NovelToon NovelToon

Sistem Pendekar Terkuat

Mimpi Yang Mustahil

“Ahaha bodoh! Dia mau jadi pendekar terkuat?!”

“Lihat, tubuhnya kurus kering begitu mau jadi pendekar? Haha!”

Malam hari di antara pepohonan rindang, terlihat kerumunan anak-anak sedang merundung seorang anak kecil yang duduk di tanah, tanpa tenaga, bajunya compang-camping, tidak sedikit bagian tubuhnya memar.

“Menangislah panggil orang tuamu!” Salah seorang anak lelaki yang paling besar menjenggut rambut panjang anak lemah ini.

“Ups, kau tidak punya siapa-siapa ya. Heh."

”HAHAHA!”

Rambut anak kecil lemah itu ditarik begitu keras seolah dipaksa menunjukkan wajahnya. Ia tetap tertunduk, anak-anak lain mengira dia menangis.

“Sialan.” Suara lemah nan penuh tekad keluar dari anak kecil itu.

“Aku… masih punya… KAKEK AN!” Anak kecil itu mengangkat wajahnya, dengan sorot mata tajam, ia menutup matanya dan mengarahkan wajahnya ke depan.

“HM!?”

DUAGH!

“INGAT ITU!” Anak kecil itu menabrakkan kepalanya dengan anak lelaki yang lebih besar itu.

“Ugh….” Alhasil anak paling besar itu jatuh ke belakang, bersamaan dengan itu darah mengucur dari dahi anak kecil ini.

“HAH! SIAPA LAGI!? MAJU SINI!” Anak kecil itu mengepalkan tangannya ke depan, sedang anak kecil yang lain bergetar pelan dengan tatapan tidak percaya.

“Ah! Ibu! Xiao Liu berulah lagi!” Seketika itu juga anak-anak kecil itu membubarkan diri, meninggalkan teman besar mereka yang tergeletak di tanah.

“KALIAN YANG MULAI DULUAN!” Raut wajah anak kecil itu memerah, mengumpat sembari menghentakkan kakinya ke tanah. Sementara anak-anak kecil lain berlari ke arah desa, tidak sedikit di antara mereka yang ketakutan dan menangis.

“AKU AKAN JADI PENDEKAR TERKUAT! INGAT ITU!”

“Cih.” Anak kecil itu terdiam sejenak, sementara luka di dahinya mengucur pelan.

“Liu.” Suara pria lembut terdengar di antara pepohonan rindang yang seharusnya sudah tidak ada siapapun.

“Hah!” Mata Xiao Liu terbuka lebar. "Kakek An!?" lanjutnya. Darimana orang tua ini datang?

“Mau menolongku kek? Tapi sudah telat!” Xiao Liu menatap seorang pria tua dengan rambut putih panjang.

Seorang bernama Kakek An itu memakai baju putih panjang, rambut putihnya tanda umurnya, namun tidak banyak keriput ada padanya. Suaranya lembut tidak peduli sudah disebut kakek sekalipun, suaranya bak aliran air yang menenangkan.

Kakek An menaruh tangannya di belakang, menatap Liu dengan seksama.

“Eh?” Entah mengapa Liu malah merasa ada yang tidak beres.

“Sudah malam dan kamu berkelahi di hutan? Anak lima tahun harus ada di ranjang tidur sekarang.”

Suara lembut Kakek An terdengar. Meski begitu Xiao Liu tahu kakeknya itu sedang menceramahinya sekarang.

“Heh dia tumbang kek! Kakek tidak usah menjemput, Liu bisa pulang sendiri!” Xiao Liu tersenyum lebar, sementara darah yang mengucur di dahinya masuk ke mulutnya.

“UARGH! AH! Aku menelan darah! Bisa-bisa aku jadi iblis! CUH!”

Anak kecil itu malah panik dan mengelap mulutnya segera.

“….” Kakek An menyentuh dahinya sendiri, tipikal orang pusing, dan mengarahkan pandangannya ke anak lelaki besar yang tergeletak di tanah kemudian mendekatinya dan menyentuh dahinya, dan seketika itu juga cahaya hijau bersinar terang.

“Woah keren!” Xiao Liu terkesima melihat kakeknya menggunakan suatu ilmu.

“… Tunggu… Kek! Kenapa bukan aku yang disembuhkan!?” Liu mengubah ekspresinya dalam sekejap.

Benar saja, luka di dahi anak lelaki yang terbaring itu lenyap.

Kakek An berdiri pelan. “Liu sudah berapa kali kakek katakan?”

“….” Liu terdiam, ekpresinya tidak terlihat baik-baik saja. Ia pikir kakeknya akan menolongnya.

“Apa kamu mengatakan hal aneh?” Sorot mata Kakek An begitu tajam seolah memaksa anak kecil ini mengatakan yang sebenarnya.

“Ah….” Liu tidak berani menatap lama-lama dan menatap tanah saja. Sementara itu ia tidak mengatakan apapun lagi.

“Katakan sesuatu Liu, atau kakek tidak bisa menolongmu.”

“Anak-anak lain pasti mengadukan ini ke orang tuanya, kamu bisa di usir dari desa.”

Liu kecil tidak mengatakan apapun juga, sementara itu ia memegang dadanya perlahan.

“AH KAKEK BODOH! NGGAK NGERTI! SUDAHLAH!”

Seketika itu juga Liu berbalik dan lari kencang, bukannya ke desa malah masuk ke hutan lebih dalam lagi. ‘Kakek bodoh! Berapa kali lagi aku menjelaskannya?! Padahal kakek tahu! Kenapa bertanya lagi!?’ batin anak itu menjerit keras.

Sementara itu di sisi lain, Kakek An terdiam melihat Liu. Ia tidak mengejarnya dan malah menggendong anak yang lebih besar ke desa, dan langsung pulang ke rumahnya.

Malam pun berlalu, dan paginya seperti biasa, Kakek An melihat ke kamar Liu, namun tidak ada siapapun di sana.

“Belum pulang ya, mungkin betah di hutan.” Kakek An segera pergi ke dapur dan mengolah dedaunan segar, ditumbuk, direbus, dijadikan minuman yang pas untuk mengawali hari.

Kebetulan pagi ini terasa dingin, Kakek An menselonjorkan kakinya dekat perapian sederhana. Terlihat menikmati kehidupan seperti yang sudah seharusnya.

“Ah~” Tidak ada yang mengalahkan teh hangat di pagi hari, Kakek An mengambil buku tebal dan mulai membaca.

BRAK!

“?” Kakek An mendengar suara pintu terbuka keras, mungkinkah ada laporan warga di pagi hari? Mengingat dia sendiri adalah pemimpin desa.

Terdengar suara langkah kaki kecil. Kakek An tidak beranjak dari tempatnya dan lanjut menyeruput tehnya.

“KAKEK!” Terdengar suara Liu dari kejauhan.

“Ah! Liu! Kemari, nikmati teh hangat.” Kebetulan Kakek An membuat dua cangkir teh, untuk jaga-jaga.

Liu kecil dengan rambut panjang acak-acakan dan juga luka di dahinya terdiam melihat orang tuanya santai seperti ini. “KAKEK TIDAK PEDULI AKU MATI DI HUTAN?” Bukan nada yang keras, namun sebuah penekanan kalimat yang berarti. Liu menatap kosong orang tuanya sendiri.

“Ka- kalau ada binatang buas… siluman atau apapun… kakek tidak pe-peduli….?” Mulut anak kecil itu bergetar pelan.

Kakek An beranjak dari tempatnya, mengambil perban dari kotak kesehatan, membersihkan luka di dahi Liu dan memperbaninya.

“Padahal tinggal pakai ilmu dalam saja….” Liu terdengar lemas.

Kakek An menepuk pundak anaknya. “Liu….”

Liu melihat kakeknya dengan serius, sepertinya memang ada hal yang perlu dibicarakan. Apakah ini masalah kemarin? Mungkin Kakek An masih marah padanya? Apa ia akan mendengar wejangan membosankan dari orang tua pada anaknya?

BRAK! BRAK!

“BUKA PINTU! TETUA DESA KAMI MAU BICARA!”

“Kek, ada yang mengetok di depan.” Liu segera bergegas membuka pintu. "Itu mendobrak namanya," timpal Kakek An.

“Stop.” Kakek An beranjak dari tempatnya, mengarahkan tangannya menghentikan Liu.

“Kek aku sudah berhenti, tidak perlu menghalangi.” Liu risih dengan tangan sang kakek yang dekat sekali dengan wajahnya.

Kakek An menatap Liu dengan seksama. "Inilah akibatnya Liu."

"Akibat jadi tetua desa?" Liu penasaran.

"MEREKA BUKAN MENCARIKU!" Bahkan Kakek An bisa meninggikan nadanya juga. Ia berjalan ke pintu masuk rumah.

“Maaf Tuan, jangan menggedor keras, pintu kayu ini lapuk, bisa-bisa roboh,” ujar Kakek An dengan ramah membuka setengah pintu.

“TUAN-TUAN!?”

Yang datang ternyata barisan ibu-ibu yang memegang memegang obor dengan ekspesi muram, garang.

“Ah, maaf, ibu. Ada keperluan apa? Mengapa bawa obor segala? Malam masih lama bu.” Kakek An mengorek telinganya. Maklum saja ia sudah berusia 85 tahun, wajar saja kalau salah dengar.

“ANAK ANGKATMU ITU BUAT MASALAH LAGI!' Ibu-ibu itu mengangkat obornya bersamaan.

Kakek An terdiam sejenak, sementara Liu mendekat dari belakang.

“AH! ITU DIA TANGKAP!”

Ibu-ibu makin ricuh melihat Liu, mereka memaksa masuk dan Kakek An tidak bisa menahannya lagi.

“Eh?” Liu terdiam, sepertinya dugaannya salah.

BRAK!

Orang tua itu menggebrakkan pintu keras sekali, lebih keras dari Liu dan kerumunan ibu-ibu tadi.

“Liu….” Kakek An terdengar serius.

“Ya kek? Apa?” Liu tidak sabar orang tuanya itu selalu memberi jeda sebelum bicara.

“Kamu datang terlalu cepat, mereka mencarimu.” Kakek An menatap anaknya dengan tatapan panik.

“Hah? Kakek mengusirku?!”

Xiao Liu tidak percaya, bahkan kakeknya sendiri tidak mengharapkan kehadirannya?

“Bukan begitu, kakek sudah menjelaskan semuanya kemarin malam, namun warga desa tidak percaya.”

“Oh!” Liu jadi mengerti, ternyata ini demi kebaikannya ya?

Tapi ia tidak mungkin terus tinggal di hutan, bisa-bisa tidak bisa pulang selamanya.

‘Jadi ini yang dimaksud kakek,’ batin Xiao Liu, ia teringat omongan kakeknya kemarin malam. Setiap kali ia berulah, pasti warga desa marah.

"Kalau begitu pakai ilmu pamungkas.” Liu terdengar serius, ia menatap kakeknya dengan sorot mata tajam.

“Hm.” Kakek An tersenyum kecil setuju, dari tubuhnya muncul asap yang banyak seolah tubuhnya mau terbakar.

“INI DIA!” Liu membuka matanya lebar, tidak sabar melihat ilmu hebat orang tuanya!

“BUKA TETUA AN! ATAU KAMI BAKAR RUMAHMU!” Ibu-ibu makin menggila di luar, namun Kakek An dengan tenang membuka pintu rumah lagi.

“Bian Lian,” ucap Kakek An, suaranya lebih lembut dari aliran air, kini terdengar seperti belaian lembut udara sejuk.

“Kyaaa!” Ibu-ibu histeris seketika itu juga, melihat orang tua berambut putih jadi sesosok pria tampan yang tersenyum lembut.

“Kagumilah! Tatap sepuasnya! Lalu pulang ke rumah dengan bahagia! Haha!” Kakek An mengangkat kedua tangannya ke atas dengan bangga, dan tidak lama barisan ibu-ibu itu membubarkan diri dengan tertib.

“Hah, untung mereka cepat pergi.” Kakek An kembali ke wujud asalnya, yang adalah rambut putih panjang dan sedikit keriput.

“Hm, sebenarnya penampilan Kakek tidak jauh beda dari yang tadi.” Liu mengatakan pendapatnya.

“Benarkah? Terima kasih nak, hari-hari sebagai pendekar tidak sia-sia.”

Liu mengangguk, ia tahu Kakek An adalah seorang pendekar serba bisa yang mengurusnya sejak kecil. Orang sering mengatakan ‘Di mana orang tuamu?’ namun Liu bangga menjawabnya dengan jawaban yang sama berulang kali. Tidak tahu asal usul orang tuanya tidak membuat Xiao Liu patah semangat, melainkan ia sangat tertarik dengan dunia pendekar dan ingin tahu lebih banyak.

Kakek An adalah orang tua bau tanah berumur 85 tahun, namun penampilannya tidak setua yang dipikirkan. Itu adalah hasil latihannya sebagai pendekar yang meremajakan penampilannya juga.

“KEK! AKU JUGA INGIN JADI PENDEKAR!” seru Liu dengan mata berbinar.

Kakek An terdiam, ekspresinya tidak sejalan dengan yang diharapkan Liu. “Liu, sudah berapa kali kita bicarakan ini?”

“Aku sudah besar kek! Aku bisa jadi pendekar hebat!” Liu kecil menunjuk dirinya dengan bangga.

Kakek An terdiam, Di usia Liu sekarang wajar jika sudah berlatih tenaga dalam atau Qi.

“Teman-temanku yang kabur itu, mereka sudah mulai latihan kek!”

“Kamu punya teman?”

“Ah... maksudnya anak-anak lain itu lho kek!” Jika saja yang seumuran dengannya sudah berlatih, lantas menunggu apa lagi?

Kakek An tidak menepis fakta anak-anak lain memang sudah menyibukkan diri mengolah tenaga dalam sepanjang hari. Dan terkadang mereka mencuri waktu malam untuk bermain. Di desa Zhangkung ini tidak hanya Kakek An yang adalah mantan pendekar, melainkan ada juga pendekar lain yang membimbing anak desa.

“Tapi kakek sudah pensiun.” Kakek An tiba-tiba memasang raut wajah lelah, padahal biasanya dia terlihat segar.

“BOHONG. Hmph.” Liu menggembungkan pipinya sembari melipat tangan.

Liu tahu betul kehebatan Kakek An, sudah tua sih, tapi tidak perlu pelit ilmu juga 'kan?

“Aku berbakat ‘kan kek?” Liu menunjuk perban putih di dahinya, itu adalah bukti kekuatan yang ia keluarkan.

Liu berhasil menumbangkan anak yang lebih tua hanya dengan kekuatan dahinya saja. Kakek An sadar akan itu.

Setelah orang lain meragukannya, kenapa orang yang paling dekat dengannya juga sama saja?

Kakek An terdiam, mimik wajahnya kembali segar, Liu ternyata tidak mudah dibohongi.

“Jangan bangga karena gegabah.” Kakek An tidak membenarkan tindakan Liu menghajar anak lain.

Kakek An tahu kondisi tubuh Liu yang kurus dan lemah. Bisa saja tindakannya itu berbahaya juga bagi diri sendiri.

“Ah Kakek sama saja!”

BRAK!

Liu pergi ke luar dan berlari sekencang yang ia bisa.

“Liu….” Kakek An menatap penuh arti anaknya yang makin menjauh.

Bagaimana rasanya ketika tidak mendapat sesuatu yang diinginkan?

Bukan tanpa alasan Kakek An melarang keras Xiao Liu, itu karena dia punya tubuh lemah dan tidak mungkin jadi pendekar.

Bahkan sejak kecilnya sudah sakit-sakitan, dan sekarang pun masih sama. Kakek An selalu rajin mengambil tanaman obat dan merawatnya agar Liu bisa terus sehat.

Sakit tidak membuat Xiao Liu terbaring saja di kasur, malahan sebaliknya ia tetap semangat seolah tak ada apapun yang terjadi. Liu sudah jauh lebih dewasa di masa kanak-kanaknya, dia bisa memutuskan sesuatu dengan bebas, karena itulah Kakek An membiarkannya liar satu malam. Namun jika soal mimpinya, itu lain cerita.

Kakek An menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya, tapi sepertinya tidak ada waktu yang tepat. “Kakek tidak bisa membiarkan mimpimu Liu. Kakek tidak mau kehilanganmu….” Kakek An mengusap wajahnya, sementara teh hangat yang ia siapkan sama sekali tidak diminum Liu.

Di titik itulah Xiao Liu tahu, ia tidak pernah bisa jadi seorang pendekar.

Takdir Menjemput

“AKU AKAN JADI PENDEKAR!”

Xiao Liu melesat cepat di antara penduduk desa.

“Oh Xiao Liu?” ujar orang tua renta yang bersantai di kursi depan rumah.

“Jangan pedulikan dia,” timpal orang tua lain yang menyapu halaman. “Dia pembawa sial.”

Benar, tidak hanya anak-anak kecil yang tidak suka Xiao Liu, melainkan warga desa juga.

Semenjak lima tahun belakangan sejak kehadiran Xiao Liu, hasil panen banyak gagal dan air bersih sulit ditemukan.

Padahal dulunya Desa Zhangkung adalah desa kecil penuh sumber daya alam melimpah. Bahkan para pendekar yang berkelana sering mampir ke sini. Namun kali ini tidak pernah ada yang datang lagi, kecuali beberapa pendekar yang tinggal mendedikasikan waktunya mengajari berbagai disiplin ilmu demi melahirkan pendekar baru.

Sejak Tetua An mengurus anak itu, semua kesulitan ini mulai terjadi.

Tetua An selalu bilang apa yang terjadi ini tidak ada hubungannya dengan Xiao Liu. Tidak selalu alam membuat masalah bagi manusia, yang ada hanyalah manusia itu sendiri yang mencari masalah dengan alam.

Bukan pertama kali para warga meminta Liu diusir agar keadaan kembali seperti semula, namun Tetua An tidak mengindahkannya dan tetap merawat Liu seperti anaknya sendiri.

Liu kecil tahu akan hal ini. Kejadian tadi bukanlah pertama kali, namun Kakek An selalu melindunginya di saat yang tepat.  Orang tua itu terkadang konyol, namun Liu menyayanginya dan ingin membalas budi dengan menjadi pendekar terkuat.  Dengan begitu ia bisa mendapat pengakuan orang dan membanggakan Kakek An.

***

'Bodo amat apa yang dikatakan orang! Aku bisa jadi pendekar!' Tekad anak itu terisi penuh lagi.

‘Kalau kakek tidak mau melatihku, aku bisa sendiri!’

Liu kecil terengah-engah, ia sampai di padang rumput sunyi yang cukup jauh dari desa. Ini adalah tempat yang pas untuk mengumpulkan tenaga dalam, sementara anak-anak lain sedang berlatih di desa dengan pengajarnya. Sia-sia saja Liu di sana, ia tidak diterima sama sekali.

Sekarang ia sendirian, tidak ada bocah pengganggu, tidak ada yang menggembalakan hewan. Tidak ada gangguan sama sekali! Bukankah ini bagus?!

“Lihat kek! Aku bisa jadi pendekar!” Liu gemas sekali dengan sikap kakeknya yang mencegahnya. Waktunya untuk membuktikannya!

‘Apa yang harus kulakukan ya?’ Liu sedikit bingung, ia mengingat lagi tahapan latihan untuk jadi pendekar.

‘Harusnya aku bawa saja kitabnya… ah, tapi pasti disembunyikan kakek….’

Kitab Dasar Pendekar jadi acuan latihan. Hanya para pendekar dan mantan pendekar yang mempunyainya. Mereka akan menjelaskannya pada calon pendekar. Tidak peduli latihan dasar sekalipun, tetap saja harus ada pendekar atau orang berilmu yang mengawasi.

Liu segera bersila di bawah rumput, menutup matanya, merasakan setiap udara yang berhembus di pagi menjelang siang ini.

“Hmmpppp…. Huuuuuhhh…..” Liu mengambil nafas panjang, bersiap memulai latihannya.

“Lotus Position.” Liu memulai meditasinya.

‘Tidak masalah sendiri… tidak masalah….’

Batin Liu bermain-main, padahal ia seharusnya mengosongkan semuanya. Xiao Liu teringat akan pendekar di desa yang menolaknya dan tatapan puas teman-temannya, terus terbayang dan malah menyangkut di kepalanya.

‘Kon… sen… trasi….’ Liu bergetar pelan, baru saja ia diam sebentar rasanya terasa berat sekali.

“HAH!” Liu membuka matanya, tubuhnya banjir keringat. Mengendalikan pikiran tidak semudah yang ia kira.

“Ah ganggu saja.” Liu membuka perban putih yang ada padanya, dan seketika itu juga ia merasa perih di dahinya.

Luka yang kemarin sakitnya terasa berkurang. Perban Kakek An ajaib juga bisa meredakan sakit seperti ini. Dan benar, luka di dahi Liu sudah mengering, padahal sejak ia pulang ke rumah luka itu masih basah dan menyakitkan. Tanpa Liu sadari Kakek An memberikan olesan minyak khusus di perban yang bisa meredakan luka nyeri dan mempercepat proses penyembuhannya.

Liu kembali duduk bersila, mengosongkan pikirannya, satu tujuannya yaitu membuka batasan diri, mengumpulkan energi Qi.

***

Malam pun tiba, Kakek An masih berselonjoran sembari menikmati teh dan membaca buku.

“Hm.”

Kakek An menutup bukunya dan melihat ke arah jam dinding.

“Sudah tengah malam, apa Liu menginap di rumah temannya?”

Kakek An pikir Liu akan pulang cepat dan sadar bahwa dia tidak perlu jadi pendekar. Namun sampai sekarang masih belum ada tanda-tanda Liu datang.

Tanpa berpikir panjang Kakek An segera menghabiskan minumannya dan menaruh bukunya, pergi ke luar mencari Xiao Liu.

Kakek An berjalan pelan sembari memerhatikan sekitar, tidak banyak yang bisa ia lihat selain lampu rumah dan bintang bertebaran di langit.

“Tetua An.” Terdengar suara seorang pria dari belakang, Kakek An tidak menyadarinya.

Perlahan ia berbalik untuk melihat siapa yang menyapanya itu.

“Ah, Fang Yuan.”

Seorang pemuda bermata sipit bersetelan serba hitam ini berdiri menatapnya dengan seksama.

Fang Yuan, seorang pendekar dari desa ini juga yang mengajar anak-anak, dia belum lama tinggal di sini. Disiplin bela diri dan tekniknya tidak perlu diragukan, Bahkan Kakek An sendiri mengakuinya dan menghargai kesediaannya membantu mengajar anak-anak. Sikapnya ramah dan santun, selalu mengenakan pakaian pendekar putih, dan raut wajahnya pun menenangkan dipandang, mata sipitnya memancarkan aura misterius yang kentara.

Namun semua itu berbeda dengan apa yang ia lihat sekarang.

“Tetua ada urusan larut malam begini?” Fang Yuan terdengar penasaran. Tidak biasanya ia melihat tetua desa kelayapan di tengah malam.

“Ah, aku mencari Liu, kamu melihatnya tidak?”

“ Xaio Liu?” Fang Yuan memiringkan kepalanya. “Mungkin saja dia ada di padang rumput.”

Shhh….

Seketika itu juga angin yang cukup kencang menerpa mereka berdua. Kakek An tersenyum kecil.

“Ah begitu ya, terima kasih bantuanmu.” Kakek An tidak beranjak dari tempatnya.

Dugaan sang pendekar muda ini bisa saja benar, Liu adalah seorang yang suka menyendiri ketika ada masalah. Padang rumput sunyi adalah tempat sempurna untuk melampiaskan apa yang dirasanya.

“Yuan, aku sudah tidak muda lagi. Tapi kamu tidak bisa menipuku.” Kakek An merubah senyum ramahnya menjadi sorot mata yang tajam.

“Heee….” Fang Yuan menyeringai.

Hush!

Seketika itu juga muncullah asap tebal dan tiba-tiba ia menggendong Xiao Liu yang tidak sadarkan diri, tapi gendongannya malah lepas.

Buagh.

Wajah Liu mencium tanah dengan mulus, untungnya dia tidak sedang sadar.

“Hebat! Tetua An bukan pendekar biasa!” Fang Yuan puas melihat apa yang disembunyikannya terbongkar seperti ini.

“Mudah saja, kamu terlalu mencolok menyembunyikan anakku.”

Kakek An sudah merasa adanya hawa jahat dari Fang Yuan, dan juga energi Xiao Liu yang lemah terasa padanya.

“….” Fang Yuan menatap tajam ke depan, sementara hawa kekuatannya jadi membesar.

“Aduh maaf Tetua An, aku tidak sengaja melihatnya berlatih di padang rumput.”

“Kamu tidak benar-benar bohong juga.” Kakek An tersenyum.

“Hehe.” Fang Yuan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Jika triknya berhasil, maka kapan lagi bisa mengecoh pendekar hebat seperti Tetua An? Pastinya Fang Yuan merasa bangga.

“Kenapa berpakaian seperti itu?” Kakek An penasaran.

“Bosan Tetua,” jawab pemuda itu singkat.

“Hm, bisa kumengerti.” Kakek An mengangguk-angguk. Ia pikir ada sesuatu yang lebih serius mengingat baju setelan hitam biasanya dipakai Pendekar Sekte Sesat.

“Tetua An, Liu berlatih mengolah Qi sendiri, kenapa Tetua membiarkannya?” Fang Yuan terdengar serius.

Kakek An terdiam sejenak, ia melihat anaknya begitu lemas tidak berdaya. “Dia sudah besar.”

“Tapi dia masih lima tahun.”

“Aku tahu.” Kakek An menatap Liu dalam-dalam.

“Kukira dia akan sadar sendiri.” Kakek An pikir membiarkan Liu bebas akan membuka jalan pikiran anak itu.

“Dia masih lima tahun.”

“Aku tidak pikun, tidak usah diulang.” Kakek An mendekat dan menggendong Liu yang ada di tanah.

“Yuan, kenapa kamu peduli padanya?” Kakek An tahu betul orang desa menganggap Liu bagaimana.

Fang Yuan terdiam sejenak, sementara wajahnya serius. “Tetua An jika dibiarkan, Liu bisa mati.”

Fang Yuan adalah pendekar pendatang yang berbakat di Desa Zhangkung, ia menguasai berbagai macam teknik pendekar dan bahkan memberi pertolongan pertama pada Liu.

“Dia berlatih sendiri membuka jalur Qi seharian penuh, tergeletak di padang selagi aku berjalan-jalan di luar desa.”

“Ah, jadi itu sebabnya kamu menyembunyikannya?” Kakek An paham sekarang.

“Benar Tetua, meski sudah larut malam, bisa saja ada warga desa yang melihat Liu dan mengganggunya.”

“Yuan….” Kakek An terlihat tersentuh, baru kali ini ia sadar ada orang lain yang peduli pada Liu selain dirinya.

“Terima kasih banyak.”

Kakek An segera menggendong Liu pulang ke rumah. Tidak sabar membuat teh hangat lagi.

Setelah sampai di rumah Kakek An segera membaringkan Liu di kamarnya, mengganti pakaiannya dan segera membuat ramuan obat.

Liu tidak sadarkan diri, wajahnya pucat dan tubuhnya terlihat lebih kurus lagi.

Selesai membuat ramuan obat, Kakek An segera meminumkannya pada Liu.

Beberapa saat kemudian ekspresi Xiao Liu berubah.

“HA… CHIII!” Dia bersin brutal seketika itu juga.

“HAH!” Liu membuka mata, ia melihat Kakek An dengan tatapan yang menyedihkan.

“Kakek!? Kenapa aku di sini?” Liu melihat sekitarnya, jelas-jelas ia ada di kamarnya sendiri!

“Tuan Yuan menyelamatkanmu Liu.”

“Yuan? Maksud Kakek yang baru datang itu? Fang Yuan?”

“Nak, sopanlah memanggil seorang yang lebih tua darimu.”

“Oh. Maaf kek. Dia memang baik Kek.”

Sehari sebelum Liu di-bully anak lain, hanya Fang Yuan-lah yang menemaninya latihan, meski hanya beberapa jam saja.

Yuan berhenti melatihnya karena melihat Liu tidak berbakat jadi seorang Pendekar. Karena itulah ia meminta Kakek untuk mengajarinya sebagai pilihan terakhir, namun tidak mau juga.

“Aku mau berlatih lagi Kek.” Liu menyingkapkan selimutnya hendak berdiri, namun Kakek An dengan sigap menghalanginya.

“Liu. Kamu tidak bisa jadi pendekar.”

Bagai petir di malam bolong, Liu terdiam mendengar hal itu.

“Kakek bercanda ‘kan?” Liu menatap kakeknya, pandangannya kosong.

“Kakek harap begitu, tapi ini serius.” Kakek An perlahan mengatakannya dengan harapan Liu segera mengerti.

Liu tidak mendeteksi kebohongan dari Kakek An, padahal ia berharap dia mengatakan ‘tapi bohong’.

Liu melihat kedua tangannya sendiri, makin kurus kering dan bahkan tulangnya terlihat.

Padahal ia sudah berusaha keras mengumpulkan Qi, namun bukannya membuat tubuhnya membaik malahan sebaliknya.

Energi Qi bisa memulihkan kondisi tubuh, namun Liu belum melihat hasilnya. Apakah bohong?

Kakek An terdiam, ia ingin menjelaskan banyak hal soal penyebab Liu bisa seperti ini, namun ia tidak mau membebani pikiran Liu, dia masih kecil.

Ketika berjalan di hutan dekat Desa Zhangkung, Kakek An menemukan bayi yang menangis keras. Sontak ia segera mencarinya karena hari sudah malam dan hujan deras.

Kakek An menemukan seorang bayi lelaki tertutup keranjang bayi dari anyaman bambu, dia menangis keras sekali sampai bisa mengalahkan suara hujan deras.

Kakek An bersegera membawa bayi tersebut ke desa terdekat, ia yang biasa berkelana ke berbagai tempat memutuskan tinggal dan mengurus bayi lelaki yang dibuang itu.

Karena orang tua yang membuangnya hanya meninggalkan catatan ‘Namanya, Xiao Liu. Demi para dewa, siapapun yang menemukannya tolong rawat anak ini.’

Kakek An terdiam, sebagai pendekar tingkat langit tidak mungkin membiarkan nyawa anak ini melayang ditengah kekacauan yang sedang terjadi.

Namun sayangnya Kakek An harus dikejutkan dengan tanda tengkorak yang tiba-tiba muncul di telapak tangan bayi Liu.  Yang berarti satu hal, Liu terkena kutukan, yang bukan kutukan biasa.

Kutukan ‘Lugu’ atau kutukan tengkorak adalah jenis kutukan tingkat langit.

Kakek An mempelajari apa yang terjadi pada Liu sekaligus merawatnya, tidak lupa ia berkontribusi di desa dengan ilmu yang dimilikinya.

Mengajar disiplin bela diri, mengajarkan berbagai teknik yang memudahkan kehidupan. Karena para warga dan pendekar lain sadar akan kemampuan Kakek An, mereka mengangkatnya jadi tetua desa.

Meski di waktu-waktu selanjutnya tidak bertambah mudah. Banyak hama yang menggerogoti sawah, badai yang terkadang muncul tiba-tiba, dan lagi kekeringan yang melanda.

Semua itu membuat popularitas Desa Zhangkung yang asri dan nyaman ini jadi merosot, dan tidak sedikit warga dan pendekar yang pindah. Sebagian yang bertahan adalah para tua-tua desa lain dan anak-anak yang belajar ilmu seni pendekar.

Tidak bisa dipungkiri apa yang dikatakan warga desa benar. Semua ini terjadi karena kutukan tengkorak Xiao Liu.

Kutukan tingkat langit seperti ini jarang sekali ditemui, bahkan Pendekar An sendiri baru menemuinya seumur hidupnya. Kutukan ini tidak berasal dari manusia, energi yang dipancarkan membuat alam murka dan mengubah pandangan orang terhadap Liu.

“Aku terlalu tua untuk mengungkapnya,” gumam Kakek An pelan.

“Hah?”

“Jangan patah semangat begitu kek, semua orang pasti tua.” Liu dengan lembut memegang tangan Kakek An.

“Bukannya aku yang harus menghiburmu? Ah sudahlah.” Kakek An tersentuh anaknya bisa paham pikirannya.

“Kek, kenapa tato buatanmu sering muncul?” Liu menatap tangannya heran, entah mengapa tanda ini sering muncul, namun tiap diperhatikan, cukup keren juga.

“WADUH!” Mata Kakek An terbuka lebar, dan seketika itu juga Liu menutup matanya dan terjatuh ke kasur.

“LIU!” Kakek An segera mengecek denyut nadinya.

“Tidak ada!” Raut wajah Kakek An berubah drastis, ia segera melafalkan sejumlah teknik pemulihan, dan seluruh ruangan jadi bersinar hijau terang.

“….” Setelah berbagai macam percobaan, Liu sama sekali tidak bangun.

“He.. Hei Liu… bangun nak….” Kakek An memegang wajah Liu yang makin pucat.

“Ka- kamu bercanda bukan….?” Kakek An tahu Liu adalah anak kuat, dia mungkin belajar teknik penghentian pernafasan dan akan segera bangun dan tertawa.

Tapi Kakek An tahu ini bukanlah bulan april… jadi tidak mungkin.

Tanda kutukan tengkorak itu berubah jadi merah darah. Di situlah Kakek An tahu ia sudah…. Terlambat.

“XIAO LIUUUUUU!!”

“AAHAAAA! BANGUN NAK! BANGUUUN!!!” An, seorang pendekar tingkat langit, menangis tersedu-sedu sepanjang malam.

Bangkitnya Sistem

“Xiao Liu, apapun yang terjadi… jangan jadi pendekar….”

“…. Terdengar suara Kakek An yang sangat lembut.

“HAH!” Liu membuka matanya, melihat sekelilingnya. Kenapa ia berada di ruang serba putih?

Harusnya ia ada di kamar bukan? Lantas mengapa tiba-tiba di sini?

“KEK?” Liu melihat sekelilingnya, namun tidak ada siapapun.

“Astaga.” Liu kecil mengucek matanya, sampai berkali-kali, namun tetap itu-itu saja yang dilihatnya.

Liu berusaha tenang, ia terus terngiang-ngiang ucapan kakeknya.

“AH BERISIK! AKU MAU JADI PE-“

“Pendekar?”

“WOH!” Liu kecil terperanjat, ada suara perempuan di belakangnya!

Suaranya lebih lembut dari Kakek! Bagaimana mungkin?

“SI-SIAPA?”

Liu menoleh perlahan dan benar saja, ada seorang perempuan bergaun putih yang memegang sehelai daun panjang.

Rasanya Liu pernah melihatnya di suatu tempat.

“Ah! Nona itu Dewi Kwan I-“

“Sayangnya bukan.” Perempuan bersinar cantik itu langsung menepis apa yang Liu katakan.

“Ah bukan.” Liu menaruh tangannya di dahi, seperti berpikir.

“Kenal Sun Go King?”

“Liu, sudah kubilang aku bukan Dewi itu.” Perempuan bergaun putih itu tersenyum lembut, hatinya sangat sabar menghadapi Liu yang penasaran.

“KENAPA BISA TAHU NAMAKU!?” Liu kaget, begitu natural karena ia sendiri belum pernah bertemu dengan perempuan cantik bercahaya seperti ini.

Perempuan itu menatap Liu dengan seksama, dari sorot matanya saja Liu sudah merasakan kehangatan.

Liu tidak melihat orang lain lagi, pasti nona bercahaya ini tahu sesuatu.

Perpindahannya tidak masuk akal, apakah ini mimpi? Liu mencubit keras pipinya. “Duh.” Dan terasa sakit.

Kalau bukan mimpi berarti apa dong?

Liu menelan ludahnya, mempersiapkan pertanyaan penting. “Nona… ini tempat apa?”

“Selamat datang di alam baka.” Perempuan itu tersenyum lagi.

“ALAM BAKA!?”

“Ahaha tidak usah kaget begitu.”

“Mana mungkin nggak kaget!” Liu masih memproses apa yang tadi di dengarnya.

“Aku Dewi Xinmu.” Perempuan bergaun putih bercahaya itu mengatakan identitasnya.

“Hmmm. Belum pernah dengar.” Liu mengatakan kebenaran.

“Aku tidak begitu terkenal di duniamu ya?” Dewi Xinmu tersenyum, sangat lembut dan tulus, dengan melihatnya saja terasa kedamaian di hati.

‘Jadi Dewa itu ada?’ batin Liu, ia pernah curi-curi waktu baca koleksi kitab kakek soal para dewa.

"Tentu saja ada.” Sang Dewi tersenyum.

“Wah! Padahal dalam hati lho!” Liu terkesan, baru kali ini isi hatinya diketahui dewa!

“Tapi di duniaku tidak banyak yang percaya dewa.”

“Benarkah?” Sang Dewi banyak mendapat info dari Xiao Liu.

“Soalnya kalian tidak muncul sih di dunia kami.”

Faktanya Liu tidak pernah melihat ibu-ibu cantik bercahaya di desa.

Dewi Xinmu terdiam, ia bisa melihat semangat membara dari Xiao Liu.

“Aku sudah mati ya.” Liu melihat telapak tangannya, tanda tengkorak jadi bercahaya merah sekarang, dan menurutnya tambah keren.

“Kakek An bilang tanda ini ada sejak aku lahir.” Liu tidak menunjukkan tanda ini pada siapapun kecuali kakek, tapi sekarang ia sudah mati, jadi untuk apa disembunyikan lagi?

“Ah.” Dewi Xinmu memegang tangan kanan Liu dan melihatnya seksama.

“Ummm….” Sang Dewi memerhatikan tangannya serius, Liu jadi malu.

“Dewi, ini bukan apa-apa. Kakek bilang tanda ini yang selalu membuatku sakit, tapi sekarang Kakek tidak perlu repot lagi mengurusku.”

Faktanya hanya Kakek An ‘lah keluarga yang ia punya. Kakek An selalu melarangnya jadi pendekar, namun Liu tetap tidak menurut dan malah mati setelah berlatih. Agak konyol, tapi itukah kekuatan perkataan orang tua?

Apakah ini hukuman untuk anak durhaka yang tidak menurut perintah orang tua?

“Liu tidak sepenuhnya salah kok.” Sang Dewi membuyarkan lamunan Liu.

Liu menatap heran mengapa Dewi tidak menyalahkannya juga karena abai perintah orang tua?

“Pendekar An sudah menasihatimu, tapi mau jadi pendekar atau tidak, Liu akan tetap mati.”

“….” Liu terdiam.

“Apa?”

Jadi ini bukan karena durhaka pada orang tua?

“Ini karena kutukan tengkorak yang ada padamu.”

“Kutukan?” Liu baru tahu.

“PADAHAL KAKEK BILANG TANDA INI ADALAH MAHAKARYA CORETANNYA WAKTU AKU LAHIR.”

“JADI KAKEK BOHONG!?” Liu belum bisa menerima kenyataan yang seperti ini.

Kakek An selalu bilang tanda yang ada padanya adalah tato atau coretan ekslusif yang menandakan ia adalah putranya, sampai sekarang ia percaya akan hal itu!

Tapi apa yang bisa lebih dipercaya Kakek An atau Sang Dewi!?

“Yah, itu dikatakannya agar kamu tidak khawatir.”

“Oh benar juga.”

Apa yang dikatakan Dewi benar, apa jadinya jika ia mendengar kenyataan ia mendapat kutukan? Mungkin ia akan depresi dan mati lebih awal.

Hidup lima tahun di dunia tidak buruk juga!

Setidaknya Liu bisa merasakan kasih sayang Kakek An, yang akan jadi kenangan selamanya di alam baka.

“Aku belum mengucapkan selamat perpisahan.” Liu tertunduk, rasanya ia punya banyak hal yang ingin diucapkan sebelum berpisah selamanya dengan Kakek An.

“Liu….”

Suara sang dewi terdengar berbeda, kini lebih lantang dan terdengar tegas.

“….” Liu melihat sorot mata serius sang Dewi.

“Berjanjilah padaku.”

“Berjanji?” Peralihan topik macam apa ini? Liu tidak mengerti sama sekali.

“Kamu akan jadi pendekar terkuat.”

“… ah… itu keinginanku Dewi tapi aku tidak mau jadi pendekar hantu yang bergentayangan.” Liu menyambut baik maksud dari dewi yang sudah mendukung mimpinya ini.

“Tidak, kamu tidak akan jadi hantu. Kamu akan hidup kembali.”

“….”

….

“Hah?” Liu heran mengapa sang dewi menatapnya serius begini?

Dia bercanda ‘kan?

Tunggu, memangnya dewi bisa bercanda?

Liu menutup matanya, ia bisa merasakan aura keseriusan, bahkan Kakek An saja tidak pernah seserius ini!

“Maaf dewi, mungkin karena sakit, telinga, mata dan pikiranku jadi berimajinasi begini.”

“Tidak mungkin aku ada di ruang putih kosong begini, entah aku mendapat kedamaian atau siksaan, hanya itu saja.”

Liu paham betul jika mati maka menurut kepercayaannya tempat seseorang adalah berada di kebahagiaan atau sengsara, tidak mungkin malah di ruang kosong putih, apalagi bertemu dewi!

“Lagipula Kakek An selalu berkata ‘hati-hati pada perempuan’.” Dan Liu bisa menerapkannya sekarang karena Dewi adalah perempuan.

Mungkin saja kalau ia bertemu dewa, ia bisa percaya akan hal ini.

“Jadi terima kasih atas imajinasi indahnya, sekarang biarkan aku pergi ke kedamaian atau kesedihan. Terima kasih atas perhatiannya.”

Liu menutup mata menenangkan pikirannya, mengangkat kedua tangannya ke atas, ia siap untuk kembali sadar.

PLAK.

Liu merasa pipinya digampar seseorang.

“Ah.” Liu membuka matanya, Sang Dewi menatapnya begitu serius yang bahkan terasa lebih menakutkan dibanding keseriusan kakeknya.

“Hiks.” Pipinya terasa panas bak digigit semut merah, ia tidak kunjung pergi ke tempat lain juga.

“HUAAAH!” Liu tidak kuat menahan sakitnya, alhasil emosinya meluap deras.

“Ah jangan mengis! Cup cup.” Dewi Xinmu mengelus-elus kepala anak itu dengan lembut.

‘Inikah rasanya digampar dewi?’ batin Liu, ia pikir yang ia lihat ini hanyalah halusinasi dari alam baka yang sebenarnya.

“Kamu tidak salah Liu, tempatmu memang tidak di sini.” Dewi Xinmu nampaknya hendak memperjelas situasi.

“Aku menemuimu di alam perbatasan bumi dan roh.”

“Alam perbatasan?”

Untuk ukuran alam perbatasan ternyata minimalis juga berbentuk ruangan putih seperti ini.

“Tapi kenapa?” Liu mulai bisa paham apa yang dimaksud sang dewi.

“Karena tekadmu, aku menemuimu.”

“….” Ekspresi Liu berubah lebih serius, ini bukan halusinasi dan kenyataan dewi menemuinya itu….

“Dalam buku kakek… para dewa-dewi tidak boleh….” Liu berusaha mengingat lanjutan kalimatnya.

“Ikut campur urusan manusia?”

“NAH!” Liu menunjuk semangat sang dewi yang melengkapi kalimatnya.

“Tidak apa, ini adalah keputusanku.”

Sang dewi yang mengabaikan peraturan alam dewa, bertemu dengan anak kecil yang ditakdirkan mati.

Liu masih punya banyak pertanyaan namun mulutnya berat berkata, yang ia pahami kini sang dewi hendak menghidupkannya kembali.

“Aku datang menjawab tekadmu.” Dewi Xinmu tersenyum lagi.

Tekad.

Liu mengangguk kecil. Selama ini ia hanya mengumandangkan tekadnya saja dan tidak pernah mendapat kesempatan sesungguhnya.

Sekarang sang dewi menjawab tekad terbesarnya!

Liu ingat dewi mengatakan ia tidak akan mati, dan setelah tahu ini bukan khayalan, ia bisa percaya.

Lagipula apa yang tidak bisa dilakukan sang dewi?

“Kakek An, bahkan di alam lain masih ada yang peduli.” Liu menutup matanya merenung, tidak diperhatikan dan diakui manusia bukanlah akhir segalanya.

Dewi Xinmu tersenyum tulus, sementara ia menaruh tangannya di kepala Liu.

“Liu, aku menganugerahimu Sistem Pendekar Terkuat.”

“Itu akan membantumu mencapai tujuanmu, berjalanlah di jalan kebenaran, hadapi tantangan dan jangan takut.”

‘Sistem? Apa itu?’ Liu bertanya dalam batinnya, ia ingin bicara namun suaranya tidak mau keluar.

“Langit dan Bumi akan mengakuinya, Xiao Liu, pandanglah cakrawala luas! Dalamnya lautan! Kelak kekuatanmu melebihi apa yang bisa dibayangkan!”

Sementara itu ruangan putih bergetar hebat, Xiao Liu terombang ambing, namun Dewi Xinmu memegangnya erat.

“Tempuhlah jalan pendekar sejati! Lampaui langit sebagai Pendekar Terkuat!”

SRING!

Seketika itu juga cahaya putih meyilaukan menyinari seluruh area ruangan, seolah menelan siapapun yang berada di sana.

Tak lama cahaya itu menghilang dengan hanya menyisakan Dewi Xinmu saja. Ia terdiam sejenak, sementara daun bersinar yang dipegangnya mengering.

“Xiao Liu, tantanganmu akan lebih besar, kamu tidak hanya akan menghadapi masalah di bumi.”

Dewi Xinmu sudah memantapkan keputusannya, paham dengan konsekuensi yang akan ia terima.

Dengan ikut campur dengan manusia… itu berarti satu hal…

Ia tidak akan diterima di alam para dewa, dan bukan tidak mungkin para dewa memburunya.

“Xiao Liu, ubahlah takdir terburukmu menjadi yang terbaik.”

***

[LOADING….]

[Intiation System Completed]

[Start… Ultimate Warrior System]

‘Apa-apaan tulisan dan suara ini?’

Liu heran setelah sinar benderang tadi kini ia berada di kegelapan dengan tulisan-tulisan bercahaya aneh dan juga suara pria yang lembut.

Mendengar suara pria lembut itu membuatnya teringat Kakek An.

Tapi Liu bisa merasakan perbedaannya.

‘Kemana sang dewi?’ Liu merasa ia sedang terbaring, padahal tadinya ia berdiri.

Duk…

DUK…

‘Hei, kenapa gelap dan sumpek di sini!?’ Tempat ini tidak lebih baik dari sebelumnya!

[Please don’t panic, I am with you now]

‘AKU TIDAK MENGERTI!’

Liu tidak nyaman dengan tulisan-tulisan aneh di depan matanya serta suara pria itu, apa maksudnya?

[Searching problem….]

[Detecting… Xiao Liu not understand]

[Change languange… problem solved]

“Astaga.”

Baru kali ini Liu melihat hal seaneh ini. Bukankah melihat tulisan di depan mata dan mendengar suara-suara itu tidak wajar?

[Pengaturan selesai, memulai ulang… Sistem Pendekar Terkuat]

“Nah baru mengerti.”

Liu ingat sang dewi mengatakan ‘sistem’,  hal aneh apa itu?

Yang ia tahu ia akan hidup kembali, tapi kenapa ia berpindah dari terang ke dalam gelap? Apa ia tidak jadi bangkit dan malah dihukum dalam kegelapan abadi?

[Xiao Liu. Sistem Pendekar Terkuat akan menemani hidupmu sesuai dengan perintah Dewi Xinmu]

‘Bahasa baku macam apa itu? Apa sistem adalah sekumpulan tulisan dan suara membosankan?’ batin Liu.

Kalau soal bangkit kembali Liu mengerti, tapi kalau sistem? Ia ini masih kecil dan butuh penjelasan lebih.

Liu terdiam, yah tidak sepenuhnya buruk juga ada tulisan dan suara, daripada ia hanya melihat kegelapan pekat seperti ini.

‘Sistem… sistem….’

“Sistem,” ucap Liu dengan serius, entah mengapa ia tergoda mengucapkannya.

[Apa yang bisa kubantu Tuan Liu?]

“WAAAGH!”

'Dia menjawab!’

Liu tidak percaya, padahal ia hanya iseng saja lho.

‘Dikira apa!’

Liu pikir sistem itu adalah tulisan aneh acak serta suara yang muncul, namun ternyata tidak sebatas itu.

‘Berarti, sistem itu bukan hanya tulisan dan suara….’ Liu menggunakan otak cemerlangnya untuk berpikir.

“Kamu ini apa sistem?”

[Saya akan menemani perjalanan Tuan Liu, sesuai dengan perintah Dewi Xinmu]

“Ooh, oke.” Rasanya Liu sudah mendengarnya, jangan-jangan sistem itu robot!?

….

Sepertinya bukan, ada perbedaan kalimat yang dilihatnya.

“Jadi kamu ini ada di pikiranku?”

[Benar Tuan, saya akan menemani Tuan di per-]

“Stop, aku mengerti.”

‘Tidak usah diulang tiga kali juga ‘kan!?’ protes Liu dalam hatinya.

Liu mencoba menggerakkan badannya, tempat gelap ini sangat sempit, ia merasa ada semacam kayu yang ada di atas dan sampingnya.

‘Mungkin saja sistem tahu!’

Ide yang bagus! Liu tahu sistem ini bisa menjawab apa yang ia tanyakan!

“Sistem, kita sedang di mana?”

[Menganalisa… di kuburan]

“Kuburan!?”

Liu tahu ia sudah mati, tapi ia pikir akan bangun kembali di tempat tidur rumahnya!

Malah dikuburan!

[Lebih tepatnya dalam peti mati.]

“Sistem… su- sudah berapa lama aku mati?” Suara Liu bergetar. Ia menelan ludahnya.

[Dari kemarin]

‘Pantas saja!’

‘Bukannya di alam baka waktunya beda!?’ Liu tidak menyangka pembicaraan singkat dengan dewi sama dengan satu hari di bumi!

‘Aduh. Bagaimana ini?’

‘Kakek An pasti mengira aku mati….’

Ya memang sudah pasti begitu sih, tapi apa boleh buat, tidak mungkin Kakek An tidak menguburkannya.

‘Aku harus menemuinya lagi!’

‘Baiklah aku harus bangkit dari kubur!’

‘Tapi bagaimana caranya ya?’

Liu sadar diri, ia adalah seorang lemah yang bahkan tidak bisa mengumpulkan Qi, jadi apa yang harus ia lakukan?

Menghancurkan objek sekitar dengan tenaga dalam bisa dilakukan dengan mudah, tapi sayangnya ia tidak punya kekuatan itu.

[Tuan Liu anda tidak mau keluar dari sini?]

“KALAU TAHU CARANYA SUDAH DARI TADI AKU KELUAR.”

[Anda perlu bantuan?]

Ho, apakah sistem bisa membantunya? Liu skeptis tapi ia tidak punya pilihan lain.

“Tolong ya.”

BRAK!

HUSH!

“WAH APA ITU!?”

Dalam sekejap mata Liu sudah berpijak di tanah. Ia melihat sekitarnya, pepohonan rindang ada sejauh mata memandang.

[Keluar kubur… berhasil]

Liu memandang ke atas, terlihat rembulan bercahaya menerangi bumi, begitu terang dan memancarkan ketenangan.

“Sudah malam.” Liu bisa merasakan angin menerpa tubuhnya, namun sepertinya ada yang berbeda.

Setiap malam tiba biasanya ia merasa seperti di musim dingin, dan ketika musim dingin ia hanya mengurung diri di rumah saja.

Liu kecil sudah terbiasa dan tidak memedulikannya, namun sekarang memang berbeda.

Liu melihat tangannya dan ia terdiam sejenak.

“WOAH TIDAK KURUS!”

Tangan kecil berlapis tulang itu berubah menjadi normal!

Bahkan kaki dan keseluruhan tubuhnya!

“RAMBUT PANJANGKU JUGA?” Liu meraba-raba kepalanya, jelas-jelas rambut panjangnya sirna! Jadi rambut pendek sekarang.

“ADUH SUSAH SUSAH AKU PANJANGKAN.”

Liu terdengar kecewa, padahal ia ingin mengikuti gaya rambut Kakek An. Jadi sekarang ia harus memanjangkan ulang rambutnya.

Liu ternyata bertransformasi dalam satu malam!

Sring.

Liu melihat tangan kanannya bercahaya, dan tanda tengkorak merah itu berubah menjadi warna biru.

Kenapa bisa berubah warna begini?

“Sistem apa yang terjadi denganku?”

[Kekuatan Sistem sudah bangkit, tubuhmu tidak sama lagi seperti sebelumnya]

Jadi intinya ia tidak lagi lemah seperti dulu? Inikah kekuatan yang dimaksud dewi itu? Yakni untuk mewujudkan tekad?

Liu tahu selama ini tubuhnya tetap lemah meski sudah rajin meminum ramuan buatan kakek, dan ia selalu berharap bisa seperti anak lain.

Namun keberadaan kakeknya memberi kekuatan untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Xiao Liu tidak lemah!

Ia tidak pernah merasa lebih sehat seperti ini. Kekuatan sistem memang hebat!

Karena sudah bugar, Liu segera berlari meninggalkan hutan untuk menemui Kakek An.

***

Butuh waktu agak lama sebelum Liu akhirnya sudah dekat di desa.

‘Kenapa kakek menguburku jauh sekali?’

‘PADAHAL DI DEKAT DESA ‘KAN BISA.’ Lagi-lagi Liu protes dalam batinnya, pastinya kakek punya alasan menguburnya di hutan terpencil bukan?

Tapi untunglah Liu tahu jalan ke desa, lagipula sebelumnya ia sering ke hutan berburu bersama kakek.

KKKRRKKK…

Suara kayu rapuh mengejutkannya, dan lagi bau asap merasuk ke hidungnya.

“A- Ada apa ini?” Liu mempercepat langkah kakinya dan terhenti di gerbang desa.

Seluruh bangunan rumah dilalap si jago merah, pantulan api membumbung tinggi terlihat jelas di mata Xiao Liu kecil.

“Kenapa bisa….” Liu terdiam, ia tidak mengerti kenapa desanya bisa terbakar seperti ini?

‘Kakek An!’ Tanpa berpikir panjang Liu segera melangkahkan kakinya lagi masuk ke desa dan melewati rumah-rumah yang sudah habis dilalap api.

Liu mengarahkan pandangan ke segala arah, namun tidak ada yang lain selain reruntuhan dan api besar, kakeknya tidak ada dimana pun!

“KAKEK!”

Liu sampai di halaman rumahnya, dan kondisinya tidak berbeda dari yang lain, bahkan sudah habis jadi abu, tidak menyisakan apapun.

Liu menutup matanya, alis mata menurun tajam.

[Mendeteksi… tidak ada kehidupan]

Sang sistem merespon keinginannya, Liu membuka matanya perlahan. Kakek An tidak ada di reruntuhan itu.

‘Siapa yang melakukan ini?’ Selama ia hidup, konflik desa terkadang terjadi, namun tidak sampai seperti ini….

Penghancuran satu desa… ini pasti ada sebabnya!

“Sistem, apa yang terjadi?”

[Desa Zhangkung dimusnahkan]

“Aku tahu.”

“Kenapa?”

[Menganalisa… sistem… terhalang…]

Liu terdiam, ia sadar ia tidak bisa terus mengandalkan sistem, ia harus mencari tahu sendiri!

Liu berkeliling sebentar lagi, namun tetap tidak ada petunjuk yang bisa menjelaskan hal ini. Ia akhirnya kembali ke gerbang desa.

‘Kakek An….’

Liu memandang ke atas, sementara asap tebal menutupi langit, tidak terlihat lagi cahaya indah yang menyinari.

“!” Liu merasakan aura kekuatan yang hebat, tepat dari dalam desa, Liu menoleh dan melihat seorang berpakaian hitam mendekat ke arahnya.

‘Pakaian itu.’ Liu langsung sadar, seorang pria itu bersetelan pendekar, namun bukan dari aliran kakeknya.

Yang Liu tahu ada dua aliran pendekar, Aliran Murni dan Aliran Sesat. Kakek An selalu memakai baju pendekar putih, sedang aliran sesat berlawanan.

Aneh sekali, padahal Liu pikir tidak ada siapa-siapa di desa.

“Tuan pelakunya ya!?”

Liu menatap tajam pada seorang pendekar berbaju hitam itu.

Dan setelah dilihat-lihat, ternyata bukan laki-laki!

‘Pendekar sesat ibu-ibu!?’

Perempuan bersetelan serba hitam itu menatap Liu tajam.

“!” Seketika itu juga Liu tahu, dia adalah pendekar sekte sesat! Dia pasti dalang dibalik semua ini!

[Sistem Pendekar Aktif… mengumpulkan Qi….]

“Eh, eh tulisannya jangan besar-besar begini!” Bagaimana mungkin Liu bisa melihat musuhnya kalau terhalang tulisan!?

[Mengecilkan tulisan… selesai]

“Nah!” Sekarang Liu bisa melihat lawannya dengan jelas, yang malah memiringkan kepalanya heran.

“Tuan ah, maksudku Nyonya! Perbuatan anda tidak terpuji!” Liu kecil geram, ia tidak tahu apapun yang terjadi di sini, namun jikalau berhubungan dengan sekte sesat, pasti mereka punya tujuan tersendiri.

‘Kakek pernah bilang dia lelah lari dari para pendekar sekte sesat…’

Liu ingat akan masa lalu, tepat di mana ketika kakeknya melindur saat tidur.

‘Kalau tidak salah kakek bilang soal Kitab Gerbang Dewa.’ Di saat seperti ini ingatannya bisa diandalkan, dan tentunya adalah hal yang bagus.

Entah apa itu Kitab Gerbang Dewa, Xiao Liu tidak pernah menanyakannya, namun yang pasti apapun yang dikatakan kakek ketika tidur, itu serius adanya.

‘APA JANGAN-JANGAN!?’

“Nyonya Pendekar mencari Kitab Gerbang Dewa?”

“!”  Sang pendekar hitam itu terbelalak, dan seketika itu juga mendekati Liu. “Nak, aku benci mengatakannya, tapi kau harus mati.”

Suaranya begitu dalam dan mengintimidasi, seperti ibu yang marah pada anaknya!

Sorot mata merahnya berisinar, aura kekuatan terkumpul begitu cepat!

“MASA SIH BENAR!?”

Padahal Liu hanya asal menebaknya saja dan sekarang pendekar sekte sesat malah marah besar.

SRING!

Pendekar berbaju hitam itu mengeluarkan kedua belati kecil dari tempat senjatanya, berlari kencang sembari bergaya dengan hebat.

“!”

‘Aku belum bisa mengumpulkan energi dalam! Kenapa malah begini!?’

Liu tidak percaya, sementara itu dengan lincahnya sang ibu pendekar sesat bisa menebasnya kapanpun.

[Pengumpulan Qi selesai… transfer selesai]

Ssshshhh….

Sementara itu Liu merasa tubuhnya jadi hangat, ia bisa melihat gerakan lincah musuhnya jadi begitu lambat.

‘Kenapa ini?’

[Bertahan hiduplah Tuan, lakukan apa yang harus dilakukan]

‘Hah?’

Liu merasa tubuhnya jadi begitu kuat, rasanya ia bisa melakukan apapun. Tidak hanya itu, ketakutan dan kepanikannya sirna seketika itu juga.

‘Ini keren!’

Liu iseng memegang kedua belati yang hampir sampai di lehernya, dan di saat yang bersamaan memerasnya dengan kuat.

Adegan ini terlihat mengerikan karena seorang pendekar perempuan hendak menebas leher anak kecil. Sedang senyum kecil malah tergurat dari bocah ini.

KRAK!

Seketika itu juga belati itu hancur berkeping-keping, dan sang ibu pendekar hitam kaget dan langsung mundur kebelakang.

“Bagaimana mungkin!? Anak kecil itu!?” Sang pendekar hitam menatap heran Liu, dan seketika itu juga ia menghilang.

“HEEEI! JANGAN KABURR!” Liu berlari namun tidak dapat mengejar pendekar yang memakai teknik melarikan diri cepat.

Sret.

Ada sepucuk kertas kecil yang terjatuh di tanah. “Milik pendekar tadi ‘kah?”

Liu melihat kertas kecil itu dengan seksama.

“Ini!?”

Liu membacanya berulang untuk memastikan, dan ternyata benar adanya.

-Misi utama, cari Pendekar Tingkat Langit An, ambil Kitab Gerbang Dewa padanya, lenyapkan semua bukti-

“….”

“Ka… kek….”

“KAKEEEK!”

Liu tidak menyangka ia begitu terlambat sampai di desa, semuanya sudah tidak menyisakan apapun lagi.

Semuanya sudah dilenyapkan oleh Sekte Pendekar Sesat. Mereka mengambil semuanya… dan bahkan orang yang paling ia sayang.

“SIALAAAN! AWAS SAJA PENDEKAR SESAT! AKU AKAN MEN-“

Blugh.

Belum selesai Liu kecil bicara, ia terjatuh ke tanah, sementara warna kulit sekitar lengannya sebagian berubah jadi ungu.

‘Kenapa?’

Liu merasa tubuhnya lemas, bahkan kakinya tidak kuat menumpu tubuhnya. Ia bahkan tidak bisa menggerakkan ujung jarinya.

[Racun terlambat terdeteksi… kondisi darurat….]

‘Racun? Ah, belati itu….’

Liu menutup matanya, sementara ia sangat ingin mengejar pendekar sesat yang sudah mengambil semua darinya. Ada perasaan sesal karena ia malah keren-kerenan dengan menghancurkan senjata musuhnya.

'Ga.. wat....'

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!