua kelakuannya. Pikiranku benar-benar lelah dan kantuk pun datang menyerang saking lelahnya pikiran dan tubuhku ini.

‘’Baiknya aku istirahat dulu deh.’’ Aku bergegas membaringkan tubuh di samping putriku yang terlelap. Aku pun ikut terlelap.

***

‘’Yang, Sayang! Hei! Bangun dong, udah jam berapa nih?’’ Terdengar samar olehku. Dan dia menepuk pipiku pelan. Kucoba membuka mata yang terasa sulit untuk dibuka.

‘’Kamu sakit, Yang?’’ suara yang tak asing lagi di telingaku.

‘’Basi tahu nggak!’’ batinku merasa kesal. Aku mengusap mata pelan dan mencoba membuka mata.

‘’Ka—kamu udah pulang, Mas?’’ ucapku dengan suara khas bangun tidur. Perlahan kududuk dan mengumpulkan nyawa terlebih dahulu.

‘’Nel, kamu sakit?’’ ulangnya kembali dan menghenyak di sebelahku.

‘’Iya, aku sakit. Sakit hati, Mas. Semua itu gegara kelakuanmu!’’ batinku.

‘’A—aku nggak apa-apa, Mas. Cuman kecapek’an aja kali,’’ kilahku berbohong.

‘’Kita ke rumah sakit ya?’’ Dia mendekatiku. Aku menggeser posisi dudukku.

Aku menggeleng secepatnya.

‘’Berapa kali pun kamu membawaku ke rumah sakit, nggak akan bisa sembuh, Mas. Kamu yang membuat aku kayak gini! Aku sakit hati gegara kelakuanmu!’’ batinku.

‘’Mas nggak mau kamu kenapa-kenapa.’’ Dia menatapku, aku memalingkan muka. Muak rasanya menatap wajah lelaki brengsek ini.

‘’Nel, kok gitu? Kamu marah sama, Mas?’’ Ya Allah, dia mulai curiga lagi.

‘’E—enggak kok, kamu ini bicara apa sih, Mas? Lebih baik ganti dulu seragam kerjamu sana!’’

Aku mencoba mengalihkan pembicaraanku. Dia beranjak bangkit dan mengganti pakaiannya. Dia masih menatapku. Membuatku tak nyaman, entah kenapa merasa resah aja jika dia menatapku semejak tahu kelakuannya itu.

‘’Aku mau nanya sama kamu nih,’’ ucapnya sambil membuka dasi yang terpasang di lehernya.

‘’Apa ya? Atau jangan-jangan?’’

Bersambung...

Bagaimanakah kisah selanjutnya? Penasaran? Yuk, ikutin dan baca terus ya. Jika suka dengan novelku mohon supportnya dengan cara meninggalkan jejak vote, komen dan share ya Readers biar aku lebih semangat melanjutkan ceritanya. Terima kasih. Sehat selalu dan dimudahkan segala urusannya.

See you next time!

Instagram: n_nikhe

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!