Manusia merasa perlu mengembangkan sihir, memperluas cakrawala pengetahuan mereka. Begitu banyak teori dan asumsi terlahir. Perkembangan zaman terlihat, pada tahun 2004 keberlangsungan hidup mahkluk berakal budi, yang telah menguasai mahkluk lain di dunia terancam rembas tak tersisa.
Prolog awal kisah pahlawan mulai bermunculan, tapi begitu serau tak sempurna bagai jahitan yang tidak pernah rapi. Walaupun jauh lebih lama dari dugaan, sang pahlawan kembali dari dunia nan jenjam, menentang segala kemalaman sunyi dunia sekarang.
Tubuh meraksasa memicu naluri alami manusia ketakutan, hingga dia membuat semua orang menjerit-jerit dan lari terpontang-panting menjauh dari tempatnya berada. Secepat apapun manusia melarikan diri mahkluk itu memanggil kesepian.
"..."
Di belakang benda mati itu terdapat gapura besar, itu mengeluarkan banyak-banyak benda mati bergerak yang mengancam kehidupan yang tak ada di planet ini. Akibatnya langit biru bertukar ungu dan kota Loka diambil alih, dengan mudahnya semua warga terbunuh dalam satu tembakan cahaya tanpa sedikit pun bekas penggunaan energi sihir.
"Lekaslah terima undangan maut dariku," ucapnya.
Remaja berambut hitam dengan mata merah itu memekik keras sembari mengayunkan pedang, dia menjejak tanah dan bersikap akan memasuki jangkauan musuh. Dia memelesat cepat hingga menerbangkan benda-benda kecil di sekelilingnya.
Robot kecil menembakkan peluru terdorong akibat pukulan pahlawan, pedang yang terbungkus api memotong tiga tubuhnya. Tak lama rekan-rekan lawan berdatangan mengepung dari segala arah.
"Mari kita lihat apakah kalian bisa mati.." ujar remaja ini seraya menarik napas.
Lelaki itu memukul pijakan kakinya. Tanah segera bergetar, layaknya gempa bumi, retakan tanah meruak dan melebar. Kumpulan mahkluk kerdil hijau tersebut berjatuhan ke jurang tersebut, tanpa tersisa ampun dia menutup kembali tanah.
"Bolide.." ucapnya.
Dia melemparkan sebuah bola api seukuran kepalan tangan ke arah robot, robot yang terkena serangan itu berbalik badan. Perawakan serupa ialah manusia setengah banteng, membuat raut muka remaja ini jengkel dan ia menghunuskan pedangnya.
"Terdeteksi musuh. Mengaktifkan kembali mode penyeru Kesepian.." katanya dengan suara bergema bagaikan dalam goa.
"Gegana Kecil.." kata pahlawan melepaskan tegangan listrik merah dari ujung pedangnya. Dia melompat ke udara dan membekukan waktu semasih belum ia mengayun pedang dalm gerakan memukul bola golf.
Robot ini mengeluarkan suara decitan saat sesudah pahlawan mencabut senjatanya kembali. Pahlawan memperoleh segerombolan tengkorak hidup, helaan napas keluar dan dia mengambil segenggam batu kerikil. Bersiap akan melempar seperti pelempar bola.
Belasan batu terpelanting jauh, diselimuti api biru membara menghancurkan tengkorak-tengkorak itu sekali tembak. Lawannya berpuluh-puluh, tetapi dia masih mampu menggenggam pedang, meskipun mati nyaris mengundangnya ia bersikukuh menolak.
"Hmm? Kau datang.. peneliti."
"Ya, tentu. Saya tidak akan mengingkari janji meski janji itu dibuat dengan sang pahlawan.." ucapnya.
***
Tiap-tiap hari, waktu demi waktu sang pahlawan mengayunkan kaki serta senjata merencah bahaya nan ancaman. Sorak semarai tanda gembira warga kota diterima kesatria yang membusungkan dada, netra merahnya yang disambut masyarakat, malam kejayaan itu sungguh membekas pada ingatan.
Seantero negeri bercakap-cakap tentangnya, tiada gadis yang sukar menerima kehadirannya sebab ia bagaikan pemanggil ria. Dirinya menjadi kebanggan negri, satu dari sekian banyaknya perwira bentala dunia yang mengangkat pedang ke langit dengan pandangan mengangkasa menentang segala risiko.
Dia berjalan melangkah pasti mendengar orang-orang membicarakan tentangnya. Anak-anak mengawali hari menunggu dia lewat, melambai dan tersenyum depan sekolah. Senantiasa muka riang gembira itu buat mereka mendambakan hero.
"Pak, mengapa kita harus melewati sekolah ini terus? Ada jalan lain yang lebih cepat."
"Jangan bodoh. Kesatria berikutnya bisa ditentukan oleh masyarakat, pada waktu dekat, anak-anak yang mengagumi dirimu akan memilihmu.." jawabnya.
"Selama itu bisa membuat Hurip menjadi pahlawan, hal semacam ini mungkin ... Baik .." ujar Hurip.
Hurip turun dari kereta kuda. Dia menaikan pandangan dan menemukan sekolah besar, sekolah khusus Sahir, ini bukan akademi biasa. Melainkan lembaga pendidikan mengajarkan keturunan Sahir, mereka yang bisa menggunakan sihir dididik di tempat ini.
"Mengajarkan cara bertarung," batin Hurip.
Darah menitik, mengalir serupa air mata yang telah lama kering mengirat. Pahlawan mengembara bertujuan mencari sumber air, dimanakah mata air yang dapat mengalirkan air dari pelupuk matanya? Sampai titik ini pun sang kesatria kuat ini kesukaran menjumpai tempat semacam itu pada bumi ini.
Pada akhirnya, sang kesatria menantang semua marabahaya hingga lejar dan peluh mencicik dari dahi bersamaan napas memburu keluar disertai senyum tipis. Sebabnya satu, hajat untuk kesedihan bertamu kepadanya dan menikmati momen itu.
"Mengapa Hurip menerbitkan ingatan kelam?" Batin Hurip yang kini berjalan menyusul pria itu.
"Pilihlah sesukamu. Gadis juga boleh, loh."
"Pak. Hurip harap dapat Sahir yang berguna," ujar Hurip mencuaikan perkataannya.
Dikenal selaku kesatria di tanah air, pahlawan dari banyaknya pahlawan dan perwira dunia. Hurip memejamkan mata dan berkata, "pahlawan?" Anak remaja sok kuat ini tersenyum kecut. Dia alat pembunuh, pelindung semua orang dan budak keadilan yang tiada pernah diharapkan olehnya.
"Mereka memiliki nilai paling bagus," ucap pengajar sekolah ini tersenyum kecut.
"Disini ada yang mampu menggunakan Bolide?"
"Cih! Jangan anggap kami anak SD, dasar manusia kasta rendahan.." ujar seorang siswa. Hurip bereaksi terhadap ucapannya hanya menghela napas.
Siswa itu mengulurkan tangan. Dia melemparkan bola api kecil, Bolide seukuran kelereng ditepis Hurip dengan remehnya. Ketika dia merasa dipermalukan, siswa-siswi lain ikut melepaskan sihir, meskipun hal sama terulang kembali walau ada sedikit perbedaan.
"Apakah Hurip boleh..." Sebelum menyelesaikan kalimatnya dia berhenti dan membatin, "tak masalah jika dikeluarkan.. lakukan sesuka hati saja."
"Hurip jangan berlebihan," Ujar pria yang bersamanya.
Hurip menggunakan satu jari untuk menyembulkan api keluar dari ujung jari telunjuk, api itu membesar hingga berukuran bola basket. Bolide itu terpelesat sangat amat cepat sampai semua orang bereaksi lambat, sebelum satu ruangan ini terbakar.
Siswa sombong pertama dicekik Hurip, Hurip mulai mengintimidasi dirinya dengan mengangkatnya ke udara setelah mencampakkan dirinya pada keramik lantai. Netra merahnya bersinar, saat mata lawan menjumpainya, kontak mata itu memberi ketakutan.
"Nah siapa selanjutnya?" Hurip melangkah menuju siswa lain dan bertanya, "kau?"
"Maaf.. ampuni aku...!"
"Kau?" Tunjuk Hurip menuju siswa lain. Sesudahnya keseluruhan murid kabur dari ruangan, kecuali korban pertamanya yang pingsan dan seorang gadis tengah gemetar ketakutan. Dia berusaha mendekati Hurip, tapi Hurip seolah-olah tak mengizinkannya.
"Sebutkan namamu," titah Hurip. Hurip menunggu dia membuka mulut tetap bergeming tanpa tanggapan.
Hurip kelihatan jengkel dan menemuinya, ketimbang menanti sesuatu yang tidak pasti. Dia menatap bila gadis ini memiliki kapasitas sihir kecil, walaupun dia memiliki keteguhan hati yang kuat, ia mampu untuk menahan sihir intimidasi miliknya.
Lelaki ini menarik pedang dari sarungnya. Candrasa miliknya bersinar terang, diikuti api memutari tangan Hurip, Hurip memukul muka gadis ini ketika dirinya hendak membuka mulut. Merasa dipermainkan oleh perempuan ini, Hurip mendaratkan pukulan.
"A-A-Alianty! Itu namaku ..."
Sesudah dia terpojok disudut ruangan, Hurip tidak sungkan menodongkan senjata kepadanya. Hingga para guru di tempat berniat turun tangan, tetapi karena Hurip sadar akan hal itu, buru-buru melakukan ayunan pedang dari atas turun ke bawah.
Alianty sama sekali tidak menjerit maupun merintih kesakitan, kekuatan regenerasi beserta pereda rasa sakit aktif. Menyaksikan kemampuan ini Hurip tampak senang. Dia merekrut gadis ini menjadi rekan barunya untuk melakukan tugasnya.
"Hurip. Apa kamu yakin? Menurut para pengajar di sekolah ini gadis itu paling lemah.." ucapnya.
"Komandan. Hurip tahu apa yang sedang dilakukan di masa yang akan datang," jawabnya.
Komandan tersenyum tipis sembari mengangguk-anggukkan kepala. Dia melihat langsung muka Hurip, wajah layaknya penjahat itu semakin menjadikannya serupa preman. Dari pilihan keponakannya ini buat dirinya tahu alasan Hurip memilih Alianty.
Strategi ini kadangkala digunakan pada zaman saat Sahir dianggap sebagai awal dari pertempuran robot, sebab dikira memanggil pintu dunia lain. Sahir yang ditangkap akan dilepaskan oleh kesatria bagaikan umpan pancingan, musuh yang bersembunyi disarang kan naik ke daratan mendeteksi Sahir, karena mereka punya hubungan.
"Jikalau Hurip sedikit mengutamakan nyawa orang ketimbang tugasnya. Ini akan lebih mudah," batin pria ini sedikit menyesali sesuatu. Terlihat di raut wajah ketika dia memikirkan hal tersebut dalam pikirannya.
"Pak, kita melewati titik lokasi!" Kata Hurip buru-buru menendang pintu kereta. Dia melompat keluar paksa berguling-guling di jalanan sebelum berhenti.
Hurip bangkit, dia menyembuhkan lukanya memakai sihir Penyembuhan, cahaya hijau muncul dan mengitari daerah lukanya. Selagi dia menyembuhkan diri, dia menjumpai seekor kadal besar, dengan satu perbedaan yang mencolok dari kadal robot lainnya.
Musuh ini memiliki kebiasaan menunggu mangsa di tempat persembunyiannya, lalu ketika kendaraan manusia lewat, dia akan mengejar dan menginjaknya hingga hancur. Kemudian memakan mayat manusia dalam kereta, karena Hurip melompat, dia tidak mengejar kereta kuda dan keluar dari sarangnya.
"Jangan meraung-raung," ucap Hurip berlari kencang menemui mahkluk ini.
Hurip menghunuskan pedangnya. Dia menebas mata kadal, setelah mendapatkan luka, monster kadal tak diam dan membalas serangan. Ekor yang panjang itu bertugas layaknya cambuk, yang telah mencambuk Hurip, karenanya Hurip terpelanting jauh.
Sayangnya sebab kecepatan Hurip sungguh amat luar biasa diluar nalar cepat, seolah-olah bayangan miliknya yang terkena serangan. Justru Hurip telah sampai dekat kadal, dia mengayunkan pedang secara horizontal, memotong kaki kiri kadal.
Hurip bersiah, menepi ke tempat lain ketika ekornya menjadi cambuk lagi. Helaan napas ikut hadir saat komandan kembali dengan mobilnya, dia melompat keluar, sebelum kuda menabrak kadal besi.
"Apa bapak sebelumnya melamun?" Tanya Hurip.
Komandan tersenyum masam dan tersenyum hampa sebelum tertawa, lalu berkata, "haha mana mungkin."
Mereka melihat bahwa mahkluk ini masih hidup dan murka kepada mereka. Hurip bertindak cepat, dia mengentakkan kakinya ke tanah, seperti sedang memanggil sesuatu. Tidak berlangsung lama muncul dinding batu tumbuh dari tanah.
Bertepatan dengan kadal monster menyemprotkan cairan hijau keluar dengan cepat. Untung saja Hurip menyadarinya dari awal, pengalamannya melawan monster benar-benar menyelamatkan nyawa orang lain tanpa disadarinya. Meskipun dia tidak berniat tuk menyelamatkan manusia disekitarnya.
"Komandan baik-baik saja?" Tanya Hurip.
"Bagaimana kamu bisa tahu bila mahkluk itu akan menyerang. Saya sama sekali tidak paham," ujarnya.
Hurip tak mengatakan apa-apa, selain dirinya akan menuliskan ciri-ciri monster kadal menyerang mangsa mereka. Ketika kadal besar kelihatan mulai gelisah, dengan tanda-tanda kepalanya bergetar, dia akan menyemburkan cairan hijau semacam racun yang membuat manusia berbintik-bintik lalu mati.
"Komandan. Sebaiknya Anda sesegera mungkin tuk pergi jika memungkinkan," kata Hurip tanpa melihat lawan bicaranya seinci sekalipun.
Pria ini hanya bisa mengangguk. Dia menjauh dari tempat mereka berdua. Keduanya pun mulai saling menatap, baik manusia maupun monster, mereka menunggu momentum yang tepat. Meskipun begitu Hurip kesal menunggu dan berlari.
Remaja ini melangkahkan kaki, disetiap langkahnya tidak menjejak tanah. Debu-debu berterbangan akan bukti kecepatannya yang luar biasa. Waktu seolah-olah memberinya otoritas, gerakannya mengalahkan kadal besar menyemburkan cairan kembali.
Hurip mengayunkan pedang, tebasan sejajar ke atas membelah dua kepala monster kadal. Dia terlihat keras bahkan setelah mati, muncul lampu merah di sekujur tubuhnya, buru-buru Hurip melompat seraya menggunakan sihir pelindung dari ledakan.
"Dari dulu Hurip benci ledakan," batinnya.
Remaja ini menghirup udara sebanyak mungkin hingga kedua bibinya seperti menggembung, penuh akan angin. Setelah belasan detik Hurip menahan napas, dia menyemburkan angin kencang panas ke lawan membuat seonggok besi itu terbakar habis.
"Komandan. Semua sudah selesai," ujarnya memakai sihir telepati.
Mereka berjalan menyusuri jalan dimana tempat ini memiliki banyak kedai dan pedagang kaki lima, Hurip melirik ke berbagai arah, menjumpai banyak orang memperhatikannya. Bertepatan ketika Hurip melewati satu kedai seorang anak kecil meneriakkan namanya dan melambai-lambai.
Hurip menoleh dan membalas lambaian tangannya, pada saat inilah ia kebingungan harus menampilkan raut wajah apa. Masyarakat telah menganggap dirinya sebagai pahlawan. Mereka beranggapan bila tentara tidak becus, biarpun begitu Hurip tak berpikir sama, justru mereka lebih baik darinya jika lawannya sepadan dan memiliki senjata yang menyamainya.
"Tersenyumlah, kamu senantiasa membalas seruan anak-anak dengan lambaian tangan saja. Ramahlah sedikit," perintah pria di hadapannya.
"Komandan.."
"Panggil pak Ria saja," ucapnya menyela perkataan Hurip. Dia memberhentikan langkah dan berkata, "ini tempat dimana kamu akan mengetes kemampuan mereka berdua pantas atau pun tidak jadi rekanmu."
"Mereka? Hurip hanya merekrut satu orang," batinnya Hurip menerka-nerka siapa yang dimaksudkan oleh pak Ria kepadanya barusan.
Mereka memasuki sebuah bangunan, langsung Hurip menjumpai seorang remaja laki-laki sedang melahap kudapan. Dengan penampilan ala-ala pereman jalan yang norak, pikir Hurip. Mereka pun saling menatap sebelum Hurip lebih mendekat menemui dirinya.
Mata Hurip langsung menilik ke penampilan beserta luka-luka itu. Segera saja Hurip tahu jikalau orang ini mungkin memiliki gaya bertarung, yang diasah pada medan pertempuran langsung, ketimbang belajar ilmu bela diri atau semacamnya. Autodidak berilmu pada pengalaman dan kekalhan dalam pertarungan.
"Senjata apa yang bisa kau gunakan?" Tanya Hurip memperhatikan sekujur tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki sambil menunggu jawabannya.
"Hurip. Pak Ria memilihnya karena dia mampu untuk memakai banyak macam senjata," kata pak Ria.
"Hurip bertanya kepadanya!" Batin Hurip sebelum dia menghela napas dan berkata, "nah sekarang jawab pertanyaan Hurip terlebih dahulu semasih belum ..."
Hurip menghentikan lisan ketika dia menunjukkan kartu identitasnya. Dia bernama Azka ini membuang muka, sementara Hurip pergi angkat kaki, disusul oleh pak Ria yang pamit terlebih dahulu pada Azka dan keluar dari ruangan mengikuti langkahnya Hurip.
Azka melihat ke belakang. Jikalau sihir pengintai masih hidup, dia menyimpan tangan di atas kepala, lalu kedua matanya terpejam. Tentu baginya tempat yang bertujuan untuk latihan ini cocok bagi alat yang dimaksudkan berkomunikasi dengan seseorang.
"Sepertinya gw bakalan masuk satu tim dengan target kita.." kata Azka dalam hati sembari menekan tombol di alat komunikasi pada daun telinganya berbentuk serupa earphone tanpa kabel.
"Bagus. Tuntaskan pekerjaanmu hingga selesai, jadi seorang pembelot itu sulit.." jawab seseorang yang berkomunikasi dengannya lewat alat komunikasi itu.
Remaja laki-laki ini menyeringai lebar. Dia turun dari tempat duduknya, sesudah memputuskan percakapan, Azka menaruh senjata api miliknya di atas meja dan menghela napas mengingat dia perlu bersandiwara setelah sekian lama tidak melakukan hal semacamnya lagi.
Hutan Sesat, merupakan sebuah hutan belantara yang mampu menyesatkan mahkluk hidup selain penduduk murni. Hurip telah lama mengenal orang-orang yang hidup di perkampungan, di tengah tempat ini, mereka sangat pandai dengan sihir dan mengelola energi sihir kental yang jarang ada.
"Lu bilang penduduk asli di hutan ini mempunyai energi sihir kental?" Tanya Azka tanpa menolehkan kepala pada Hurip.
"Mereka pandai mengelolanya, bukan memiliknya, karena di hutan ini energi melimpah hingga membuatnya kental. Meski aku ingin mengkristal saja agar mudah dibawa," ujarnya sedikit mengeluh.
Energi sihir memiliki banyak macam, diantaranya ialah energi sihir kental. Tidak seperti kebanyakan sihir, seluruh sihir yang tercipta akan lebih kuat dari daya serangan sihir penyerang. Bahkan pengguna pedang yang mengutamakan sihir pendukung dapat lebih kuat jikalau menggunakan energi sihir kental.
Sewaktu sedikit melewati hutan, mereka bertemu dengan sekumpulan tengkorak hidup pemanah dan pemegang pedang. Hurip tidak menghunuskan senjata, dia menyuruh Azka serta Alianty melawan musuh untuk melihat kemampuan keduanya.
"G-Gimana ini? Aku nggak bawa senjata," kata Alianty terlihat sangat panik.
"Lu itu gimana sih, cewek beban!" Ujar Azka tampak jengkel melihat keberadaan gadis ini.
Azka berlari ke depan, dia melompat memasuki jangkauan lawan. Sebelum tengkorak pemanah menarik busur. Azka mendaratkan pukulan, lalu dia memakai sihir tanah, yang menciptakan tanah jadi lembek layaknya lumpur penghisap.
Hatma melihat jika Azka membawa dua belati dan sepasang dua pedang. Namun, dia lebih memilih memakai tinju ketimbang senjata, disebabkan lawan lemah terhadap serangan senjata yang papak pada ujungnya maupun semacam pukulan.
Terlebih lagi dia menggunakan sihir tanah, yang buat lawan mengendap masuk ke dalam tanah dan membuat lawan tak sanggup mengangkat senjata. Sehingga Azka hanya perlu menyerang mereka satu-persatu sampai mereka semua mati.
"Ketua, gue boleh ambil semua kepala tengkorak ini untuk dijual? Gue butuh duit soalnya.."
"Tidak apa-apa. Kalian bebas mengambil semua yang bernilai di hutan ini, asalkan kalian yang membunuh atau mengambilnya," ujar Hurip menatap wajah Alianty yang tengah ketakutan.
Mereka melanjutkan perjalanan, disaat waktu telah mencapai sekitar dua jam lebih. Hurip tersenyum kecil, lalu menggunakan sihir angin, melantingkan jauh-jauh mereka berdua memasuki hutan membuat mereka berdua terjatuh ditempat yang sangat asing.
Sebelum menghantam tanah, Azka menggunakan sihir angin untuk memperlambat kecepatan jatuhnya dan menciptakan air dimana dirinya jatuh ke dalam kubah air. Meskipun bajunya basah kuyup. Dirinya tau jika Hurip mungkin sengaja melakukan ini.
"Jika gue nggak salah. Monster hutan Sesat ini bisa mencium bau dari jarak ratusan meter, terlebih lagi baju gue yang basah dan darah Alianty pas membuat monster mudah menemukan kami.." batin Azka.
"Aww.. sakit banget," lirih Alianty mencoba bangkit dari tempat duduknya. Sementara Azka melihat bila kemampuan regenerasi miliknya sangat luar biasa.
Seolah-olah tidak peduli sebanyak apapun luka yang diberikan, Alianty akan bertumpu pada kedua kakinya kembali, membuat bulu kuduk Azka merinding untuk menjadikannya sebagai musuh sewaktu membayang di pikiran. Sebelum mereka saling menatap satu sama lain, suara semak-semak tertangkap telinga.
Monster-monster pemakan manusia berdatangan ke sekeliling mereka. Mencium bau darah, beserta merasakan energi sihir dari air yang tercipta. Buatnya tidak menyukai Hurip, sementara Alianty berupaya untuk melontarkan sihir kilat pada monster.
"Jangan membuat api yang akan menarik perhatian lebih banyak monster," ucap Azka melemparkan pedang cadangannya pada Alianty.
Sebelum monster menerkam mereka, keduanya tak mencari jalan keluar, melainkan berusaha menjumpai tempat luas. Sedangkan Hurip mengikuti kedua remaja itu. Dalam perjalanan, Azka melihat bila ada seekor monster yang menghalangi jalannya.
"Cih!"
Azka mengulurkan tangan dan menciptakan sebuah pedang dari tanah, ujungnya menyembulkan petir membuat Hurip cukup kagum. Dia menggabungkan sihir tanah dan petir, bagi monster slime raksasa itu seperti sebuah kematian instan.
Petir yang dikeluarkan Azka bukan sembarang sihir, sebab itu ialah listrik pengganggu gerakan yang akan membuat lawan mengeras. Lalu, pedang tersebut berperan untuk menghancurkan lawan yang telah mengeras layaknya sebuah tombak.
"Sejak tadi Alianty belum menggunakan sihir apapun dan hanya mengikuti Azka," batin Hurip.
Selepas sampai ditempat terbuka, tidak ada monster apapun yang menyambut, sementara mahkluk yang sedari tadi mengikuti mereka mengurungkan niatnya begitu melihat cahaya matahari. Monster yang sudah terbiasa ditempat gelap semacam hutan ini akan enggan pergi tuk menemui sinar matahari langsung.
Pohon-pohon lebat nan besar, menyulitkan cahaya matahari masuk lebih dalam hingga membuat hutan menjadi seakan-akan malam hari. Azka tahu bahwa manusia maupun mahkluk lain, akan enggan ataupun sulit mencapai tempat asing, meskipun depan mata.
"Apa yang--!"
Tiba-tiba Alianty menendang Azka, hingga terpental cukup jauh dan membentur pohon. Begitu dirinya mengangkat pandangan, gadis itu tengah melawan mahkluk raksasa sekitar dua meter ukurannya. Serta Hurip membantu monster dari udara.
"Azka, kau memiliki cakrawala pengetahuan yang begitu luas mengenai monster. Sayangnya, engkau berada di hutan ciptaanku.. tempatku menumbalkan calon-calon rekanku dan raksasa ini salah satunya."
"Pembuatan ulang mahkluk hidup?" Tanyanya Azka menampilkan wajah bermuram.
"Benar. Jiwa manusia itu sangat melimpah jikalau aku gunakan untuk persediaan sihir, apakah kau tidak pernah bertanya-tanya darimana energi sihir kental itu berasal? Bodoh sekali.." ujar Hurip menatap sinis.
Yang diketahui Azka hanyalah dia seorang pahlawan, dipuja-puja oleh masyarakat karena jasanya. Tempat ini justru membuktikan kebenaran dibalik nama pahlawan tersebut. Memicu murka Azka naik, dirinya menjejak tanah, menghancurkan tanah pijakannya.
Azka terpelesat bagaikan kilat, dengan kedua pedang ditangan, dia mengayunkan pedang kanan ke kiri sementara pedang lain sebaliknya. Hurip mudah untuk menghindar, melihat hal itu Azka membalikkan cengkraman dan melakukan tebasan berkekuatan tinggi dengan bilah terselimuti api hitam.
"Rekomendasi dari komandan tidaklah separah yang kuduga selama ini," ujar Hurip menatap api hitam itu.
"Sayangnya gue nggak bisa terbang, ketua.." jawab Azka turun dari udara. Sebelum kakinya menyentuh tanah, dia memutar tubuhnya sembari memperbesar cakupan lintasan pedang, raksasa yang tengah berurusan dengan Alianty tumbang terbelah jadi dua.
Hurip melepaskan sihir terbang dan turun menemui mereka berdua. Laki-laki ini mengetahui Azka akan cepat berkembang, sedang untuk Alianty, Hurip tidak tahu menahu soal kekuatan maupun sihirnya. Dari ucapan pengajar sekolah Alianty lemah, tapi hidup sedikit tidak mempercayai perkataan para pengajar.
"Bila kau, Alianty, tidak memperlihatkan kemampuan sebenarnya selain regenerasi.. pertarungan akan terus berlanjut tanpa henti.."
"Akan aku lakuin jika Hurip mau jadi kekasihku," ucap gadis ini membingungkan kedua laki-laki didekatnya.
"Baiklah.." Hurip menghela napas sebelum dirinya mengatakan, "kau hanya akan menjadi umpan, kemungkinan dirimu bisa tetap hidup meskipun telah menerima banyak luka fatal sekalipun. Peran yang akan diberikan padamu hanya sebuah boneka sekali pakai atau tidak, itu ditentukan pada dirimu sendiri."
Azka berniat akan membuka mulutnya, tapi dia mengurungkan niatnya dan bersabar mendengarkan ucapan ketua timnya. Walaupun seakan-akan sebal nan kesal semakin meruak ke sekujur tubuh, tetaplah dia bertahan pada situasinya sekarang mengamati keduanya lebih jauh, pikir Azka pada Hurip.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!