NovelToon NovelToon

KORBAN CASSANOVA

Perjodohan

Part 1

Wajah gadis itu sendu, dia menahan isak ketika tahu harus dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tuanya.

Ya, gadis bertubuh mungil dan berkulit putih itu bernama Masyitah usianya masih 20 tahun, dia harus menerima kenyataan menikah dengan seseorang yang tidak di cintainya. Meski dia mengenal lelaki itu karena memang masih memiliki hubungan kerabat namun dia sedikitpun tak mempunyai rasa apa-apa.

Sebagai anak tunggal, Masyitah dipaksa patuh pada kemauan orang tuanya.

Mereka tinggal di sebuah kota kecil, tempat Masyitah lahir dan dibesarkan. Ayahnya seorang haji yang cukup disegani dan dikenal memiliki banyak harta.

Haji Burhan menjodohkan anak semata wayangnya dengan seorang pemuda pilihannya yang juga anak dari kerabatnya.

Karena perjodohan tersebut, Masyitah harus mengubur cita-citanya menjadi seorang guru.

Fadli Ardana, putra sulung Haji Salim yang akan dijodohkan dengan Masyitah usianya 25 tahun, ternyata sudah memiliki seorang kekasih. Nasibnya sama seperti Masyitah, diapun dipaksa meninggalkan kekasihnya demi keinginan orang tua.

Sementara di suatu tempat yang jauh, seorang pemuda bernama Yudha Pratama masih duduk di bangku SMA, penampilannya terlihat lugu namun sebenarnya dia pemuda tengil yang suka bermain wanita.

Suatu hari di rumah haji Burhan.

"Ita, buka pintunya papa mau bicara."

Masyitah membuka pintu kamarnya, ayahnya masuk dan duduk di kursi kecil dekat ranjang Masyitah.

Haji Burhan menatap anak gadisnya yang masih berdiri di depannya.

"Duduk, papa mau bicara dan tidak mau dibantah." Burhan menunjuk ke arah ranjang meminta anaknya duduk.

Masyitah duduk, hatinya was-was menunggu apa yang akan dibicarakan ayahnya.

"Besok Haji Salim dan keluarganya akan kesini, mereka berniat melamar kamu papa minta kamu jangan menolak." Nada suara haji Burhan sangat tegas.

Mendengar ucapan ayahnya Masyitah mengangkat wajah dan menatap dalam wajah ayahnya.

"Pah jangan egois, selama ini aku selalu menurut apa kata-kata papa, bahkan aku harus membuang impianku karena papa menolak membiayaiku kuliah." Mata Masyitah mulai berkaca-kaca.

"Papa tidak mau menerima penolakan, keputusan papa sudah final dan tidak bisa dirubah." Burhan bangkit dan berlalu meninggalkan Masyitah didalam kamar.

Saat ayahnya keluar dan menutup pintu, Masyitah membanting kursi dan membuang semua peralatan riasnya di atas meja. Kaca cermin tak luput dari amukan Masyitah dia melempar cermin dengan botol parfum hingga pecah.

Hanya sekejap kamar Masyitah berubah seperti kapal pecah, pakaian di lemari semua berserakan di lantai. Karena lelah dia duduk dilantai sambil terus menjerit melampiaskan amarahnya.

Murni berlari ke kamar anaknya walau dicegah dia menghempas tangan suaminya dengan kasar

"Ita, sabar nak jangan histeris begitu." Murni mendekat dan memeluk anaknya memberi ketenangan.

Matanya menyapu seluruh ruangan kamar Masyitah yang berantakan sambil terus memeluk anaknya.

"Mama, apa aku harus mati dulu biar papa puass!" tangisnya kembali pecah dalam pelukan ibunya.

"Jangan bicara seperti itu nak, mama juga tidak berdaya papamu terlalu keras."

"Aku seperti boneka ma, setiap keinginan papa harus dipenuhi tak peduli perasaan orang lain."

"Aku juga harus mengubur cita-citaku, saat teman-temanku menikmati masa remajanya aku dituntut untuk menikah muda, kurang apa lagi maa!!!"

"Ita, mama mohon sama kamu ini yang terakhir turutilah permintaan papamu." Murni mengusap air mata di pipi Masyitah.

Jika boleh jujur, Murni pun sebenarnya kurang setuju dengan perjodohan ini, tapi suaminya terlalu keras bahkan tak bisa dibantah dan dia hanya bisa pasrah.

Tangis Masyitah mulai redah, Murni menuntun anaknya naik ke atas ranjang. Mungkin karena kelelahan Masyitah terlelap di pangkuan ibunya.

" Maafkan mama nak tidak bisa melindungimu dari keegoisan papamu."

Perlahan Murni turun dari tempat tidur tak ingin Masyitah kaget dan bangun, Murni membiarkan anaknya beristirahat tanpa terganggu.

Sebelum keluar, Murni membereskan semua kekacauan di kamar Masyitah kaca yang pecah, pakaian yang berhamburan sedikit melelahkan dan memakan waktu untuk merapikan kembali.

Hampir dua jam Murni berjibaku dengan barang-barang yang berantakan akhirnya rapi seperti semula, kecuali kaca cermin yang pecah tentunya harus diganti dengan yang baru.

Masyitah belum juga terjaga, atau memang dia enggan untuk bangun karena menolak kenyataan. Rasanya dia masih betah diatas ranjang matanya juga masih tertutup rapat, bahkan sampai ibunya selesai membereskan kamar dan keluar dari kamarnya.

Kini Murni sudah duduk di dekat suaminya yang dengan santai dan tanpa beban menikmati secangkir kopi.

"Pa, apa tidak terlalu jahat jika kita memaksakan kehendak pada anak?"

"Keputusanku sudah bulat, tidak bisa lagi di rubah dan tentunya ini yang terbaik untuk Ita."

"Tapi kan Ita tidak mencintai Fadli pa, mama rasa Fadli mungkin sudah punya kekasih."

"Mah, kita sudah sama-sama tahu bagaimana Salim mendidik anaknya, dan papa rasa tidak ada masalah semuanya pasti aman."

"Oh, ya, satu lagi ma, papa minta mama mau bekerja sama tolong bujuk Ita bagaimanapun caranya." Dengan tegas Burhan meminta istrinya membantu agar rencananya berjalan lancar.

Murni hanya menghembuskan napasnya kasar, protespun rasanya percuma suaminya keras bagai batu.

Murni bangkit lalu berjalan masuk ke kamarnya meninggalkan Burhan sendirian.

"Terserah, lakukan sesukamu tapi jangan menyalahkanku jika terjadi sesuatu di luar rencanamu." gumamnya dalam hati.

Malam harinya, Masyitah bangun tapi dia belum mau turun dari tempat tidur matanya sembab dan sekujur tubuhnya terasa sakit.

" Hidup dalam tekanan rasanya mau gila, semua keingin kalian sudah aku turuti apa masih kurang ? Aaahh ingin matiii sajaa !!!" batin Masyitah.

Semalaman Masyitah tidak bisa tidur, air matanya kembali tumpah dia merasa terjatuh ke titik paling rendah dalam hidupnya.

Pertemuan

Part 2

Esok harinya, sesuai janji Haji Salim dan keluarganya datang berkunjung tak ketinggalan Fadlipun turut serta bersama rombongan.

Murni sibuk merias anaknya di dalam kamar, Masyitah pasrah diam tak bergerak.

Tak bosan Murni memandangi penampakkan wajah Masyitah di cermin, produk Murni dan Burhan memang unggulan begitu pikirnya sambil tersenyum.

Namun berbeda halnya dengan Masyitah, hatinya memberontak, menjerit, bahkan tak bisa digambarkan lagi seperti apa perasaannya.

" Demi Allah aku benci perjodohan ini." Umpatnya dalam hati.

Pintu diketuk dari luar..

"Apa kalian sudah siap ? tamu sudah menunggu di luar." Suara Haji Burhan memecah lamunan Masyitah.

"Iya kami segera keluar, ayo Ita tamu sudah menunggu." Murni menggenggam tangan anaknya dan menuntunnya keluar.

Saat Murni dan Masyitah tiba di ruang tamu, seisi ruangan diam sorot mata Fadli langsung tertuju pada satu sosok yaitu Masyitah. Kagum ? tentu saja, gadis mungil itu membius seisi ruangan.

Begitupun Salim dan istrinya, pandangan mereka tak lepas dari Masyitah yang hari itu sangat anggun mengenakan kebaya berwarna pastel.

Menyadari semua pandangan tertuju padanya, Masyitah menjadi gugup dan salah tingkah. Masyitah menoleh pada ibunya "mah, apa kita akan berdiri di sini sampai sore?"

"Eh iya, maaf boleh kami duduk?"

"Oh, tentu saja, sini duduk di dekatku calon besan." Rida istri Haji Salim menepuk kursi kosong di sampingnya." Harusnya kami yang meminta maaf hehe," lanjutnya lagi.

Murni dan Masyitah berjalan memutar di belakang kursi Fadli lalu mereka duduk dengan posisi berhadapan.

Haji Burhan berdehem mengurai suasana yang sedikit kaku, berbeda dengan sebelum Masyitah muncul mereka tertawa lepas.

"Pak haji, ini Masyitah anak saya semata wayang, walaupun sebenarnya mereka sudah saling kenal sebelumnya."

"Iya kami sudah mengenalnya, anak Pak Haji memang cantik secantik namanya." Sahut Haji Salim tersenyum tipis.

Masyitah terus menunduk, dalam hatinya muak mendengar basa-basi yang tidak penting menurutnya.

Lain halnya dengan Fadli, pemuda itu masih saja mengagumi makhluk indah di hadapannya, baru kali ini dia setuju dengan keputusan orang tuanya dan di pastikan tidak ada penolakan darinya.

Setelah melakukan perkenalan dan sedikit perbincangan, mereka masuk pada pembahasan inti yaitu lamaran.

"Baiklah, karena Pak Haji yang meminta anak saya, tentunya pak Haji paham betul seperti apa dan bagaimana prosesnya."

"Iya saya paham, sudah pasti kami tidak akan mengecewakan Pak Haji dan keluarga. Berapapun yang Pak Haji minta selagi kami mampu akan kami penuhi." Jawaban yang lugas dan sangat di pahami dari Haji Salim.

"Kami hanya meminta seperangkat alat shalat, uang sejumlah Rp.45.000.000,00-, dan hantaran lainnya, bagaimana Pak Haji ?"

Haji Salim menoleh ke arah istrinya meminta persetujuan dan dijawab anggukkan dari istrinya.

"Baiklah, kami terima permintaan Pak Haji."

"Alhamdulillah."

Dan semua kerabat yang hadir mengucapkan syukur, karena proses lamaran berjalan lancar tanpa banyak penawaran dan drama.

"Sebaiknya kita menentukan hari baik untuk pelaksanaan acara pernikahan anak-anak kita." Pak Burhan melanjutkan pembicaraannya.

Dari hasil diskusi kedua belah pihak, akhirnya di putuskan acara pernikahan bulan depan mengingat banyak hal yang harus di selesaikan.

Masyitah meremas jemarinya, sepanjang perbincangan dia terus menunjukkan wajah masam bahkan tak terlihat senyum dari bibirnya.

"Papa puas kan sekarang menjualku dengan nilai uang sebesar itu, aku pastikan pernikahan ini tidak akan lama lihat saja nanti."

Hati Masyitah terus bergemuruh menahan amarah, keputusan sepihak dari orang tuanya telah membakar impiannya yang tersisa hanya kebencian.

Setelah pembicaraan selesai, semua keputusan sudah di setujui keluarga Salim pun berpamitan.

Tanpa menunggu, Masyitah langsung bangkit menghentakkan kakinya lalu melangkah pergi meninggalkan orang-orang tersebut.

Burhan menatap tajam punggung Masyitah yang berjalan masuk ke kamarnya, merasa dipermalukan dengan sikap anaknya.

Kemudian dia berbalik dan tersenyum "Maafkan anak saya, Masyitah sepertinya belum bisa menerima perjodohan ini tapi percayalah semua akan berjalan lancar sesuai rencana kita."

"Iya, tidak apa-apa pak Haji, kami cukup memaklumi perasaan Masyitah." Jawab Rida.

"Baiklah kami permisi dulu, jika ada sesuatu bisa hubungi kami." Haji Salim pun berpamitan lalu mereka pulang bersama keluarganya.

Tanpa menunggu lama, Burhan langsung berjalan ke kamar anaknya langkahnya cepat karena emosi. membuka pintu kemudian membantingnya dengan keras.

Masyitah yang duduk di atas ranjang terperanjat, tubuhnya sedikit gemetar melihat wajah ayahnya yang penuh kemarahan.

"Ita, kamu sengaja permalukan papa hah!!!"

"Apa salahnya menunggu sebentar mereka pamit baru kamu meninggalkan tempat dan masuk kamar."

Masyitah tetap diam tak berani manatap ayahnya, Murni berlari menyusul suaminya ke kamar Masyitah napasnya masih terengah-engah.

"Pah sudah, malu pah tamunya masih ada di depan." Murni mengusap punggung suaminya meredakan emosi.

"Papa peringatkan kamu Ita, jangan pernah permalukan papa di depan umum kamu pasti tahu resikonya." Pak Birhan menunjuk wajah Masyitah kemudian berlalu pergi.

Murni bergegas mendekati anaknya, dia menarik tubuh Masyitah dalam pelukannya.

Tubuh Masyitah bergetar sambil terisak.

"Aku benci papa, aku benci kalian semua dengan seluruh jiwaku." Masyitah terus meracau dalam tangisnya.

Murni tak bisa berbuat apa-apa, satu-satunya cara hanya menuruti keinginan suaminya meski hati kecilnya menolak namun diapun tak berdaya untuk melawan.

Lama Masyitah terisak dalam dekapan ibunya hingga akhirnya dia tertidur karena kelelahan, bahkan bajunya belum sempat dibuka.

Murni perlahan membaringkan anaknya di kasur, melepas sanggul di kepala Masyitah agar tidurnya nyaman. Kamudian dia keluar menutup kembali pintu kamar Masyitah.

Murni menghampiri suaminya yang duduk di teras, Burhan begitu tenang seakan-akan tidak terjadi sesuatu. Murni duduk di samping suaminya, pandangannya lurus ke depan menarik napas dan menghembuskan perlahan.

"Pah, jangan terlalu kasar pada Ita mama takut dia berbuat nekad."

Burhan langsung menoleh pada istrinya seakan meminta penjelasan, tapi pandangan Murni masih lurus ke depan.

"Apa maksudmu mah? Papa hanya melakukan yang terbaik untuk dia bukan menyuruhnya bunuh diri."

"Tapi sikap papa sudah berlebihan, kasar dan membentak Ita seolah dia sudah membuat kesalahan besar, padahal dia hanya menunjukkan sedikit rasa kecewanya dan menurut mama itu masih wajar."

"Ah kalian yang terlalu cengeng dan berlebihan."

Murni menoleh pada suaminya, kali ini dia menunjukkan wajah kesalnya ternyata suaminya ini manusia yang berhati batu."

"Pah, Ita itu putriku satu-satunya, jika terjadi sesuatu pada dia aku tidak akan memaafkanmu bahkan akan membencimu seumur hidup."

Burhan terdiam, baru kali ini dia melihat perlawanan istrinya, selama ini apapun keputusannya Murni selalu menurut bahkan tak pernah protes.

Mungkin dia harus menurunkan sedikit egonya, sebab jika istrinya marah tentu rencana pernikahan Masyitah akan kacau dan gagal.

Pernikahan Masyitah

Part 3

Hari pernikahan yang di sepakati akhirnya tiba, kedua keluarga sibuk melakukan persiapan segala kebutuhan mulai dari seragam hingga menu makanan bahkan dekorasi pun sudah terpasang.

Di dalam kamar Masyitah tak hentinya mengumpat, ingin kabur tapi mau kemana ? Dia tak punya kenalan atau teman yang bisa di ajak kerja sama.

Murni mengetuk pintu kamar anaknya, di belakangnya ada dua orang perempuan yang dia sewa khusus melakukan perawatan pada Masyitah.

" Ita buka pintu mama mau masuk."

Masyitah diam tak mau menjawab, berulang kali Murni memanggil tapi tak ada jawaban. Dia mulai curiga menempelkan telinganya ke pintu tak ada suara apapun.

" Jangan-jangan anak ini kabur aduuuh."

" Itaa bukaa, atau mama dobrak pintunya."

Masyitah akhirnya berjalan dan membuka pintu.

" Kenapa lagi mah, aku lagi pusingg." Sungutnya dan berbalik.

Murni masuk dua perempuan di belakangnya juga ikut masuk, dan menunggu perintah Murni.

" Ita, mereka ini dari salon kecantikan mama panggil kesini mau melakukan perawatan untuk kamu. Jadi kamu jangan aneh-aneh ya."

" Terserah mama, protes juga percuma." Jawabnya ketus.

" Besok hari spesialmu, kamu harus tampil cantik paripurna." Balas Murni sambil tersenyum.

"Silahkan mbak lakukan tugasnya, kalau dia menolak panggil saya di luar."

Kedua perempuan itu pun mengangguk, sedangkan Masyitah menatap jengah ibunya yang berlalu pergi.

" Ayo dek kita mulai perawatannya."

Seharian penuh Masyitah menjalani perawatan, bahkan untuk makan pun dia hanya di suapi ibunya.

Dimulai dari luluran, meni pedi hingga dia tertidur karena pijatan lembut dua perempuan itu. Berhari-hari Masyitah mengurung diri, kadang menangis membuat tubuhnya terasa lelah.

Semua rangkaian perawatan sudah selesai, tapi Masyitah masih nyenyak dalam mimpinya akhirnya salah seorang perempuan membangunkan Masyitah.

" Dek bangun, perawatannya sudah selesai."

Masyitah membuka matanya dan tersenyum malu karena sadar rupanya dia tertidur.

" Hehe maaf mbak saya tertidur, habisnya pijatan mbak enak."

Keduanya balas tersenyum mendengar pengakuan Masyitah.

" Baiklah, kami permisi dulu dek sampai ketemu besok."

" Hah, kenapa besok ?"

" Iya besok kami yang akan meriasmu untuk acara akad nikah."

Masyitah hanya mengangguk, dan kedua perempuan itupun keluar dari kamar.

Masyitah kembali tersadar akan kenyataan bahwa besok adalah hari terakhirnya sebagai seorang gadis.

" Sungguh malang nasibku, bukannya menikmati masa muda malah harus menikah muda." Gumamnya.

Murni menyambut kedua perempuan itu saat keluar dari kamar Masyitah.

" Bagaimana mbak, sudah selesai ?"

" Iya, kami pamit dulu dan akan kembali besok pagi."

" Iya terima kasih." Murni mengantar keduanya keluar hingga ke teras.

Setelah periasnya pulang, Murni masuk ke dalam dan langsung menuju kamar anaknya.

Dia membuka pintu, tampak Masyitah berbaring hanya menggunakan selembar handuk.

Murni masuk menutup kembali pintu, kemudian menghampiri Masyitah dan duduk di atas ranjang .

" Ita, malam ini mama tidur di sini ya."

" Kenapa ?"

Reaksi Masyitah sedikit membuatnya tertegun.

" Besok kamu sudah menjadi istri orang, dan tanggung jawab kami pun berpindah pada suamimu."

" Oh karena ingin melepas tanggung jawab makanya kalian memaksaku menikah ?"

Jawaban Masyitah berhasil menusuk tepat ke jantung ibunya.

" Aku mau tidur sendiri, mama kan punya kamar juga."

" Hmm." Murni tak lagi melanjutkan kata-katanya, dia bangkit dan meninggalkan kamar Masyitah dengan perasaan sedih.

Sebagai ibu dia cukup memaklumi sikap anaknya, reaksi Masyitah adalah bentuk kekecewaan atas keputusan sepihak suaminya.

Pagi harinya tepat jam lima, setelah shalat subuh sesuai perjanjian dua orang perias itupun datang.

Murni membangunkan anaknya di kamar.

" Ita bangun, tukang riasnya sudah datang."

Dengan malas Masyitah bangun dan membuka matanya, dia duduk dan mengumpulkan kesadaran baru kemudian berjalan masuk ke kamar mandi.

Baru saja Masyitah akan menutup pintu, salah seorang perempuan itu mendekat.

" Ada apa mbak ?"

" Pakai sabun ini dek, dan sebelum mandi campurkan cairan ini ke dalam bak airnya."

Dia menyerahkan dua botol kepada Masyitah, dan Masyitah mengambil botol tersebut dari tangan perempuan itu kemudian masuk dan menutup rapat pintu kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, Masyitah mengamati kedua botol tersebut.

" Mau mandi saja harus ribet seperti ini, pakai segala macam cairan biar apa coba ?"

Gerutunya namun tetap melakukan permintaan perias itu memasukkan setengah isi botol ke dalam bak mandi.

Setelah beberapa menit di dalam, Masyitah keluar memakai handuk menutupi tubuhnya.

Dia mengambil pakaian dalamnya dan masuk kembali ke kamar mandi, kemudian keluar dan berdiri di depan cermin.

" Sudah siap dek, bisa kita mulai sekarang ?"

Masyitah mengangguk dan duduk di kursi depan meja riasnya, kedua perempuan itupun memulai pekerjaan mereka.

Hampir tiga jam Masyitah di rias, dan akhirnya selesai dengan hasil yang memuaskan.

Murni mengetuk pintu, lalu masuk dan berdiri di belakang Masyitah. Dia memandang wajah anaknya lewat pantulan cermin, dalam hati memuji hasil karya dua perias yang ada di dekatnya.

" Sudah selesai mbak ?"

" Iya bu," Jawab salah seorang perempuan itu, sedangkan temannya sibuk mengemasi peralatan riasnya memasukkan ke dalam kotak rias yang mereka bawa.

Tamu undangan sudah berdatangan, di luar sudah ramai orang berkumpul.

Rombongan pengantin pria pun datang, membawa berbagai macam hantaran seperti buah, berbagai macam pernak-pernik dan masih banyak lagi jenisnya.

Mendengar suara sorak tamu undangan yang menyambut rombongan pengantin pria, Masyitah meremas jari-jarinya menahan rasa gugup sekaligus rasa cemasnya.

Perasaannya bercampur menjadi satu, antara sedih, marah, benci, dan juga cemas.

Rombongan keluarga Fadli sudah ada di dalam, penghulu pun juga sudah hadir, maka semua rangkaian acara pun di mulai.

Haji Burhan meminta untuk menikahkan langsung anaknya, acara berlangsung begitu hikmad tamu undangan seakan ikut larut dalam suasana saat Fadli mengucapkan ijab qabul.

Sementara di kamar, saat mendengar ijab qabul yang berlangsung Masyitah menitikkan air mata pupus sudah harapan dan cita-citanya.

" Selamat tinggal masa remaja, selamat tinggal kebahagiaan, dan selamat datang kehancuran."

Gumamnya sambil berderai air mata.

Murni yang mendampingi anaknya pun tak kuasa menahan tangisnya, sesungguhnya dia tak tega melihat Masyitah. Di hari pernikahannya bukannya bahagia tapi justru merasakan kesedihan yang mendalam.

Murni mengambil beberapa lembar tissue dan menyerahkan pada Masyitah, tanpa menoleh Masyitah menerima tissue dari tangan ibunya perlahan menghapus air matanya yang menetes.

Tak lama pintu di ketuk, tubuh Masyitah menegang dan menoleh pada ibunya.

Murni mengelus lembut punggung anaknya memberi ketenangan, kedua kalinya pintu di ketuk dan Murni pun menyahuti dari dalam.

" Silahkan masuk."

Pintu pun terbuka lebar, tampak Fadli berdiri dengan gagah di dampingi ayahnya dan ayah mertuanya.

Perlahan mereka masuk, tatapan lembut Fadli terus tertuju pada Masyitah yang duduk di ranjang sambil menunduk. Dia tak tahu orang di tatapnya menyimpan kebencian untuknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!