NovelToon NovelToon

Istri Rahasia

01. Pernikahan

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Hana binti Hasan dengan mas kawin yang tersebut, tunai.”

Dengan suara lantang dan satu tarikan nafas, Sebastian mengucapkan kata sakral dalam pernikahan.

"Bagaimana para saksi, sah?" tanya pak penghulu.

"Sah," jawab dua orang saksi dan beberapa orang yang hadir di acara ijab kabul tersebut.

Pak penghulu memimpin doa dan yang lainnya mengaminkan.

Setelah selesai acara ijab kabul, Sebastian langsung membawa Hana pergi.

Hana adalah salah satu karyawan di kantor Sebastian. Mereka acap bertemu dan akhirnya saling jatuh cinta.

Karena alasan restu, Sebastian menikahi Hana secara diam-diam dan merahasiakan pernikahan mereka dari lhalayak umum. Mereka bersikap seolah tidak saling kenal di depan publik.

Meski berpapasan pun, Hana hanya membungkuk dan semua orang tau itu adalah tanda hormat dari karyawan pada atasannya.

"Masuklah!" Sebastian membawa Hana ke apartemen yang baru saja dibelinya.

"Kenapa aku tidak tetap tinggal di rumah kontrakanku saja, Mas? Kalau aku tinggal di sini nanti banyak yang curiga." Tutur Hana.

"Kalau kamu tetap tinggal di rumah kontrakanmu, aku tidak bisa mengunjungimu sayang. Mata tetangga-tetanggamu itu semua jelalatan, jiwa gosipnya pasti meronta jika melihatku datang ke rumahmu." Pungkas Sebastian.

Sebastian menghempaskan tubuhnya ke sofa, tangannya menjulur ke arah Hana, meminta gadis itu untuk mendekat.

"Aku belum bisa mengumumkan pernikahan kita. Percaya padaku, cepat atau lambat hubungan kita akan resmi di mata publik." Ujar Sebastian.

Hana hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. Benar atau salah keputusan besar yang baru diambilnya, diapun tidak tahu.

"Kita harus kembali ke kantor," kata Hana.

"Aku yang akan kembali ke kantor, bukan kamu." Kata Sebastian sambil menaik turunkan alisnya.

"Oh ayolah, Bas. Ini masih siang, masih banyak waktu untuk kita melakukannya. Aku harus menemani pak Geri meeting siang ini." Tutur Hana.

"Baiklah, sayang. Ayo!"

Sebastian dan Hana pun ke luar dari apartemennya dan langsung menuju ke kantor menggunakan kendaraan masing-masing. Hana naik taksi dan Sebastian mengikutinya dari belakang.

Sesampainya di kantor, Hana langsung menuju ruang kerjanya.

"Han, meetingnya diundur, anak pak Geri tiba-tiba sakit." Kata Ratna, teman satu ruangan dengan Hana.

"Oke," balas Hana.

Ratna mendatangi meja Hana, "Kamu tahu nggak, tadi pas jam istirahat ibunya si bos datang bersama cewek cantik dan seksi. Desas-desus yang aku dengar katanya cewek itu calon istrinya si bos." Kata Ratna.

Degh, jantung Hana seolah berhenti berdetak. "Kamu serius?" tanya Hana.

"Serius! Mana pernah aku bohong. Kalo nggak percaya kamu bisa tanya Dodi, dia juga tahu kok." Jawab Ratna.

Dodi menghampiri meja Hana lalu menaruh setumpukan kertas di sana. "Ni tugas dari pak Geri, cepet kerjakan, jangan gosip melulu." Sungut Dodi.

Ratna kembali ke mejanya, dia tidak mau mengganggu Hana. Apalagi melihat tumpukan kertas yang cukup banyak, dapat dipastikan jika Hana akan lembur lagi malam ini.

Tepat pukul lima sore, para karyawan yang sudah menyelesaikan pekerjaannya pun pulang. Sedangkan Hana masih duduk di kursinya, berhadapan dengan komputer dan setumpukan kertas.

"Ngerjain apaan si, Han? Butuh bantuan nggak?" tanya Ratna.

"Lihat sendiri tuh," tunjuk Hana ke layar komputernya.

"Dodi! Sini bantuin! Kasihan Hana," kata Ratna pada Dodi.

"Kalau kalian mau pulang, udah pulang aja. Aku nggak apa-apa kok lembur. Udah biasa juga kan," tolak Hana. Dia tidak mungkin merepotkan Ratna dan Dodi. Mereka berdua selalu membantunya saat kerjaan menumpuk.

"Udah, sini aku bantuin. Kebetulan aku nggak punya kegiatan kok," kata Dodi.

Hana, Ratna, dan Dodi kembali memasang mode serius.

"Kalian belum pulang?" tiba-tiba suara Sebastian mengejutkan mereka bertiga.

Hana langsung berdiri dengan kepala menunduk, begitu juga Ratna dan Dodi, mereka melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Hana.

"Belum pak," jawab Hana.

"Kalian lembur?" tanya Sebastian lagi.

"I-iya pak," jawab Hana gagap.

Sebastian melihat ketiga karyawannya secara bergantian, "Siapa yang bertanggung jawab atas tugas yang sedang kalian kerjakan?" tanyanya.

"Saya, Pak." Jawab Hana.

"Kalian berdua?" tanyanya lagi.

"Kami hanya membantu meringankan pekerjaan Hana, pak. Kasihan dia tiap malam harus lembur," jawab Dodi dengan jujur.

Sebastian membulatkan matanya dengan sempurna, dia baru tahu jika Hana sering lembur.

Sebastian mengambil setumpukkan kertas yang ada di meja Hana kemudian membuangnya ke lantai.

"Berikan padaku tugas yang ada pada kalian!" pinta Sebastian.

Ratna dan Dodi memberikan beberapa helai kertas yang ada pada mereka ke Sebastian.

"Apa ini? Kalian diam saja saat Geri memberi kalian kerjaan sampah?" Suara Sebastian terdengar meninggi.

"Kalian semua, pulang. Biar ini jadi urusan saya!" tegas Sebastian.

Ratna dan Dodi buru-buru mengambil tas masing-masing lalu pergi dari sana.

Sebastian mencondongkan tubuhnya dan menjadikan kedua tangannya yang bertumpu pada meja kerja Hana sebagai penopang tubuh.

"Geri sering melakukan ini padamu, kenapa kamu tidak pernah mengatakannya padaku? Cecar Sebastian.

"Karena itu sudah tugasku," jawab Hana dengan kepala yang tetap menunduk.

"Tugas kamu bilang? Tugas apa? Bahkan semua tulisan yang ada di semua kertas itu sudah kadaluarsa. Itu adalah laporan kerja beberapa bulan yang lalu, sayang." kata Sebastian.

"Ayo pulang!" ajak Sebastian.

Hana mengemasi barang pribadi miliknya, memasukkannya ke tas kecil lalu mengikuti Sebastian keluar dari gedung itu.

Hana berdiri di depan gedung, menunggu taksi online pesanannya datang.

"Hati-hati di jalan," kata Sebastian sambil melewati Hana tanpa menoleh sedikit pun ke arah gadis itu.

Sebastian masuk ke mobilnya lalu pergi.

"Mbak Hana lembur lagi?" tanya pak satpam.

"Iya pak," jawab Hana.

"Kok mbak Hana seeing disuruh lembur ya? Karyawan yang lain jarang, bahkan nggak pernah. Jangan-jangan pak Geri naksir sama mbak Hana," kelakar Pak Satpam.

"Nggak mungkin lah pak, pak Geri kan sudah punya istri dan anak." Ujar Hana.

Pak satpam mengerutkan keningnya, "Siapa yang bilang mbak? Setahu saja beliau masih bujang." Perkataan pak satpam membuat Hana melongo.

"Bujang?"

Hana nggak habis pikir, lalu alasan yang selama ini Pak Geri pakai ketika dia tidak datang ke kantor anak siapa? Pak Geri selalu beralasan jika anaknya mendadak sakit.

Taksi yang dipesan oleh Hana pun datang, dia langsung masuk dan memberikan alamat ke supir taksinya.

"Pindah ya mbak?" tanya supir.

"Iya mas, biar lebih dekat." Jarak menjadi alasan sebagai jawaban dari pertanyaan sopir untuknya.

Tapi, itulah alasan yang masuk akal. Jarak rumah kontrakannya memang cukup jauh, dua kali lipat dari jarak apartemen ke kantor.

Sesampainya di apartemen, Hana langsung masuk. Sebastian tidak ada di sana, mungkin dia langsung pulang ke rumah pribadinya.

02. Iler Cinta

"Oh, tubuhku lelah sekali." Keluh Hana sambil menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Masih berbalut pakaian kerja dan sepatu. Dia menelungkupkan tubuhnya yang terasa pegal-pegal.

Hana berbalik dan kini dalam posisi telentang, menatap langit-langit kamarnya, "Apa ujung dari kisah ini? Bahagia atau sebaliknya?" monolog Hana.

Hana turun dari kasur lalu memutuskan untuk membersihkan tubuhnya, setelah selesai mandi dia langsung berpakaian serba minim. Itu lebih terasa nyaman dan leluasa baginya, membuat tidurnya lebih nyenyak.

Hana menarik selimut lalu menutupkan ke separuh tubuhnya dan mulai tertidur.

"Emph ..." lenguh Hana saat merasakan ada yang bergerak di atas tubuhnya.

Hana membuka mata dan melihat siapa yang sudah mengganggu tidurnya.

"Sayang? Kapan kau datang?" tanya Hana seraya menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh Sebastian.

"Kamu tahu aku tidak ada di sini saat kau datang, kenapa berpakaian seksi seperti ini? Hem?" Sebastian balik bertanya lalu merebahkan tubuhnya di samping Hana.

"Aku sudah terbiasa seperti ini, ini membuatku nyaman." Jawab Hana.

Sebastian mengeratkan pelukannya di tubuh gadis yang sudah sah menjadi istrinya, "Hanya di depanku saja, jangan di luar atau di hadapan laki-laki lain." Pungkasnya dan Hana pun mengangguk.

Sebastian mendekatkan wajahnya pada wajah Hana, sepertinya dia akan memulai ritual malam pengantinnya.

Hana memejamkan mata saat wajah suaminya semakin dekat. Hingga sebuah sesapan dia rasakan di bibirnya. Sesapan lembut serta sentuhan-sentuhan dari suaminya yang membuat dia menginginkan lebih.

Sebastian semakin gencar melakukan aksinya, ditambah lagi saat mendengar suara seksi yang mulai ke luar dari mulut Hana.

"Aku mencintaimu, bidadariku." Bisik Sebastian di telinga Hana.

"Ahh," Hana merasakan perih bercampur nikmat saat Sebastian melakukan penyatuan.

Seluruh cinta tercurah malam ini, alam seolah mendukung mereka berdua. Langit yang tadi cerah berubah mendung dan mulai menumpahkan airnya dengan deras.

"Besok kamu tidak usah masuk kerja," kata Sebastian setelah pertempurannya selesai.

"Bagaimana dengan pak Geri? Dia pasti akan marah." Kata Hana.

Sebastian menyeringai, "Kalau kamu mau semua orang di kantor melihat tanda cinta di lehermu, silakan saja datang ke kantor besok." Ujarnya.

Hana tidak mengerti apa yang dimaksud oleh suaminya. Dia bergegas turun dari kasur dan berniat untuk bercermin.

"Awh!" pekik Hana saat merasakan perih dan ngilu di bagian intinya.

Mendengar pekikan Hana, Sebastian langsung turun dari kasur. "Sakit banget ya?" tanyanya.

"Iya," jawab Hana sambil berjalan tertatih-tatih menuju cermin.

Matanya membulat, mulutnya terbuka lebar saat melihat banyak tanda merah di sekeliling lehernya. Bukan hanya di leher, bahkan tanda merah itu menyebar hingga ke dada dan hampir ke seluruh tubuh bagian depannya.

"Apa kamu keturunan drakula?" tanya Hana.

"Ya, dan kamu adalah mangsa yang menggiurkan." Jawab Sebastian yang langsung mendekap istrinya dari belakang.

"Sudah cukup! Nanti kamu kelelahan, lagi pula ini sudah lewat tengah malam bahkan sudah hampir subuh. Nanti kamu telat pergi ke kantor." Cicit Hana.

Sebastian tidak menggubris ocehan istrinya, dia mengangkat tubuh ramping Hana dan membawanya ke kasur. Mengingat Hana masih merasakan perih di bagian intinya, maka Sebastian pun melakukannya dengan sangat hati-hati.

Selesai dengan pertempuran keduanya barulah mereka tertidur. Hingga sinar matahari menerobos masuk dari celah-celah tirai, barulah mereka terbangun karena silau.

"Mas, kamu nggak ke kantor? Ini sudah pukul sembilan," kata Hana.

"Aku di sini saja, bersamamu." Kata Sebastian dengan manja.

"Jangan begitu, nanti orang-orang menaruh curiga pada kita. Apa lagi kita tidak masuk dalam waktu bersamaan." Ujar Hana.

"Baiklah tuan putri, hamba akan pergi ke kantor sekarang juga. Cari uang yang banyak biar tuan putri bisa shoping." Kelakar Sebastian.

"Nggak sekarang juga kali, mandi dulu ih, biar nggak bau iler." Balas Hana.

Sebastian yang sudah turun dari kasur mencondongkan tubuhnya ke arah Hana, "Biar saja bau iler, biar mereka tau bagaimana harumnya iler cinta." Ujarnya.

Sebastian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubihnya. Sepertinya hari ini adalah hari baik, siulan nyaring terus terdengar dari arahnya.

Selesai mandi Sebastian ke luar dan hanya memakai handuk yang melilit dari pinggang hingga ke lutut. Butiran air yang jatuh dari rambut basahnya semakin membuatnya terlihat seksi, tampan, dan mempesona.

"Ternyata benar kata teman-teman di kantor, suami orang lebih menggoda." Seloroh Hana sambil menyerahkan baju pada Sebastian.

"Benarkah? Apa tingkat ketampananku semakin meningkat setelah menikah?" tanya Sebastian.

"Begitulah," jawab Hana seraya memasangkan dasi di kerah kemeja yang dipakai oleh suaminya. Meskipun hanya istri rahasia, dia tetap ingin menjadi istri yang terbaik, memberi pelayanan yang terbaik pada suaminya.

"Aku pergi dulu!" Pamit Sebastian.

"Hati-hati di jalan dan di mana pun kamu berada," pesan Hana.

Sebastian menarik pinggang ramping Hana hingga menempel ke tubuhnya. "Ingat, kamu istriku, bukan pelayan atau pun pembantuku. Aku tidak mau kamu kelelahan hanya karena mempersiapkan ini itu untukku. Cukup diam dan nikmati hari-harimu," kata Sebastian.

"Baiklah kalau begitu, Rajaku. Pergilah! Ratumu ini akan diam dan menikmati hari-harinya," kata Hana.

Cup ... Sebastian mengecup bibir Hana sekilas, kemudian mencium kening gadis yang sudah merelakan mahkota berharga untuk dirinya.

Setelah Sebastian pergi, Hana langsung membersihkan tubuhnya. Karena tidak tahu harus melakukan apa, selesai mandi Hana hanya tiduran di kasurnya sambil memainkan ponsel.

Di kantornya,

Sebastian sedang berdebat dengan sang mama.

"Ke mana saja kamu tadi malam? Kenapa tidak pulang? Kamu tahu kan kalo Tyas ada di rumah?" cecar Mama.

"Aku sudah besar, Ma. Aku rasa aku sudah cukup dewasa untuk menentukan apa yang berhak aku lakukan. Please, Ma! Jangan mengaturku berlebihan seperti ini! Aku sudah menuruti semua kemauan mama, aku mengikuti semua apa yang mama katakan, aku patuhi semua yang mama inginkan. Tapi, untuk pasangan hidup, biarkan aku memilih gadis sesuai keinginanku." Tutur Sebastian.

"Siapa yang meracuni otakmu, IBAS? Bisa-bisanya kamu berbicara seperti itu pada mama." Mama menekankan nama IBAS, nama panggilan Sebastian.

"Tidak ada yang meracuni otakku, Ma. Aku hanya ingin hidup selayaknya manusia normal. Jika ada kewajiban pasti ada hak. Aku sudah memenuhi kewajibanku pada mama, maka dari itu tolong hargai keputusan yang menjadi hakku." Tegas Sebastian.

Mama berdiri dari duduknya, "Mama akan cari tahu, siapa yang sudah lancang meracuni otakmu." Mama ke luar dari ruang kerja Sebastian dengan wajah kesal.

"Argh!!!" Sebastian meraup kasar wajahnya.

"Apa mama pikir aku anak kecil yang terus diatur dan dikekang? Apa mama pikir aku tidak lelah mengikuti semua keinginan mama?" monolog Sebastian.

Pintu ruangan terbuka, seorang gadis masuk ke dalam dan menghampiri Sebastian.

"Bas!" sebutnya.

"Ke luar!!" Usir Sebastian tanpa melihat siapa gadis yang baru saja masuk dan menyebut namanya.

03. Pilih aku atau mama

"Apa aku mengganggumu?" tanya Tyas sambil melangkah masuk.

Sebastian menyeringai lalu tertawa dengan keras, "Permainan apa lagi ini? Tadi mama, sekarang kamu. Kalian nggak capek ya, pagi, siang, hingga malam terus menggangguku. Aku saja muak melihat tingkah kalian," tuturnya.

Tanpa rasa malu, bukannya pergi, Tyas justru semakin mendekati Sebastian.

"Kamu kenapa sih, kok uring-uringan terus? Harusnya kamu tu seneng kalo aku datang," ujar Tyas.

Sebastian menepis tangan Tyas yang hendak menyentuh dadanya, "Menjauh dariku, Tyas! Apa kamu pikir, lelaki terhormat akan menyukai sikapmu yang murahan ini. Tidak, Tyas! Mereka yang senang akan sikapmu adalah lelaki yang sama murahnya denganmu!" tegas Sebastian.

"Cukup, Bas! Aku tidak butuh kata-kata hinaan darimu. Apa salahku hingga kamu memandang rendah diriku?" Suara Tyas terdengar meninggi dan bergetar, sepertinya gadis itu sedang menahan amarah juga tangisnya secara bersamaan.

"Salahmu adalah tetap bersikeras mendekati dan merayuku. Bukankah kamu sudah tahu jika aku menolak perjodohan ini? Hem? Jangan marah jika ada laki-laki yang merendahkanmu, semua itu karena sikapmu sendiri yang terkesan murahan." Tutur Sebastian lalu keluar dari ruang kerjanya.

"Kau!" mata merah, nafas saling memburu. Sebuah pena menjadi pelampiasan amarahnya. Tyas meremas pena itu hingga patah menjadi dua, seperti hatinya saat ini yang patah dan hancur berkeping-keping karena berulang kali ditolak oleh Sebastian.

Sudah tidak ada pekerjaan yang penting, Sebastian memutuskan untuk pulang. Bukan pulang ke rumah orang tua atau rumah pribadinya, melainkan pulang ke tempat bidadari hatinya.

"Sayang? Jam segini sudah pulang," sambut Hana saat melihat Sebastian memasuki apartemennya.

"Aku merindukanmu," ucap Sebastian.

"Rindu atau ada masalah?" sepertinya Hana bisa menebak suasana hati Sebastian.

Sebastian melonggarkan dasinya lalu duduk di kursi yang ada di dapur. Kebetulan siang ini Hana sedang berada di dapur dan menyiapkan makan siang yang sudah terlewat.

"Mama datang ke kantor .... " Perkataan Sebastian terputus karena Hana memotongnya.

"Bersama gadis itu lagi?" tanya Hana.

"Hemmm," dehem Sebastian sebagai jawaban.

Hana mematikan api kompornya dan membiarkan masakannya tetap di sana. Dia duduk di samping suaminya dan menatap wajah itu dengan lembut bercampur sedih.

"Bas, kenapa kamu nekat menikahiku? Jika kamu tahu ada wanita lain. Yah walaupun aku tahu kamu tidak mencintainya, setidaknya kamu tidak harus menyakiti hatiku." Tutur Hana.

"Apa maksudmu? Aku menikahimu karena aku mencintaimu, sayang. Aku tidak mencintai Tyas dan aku sama sekali tidak berniat menyakiti hatimu." Pungkas Sebastian.

Hehhh ... Hana menghela nafas pelan, dia raih tangan Sebastian kemudian menggenggamnya.

"Jika suatu hari nanti kamu harus memilih antara aku dan mamamu, siapa yang akan kamu pilih?" tanya Hana.

Sebastian terdiam, baginya itu adalah pilihan yang sulit. Dia mencintai Hana tapi juga tidak mungkin durhaka pada ibunya.

"Aku pilih kalian berdua," jawab Sebastian.

"Kamu harus memilih salah satu, Bas!" tegas Hana sambil beranjak dari duduknya.

Hana mengambil piring lalu menuangkan makanan untuk dirinya dan Sebastian.

"Makanlah, kamu pasti belum makan." Hana menyuguhkan semangkuk sup hangat beserta lauk pauk yang lainnya.

"Aku tidak lapar!" cetus Sebastian.

Hana menyendokkan nasi lalu mengarahkan ke mulut suaminya, "Jangan kolokan seperti anak kecil." Ujarnya.

Sebastian mengambil sendok yang dipegang oleh Hana, akhirnya dia pun makan hingga nasi dan lauknya tidak tersisa.

Selesai makan, Sebastian langsung masuk ke kamarnya. Sedangkan Hana masih membersihkan dapurnya.

Selesai membersihkan dapurnya, Hana tidak langsung masuk ke kamar. Dia memilih berdiri di dekat jendela dapur, dari situ dia bisa melihat ke luar.

"Kamu masih di sini?" Sebastian sudah berganti pakaian dan sepertinya dia hendak pergi.

"Hemmm," dehem Hana.

Grep ... Sebastian memeluk Hana dari belakang. "Apa yang sedang kamu lihat?" tanya Sebastian sambil memainkan rambut Hana.

"Lihat burung di sana, mereka hidup bebas ke sana kemari seolah tidak punya beban." Jawab Hana.

Sebastian melepaskan pelukannya lalu berjalan ke arah kulkas, dia membuka kulkas itu lalu mengambil minuman kaleng di dalamnya.

"Tidak usah terlalu dipikirkan. Nikmati saja hari-hari indah kita sebagai pengantin baru," ujar Sebastian.

"Apa kamu mau pergi lagi?" tanya Hana.

"Iya," jawab Sebastian lalu menenggak minumannya hingga tandas.

"Malam ini mungkin aku tidak datang, jangan menungguku." Pesan Sebastian. Dia mendekati Hana, memeluk erat tubuh gadis itu lalu mengecup punyak kepalanya dengan lembut.

"Aku mencintaimu," ucap Sebastian. Perlahan dia mendekatkan wajahnya lalu menyesap lembut bibir Hana.

Drtt ... Dering ponsel membuat adegan romantis mereka terhenti.

"Hallo!" sapa Sebastian pada orang yang menelponnya.

" Aku tunggu kau di rumah. Jika kamu tidak datang, maka jangan salahkan aku jika malam ini juga perusahaan keluargamu akan gulung tikar." Ancam Tyas dari seberang telpon.

Sebastian mematikan ponselnya, "Apapun yang terjadi, apapun yang kamu dengar, dan apapun yang kamu lihat nanti, itu hanyalah sandiwara. Hati, cinta, dan hidupku hanya untuk kamu seorang." Ungkapnya.

"Pergilah!" kata Hana, lebih tepatnya dia mengusir Sebastian.

"Sayang!" sebut Sebastian.

"Aku cukup mengerti, Bas! Semua ini tidak akan berjalan mulus. Pergilah, bukan hanya keluargamu yang bergantung pada perusahaan, tapi juga ribuan para karyawan, termasuk aku." Pungkas Hana.

Huft ... Sebastian menghela nafasnya pelan, kemudian pergi tanpa kata.

"Cinta tidak harus memiliki, tapi cinta harus berkorban. Mungkin inilah saatnya, kamu harus korbankan cintamu, Bas. Dan aku, cintaku tidak bisa memiliki dirimu." Monolog Hana.

Hana melangkah dengan gontai menuju kamarnya, menghempas tubuhnya di atas kasur.

Hana mengambil ponselnya lalu berselancar di dunia maya. Dia mencari produk yang bisa menghilangkan tanda merah di lehernya. Dia harus bekerja lagi mulai besok, dia tidak mungkin bergantung terus pada suaminya. Apalagi sekarang keuangan Sebastian dibekukan oleh mamanya.

"Baru ini aku bertemu orang yang lemah dan kurang pintar, tapi aku mencintainya." Monolog Hana sambil tersenyum.

Di sisi lain,

"Kamu lama sekali!" kata Tyas dengan lembut.

"Kamu pikir aku mbah jin yang bisa menghilang dan muncul di mana saja dalam waktu singkat," ujar Sebastian dengan nada ketusnya.

"Bas! Jaga bicaramu! Apa kamu tidak malu pada Om Tama dan Tante Dias? Tingkahmu sangat memalukan." Sungut mama.

"Aduh Jeng, nggak apa-apa kok. Namanya juga anak muda, biasalah masih malu-malu meong. Apa lagi mereka lama nggak ketemu, pasti mereka merasa canggung." Tutur Tante Dias, mamanya Tias.

'Malu-malu kucing apanya? Anakmu tu yang malu-maluin. Udah menggeliat kayak ulet keket saja.' Gerutu Sebastian dalam hati.

"Karena sekarang kita semua sudah berkumpul, bagaimana jika kita langsung membahas tentang waktu dan kapan kita akan melangsungkan pertunangan putra putri kita." Tutur Farhat, papa Sebastian.

"Apa? Tunangan?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!