NovelToon NovelToon

Jadi Yang Ke-2

01

Hilda Chantika terdiam ketika mendengar suara berat memanggil namanya. Dari arah pintu rumah makan dua pria sangar berbadan besar berjalan ke arahnya. Pakaian keduanya serba hitam. Salah satu dari mereka memakai kaca mata tebal yang juga berwarna hitam.

Seketika Hilda melongo. Nampan kosong yang sejak tadi dia pegang jatuh ke lantai menimbulkan bunyi berisik. Semua pengunjung rumah makan menatap ke arahnya dengan bingung.

"Nona Hilda, ikut kami sekarang juga,” kata pria berkacamata ketika mereka sudah sampai di hadapan Hilda.

"Ke-ke mana? A-ada apa?" Hildaa tergagap. Wajah bulatnya berubah pucat.

"Akan kami jelaskan selama di perjalanan," kata si pria berkacamata lagi.

"Sebaiknya Anda menuruti perintah Tuan Arash kalau masih ingin melihat dunia," sahut pria lainnya.

"Ka-kalian siapa? Lalu, Tu-tuan Arash ..siapa Tuan Arash?"

"Tuan Arash adalah calon suami Nona."

Seketika mata Hilda terbelalak lalu mengerjap-ngerjap mendengar kata 'calon suami. Sungguh, di umurnya yang baru genap dua puluh tahun ini tidak pernah sekalipun Hilda berharap akan segera menikah. Jangankan mau menikah, pacar saja dia tidak punya. Lalu siapa Tuan Arash yang mengaku-ngaku sebagai calon suaminya?

"Kalian pasti salah orang," sangkal Hilda. Dia berbalik. Bermaksud kembali bekerja. Mengantarkan pesanan para pengunjung rumah makan.

"Kami tidak pernah salah orang, Nona."

"Buktikan padaku kalau aku memang orang yang kalian maksud!" tantang Hilda.

Pria yang tidak memakai kacamata menyeringai. Dia berdeham lalu berkata, "Hilda Chantika putri tunggal Kartika Sari. Anak mantan wanita penghibur. Tidak punya ayah. Tinggal di pinggir kota, di perumahan kumuh dengan harga sewa lima ratus ribu sebulan. Bekerja di rumah makan sebagai pelayan. Itu benar Anda, kan?"

Sialan! Itu memang dia. Seratus persen benar. Siapa dua pria ini? Dari mana mereka tahu tentang kehidupannya? Hilda ketakutan. Terbesit di kepalanya tentang berita yang pagi tadi ramai dibicarakan para tetangga. Penculikan dan perdagangan manusia. Apakah dua pria sangar ini komplotannya? Atau anak buahnya?

"Si-siapa kalian sebenarnya?!" Hilda semakin pucat. “A-aku tidak punya urusan dengan kalian.”

"Tapi ibu Anda sudah berurusan dengan kami, Nona."

"Ibuku?" ulang Hilda lirih.

Di kepalanya sudah terbayang wajah cantik ibunya yang sedang tersenyum. Bukan senyum manis. Tapi, jenis senyuman menggoda. Seperti yang biasa dilakukannya ketika memikat para pria. Hilda benci melihat senyum itu. Dan, dia semakin benci ketika tahu ibunya berurusan dengan pria-pria besar ini. Ingin menjual anaknya sendiri, kah? Tidak mungkin! Hilda tahu ibunya sangat menyayangi anaknya.

"Kalian bohong! Ibuku bukan orang seperti itu!"

"Lebih baik tanyakan langsung padanya."

Kedua pria itu mendekat. Mereka sudah berada di samping Hilda dan berniat menggamit lengan gadis itu. Namun, perlahan Hilda beringsut mundur sambil memikirkan caranya melarikan diri. Dua pria besar itu seolah tahu apa yang dia pikirkan sehingga mereka langsung menangkap tubuh kecil Hilda. Gadis itu dibawa paksa menuju mobil mewah yang terparkir di depan rumah makan.

Hilda berontak. Menendang dan memukul kedua pria yang menyeretnya. Namun, salahkan tubuh kecilnya yang tidak bisa memberikan efek apa-apa terhadap dua pria raksasa itu. Malah, keduanya semakin melajukan langkah menuju mobil.

"Lepaskan aku! Kalian penculik! Kalian mau menjualku, kan? Aku akan lapor polisi!"

Kedua pria itu terkekeh dengan nada mengerikan. "Percuma lapor polisi, Nona. Tuan Arash punya hubungan dekat dengan kepolisian. Laporanmu hanya dianggap dongeng sebelum tidur saja."

"Persetan dengan itu!" umpat Hilda. "Lepaskan aku! Kalian tidak akan mendapat apa-apa kalau menjualku!"

Lagi-lagi, kedua pria itu terkekeh. "Nona masih muda. Organ tubuh Anda pastinya masih dalam keadaan sempurna. Tentu kami akan dapat banyak uang kalau berhasil menjual Anda."

"Ja-jangan. .... Kasihan ibuku.'

"Sayangnya, ibu Anda tidak kasihan dengan Anda. Buktinya dia menjual Anda pada tuan Arash."

"Kalian bohong, kan?" tanya Hilda lirih. Dia masih mencoba menyangkal perkataan pria asing ini. Dia yakin kalau Kartika, ibunya, sangat menyayanginya. Tiap hari ibunya meminta agar Hilda jangan meninggalkannya seorang diri. Dari situlah Hilda yakin dengan kasih sayang sang ibu.

"Iya, kami berbohong saat mengatakan kalau kami akan menjual organ Anda. Tapi, selebihnya cerita itu benar. Ibu Anda menjual Anda kepada tuan Arash. Sebentar lagi Nona akan menikah dengan Tuan Arash."

Hilda menggeleng lambat-lambat. "Ibuku tidak mungkin tega.... Ibuku sangat menyayangiku."

"Ibu Anda lebih menyayangi uang."

"Kalian tidak punya bukti!"

Pria berkacamata lantas berhenti berjalan. Dia merogoh saku lalu mengeluarkan gawai dari sana. Menyodorkannya ke hadapan Hilda sambil berkata, "Lihatlah."

Hilda memicingkan mata. Mengenali sosok wanita di video itu sebagai ibunya. Wanita setengah baya itu sedang duduk bersimpuh di hadapan pria berbadan besar. Lebih besar daripada dua pria yang sedang bersama Hilda sekarang.

"Lima miliar, Tuan Arash! Uang segitu sebanding dengan putriku."

"Kau bahkan tega menjual anakmu sendiri?"

"Aku bosan berpura-pura di hadapannya, Tuan Arash. Aku lelah terus tersenyum di hadapannya. Aku lelah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja asal selalu bersama dia. Aku bosan hidup pas-pasan. Aku tidak bisa terus seperti ini. Yang kuperlukan darinya hanyalah uang. Sayang dia tidak bisa memberiku banyak uang sebanyak yang kuberikan padanya dulu."'

"Baiklah. Aku akan membelinya. Lima miliar akan segera kau terima."

Hilda memejamkan mata setelah selesai menonton video tersebut. Saat itu juga dia merasa kakinya lemas. Seluruh persendiannya seperti copot. Daging yang membungkus tulangnya terasa luluh lantak. Jika saja tubuhnya tidak ditahan oleh tangan-tangan kekar itu dia pasti sudah jatuh terduduk di tanah.

Benarkah wanita yang sudah melahirkannya rela menjual anaknya sendiri? Hilda bertanya-tanya dalam hati. Kekalutan menyelimuti. Dia masih tidak bisa menerima kenyataan kalau selama ini ibunya hanya peduli dengan uang. Dari dulu Kartika tidak pernah berubah. Harusnya Hilda sadar akan hal itu sejak awal.

Gadis malang itu hanya bisa pasrah. Dengan kepala tertunduk dan tanpa perlawanan dia masuk ke mobil. Air matanya mengalir deras, tapi isakan enggan muncul. Hanya punggungnya yang bergetar hebat sebagai tanda kekecewaan.

Hilda selalu bertanya-tanya. Adakah seseorang yang benar-benar tulus menyayanginya? Ibu kandungnya bahkan lebih memilih hidup dengan uang daripada hidup dengan dirinya. Lalu manusia mana yang bersedia memberikan kasih sayang secara cuma-cuma. Tulus dari dalam hati. Tidak ada! Tidak akan pernah ada! Hidup sebegitu tidak adil padanya.

Tak terasa, mobil mewah itu sudah berhenti di tempat parkir bawah tanah. Dua pria berotot itu segera turun lalu membukakan pintu untuk Hilda.

"Mari turun, Nona. Tuan Arash sudah menunggu.

Arash menghela napas. Mencoba ikhlas dengan keadaannya sekarang. Sebagai ucapan terima kasihnya yang terakhir kali pada sang ibu, Hilda akan patuh di tangan tuan Arash. Jika dengan begitu ibunya bahagia, dengan senang hati Hilda akan melaksanakannya.

Arash dibawa menaiki lif. Benda canggih itu berhenti di lantai dua belas. Beriringan, mereka menuju kamar yang dimaksud. Langkah mereka berhenti saat sampai di pintu bernomor lima ratus.

Pintu apartemen terbuka. Punggung Hilda didorong paksa masuk ke apartemen. Terus di dorong sampai memasuki sebuah ruangan gelap. Lalu terdengar pintu dikunci dari luar.

"Selamat datang, Hilda Chantika."

Hilda memicingkan mata. Keadaan yang gelap membuatnya tidak bisa melihat apa-apa.

Lalu lampu menyala. Matanya langsung disuguhkan pemandangan tidak biasa. Di sana, tepat di atas tempat tidur, sedang terbaring pria yang berbicara dengan ibunya di video tadi.

Mata tajam milik pria itu dilindungi oleh alis dan bulu mata tebal. Hidung mancung, terpahat tanpa cela. Rahang itu juga sempurna. Sejenak, Hilda terkagum oleh pria di depannya. Namun, detik berikutnya tubuhnya menegang. Tiba-tiba saja, pria itu bangun dan mendorongnya sampai jatuh di ranjang.

"Sungguh mengecewakan! Lima miliarku terbuang sia-sia hanya untuk perempuan sepertimu."

Bersambung...

02

"Aku memberimu waktu tiga bulan. Selama tiga bulan itu kamu harus sudah mengandung anakku. Kalau tidak berhasil, aku akan memulangkanmu pada ibumu dan meminta uang kembali," kata Arash. Bibirnya membentuk garis lurus horizontal. Ekspresi wajahnya datar. Tidak tersirat perasaan apa pun di sana.

"Apakah aku hanya alat di matamu, Tuan? Alat untuk memproduksi anak?" Hilda bertanya dengan nada ketakutan yang kentara. Pasalnya, baru pertama kali dia berhadapan dengan pria yang luar biasa besarnya. Hampir tiga kali lebih besar darinya. Ditambah lagi, raut wahah arash terlihat begitu dingin. Terselip kekejaman yang kentara di sana. Hilda hampir saja jatuh terduduk saking takutnya.

Arash menutup buku yang sedari tadi dia baca dengan kasar. “Memang itu tujuanku membelimu, Nona."

"Kenapa harus aku?"

Arash terdiam beberapa saat, kemudian dia tertawa. "Pertanyaan yang cerdas. Tapi, kamu tidak perlu tahu alasannya. Cukup lahirkan saja seorang anak. Setelah itu kamu boleh pergi. Akan kuberi imbalan berkali-kali lipat dibandingkan yang ibumu dapatkan. Mengerti?”

Hilda mengangguk sebagai jawaban. Meskipun harga dirinya seperti sedang diinjak-injak, namun dia tetap mematuhi Arash. Toh, tidak ada gunanya juga dia berontak. Dia tidak punya siapa-siapa yang bisa dimintai pertolongan.

"Bagus!" Arash berdiri. Dia meraih jas yang tersampir di kepala ranjang dan memakainya. "Kita akan menikah siri minggu depan. Acaranya tertutup. Hanya akan dihadiri oleh dua anak buahku dan seorang penghulu."

"Tu-tuan Arash hadir?" Apakah ibuku tidak bisa...

Arash yang masih membelakangi Hilda berdecih. "Kamu masih mengharapkan kehadiran wanita itu? Sekalipun kamu tahu kalau dia sudah menjualmu tapi kamu masih menganggapnya ibu? Kamu ingin dia datang ke acara pernikahanmu?"

Laki-laki itu berbalik. Mata tajamnya berkilat merah. Arash mendekati Hilda dengan perlahan. Sol sepatunya beradu dengan lantai keramik. Bunyinya berhasil membuat nyali Hilda susut. Keringat dingin bermunculan di pelipisnya.

"Jawab aku Hilda, kenapa kamu mengharapkan kehadirannya?" suara bass Arash menggema di dinding kamar apartemen.

Hilda benar-benar ketakutan. Sifat Arash yang dingin, postur tubuhnya yang kelewat tinggi dan besar untuk ukuran pria Indonesia, serta suaranya yang dalam tapi penuh ancaman, membuat sekujur tubuh Hilda gemetaran. Jika kedua pria yang membawanya tadi tidak mengatakan bahwa Arash adalah CEO paling kaya di negeri ini, Hilda sudah beranggapan kalau Arash adalah ketua mafia.

"Kenapa diam?" tanya Arash lagi.

Hilda tiba-tiba menegang. Pasalnya, dada bidang Arash tepat di depan matanya. Bau mint menguar cukup kuat dari sana. Hilda memejamkan mata dan menghirup udara berbau mint itu dalam-dalam. Menenangkan. Di balik ketakutannya pada Arash, ternyata pria itu mampu memberikan rasa tenang.

Gadis itu kembali membuka mata. Dia mendongak dan tatapannya tepat menuju manik mata cokelat milik Arash. "Hanya ibu satu-satunya yang kupunya. Meskipun dia tega padaku, tapi aku tidak boleh membencinya. Bagiku, perjuangannya selama ini, dari mengandung sampai membesarkanku selama dua puluh tahun tidak sebanding dengan kejahatan yang sudah dia lakukan."

"Anak baik."

Hilda yakin Arash tidak sedang memujinya. Saat mengatakan itu bibir Arash menampikan seringaian penuh ejekan padanya. Arash pasti sedang meremehkan ucapannya.

"Kamu pantas membenci siapa saja, Hilda. Bahkan ibumu sendiri. Dengan membenci orang lain dan menyimpan dendam kamu akan tumbuh menjadi perempuan yang kuat. Siapa pun tidak bisa menyakitimu.”

"Apakah aku akan dapat kebahagiaan jika melakukan itu?"

Arash terdiam cukup lama sebelum menjawab, "Siapa yang peduli tentang kebahagiaan di zaman sekarang? Kamu kolot sekali." Arash tertawa kencang. Dia berjalan menuju pintu kamar. Sebelum membukanya Arash menoleh ke arah Hilda. "Aku akan pulang. Jangan berbuat yang merugikanku selama aku tidak ada di sini. Paham?"

"Baik, Tuan Arash."

"Di dapur ada Bi Ani. Dia akan tinggal bersamamu di sini. Kalau kamu mau sesuatu katakan saja padanya."

"Ya, Tuan."

"Selama terikat kontrak denganku kamu kularang pergi meninggalkan apartemen ini. Sekalipun alasanmu adalah membeli siomay di seberang apartemen, aku tidak akan mengizinkannya."

"Ah, satu lagi!" Arash tiba-tiba membalik badan. "Jangan coba berbuat macam-macam dengan tubuhmu. Apalagi rahimmu. Kalau sampai aku tahu kamu mencoba mengonsumsi obat-obatan demi kepentinganmu sendiri, ingat ini, Nona: aku tidak akan membiarkanmu melihat dunia. Aku perlu anak. Dan kamu adalah alat untuk memperoleh itu. Kamu rusak, maka kamu tidak berguna."

BRAK!

Pintu ditutup dengan kasar. Seketika kamar menjadi senyap. Hilda tertunduk. Tangannya meremas dada. Sakit di sana tidak terkira. Sesakit inikah tidak dianggap sebagai manusia oleh semua orang? Ibu yang menjualnya seperti menjual barang dagangan. Para tetangga menganggapnya boneka sehingga mereka bebas melakukan apa pun untuk menyakitinya. Lalu Arash... pria itu sama saja. Bagi Arash, dirinya hanyalah alat untuk mencapai keinginan.

Hilda jatuh terduduk. Bahunya bergetar hebat. Sejak kecil impiannya hanya satu. Dia ingin kehidupan yang adil. Tempat di mana dia bisa menapakkan kaki tanpa takut di-bully. Tempat di mana dia bisa tinggal tanpa diskriminasi. Tempat yang benar-benar aman dan menganggapnya manusia. Di mana? Sepertinya semua tempat di bumi penuh dengan orang-orang sempurna. Mereka tidak menerima Hildaa dan ibunya. Wanita penghibur dan anak yang lahir akibat pekerjaan haram itu, apakah mereka membawa malapetaka?

"Ibu... kenapa ibu tega menjualku? Apakah aku beban bagimu?" Hildaa berbicara di sela isakannya. Sungguh, dadanya sesak. Bernapas pun rasanya susah sekali. Jika bisa, dia lebih memilih mati.

Pintu kamar terbuka. Lalu Hilda merasa tubuhnya di bawa ke sebuah pelukan hangat. Punggungnya diusap pelan, memberikan rasa tenang. Hilda mendongak. Matanya berserobok dengan sepasang mata hitam milik wanita paruh baya. Wanita itu tersenyum sambil mengusap air mata Hilda.

"Nona yang sabar, ya. Tuan Arash memang seperti itu," katanya, mencoba menghibur Hilda.

"Bi Ani?" tanya Hilda. Meyakinkan dirinya kalau wanita di hadapannya sekarang adalah wanita yang dimaksud Arash.

"Saya, Nona. Apa pun yang Nona perlukan jangan sungkan mengatakannya kepada saya."

"Aku ingin pulang." Bertetes-tetes air mata kembali jatuh dari kedua mata Hilda. Dia membenamkan kepalanya ke dada bi Ani. Entah kenapa pertama kali melihat wanita paruh baya ini Hilda merasa seperti bertemu keluarga. Bi Ani sanggup membuatnya nyaman. Dekapan Bi Ani benar-benar hangat. Hilda tidak pernah mendapatkan dekapan sehangat ini dari ibunya.

"Untuk saat ini pulang bukanlah pilihan yang tepat, Nona." Bi Ani masih membelai punggung Hilda. Mencoba membuat gadis itu tenang dan sepertinya perbuatannya membuahkan hasil.

"Turutilah semua perintah tuan Arash. Meskipun sifat beliau menunjukkan, tapi jika tuan Arash sudah menyukai sesuatu yang beliau cintai dan cintai sepenuh hati."

"Apa maksud Bibi?" Hilda tertegun.

Bi Uni tersenyum penuh arti sebelum berkata, "Tuan Arash sangat menginginkan anak. Sudah tujuh belas tahun usia pernikahan beliau dengan Nyonya Mila, tapi tidak pernah sekali pun Nyonya Mila menunjukkan tanda-tanda kehamilan."

Mata bulat Hilda mengerjap cepat. Tercengang dan tidak percaya mendengar penuturan bi Ani.

"Ma-mandul?"

Bi Uni menggeleng. "Baik tuan Arash maupun Nyonya Mila, keduanya tidak mandul."

"La-lalu ke-kenapa?"

Bahu bi Ani terangkat perlahan sebagai jawaban. "Tidak ada yang tahu kenapa itu bisa terjadi. Jadi, tugas Nona adalah melahirkan penerus untuk tuan Arash. Siapa tahu berkat anak yang Nona kandung nanti, Tuan Arash akan berbalik menjadi menyayangi Nona."

Ya, melahirkan anak untuk Arash. Terima kasih kepada wanita paruh baya ini karena sudah menyadarkan Hilda tentang arti keberadaannya di apartemen mewah ini. Dia hanyalah alat penghasil anak untuk menjadi penerus bisnis keluarga Arash. Membuat Arash menyayanginya adalah hal mustahil. Hilda percaya pria itu tidak akan bisa memberikan kasih sayang padanya. Sedikit pun.

Bersambung....

03

Tidak ada yang istimewa di hari pernikahan Hilda. Tidak ada pelaminan megah. Tidak ada riasan di wajahnya. Tidak ada gaun pengantin yang indah. Tidak ada kerabat dekat yang hadir. Acara pernikahannya tertutup. Bukan, ini bukan tertuturp. Ini adalah rahasia. Dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Seolah-olah akan muncul perang dunia jika ada yang tahu tuan Arash menikah siri.

Mungkin perang memang akan terjadi kalau sampai Nyonya Mila tahu suaminya menikah hari ini. Menurut penuturan bi Ani, nyonya besar tidak tahu apa-apa. Arash tidak memberitahu perihal pernikahannya kepada pihak keluarga. Hilda merasa menjadi wanita simpanan alih-alih istri. Keberadaannya tidak diakui siapa pun. Lalu ... apa yang dikatakan Arash kepada nyonya Mila jika Hilda berhasil melahirkan anaknya?

Lamunan Hilda buyar ketika bi Ani menyenggol bahunya. Dengan kening berkerut Hilda menatap bi Ani. Bertanya, “ada apa" lewat tatapan matanya.

“Ijab kabul sudah selesai. Kalian sudah sah menjadi suami istri. Datangilah suami Nona. Cium tangannya sebagai tanda bakti. Nona sudah seratus persen menjadi milik tuan Arash."

Hilda menurut. Dengan langkah pelan, dia menghampiri Arash. Pria yang sudah sah menjadi suaminya itu terlihat sedang menyalami penghulu. Arash merogoh saku dan mengeluarkan amplop tebal dari sana. Langsung diberikan kepada penghulu dan diterima dengan gembira oleh pria yang menikahkannya tersebut.

Sepeninggal penghulu, langkah Hilda semakin melambat. Kakinya seolah menapak di lumpur sehingga langkahnya menjadi begitu berat. Namun akhirnya Hilda sampai juga di tempat Arash berada, di teras apartemen. Menggigit bibir, gadis itu berpikir topik apa yang ingin dia angkat untuk mencairkan suasana.

"Ma-mas Arash...," panggil Hilda pelan.

Arash berbalik. Dia menunduk karena perbedaan tinggi badan mereka sangat jauh. Matanya yang semula berbinar ramah sekarang berkilat merah. Rahangnya mengeras. Dan, detik berikutnya dia mencengkeram dagu Hilda. Menarik dagu kecil itu agar sang empunya mendongak.

Pandangan keduanya bersinggungan. Hilda dengan tatapan sendu penuh luka harus disakiti lagi dengan tatapan jijik Arash. Untuk kesekian kalinya Hilda harus tersakiti. Secara fisik dan batin.

Dulu, Hilda selalu mengkhayalkan kehidupan yang indah jika suatu saat dirinya menikah. Saling melontarkan cinta penuh cinta antara dirinya dan pendamping hidupnya. Menghabiskan hari demi hari dengan obrolan penuh tawa. Terlibat konflik kecil yang menyenangkan dan sanggup mempererat hubungan. Sayangnya, khayalannya harus ditelan bulat-bulat oleh kenyataan.

Hilda yakin selama pernikahannya dengan Arash -entah seberapa lama itu- hanyalah luka dan penghinaan yang dia dapatkan. Tidak ada kasih sayang di mata Arash. Hilda sangat yakin Arash tidak menganggapnya sebagai istri walaupun mereka sudah menikah. Arash bisa saja langsung menidurinya tanpa perlu menikahinya. Tapi, mungkin Arash tidak mau anaknya dikenal sebagai anak haram nantinya.

"Ma-mas Arash mau mandikah? Sa-saya akan menyiapkan air hangat.”

"Jangan sok akrab sama saya," kata Arash dengan angkuh. Dia menyentak dagu Hilda cukup kuat sehingga gadis itu terhunyung.

"Jangan panggil saya dengan sebutan itu! Saya jijik. Hanya istri saya yang boleh memanggil saya dengan sebutan Mas'."

"Ta-tapi a-aku juga istri Mas Arash, kan?”

"Cuih!" Arash membuang muka. "Sampai kapan pun saya nggak akan sudi mengakui kamu sebagai istri! Jangan besar kepala, Hilda. Istri saya cuma satu, Karmila Edelwis! Jangan harap kamu akan dapat tempat di hati saya. Kamu hanyalah alat untuk melahirkan anak saya. Camkan itu di kepala kamu!"

"Ka-kalau cuma sebagai alat saja ... kenapa Tuan tidak mencari perempuan lain?" Hilda tahu pertanyaan ini hanya mengundang murka. Tapi, dia tidak sanggup lagi memikirkan apa alasan Arash sebenarnya. Masih banyak perempuan di luar sana yang rela menjadi simpanan, istri siri, pacar, atau apa pun yang Arash inginkan. Lalu kenapa Arash memilih dirinya? Gadis yang lahir dan hidup di kelas rendahan.

"Saya sudah bilang kalau kamu nggak perlu tahu alasannya, kan?! Kamu lupa? Perlu saya apakan supaya kamu selalu ingat dan berhenti menanyakan itu ke saya, ha?!"

"Aku ... cuma ingin tahu saja, Tuan."

Arash meremas rambutnya sendiri lalu mengerang keras. Sepertinya kesabarannya sudah habis karena menghadapi Hilda. Atau dia memang tidak punya kesabaran dalam menghadapi gadis malang ini. Setiap kali melihat Hilda yang Arash rasakan hanya kebencian dan rasa jijik.

"Kamu tahu, Hilda, sekarang saya merasa dirugikan sudah membeli kamu. Saya semakin merasa rugi jika mengembalikanmu. Kamu itu nggak lebih berharga dari uang lima miliyar saya. Harga kamu lebih murah dari itu."

Perkataan Arash berhasil mengusik emosi Hilda. Tangannya terkepal kuat dan wajahnya merah padam. Dia maju mendekati Arash lalu dengan berani dia menampar pria itu dengan sangat keras. Telapak tangannya terasa kebas. Tapi, Arash sepertinya baik-baik saja.

"Kalau Tuan sebegitu bencinya dengan anak yang lahir dari rahim wanita penghibur, kenapa Tuan mau membeliku?! Daripada Tuan hidup dengan aku yang menjijikkan ini kenapa Tuan tidak mencari wanita lain saja?! Pasti banyak wanita dari kalangan atas yang suka rela mengandung anak Tuan. Lalu kenapa harus aku?! Aku hidup bukan untuk dijadikan alat untuk menghasilkan keturunan. Saya hidup bukan untuk dihina oleh Tuan atau orang lain!"

Selama mengeluarkan isi hatinya, selama itu juga air matanya tidak berhenti mengalir. Mati-matian Hilda berusaha agar suaranya tidak bergetar apalagi sampai terbenam oleh isakan yang memilukan.

"Kamu berani meneriaki saya? Atas dasar apa kamu meneriaki saya? Lupa siapa dirimu sebenarnya?" Suara bass Arash terdengar dalam dan mengerikan. Tapi, Hilda tidak gentar sedikit pun.

"Ya, Aku berani meneriaki Tuan! Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan untuk membela diri yang Tuan hina habis-habisan! Tuan yang menghinaku ini sebenarnya tidak lebih baik dari aku yang Tuan hina!"

"Kurang ajar!" Arash mencengkeram leher Hilda sambil mendorong tubuh mungil itu sampai membentur dinding. Pria itu semakin kuat mencengkeram leher Hilda saat melihat istri keduanya itu kesulitan bernapas. "Lihat, kan? Kamu terlalu lemah untuk melawan saya. Jangan memancing kemarahan saya kalau kamu masih mau melihat dunia.”

Arash masuk ke apartemen sambil membanting pintu. Meninggalkan Hilda yang berdiri mematung dan menggigit bibirnya sampai memutih. Perlahan, badannya merosot. Akhirnya terduduk di teras yang dingin. Hilda menekuk kaki dan meletakkan kepala di antara kedua lututnya, menyembunyikan air mata yang tidak berhenti mengalir.

Pintu apartemen kembali terbuka. Hilda kira Arash akan melemparkan barang-barangnya, menyuruhnya angkat kaki. Arash pasti menceraikannya setelah satu jam resmi menjadi suami istri. Namun, Arash ternyata salah. Bi Ani memanggil namanya dengan lembut. Lalu membawa tubuhnya agar berdiri.

"Sudah sore. Nona tidak boleh berada di luar. Nanti sakit."

Hilda menepis tangan bi Ani yang bertengger di bahunya. "Biarkan aku sakit, dengan begitu aku semakin dekat dengan kematian."

"Husss! Nona ini bicara apa ngomongin kematian. Nggak boleh"

"Mau hidup ataupun mati nggak ada yang peduli juga, Bi." Hilda berjalan menjauhi pintu apartemen. Bermaksud masuk ke lif lalu lari dari apartemen yang seperti neraka ini.

"Nona? Nona mau ke mana? Cepat masuk ke apartemen sebelum tuan Arash marah lagi." Bi Ani menarik tangan Hilda dan bermaksud membawanya kembali. Namun, Hilda menepis tangan wanita itu. Dia berlari kencang, sampai di depan pintu lif, dia menekan tombolnya secara membabi buta.

"HILDA CHANTIKA!"

Hilda semakin panik. Suara Arash menggelegar memenuhi koridor. Dikarenakan pintu lif yang tak kunjung terbuka, Arash segera berlari menuju tangga darurat. Baru beberapa anak tangga dilewatinya, Arash berhasil menyusul. Tangan Hilda disentak ke belakang. Tubuhnya oleng, membentur dada bidang Arash. Hilda berontak dan berhasil melepaskan diri. Sebelum sempat kembali berlari menuruni tangga, tengkuknya sudah dipukul dengan agak keras. Sontak, kepalanya menjadi pusing. Detik berikutnya dia jatuh tak sadarkan diri di pelukan Arash.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!