...Selamat datang di karya terbaru Casanova. Sebelum mulai membaca, silakan klik tanda love. Ditunggu vote dan gift-nya sebagai dukungan untuk karya ini. Akan ada giveaway yang diumumkan di bab pertengahan yang diambil dari Top Fans....
...Info & mengobrol denganku, bisa follow IG : Casanova_wety.s.hartanto...
...Selamat membaca....
...🍒🍒🍒...
“Dari mana saja?”
Erlang menegur seorang pria muda saat melangkah masuk ke dalam hunian mewahnya yang bak istana. Pengusaha sukses dengan puluhan pabrik semen tersebar di nusantara itu tampak menahan kesal. Bukan kali pertama, tetapi tetap saja dia tak bisa memanjangkan sabar. Pepatah bisa karena terbiasa tak berlaku untuknya meski hampir tiap subuh mendapati sang putra berjalan sempoyongan pulang ke rumah setelah habis berpesta semalam suntuk.
“Pa.”
Pria muda berstatus duda cerai itu tampak menikmati hidup dalam keadaan mabuk. Terus menebar senyuman tak jelas, bersenandung nyaris satu album. Langkah kaki saling silang, hampir terjerembap dan mencium lantai marmer dingin andai tak dicegah oleh lengan seorang wanita paruh baya yang masih cantik meski gurat-gurat keriput halus menghiasi wajah.
“Wise, kamu dari mana?” Nada tanya kali ini terdengar penuh kelembutan, berbeda dengan kepala keluarga yang tengah memasang wajah perang.
“Ma.” Suara laki-laki bernama Wisely Erkana Hutomo Putra itu terdengar parau.
Sepanjang malam berpesta dan minum di kelab, dia baru menjejaki rumahnya saat kokok ayam jantan menyapa hari. Fajar menguning di sudut timur, kilau keemasan menebar sampai ke kediaman Erlang Arkasa Hutomo Putra. Pebisnis yang sukses dalam bidangnya, tetapi gagal menuntun sang putra menjadi orang.
“Biarkan saja dia jatuh! Syukur-syukur gegar otak, bisa kembali menjadi laki-laki normal.” Pria tua dengan helaian rambut putih menghiasi pucuk kepala itu menghela napas berulang. Dadanya nyeri setiap berhadapan dengan Wisely. Menyematkan nama seindah mungkin pada putra-putrinya, tetapi semua tak sesuai doa dan asanya.
“Mas, bukan itu solusinya. Nanti kita bicara lagi. Aku harus membawanya ke kamar. Kasihan.” Kana Kamaniya—sang istri dengan sifat lemah lembut selalu ada sejuta sabar untuk putra kesayangannya.
Erlang menggeleng. “Ini semua karena kamu terlalu memanjakannya, Na.”
Kana yang tengah menuntun putranya menuju ke kamar terlihat menoleh ke belakang dan mengirim tatapan tajam. Dia tak terima saat sikap buruk putranya disangkut paut dengannya.
Apa hubungannya? Sekarang saja sombong. Dia lupa dulunya sebelas dua belas dengan putranya. Apa bedanya dia di masa muda dengan Wise sekarang. Kalau bukan karena kesabaranku, mana mungkin dia bisa seperti sekarang. Huh!
Kana terpaksa melantunkan protesnya dalam hati. Erlang semakin tua, makin menjadi. Andai dia mengeluh terang-terangan, laki-laki itu akan menumpahkan kekesalan sampai puas.
...🍒🍒🍒...
“Menikah dan benahi dirimu! Kamu pewaris perusahaan. Di usiamu yang sekarang sudah seharusnya berkeluarga. Menikah, memiliki istri dan anak-anak. Hidup harus punya tujuan. Kalau tidak, untuk apa kamu lahir di dunia?” Kana menumpahkan kekesalan yang ditahannya sejak tadi. Tidak mungkin mengeluhkan sikap buruk Wisely di depan sang suami. Pria tuanya akan terpancing dan mengomel tak berkesudahan.
Wisely tengkurap di atas ranjang empuknya, tak bereaksi.
“Wise, Mama yakin kamu mendengarnya. Kamu hanya pura-pura mabuk demi menghindari papamu, ‘kan?”
“Hmm.” Samar-samar terdengar gumaman di balik bantal.
“Wise, jangan begini. Papa Mama sudah tua, tidak bisa selamanya menjagamu. Berubahlah. Menikahlah dengan Kenanga, dia berbeda dengan Rose. Ambil alih perusahaan, jaga adikmu Grace. Kamu itu kakak, Nak.”
Wise diam, memiringkan wajahnya yang terbenam di tilam empuk agar bisa mendapatkan pasokan udara lebih banyak. Kelopak mata mengerjap, dia bisa menangkap keresahan sang mama yang tengah duduk di bibir tempat tidur.
“Aku tidak mau menikah lagi, wanita itu hanya akan mengecewakan.”
“Makanya Mama carikan yang tidak mengecewakan. Tapi, perbaiki dulu sikapmu. Bagaimana kamu bisa menuntut wanita sempurna? Sedangkan kamu sendiri memperlakukan dirimu seperti sampah. Kupu-kupu yang indah itu tidak menyukai sampah, Nak. Mereka hanya akan mengitari bunga.”
“Aku tidak mau kecewa lagi.”
Kana tersenyum hangat. “Namanya saja Kenanga, dia pasti cantik, wangi, dan ….”
“Rose tidak cantik?” Wisely tidak terima.
“Tapi, dia berduri, Nak. Sejak awal Mama sudah tahu kalau wanita itu tidak cocok dijadikan istri.” Raut wajah Kana berubah redup. “Kamu istirahat dulu, Mama akan meminta asisten rumah menyiapkan air hangat dan sarapan.”
“Mama mau ke mana?” Wisely melontarkan tanya sesaat mendapati mamanya sudah berdiri dan siap melangkah pergi. “Jangan katakan mau melamar Kenanga untukku. Aku belum siap, Ma.”
Kana tergelak. “Tidak siap menikah, tapi gonta-ganti wanita. Siapkan diri mulai dari sekarang, menikah itu pahala. Yang kamu lakukan sekarang ini dosa.” Melangkah pergi, langkah wanita tua itu seperti genderang perang di pendengaran Wisely.
“Ma, aku belum setuju! Jangan membuat kesepakatan dengan siapa pun tanpa persetujuanku.” Wisely tercengang ketika mamanya tersenyum penuh kemenangan.
“Hari ini kamu mengeluh, besok pasti setuju. Saat ini kamu mungkin belum menaruh hati, saat bertemu … takutnya langsung ingin diperistri. Istirahat saja.”
...Bersambung...
Melangkah keluar dari kamar putranya, bibir Kana membelah sempurna. Ide yang selama ini hanya sebatas wacana, sebentar lagi akan menjadi nyata. Mengedar pandangan sesaat melewati ruang tengah, tak terlihat keberadaan Erlang yang biasanya sudah rapi dengan setelan kerja. Usia boleh bertambah, fisik mungkin menua. Akan tetapi, jiwa dan semangat hidup harus tetap membara.
“Ke mana laki-laki tua itu?” Gurat halus samar-samar muncul di dahi, wanita dengan kecantikan sederhana itu terlihat bingung.
Kalau sang suami memilih melampiaskan kesal dengan amarah, Kana sedikit lebih tenang. Pengalaman hidup mengajarkan banyak hal. Bagaimana dulu menaklukkan Erlang yang berandal, suka mabuk-mabukan, dan memacu mobil menaklukkan jalan. Bahkan, pria lanjut usia itu pernah mendekam di penjara karena kelalaian berkendara.
“Mbok.”
Kana memanggil asisten rumah sembari mengitari kediaman mewahnya. Seutas senyuman muncul ketika mendapati para pekerja tengah berkumpul di dapur kotor sembari mengobrol.
“Mbok, lihat Mas Erlang?” tanyanya pada perempuan tua mengenakan daster biru yang tengah menikmati sarapan bubur ayam.
“Di halaman belakang, Bu.”
Mengucapkan terima kasih ala kadarnya, wanita sederhana dengan dua lesung pipi itu bergegas menuju ke tempat Erlang berada. Sebelum benar-benar meninggalkan dapur, dia masih sempat mendengar suara berbisik para pekerja rumah menggosipkan ulah sang putra.
“Benar, ‘kan? Anak itu harus bertemu dengan wanita yang tepat baru bisa kembali ke jalan yang benar.”
...🍒🍒🍒...
“Kang, apa kabar?”
Tak ingat waktu dan tempat, Kana benar-benar menghubungi teman sekampung sewaktu tinggal di Bandung. Diiringi tatapan tajam Erlang, wanita itu tidak peduli sama sekali.
“Baik, Na. Ada apa pagi-pagi menghubungiku?” Kang Sandi—mantan kepala desa di salah satu perkampungan di kota Kembang itu menyapa ramah.
“Kang, minggu ini ada waktu? Kebetulan kami sekeluarga mau ke sana.” Kana menciut saat tak sengaja beradu tatap dengan pria tua di seberang.
Menikmati pagi di halaman belakang, keduanya duduk di bangku taman dengan meja kecil menjadi penghalang. Tersaji aneka jajanan pasar menemani dua cangkir teh hambar. Usia tak muda lagi, dokter menyarankan keduanya mengurangi konsumsi gula.
“Apa-apaan, Na?” Pria tua yang tampak rapi dengan kemeja putih dan celana kain hitam jelaga itu berbisik. Mata membola, garis wajah mengetat. Ada protes yang disampaikan melalui tekanan di setiap kata. “Kalau sampai Wise tidak setuju, kita yang malu, Na.” Tatapan elangnya menumbuk, Erlang menegakkan duduk.
Kana menempelkan telunjuk di bibir, meminta suaminya diam.
“Ya, Kang. Nanti aku ke sana dengan Wise. Ingat, ‘kan?”
“Yang kembar, Na?” Kang Sandi mulai larut dalam pembicaraan. Sejak pertemuan kembali puluhan tahun silam, hubungan mereka terangkai ulang. Sudah seperti keluarga, walau jarang bersua. Silahturahmi terjaga melalui telepon dan obrolan di WA.
“Ya, anakku hanya si kembar. Wise yang sulung, laki-laki. Kalau Grace sekarang sudah punya anak dua. Di Jakarta juga. Nanti kapan-kapan kalau ada waktu luang aku ajak mudik ke Bandung.”
Erlang tak sanggup berkata-kata. Kana terlalu lancang tanpa banyak pertimbangan. Rencana yang sempat dibahas beberapa waktu lalu, dieksekusi tanpa meminta pendapat ulang. Membuang pandangan ke pekarangan belakang, kesalnya sedikit reda ketika disuguhi tanaman hias menghijau dan gemercik air kolam ikan.
“Ya, Kang. Kenanga apa kabarnya?” Kana mulai ke inti pembicaraan. Sesekali menatap suami yang terus menggeleng.
“Anga ada. Dia mulai kerja. Kalau Uni sementara masih sibuk kuliah.” Kang Sandi menjelaskan.
“Pasti cantik-cantik keduanya. Bisa kirimkan fotonya, Kang. Kebetulan ....” Suara Kana lenyap bersama sentakan kencang di pergelangan. Pandangan dan fokusnya beralih pada suami yang tengah menunjukkan ketidaksukaan.
“Na, jangan gila. Bagaimana kalau ....”
Kana menurunkan ponsel dari telinga dan menggenggam erat agar percakapannya dan suami tak bocor keluar.
“Ingat perjodohan kita dulu, Mas?”
Erlang mencelang.
“Kamu masih dipenjara saat Mama memintaku menikah denganmu. Jujur, tak ada alasan yang kuat untukku menerima mantan napi yang ... maaf kalau boleh terus terang ... tak ada satu pun nilai lebihnya. Tapi, aku yakin. Dan keyakinan yang sama juga membuatku memutuskan menjodohkan Wise dengan putrinya Kang Sandi.” Kana menegaskan.
Kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Kana terdengar meyakinkan. Sorot mata tegas itu menyiratkan pengharapan. “Aku berharap kita bisa mendapatkan menantu yang sepadan dari segi kemapanan. Keluarga terpandang dengan harta kurang lebih berimbang dengan kita. Sayangnya, Wise kita tidak memiliki kepribadian yang baik, setidaknya saat ini. Suatu saat aku yakin dia akan lebih hebat darimu, Mas. Karena itu, aku memilih wanita biasa, wanita yang bisa menuntunnya menggapai dunia.”
Erlang tertampar.
“Kesuksesan laki-laki itu juga tergantung pendampingnya. Memang, kamu pikir akan seperti sekarang kalau tidak menikah denganku?” Kana tersenyum penuh kemenangan saat membuat suaminya bungkam.
“Terserah padamu saja, Na. Yang jelas, nanti malam aku mau sate Madura. Aku ke kantor dulu.” Erlang menyeruput habis teh di dalam cangkir dan bergegas masuk ke dalam rumah.
“Wise, jangan pulang malam. Besok kita ke Bandung.” Kana berpesan pada putra semata wayangnya yang sedang memainkan kunci mobil sport koleksi sang papa.
Berjaket kulit hitam, celana denim senada dengan robekan merajalela itu membuat mata semua orang membola menatap penampilan seorang Wisely Erkana Hutomo Putra.
“Ya, Ma.” Wise tampak berjongkok, merapikan tali sepatunya yang terburai berantakan.
“Ingat, jangan pulang lewat tengah malam!” Erlang merapikan kacamata yang bertengger di wajah rentanya. Sejak tadi menonton acara debat di televisi, sesekali memperhatikan diam-diam.
Wisely yang tengah bersimpuh, sontak menengadah. “Yang benar saja, Pa? Lebih-lebih dari Cinderella.”
Kana mengukir senyuman manis, duduk di sisi sang suami. Ucapan Wisely kadang memang asal dan memancing tawa. Beralih menatap suaminya, wanita tua itu paham saat ini Erlang tengah menyembunyikan kesal.
“Wise, jangan sampai mabuk. Besok, kamu yang harus membawa mobil. Tidak mungkin meminta Papa yang menyetir.”
“Ya, Ma.” Wisely menjawab tanpa berpikir panjang. Melambaikan tangan, pria muda itu setengah berlari menuju ke pintu utama. Dia tak mau sampai terlambat, salah satu temannya mengundang berpesta di kelab pribadi.
“Jangan mabuk!” Erlang masih sempat melontarkan ancaman walau bayangan putranya sudah menghilang dari pandangan. “Ckckckck. Coba saja lihat nanti, pasti berulah lagi.”
Pria yang sudah menyemir hitam rambutnya itu tampak lebih muda dan gagah. Demi pertemuan keluarga yang akan menentukan masa depan putranya, terkadang dia harus mengalah dan menuruti ide Kana.
“Mas, sudah. Jangan marah-marah.” Kana menepuk pundak sang suami. “Ingat, jantungmu itu sudah pernah overhaul.”
“Hush!” Erlang tak terima. “Aku masih segagah dulu. Tampilan memang Elvis Presley, tapi jiwanya Justin Bieber.”
...🍒🍒🍒...
Pagi hari di salah satu sudut kota Bandung. Gerimis kecil luruh ke bumi sejak pagi. Semilir angin menyapa kulit, menusuk tulang. Matahari malu-malu mengintai di sudut timur, menyapa bumi yang sedang berderai. Sepasang suami istri berusia senja tampak sibuk sejak pagi. Membersihkan hunian sederhana mereka demi menjamu tamu penting dari Jakarta.
“Pak, bukannya janji bertemu di restoran?” Wanita tua dengan daster lusuh tampak cemberut. Bibir bergincu merah maju beberapa senti dari normalnya. Dia yang biasa masih bergelung di balik selimut dipaksa Sandi untuk berbenah.
“Takutnya sehabis dari restoran … mereka mau kunjungan ke sini, Bu. Tidak enak kalau rumah berantakan.” Sandi tengah membersihkan pigura yang membingkai foto keluarga mereka dengan kain lap basah. Berdiri di atas bangku plastik, pria tua itu terlihat bersemangat mengusap satu persatu bingkai yang tergantung di dinding dengan jala laba-laba dan debu menempe tebal di sana.
“Ah, tidak mungkin. Untuk apa mereka ke sini?”
“Sepertinya, kalau aku tidak salah tangkap. Mereka ada niat khusus. Tapi, baru dugaan, jangan terlalu berharap.”
Wanita tua yang tadinya malas-malasan mendadak bersemangat. “Apa? Sepertinya ada sesuatu yang menggembirakan.
“Kana menanyakan anak-anak. Bahkan, meminta foto Anga dan Uni. Terus, sempat menyinggung masalah Wisely, putra mereka yang duda itu.”
Wanita tua bernama Lasmi itu mendadak semringah. Mulut ternganga, otaknya merangkai cerita indah. “Ja … jangan katakana kalau mereka mau menjadikan putri kita menantu, Pak.”
“Sepertinya, arah ke sana, Bu. Tapi, ini baru dugaan. Jangan terlalu bersemangat. Takutnya, kalau salah … malah kecewa.” Sandi berbalik badan dan memandang ke arah istrinya. Wanita berambut sepinggang itu tampak berbinar sembari meremas kain lap basah.
“Kalau begitu, cocok dengan Anga-ku. Dia masih sendiri sampai sekarang. Kalau Uni-mu ‘kan sudah punya pacar. Anak juragan sayur kampung sebelah yang selama ini kamu banggakan, Pak.”
Sandi melotot ketika putri-putrinya dilabeli dengan kepemilikannya dan sang istri. Sejak menikah dengan janda beranak satu, pria itu tak pernah membedakan antara anak kandung dan sambung. Baginya, Kenanga dan Seruni adalah sama walau yang satu tak terlahir dari benihnya.
“Uni dan Randi hanya berteman, Bu.”
“Bertema apanya? Mereka serius, Pak. Uni masih kuliah, kalau tidak pasti sudah dilamar. Lagi pula, dia ‘kan adik sudah sewajarnya kakak menikah dulu. Wis … em Wis ….” Perempuan tua itu bingung. “Wis apa tadi, Pak?”
“Wisely.”
“Nah, ya. Wisely itu dari kota. Putra orang kaya ….”
“Dia pewaris perusahaan, Bu. Sayangnya kehidupan pernikahannya tak mulus.”
“Belum jodohnya, Pak. Mungkin berjodoh dengan Anga-ku.” Lasmi terdiam sejenak dan buru-buru meralat. “Maksudku Anga kita, Pak.”
Wajah berseri-seri, rambut panjang berayun pelan. Lasmi sudah membayangkan kehidupan mewah setelah putrinya menikah dengan orang kaya dari kota.
“Lagi pula, Bapak lihat sendiri, ‘kan? Anga dan Uni itu seperti langit dan bumi. Jelas sekali kalau memilih, pasti mereka pilih Anga. Modis, pekerja keras, dewasa, dan penampilannya berkelas. Berbeda dengan putrimu yang kampungan.” Embusan napas di ujung kalimat mengandung hinaan.
“Bu, dia putri kita, Jangan dibanding-bandingkan.” Sandi turun dari kursi dan menghampiri wanita yang sedang menontonnya berbenah. Ditatapnya tajam sang istri dengan mimik muka tak menyenangkan.
“Maksudku itu … tampilan Uni itu sederhana, Pak. Tidak cocok dibawa ke kota. Rambut hitam dikepang dua. Penampilannya … sudahlah. Coba bandingkan dengan Anga, dia cantik, tinggi, rambutnya pirang bergelombang, kalau berpakaian menarik. Ibu sering melihat, kalau dia berangkat kerja … pemuda kampung menjulurkan leher seperti jerapah demi bisa mengintainya.”
“Itu karena roknya terlalu mini, bukan kagum, Bu.” Sandi menggeleng. Bermaksud menyudahi obrolan, pria tua itu bergegas ke dapur. Tak sengaja, dia berpapasan dengan seorang gadis manis yang sedang membawa semangkuk besar nasi goreng untuk sarapan mereka.
“Uni, sudah selesai?”
“Sudah, Pak.”
“Panggilkan Anga. Minta dia bangun dan bersiap. Kita akan menemui teman Bapak dari Jakarta nanti siang. Dandan yang rapi dan sopan, jangan seksi. Ingatkan kakakmu, nanti Bapak malu.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!