“Bang, mau ke mana?“ tanyaku, kala bang Ken hendak beranjak dari meja makan kami.
Kami tengah menikmati sajian makan siang, di dekat rumah sakit bedah umum milik bang Ken. Demi menemuinya dan mengantarkan anaknya yang ingin menemuinya di masa libur sekolah ini, aku sampai meninggalkan tanggung jawab pekerjaanku di perusahaan milik adik ipar kakakku.
“Jemput Putri di bandara, Abang janjikan liburan bersama beberapa hari kedepan.“ Ia melangkah meninggalkanku dan anaknya yang masih makan.
Demi perempuan yang menurutnya pintar dan cerdas itu, ia sampai menghiraukan keberadaanku yang datang dengan anaknya. Apa ia tidak membuka matanya, jika anaknya pun sudah satu hati denganku? Jika ceritanya sudah begini, aku ingin melalaikan anaknya saja di tengah kota seperti ini. Sayangnya, aku tidak tega.
“Kak Ria, Ayah mau ke mana?“ tanya Bunga polos, dengan merapikan mulutnya dari makanan mie yang dilumuri saos spesial.
“Ada pasien yang urgent keknya.“ Aku tidak akan memberitahukan akan kedatangan pacar ayahnya tersebut.
Bang Ken, dengan nama asli Kenandra. Ia adalah dokter spesialis bedah, yang sudah memiliki rumah sakit sendiri di Malaysia. Ayahnya asli Banjarmasin, dengan ibunya asli dari kota Lhokseumawe. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya ia memilki rumah sakit sendiri di Malaysia. Aku tidak banyak mengobrol tentang itu, karena dekat dengannya dan ia memiliki waktu untukku pun sudah amat beruntung untukku.
Sialan memang! Sudah memberitahu pun, nyatanya aku masih diteror oleh kakak iparku juga. Aku mendapatkan telepon ketujuh darinya, dengan pilihan kuangkat segera sebelum dirinya lebih lama menggangguku lagi.
“Kenapa sih, Bang?!“ sahutku ketus, setelah menerima panggilan telepon dari bang Givan.
Ia adalah kakak iparku yang mengatur dan membiayai hidupku. Aku bersyukur, karena aku mengenyam pendidikan instan karenanya. Ia pun membayar mahal, untuk biaya mendapatkan ijazah SD sampai perguruan tinggiku.
Karena asal kalian tahu saja, aku lahir di tengah keadaan yang rumit. Ayah dan ibuku adalah TKI yang bekerja di Saudi Arabia, mereka kabur dari majikan mereka dan menikah secara siri. Masih untung, ibuku sudah menjanda ketika menikah dengan ayahku dan ayahku adalah mantan pacar ibuku di masa lalu, ia pun sudah terbebas dari ikatan pernikahan. Jadi, tidak rumit sekali hubungan orang tuaku.
Nyatanya, pernikahan siri dan karena menikah di Saudi. Aku tidak bisa memiliki dokumen kelahiran, aku pun tidak mendapat pendidikan sedikitpun, aku tidak pernah bersekolah sama sekali. Barulah, saat usiaku empat belas tahun. Ibu menerima pekerjaan dari agen di Saudi, yang membawanya sampai datang ke Brazil. Tidak disangka, nyonya besar yang memperkejakan ibu dan aku yang masih belia ini, ia meninggal dunia di Brazil. Tidak begitu menyeramkan akan nasib kami, karena kami langsung dipekerjakan oleh tetangga nyonya besar kami yang berasal dari Indonesia, tepatnya Aceh.
Singkat cerita, aku dan ibu baru mengetahui ternyata nyonya dan tuan besar tempat kami bekerja pada orang Aceh tersebut. Ternyata, mereka adalah mertua dari anak ibu dengan suami lamanya. Begitu banyak drama yang terangkum dari kisah pertemuan kami, dalam cerita novel Canda Pagi Dinanti. Hingga kami berada di titik ini, titik nyaman dengan ekonomi menengah ke atas karena status kakakku yang merupakan menantu dari nyonya dan tuan besar kami. Begitu seperti drama novel, perjalanan hidup kami.
“Abang banting ya kau, Ria! Abang pesan dari bandara tadi, kau bilang kalau udah sampai di sana. Apa nyatanya?! Harus aja kau buat Abang panik di sini!“ Suaranya yang selalu nada tinggi itu selalu membuat kepalaku berdenyut.
“Iya, Bang. Kami sampai pagi tadi, terus kita istirahat sebentar, barulah makan nih siang ini.“ Aku memperhatikan makananku yang baru kumakan setengahnya.
N**** makanku tiba-tiba hilang, kala bang Ken mengatakan ingin menjemput Putri. Skandal yang begitu kompleks. Bang Ken adalah kakak angkat kakak iparku, lalu Putri adalah mantan kekasih kakak iparku. Bertambah rumit hubungannya di sini, karena Putri memiliki anak tanpa menikah dengan mantan suami kakakku yang sudah meninggal. Kakakku pun, memiliki seorang anak perempuan dengan mantan suaminya yang memiliki anak juga dengan putri. Anak Putri yang bernama Jasmine itu, hidup dalam asuhan kakakku dan kakak iparku. Rumit bukan? Kalian perlu pelajari dalam novel Canda Pagi Dinanti.
Maaf ya banyak iklan, agar pembaca tahu jika novel-novel ini berkesinambungan.
“Kenapa tak langsung makan? Bang Ken tak kasih kalian sarapan?“
Wajar mendengar amarahnya, karena memang Bunga pun dalam asuhan kakakku yang bernama Canda Pagi Dinanti dan suaminya yang bernama Ananda Givan.
“Kami ngantuk, Bang. Udah ajalah kami langsung tidur.“ Lelah aku menjelaskan, nyatanya pun ia tetap akan marah-marah juga. Memang wataknya tempramen, tapi hanya mulutnya yang heboh. Ia tidak sampai membanting dan mencekik seperti yang tengah viral, hanya mulutnya saja yang galak.
“Ya Allah, Ceria Skalane Waktu! Kau bawa anak orang, Bunga Malati yang baru lima tahun kau ajarkan lapar? Kenapa kau tak ajak puasa Senin Kamis aja sekalian?!“ Suaranya semakin meninggi saja. Aku khawatir speaker ponselku rusak karenanya.
Ya memang itulah namaku, nama unik seperti nama kakakku. Usiaku sudah dua puluh lima tahun, tapi masih setiap hari dimarahi oleh kakak iparku setiap waktu. Memalukan bukan, jika ada temanku yang tahu?
“Dia masih tidur, Bang. Turun pesawat itu dia lelap, Bang.“ Kalian bayangkan saja. Sorenya aku baru pulang bekerja, lalu diminta membantu packing pakaian Bunga. Aku pun harus prepare beberapa pakaian dan barangku, untuk mengantar Bunga berlibur bersama ayah dan pacar ayahnya.
Semoga, Bunga mendadak rewel dan banyak menangis. Agar merusak momen kemesraan ayah dan pacar ayahnya itu.
Aku tidak mengerti dengan Kenandra si dokter bedah berusia empat puluh satu tahun itu. Ia seperti tidak mengerti, dengan sikapku yang benar-benar tertarik padanya.
Sungguh, aku merasakan kenyamanan yang luar biasa. Ketika, ia mampu membuatku terlelap di tengah rasa mabukku di dalam bus AC patas yang bau keringat bermacam-macam manusia. Perjalanan yang penuh pengorbanan itu, terjadi karena aku ikut dengannya yang menyelesaikan sidang hak asuh anak bersama mantan istrinya.
Aku kurang mampu mendeskripsikan perasaanku saat itu. Tapi, di tengah kerinduanku yang tidak pernah mendapat kasih sayang ayahku karena beliau meninggal dunia sejak aku kecil. Ia datang dengan memberi perlindungan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan untukku.
Sebelumnya, kami terlibat suatu masalah rumah tangga kakak iparku dan kakakku. Ya mengharuskan aku untuk bertolak ke Jepara bersama bang Ken. Cerita tentang kejadian ini, ada dalam novel Retak Mimpi. Mohon dibaca, didukung dan ditap favoritnya.
“Ya udah selesaikan makannya, nanti Abang hubungi tentang pekerjaan kau.“ Kakak iparku adalah sesukses-suksesnya manusia yang sombong. Usahanya lebih dari lima belas macam, dengan ia pun mampu membantu saudaranya mengecek perusahaannya. Tapi kerap ia disebutnya adalah bos tambang, karena usaha terbesarnya adalah pertambangan batu bara yang berada di Kalimantan.
“Ya, Bang. Nanti kirimkan ke email aja.“ Aku memperhatikan Bunga yang masih lahap memakan mie dengan saus spesial itu.
“Oke.“
Tut…..
Aku memasukkan kembali ponselku, kemudian membantu Bunga untuk melahap makanannya lagi. Bayangkan saja bagaimana belepotannya anak lima tahun yang makan sendiri.
“Hai…..“
Aku tahu jarak bandara, rumah sakit milik bang Ken dan rumah makan ini cukup dekat. Tapi, harusnya Putri datang tidak secepat ini. Rasanya, aku ingin mencakar-cakarnya karena tidak memberiku sedikit waktu dengan kekasihnya.
...****************...
“Hai juga.“ Aku terpaksa menarik sudut bibirku agar terlihat ramah.
Jadi seperti itu ya diinginkannya? Berdada besar, berkulit putih, part belakang yang bergoyang ketika ia bergerak. Hei, bukankah itu kendor? Atau memang terbelah dan tersekat CD yang menggunakan seutas tali saja di bagian part belakang itu? Konsepnya pasti nyelip dan tidak nyaman.
Sudahlah! Aku mengaku kalah jika dibandingkan dengan fisik. Aku hanya menang tinggi, tinggiku sampai seratus enam puluh delapan. Jika Putri, mungkin sekitar seratus enam puluh dua. Ia terlihat tinggi karena hells yang tak pernah ia lepas. Dadaku kecil, part belakangku kecil, tubuhku hanya berbentuk lurus. Karena memang aku tak pernah melakukan olahraga, keseharianku hanyalah bekerja dan bekerja. Rasanya aku ingin menukar ketinggian ini dengan part belakang yang berisi dan dada yang besar sempurna seperti itu.
Hufttt, harusnya aku bersyukur karena masih hidup di tengah kerumitan kelahiranku. Bukannya malah mengeluh karena dadaku kecil dan part belakangku tepos.
Tapi, asal kalian tahu saja. Di ranjang Bellsha Hotel Jepara, Kenandra yang diam-diam ganas itu pernah menc*m*uiku. Ia memelukku di atas ranjang, membelai perutku dan pinggangku. Lalu, ia mengajakku beradu mulut dalam aktivitas fisik yang sebenarnya. Ia pun memberikan jejak petualangnya di leherku. Sayangnya, masa itu aku tidak tertarik padanya. Aku hanya tertarik pada Keith, duda asal Singapore yang selalu membuatku melepaskan pakaianku di hadapannya. Andai saja aku merespon bang Ken sejak saat itu, mungkin tidak sesulit ini pengejaran cinta ini.
Aku masih perawan tersegel, tapi pengalamanku cukup liar. Aku mampu membuat pasangan ranjangku mendapatkan pelepasan, tanpa melakukan aktivitas maju mundur. Aku cukup pandai memuaskan laki-laki, karena aku dibebaskan sejak usiaku tujuh belas tahun.
Pengalaman pertamaku adalah seorang bujang, dia adalah operator kendaraan besar, ia pun masih muda dan berkumis tipis. Kejadian itu, masa aku dalam masa pendidikan militer perkantoran yang dibina oleh bang Givan. Yah, masa itu aku baru mengenal dunia kerja.
“Liburan sama Keith juga kah di sini?“ tanya Putri dengan dipersilahkan duduk di sampingku.
Lihatlah pemirsa, ia sampai dipersilahkan bang Ken dengan cara menarik kursi yang akan diduduki oleh Putri. Denganku atau anaknya pun, ia tidak begitu. Rasanya, aku ingin menandainya saja di lain waktu.
“Tak, Keith free cuma di akhir tahun,” jawabku kemudian.
Ada rasa kecewaku dengan Keith, karena ia tidak pernah mengajakku menikah. Padahal, kami selalu berc*mbu ketika bertemu. Ya sudahlah, yang penting kemampuanku terasah saja. Agar kelaknya, skill yang sebenarnya bisa aku terapkan pada suamiku nanti.
“Kau pacaran tak sih sama Keith?“ Bang Ken duduk di samping Putri, tepatnya di sebelah anaknya.
Keith Malik, duda tanpa anak berusia dua puluh sembilan tahun yang menjadi tangan kanan kakak iparku. Terus terang saja, nantinya dia akan menjadi tokoh pelengkap di ceritaku ini. Kalian bayangkan saja, novel ini isinya duda ganas semua.
“Tak, bang Givan larang.“ Yaps, bang Givan melarang jika hanya berpacaran. Alasannya sederhana, tidak berpacaran saja kami berani mengambil kamar hotel bersama. Apalagi, jika berpacaran. Bang Givan takut aku lepas perawan, sebelum aku bersuami. Katakanlah, ia adalah kakak ipar yang ingin terbaik untukku di tengah kebebasan hidup.
“Kenapa memang? Dia ganteng, ramah, baik juga kok,” tambah Putri kemudian.
“Ya, dia tak terlalu asin juga kok,” celetukku ringan.
Namun, membuat Putri dan bang Ken malah tertawa lepas. Aku paham, ia berpikiran ke mana.
“Anak-anak kalian tumbuh di lambung, Ria,” ujar bang Ken, dengan tawanya yang begitu renyah.
“Mending KB aja, Ria,” saran yang Putri berikan sedikit sinting.
Aku belum menikah, aku tak memiliki suami, tapi aku diminta berKB untuk berzina. Ya mungkin dirinya seperti itu, aku paham bagaimana gaya berpacaran orang zaman sekarang. Zina seolah lumrah, tanda-tanda Dajjal akan muncul dengan seolah-olah melihat neraka seperti surga. Ya contohnya begini, zina menjadi hal lumrah padahal kami semua tahu hukumannya luar biasa. Bukan hanya hukum syariat saja yang, tapi di akhirat beribu kali lipat pedihnya.
Eh, itu tugas kakakku. Aku tidak pandai berdalil atau memberi nasihat, biar itu jadi bahan mbak Canda saja nanti.
“Terbang dari mana, Kak?“ Aku mengalihkan topik pembicaraan.
“Dari Jakarta langsung ke sini, aku belum singgah ke Aceh untuk nengokin Jasmine. Mungkin, nanti pulang dari sini.“ Putri masih melihat menu, ia belum memiliki makanan di hadapannya.
Putri asal Sulawesi, ia bekerja di perusahaan kontraktor terbesar di Jakarta. Ia masih gadis, dalam statusnya. Ia belum pernah menikah, tapi anaknya sudah berusia empat belas tahun.
Sedangkan aku, asliku dari Solo. Aku dan ibu tinggal di Aceh, karena kakakku menikah dengan anak nyonya besar kami yang menikah dengan orang Aceh. Sulit dipahami, lebih baik baca semua novel-novel yang berhubungan dengan cerita lainnya.
“Perdalam aja pendidikan psikolognya, aku biayai kah?“ Manisnya mulut bang Ken ini.
Ia tidak pelit masalah uang. Tapi masalah waktu, ia pelitnya luar biasa. Hanya orang tuanya saja, yang selalu ia utamakan jika memiliki waktu senggang. Yang sekarang, ditambah dengan Putri.
“Aku kurang telaten dan sabar,” sahut Putri lirih.
Ya, bagaimana nanti ia mengurus anaknya dudanya ini? Anaknya saja, diasuh oleh kakakku.
“Ya belajar, namanya juga pendidikan lagi. Yang kek gitu-gitunya juga dilatih.“
Suaranya yang lembut ini, selalu membuatku nyaman. Meski keadaannya sekarang, ia tidak tengah berbicara denganku.
“Biar nanti aku pikirkan.“ Putri memanggil pelayan resto dengan mengangkat satu tangannya.
Putri adalah orang tajir yang tiba-tiba miskin. Ceritanya panjang, ringkasnya ada di novel Retak Mimpi. Mode panjangnya, ada di novel Canda Pagi Dinanti.
“Jadi, kenapa pengasuh Bunga tak diajak?“ Pertanyaan bang Ken mengarah padaku.
Karena aku berpikir, aku bisa menikmati waktu dengannya ketika anaknya tengah terlelap. Aku malah meminta pengasuh Bunga untuk pulang sementara Bunga liburan bersama ayahnya ini. Tapi, tentu aku tak akan mengatakan hal ini.
“Dia izin pulang juga untuk liburan.“ Aku memilih berbohong.
“Wah, masa? Abang yang gaji, kok dia tak izin ke Abang? Dia mau liburan kah kau yang mau liburan di sini sama Abang?“ Ia tersenyum simpul.
Lihatlah, biji mataku sudah seperti tahu bulat digoreng bulat-bulat, dibeli lima ratusan.
Eh, gimana teks tahu bulat?
Kenandra Bin Haris Hartono, harusnya kau tak berbicara seperti itu di hadapan kekasihmu! Karena mata belonya mengarah padaku sekarang. Aku tak mau dituduh merebut pacarnya, meski niatku memang begitu.
“Dari gerakan tubuh kau, kau ini memang kek suka ke Ken ya, Ria?“ Senyum Putri membuatku takut.
Pendidikannya dobel, psikolog dan bisnis manajemen. Aku paham, dia akan mengerti bahasa tubuh dan mimik wajahku. Tapi, aku tidak mau diungkap lebih dini juga. Karena sekarang masih episode dua, masa mau langsung naik konflik?
“Kok pertanyaannya kek nuduh gitu sih?!“ Aku berani ketus, agar kebenarannya tidak terbaca.
“Kau terus terang aja, Ria.“ Wajahnya mulai serius di sini.
...****************...
“Ngaco aja! Bang Ken tua begitu, mana mungkin aku naksir.“ Aku munafik untuk pertama kalinya.
Aku bergerak untuk makan kembali, agar Putri tidak curiga padaku. Bisa-bisanya tebakannya benar, kan aku tidak mau kalau bang Ken tahu bahwa aku naksir dirinya. Rencanaku, membuat bang Ken tergila-gila dan berbalik mengejarku.
Bisa tidak ya? Tapi aku ingin alurnya seperti itu, tolong sampaikan ke authornya.
“Gitu ya? Aku tandain ya mulut kau, Dek?“ Bang Ken lah yang menyahutinya, ia memandangku dengan tersenyum simpul.
Hei, siapa yang tidak tergoda. Duda gagah berbadan atletis, tingginya sampai seratus tujuh puluh lima, dengan hidung ramping dan mancung. Belum lagi alisnya yang tebal, dengan sorot teduh dan terlihat alim itu.
“Ngarep ya ditaksir anak kecil?“ Putri mencubit pelan pipi bang Ken.
Manisnya candaan mereka, aku semakin ingin menggantikan posisi Putri. Aku akan menarik bang Ken ke ranjang, untuk bersenda gurau dengan kehangatanku. Uhh, aku jadi ingin sapuan Keith yang selalu mampu membuatku mendapatkan pelepasanku.
“Kenapa muka kau merah gitu, Dek?“
Oh, benarkah? Malu sekali aku, jika mereka paham bahwa aku tengah ingin.
Aku tersenyum pada bang Ken, kemudian mengarah pada Putri. “Ngantuk aja, Bang.“ Aku berbohong lagi.
“Ngantuk memang bisa merah begitu mukanya? Macam demam kau.“ Bang Ken mengulurkan tangannya ke arah dahiku.
Putri tertawa renyah. “Ciri-ciri perempuan lagi ingat hal panas itu, Bang.“ Putri mengusap lengan gagah itu.
“Oh, iya kah?“ Bang Ken memandang Putri dan tertawa geli seperti Putri.
Sial! Aku malah menjadi bahan tertawaan.
“Telepon Keithnya, Dek,” usul bang Ken kemudian.
Kenapa ia tidak mengulurkan namanya sendiri saja? Kenapa harus Keith? Meski Keith yang sebelumnya selalu menjadi tempatku menaruh perasaan, tapi kini sudah tergantikan oleh dirinya.
Sepertinya, kembali ke pekerjaanku adalah hal yang lebih baik. Daripada ikut berlibur di sini, nanti aku hanya bisa gigit jari. Belum lagi, aku harus rela ditempeli Bunga, karena ia sudah amat dekat denganku. Biar kali ini Bunga merepotkan pacar ayahnya saja, agar kemampuan Putri untuk mengurus anaknya bisa dilihat oleh matanya sendiri.
Tapi, setahuku ketika ia tengah mendekati Bunga. Respon Bunga ketus, karena Putri terlalu banyak mengajukan pertanyaan. Sedangkan Bunga, ia bukanlah tipe anak yang suka diberi banyak pertanyaan. Ia hanya ingin ditemani bermain, meladeninya ketika bermain atau mengerjakan sesuatu.
“Aku mau balik ke hotel aja, Bang. Aku pengen lanjut tidur, malam nanti aku ambil penerbangan.“ Moodku semakin kacau, karena Putri terlalu mesra dengan bang Ken.
Terlalu sakit untuk kulihat, saat usapan Putri di lengan gagahnya kian intens. Aku takut aku lepas kontrol, saat melihat Putri semakin berani untuk mesra-mesraan dengan ayahnya Bunga itu.
“Kenapa sih, Dek? Kan kau bilang mau liburan juga, kau pun bawa barangnya banyak.“
Memang benar, sebelum Putri datang. Kenapa ia tidak memberitahu dari awal, jika ia pun ingin menikmati liburan bersama kekasihnya? Jika ia memberitahukan dari awal, mungkin aku tidak perlu membawa bagitu banyak barang bawaanku, karena aku nantinya hanya mengantarkan Bunga saja. Jika aku harus ikut, pasti nantinya aku akan diminta fokus mengurus Bunga. Aku tidak begitu bodoh, aku paham dan aku mengerti pasti aku nantinya akan dimanfaatkan.
“Bunga sama Ayah ya? Kakak mau bobo dulu di kamar hotel.“ Aku langsung izin pada Bunga, tanpa menyahuti ucapan bang Ken.
Untuk apa aku menjelaskan ini itu, toh Putri pun tak akan pulang lagi karena tidak enak denganku. Lagi pula, aku memangnya siapa? Untuk apa Putri tidak enak denganku?
“Ikut, Kak.“ Bunga langsung merengek ketika aku hendak meninggalkannya.
Ya ampun, Bunga. Wajahmu sudah seperti tengah maskeran saus spesial itu.
“Cuci tuh sama Ayah.“ Aku membawa tangan Bunga pada ayahnya.
“Tak mau, sama Kakak.“ Bunga menghentakkan kakinya dengan memandangku penuh harap.
“Yuk sama Ammak?“ Putri bangkit dan langsung membujuk Bunga.
Tiga menit dibujuk, hasilnya nihil. Bunga tetap ingin cuci muka denganku.
Dengan perasaan gondok, aku membawanya ke kamar mandi resto ini. Beginilah interaksiku dengan Bunga, aku minim bertanya karena memang aku tidak ingin mengetahui apapun. Tapi aku selalu ditariknya untuk melakukan ini dan itu bersamanya. Keponakanku saja, tidak ada yang mau denganku. Kini, anak sang duda yang malah lengket denganku sejak awal.
Benar, sejak awal. Sejak awal ia dijemput ayahnya di rumah ibu kandungnya, kak Riska, mantan istri bang Ken. Ia selalu ingin bermain denganku, padahal aku malas sekali bermain dengan anak kecil. Sayangnya, aku tidak tega dengan rengekannya. Bunga begitu cengeng, ia langsung menangis jika aku tidak mau meladeninya. Jika keponakanku, mereka tidak ada yang cengeng. Mayoritas dari mereka adalah cerewet dan bermulut pedas, belum lagi Ra yang berani memukuliku.
Berbeda dengan para keponakanku, aku tidak mau ya aku diusir dari tempat mereka. Aku dibully habis-habisan oleh keponakanku sendiri, lalu aku dicaci-maki dengan berbagai macam mulut-mulut pedas mereka hasil turunan dari ayahnya, si bang Givan. Kadang aku berpikir keponakanku ini nir akhlak pada bibinya sendiri, tapi herannya bang Givan malah mendukung anak-anaknya dan menyebutku tidak bisa ngemong anak-anaknya.
“Bunga main sama Ayah ya? Selesaikan makannya, Kakak mau BAB dulu.“ Karena hanya alasan ini agar Bunga mau aku tinggalkan sementara.
Ia mengangguk. “Jangan lama-lama, Kak.“ Ia mendongak dengan menggigit ujung telunjuknya.
Kebiasaan jelek!
“Jangan gigit-gigit loh, jarinya potong nanti.“ Aku menarik tangannya dari mulutnya.
Bunga mengangguk, ia kembali memandang sekelilingnya. Aku mengantarkan ke meja ayahnya kembali, dengan aku memberikan kedipan rapat pada bang Ken.
“Mau ke mana?“
Segala ia bertanya pula!
“Mau BAB.“ Semoga bang Ken paham jika aku ingin kembali ke kamar hotel.
Ia mengangguk, tapi matanya tetap memperhatikanku. Aku menarik tas selempang milikku, kemudian aku mengambil jalan berputar untuk keluar dari resto ini. Pandangan mata bang Ken masih mengawasiku, ia tahu aku keluar dari resto ini.
Aku paham, ia akan selalu mengawasiku, menjagaku ketika aku berada di jangkauannya. Masalahnya, aku baper dengan sikapnya yang seperti itu. Aku paham, ia ingin aku aman. Tapi masalahnya, ia bukan kakak iparku, aku tak terhanyut dengan sikap manisnya juga. Karena jelas kakak iparku tak akan bersikap manis padaku, ia tahu batasannya pada adik iparnya.
Aku mulai menikmati kenyamanan ranjang ini, dengan memainkan ponselku. Aku adalah keturunan manusia yang mudah tertidur, meski baru bangun tidur. Apalagi, perutku sudah terisi. Video lucu pun, nyatanya tak mampu menahan kantukku ini.
Klik….
Suara pintu hotel seperti terbuka otomatis. Aku langsung mengarahkan mata kantukku pada pintu kamar hotel ini. Aku berpikir, bahwa ada seseorang yang memiliki kartu sama dengan kartu pintu hotel milikku.
Rupanya……
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!