Satu titik dua koma.
Adik cantik siapa yang punya?
—
“Biasa aja, Boss! Lo pikir ini jalan nenek moyang lo!”
“Biasa kepala lo gundul!”
Pemuda bersurai cokelat yang baru saja mengumpat itu, memilih menancapkan gas melewati jalanan yang sudah macet mungkin sejak subuh tadi. Hari Senin adalah hari yang paling dibencinya.
Bimantara menyalip beberapa kendaraan besar yang menghalangi jalannya. Hampir beberapa kali menyerempet pejalan kaki. Kelakuan Bimantara membuat para aktivis kota mengumpat padanya.
Umpatan sekeras apa pun tidak akan meruntuhkan sikap bodo amat seorang Bimantara. Bukan sekali dua kali Bimantara buru-bus saat hari Senin begini, tetapi sudah berkali-kali. Maka tak heran beberapa pejalan kaki justru mengenalnya sebagai pengendara edan.
“Bim, jangan ngebut-ngebut! Kalau tabrakan, bahaya. Bukan cuma nyawa kita yang melayang, tapi nyawa orang lain juga. Lo mau?”
Bimantara ingat betul ucapan Garen minggu lalu, cowok itu memohon untuk menebeng padanya. Bimantara mengiyakan setelah Garen mengiming-iminginya dengan nomor WhatsApp Jelita, seorang adik kelas di sekolah yang akhir-akhir ini menarik perhatian Bimantara.
Motor besar milik Bimantara berhenti tepat di area tempat parkir SMA Sapta. Hari sudah mulai terik dan di dalam sana, sudah terdengar suara siswa-siswi paduan suara yang tengah menyanyikan lagu Indonesia Raya.
“Telat lagi, Bim?”
Pemuda berperawakan tinggi, sekitar 177 sentimeter itu menoleh ke arah pria berkepala plontos. Tatapannya tajam, kedua tangannya sibuk berkacak pinggang. Pria bertubuh pendek itu mendekat ke arah Bimantara, lalu tanpa basa-basi menjewer telinga muridnya itu.
“Saya telat bukan tanpa alasan, Pak! Aduh! Ini telinga saya jangan dijewer, dong. Malu dilihatin gebetan,” protes Bimantara. Masih sempat-sempatnya pemuda itu menoleh pada barisan kelas sepuluh yang baru dilintasinya.
“Bapak jangan sok tahu begitu. Ini hari Senin, Pak. Tahu sendiri Ibu kota macet banget.”
Pak Broto tampak tidak peduli dengan alasan Bimantara. Pria itu segera membawa Bimantara ke arah barisan yang terdapat siswa-siswi dengan atribut yang tidak lengkap. “Sana! Gabung sama teman-temanmu. Habis ini, kamu jangan lupa ketemu saya di ruang guru.
Bimantara tampak tidak peduli. Dia hanya berdiri asal di salah satu barisan. Ekor matanya menangkap sosok yang berdiri di barisan kelas XI IPA 4. Sosok yang akhir-akhir ini tengah gencar ia dekati. Siapa lagi kalau bukan Jelita, cewek yang katanya dicap sebagai adik kelas paling cantik di angkatannya.
Berdasarkan informasi yang Bimantara dapatkan dari Garen, Jelita itu dikenal dengan sifatnya yang supel dan welcome pada siapa saja termasuk cowok. Untuk itulah, Bimantara menjadi tertantang untuk bisa memasukkan cewek itu dalam daftar korban cinta palsunya di SMA Sapta Wijaya ini. Untuk sesaat logika Bimantara terus mengiyakan jika cewek berparas cantik dengan wajah kecil, mata belo dibingkai alis rapi itu memang cantik. Sebelumnya, Bimantara bahkan tak pernah mendapat ‘mangsa’ secantik Jelita.
“Alle, kamu ini kok bisa datang jam segini?”
Bimantara menoleh saat suara Bu Hidayani terdengar di telinganya. Dia melihat guru Kimia itu tengah berbicara dengan gadis bertubuh kecil yang hanya bisa menunduk dengan raut wajah bersalah. Bimantara yang tidak peduli hanya melengos, lalu kembali memperhatikan Jelita dari jauh.
Sesaat setelah Bu Hidayani pergi, gadis bertubuh kecil itu berjalan malas ke salah satu barisan. Bimantara yang sejak tadi melihat Jelita, kini mengalihkan pandangannya pada gadis itu. Terlihat sekali kalau dia begitu malas mengikuti upacara. Hal lain membuat fokus Bimantara terganggu. Bimantara sempat terkekeh sembari menatap gadis yang berdiri di sebelahnya. Merasa ditertawakan, gadis itu mendongak menatap Bimantara dengan heran.
“Kenapa lo?” Jelas sekali nada ketus itu menyapa rungu Bimantara. Alih-alih menjawab, Bimantara hanya melengos saat tawanya reda. Allegra mengerutkan dahinya. Masih menatap Bimantara dengan curiga. “Orang lain bisa tersinggung dengan lo ketawa nggak jelas kayak gitu.” Masih menahan tawa, Bimantara tetap tak melirik gadis yang memiliki tinggi hanya sebatas dadanya.
“Nggak jelas banget lo,” ucap Allegra sembari memeriksa apakah ada yang salah dengannya hari itu.
Namun, tetap saja tidak ada yang salah. Hari ini pakaiannya baik-baik saja. Apa mungkin wajahnya? Ah tidak juga. Dia ingat betul saat berangkat tadi, sudah hampir lima kali berkaca. Rambutnya? Tidak mungkin juga. Rambut hitam itu tidak acak-acakan meski dibiarkan tergerai.
Selang beberapa menit, upacara bendera selesai. Menyelamatkan para murid dari panas yang mulai menyengat. Satu persatu barisan mulai bubar menuju ke kelas masing-masing. Meski ada sebagian yang berlari menuju kantin.
“Kalian lagi, kalian lagi, kenapa setiap hari yang saya temukan itu kalian?” tanya Pak Joko selaku guru BK. Pria itu berjalan, menyelip di antara barisan sembari memperhatikan murid-muridnya. “Tumben kamu di sini?” tanyanya begitu melihat wajah kecil Allegra.
“Saya telat bangun, Pak.”
“Hm ... lain kali jangan buru-buru ke sekolah. Jadi kelupaan sama apa yang harusnya dipakai,” ucap Pak Joko setelah berdeham, lalu berjalan lagi ke depan barisan.
Allegra melongo heran, memeriksa tubuhnya sendiri. Ucapan Pak Joko barusan kontan membuat semua cowok di barisan itu menoleh padanya. Ya, hanya ada satu dua cewek di sana. Tatapan para cowok itu langsung berbinar, bak menemukan sesuatu yang menggiurkan. Beberapa dari mereka memilih berbisik samar-samar. Sedetik kemudian, sosok Bimantara berdiri dengan cepat di depan Allegra, hingga gadis itu mundur beberapa langkah.
“Lo mau ngapain?”
“Hadap depan nggak? Gue colok, nih, mata kalian!” gertak Bimantara pada beberapa pasang mata yang masih memindai gadis itu.
Kalau bukan Bimantara yang bicara, mungkin mereka masih setia memandangi Allegra. Namun, begitu suara tegas Bimantara terdengar, mereka dengan cepat berbalik badan dan fokus pada Pak Joko. Tiga cewek di barisan lain terlihat berbisik-bisik sembari menatapnya. Sudah Allegra duga, cowok di depannya itu memang punya pengaruh besar di sekolah.
“Bisa diam, nggak? Nanti juga lo berterima kasih ke gue.” Bimantara sama sekali tak berminat menatap Allegra yang mendengkus sini. Kedua iris cokelatnya sibuk mengedarkan pandangan.
Arahan Pak Joko baru saja selesai. Ah, bahkan itu lebih disebut teguran, tetapi beruntungnya mereka tak dihukum. Semua murid yang ada di barisan itu segera berpencar menuju kelas masing-masing. Kecuali beberapa cowok yang masih diam menatap Allegra sembari tertawa kecil.
“Woy, bisa minggir nggak lo? Gue mau ke kelas,” ketus Allegra.
Bimantara menggeser langkahnya. “Lain kali kalau mau ke sekolah pakai daleman,” bisik Bimantara. Allegra yang mendengar itu hanya mampu membulatkan mata hitamnya. Tentu saja reaksi kaget itu berhasil membuat Bimantara tergelak. “Biar gue tebak, hari ini lo pakai warna hitam, ‘kan?”
Allegra segera menutupi bagian dada dengan tas ranselnya, menahan malu sekaligus merasa dilecehkan. Bukan hanya Bimantara yang melihatnya, tetapi Pak Joko juga. Dia merutuk kesal pada dirinya sendiri karena ceroboh, sampai lupa memakai baju kaos yang biasa dipakai sebagai daleman. Padahal Allegra tahu, seragam sekolah SMA Sapta Wijaya sedikit transparan.
“Kenapa lo ketawa? Lo pikir ini lucu?” tanya Allegra yang tidak tahan mendengar tawa Bimantara.
“Aduh, makanya kalau mau ke sekolah semuanya dipakai dulu. Jangan bego-bego jadi orang,” kelakar Bimantara.
Hal yang justru membuat Allegra naik pitam. Dia menatap Bimantara lama dengan wajah yang sudah penuh emosi. Sedangkan yang ditatap hanya tertawa tanpa dosa. Detik berikutnya, Allegra mengangkat kakinya pelan lalu ....
“Ahh ... s-sialannn!” Bimantara meringis menahan sakit dari tendangan Allegra barusan. Gadis itu menendangnya tepat di area vital. Senyum Allegra mengembang. Puas bisa membalas dendam.
“Aduh, kasihan banget. Sakit, ya?”
Bimantara menunjuk wajah Allegra, wajah cowok itu memerah menahan sakit. Sedang gadis itu hanya menjulurkan lidah, lalu berlari meninggalkan Bimantara. Cowok itu meringis menahan sakit yang membuat wajahnya memerah.
“Ren, tahan itu cewek!”
Teriakan Bimantara, membuat Garen yang sedang melintas, menoleh ke arah Allegra yang sibuk berlari. Lalu, dengan secepat kilat Garen sudah berdiri dengan kedua tangan terbuka seperti seorang kiper yang tengah menjaga gawangnya agar tidak kebobolan.
“Adik manis mau ke mana? Nggak bisa lari, hayo.”
“Minggir atau nasib lo lebih parah dari dia!”
“Nanti dulu. Tungguin Bimantara, tuh,” tunjuk Garen dengan dagunya. Allegra menoleh ke arah Junior yang susah payah berjalan ke arahnya. “Omong-omong, satu titik dua koma. Adik cantik siapa yang punya? Kalau nggak ada, boleh dong Kakak nyalon jadi pemiliknya.” Garen membeo, membuat Allegra menatap ngeri ke arahnya.
Allegra menatap ke arah kaki Garen, satu seringai jahil terbentuk dari bibir tipis ranum itu. Satu injakan penuh dari Allegra lantas membuat Garen mengaduh. Allegra tak mau menyia-nyiakan kesempatan.
-oOo-
“Le, lagian kenapa nggak pakai daleman segala, sih? Udah tahu ini seragam tembus pandang,” komentar Tari yang berdiri sambil melipat tangan di depan dada, menyenderkan kepalanya pada tembok toilet.
“Gue lupa, Tar. Untung ada lo yang suka bawa baju lebih ke sekolah.” Allegra mengeraskan suaranya dari dalam sana.
“Bukan bawa lebih, bego. Ini gue jualan, cari nafkah,” kesal cewek berambut kecokelatan yang dikuncir kuda. Allegra hanya terkekeh, sengaja membuat Tari kesal. Pasalnya gadis itu selalu memamerkan wajah gemasnya saat dibuat kesal oleh Allegra.
Kali ini Tari tak menanggapi karena sudah mulai sibuk dengan ponsel. Keduanya berjalan bersisian keluar dari toilet. Sepanjang jalan, Tari menghela napas. Mungkin karena online shop-nya sedikit sepi. Sudah hampir lima bulan gadis itu menggeluti kegiatan tersebut.
“Ya, Allah. Ya, Gusti!” pekik Tari, nyaris saja dia melempar benda pipih di tangannya.
“Kenapa, Tar? Ditipu pelanggan lagi?”
“Nih, coba lo lihat,” kata Tari sembari mengarahkan layar ponsel di hadapan wajah Allegra.
Wajah familier itu membuat Allegra hanya memutar bola mata malas. Pasalnya, tiada hari tanpa stalking bagi Tari. Lihat saja sekarang, alih-alih memeriksa dagangannya, cewek itu justru tengah sibuk dengan sebuah akun Instagram yang sudah di-follow sejak masuk SMA Sapta. Allegra tak heran kenapa raut wajah Tari berubah penuh kekesalan, pasti karena foto yang baru saja dilihatnya. Seorang cowok yang pagi ini membuat Allegra kesal juga.
Tari memilih mengetuk-ngetuk kasar layar ponsel. Allegra ikut melihat sebuah postingan yang diunggah akun itu sekitar sepuluh jam lalu. Dia hanya terheran-heran melihat Tari yang begitu kecintaan pada kakak kelasnya tersebut. Padahal menurut cerita yang Allegra dengar, sosok bernama Bimantara itu playboy-nya nauzubillah. Namun, kenapa semua gadis seakan tergila-gila padanya. Berdasarkan cerita yang ia dengar dari Tari, di sekolah ini juga sudah banyak korban cinta palsu Bimantara.
Allegra hanya memutar bola mata malas, lalu melongos meninggalkan Tari yang setiap dinasihati hanya akan menjawab dengan celetukan asal. Tepat di depan kelas, langkah Allegra terhenti begitu melihat sosok tinggi yang tengah duduk di kursi deretan kedua paling depan. Senyum Allegra mengembang, lalu berjalan mendekati pemuda itu.
“Yang satu tukang bucin, yang satu tukang gim. Kalian emang sibuk banget, ya?” sindir Allegra pada Elgi. Sosok yang tak pernah jauh dari ponsel. Bermain gim seakan menjadi nyawa lelaki berambut keriting itu.
“Dari pada gue mainin cewek?” Elgi tetap merespons meski tangan dan matanya fokus pada layar ponsel.
“Nanti bantuin gue angkat jemuran, ya. Kasihan baju orang mau diambil besok. Hari ini ibu lagi kunjungan ke panti. Jadi, gue dapat amanah angkat jemuran,” jelas Allegra sembari nyengir kuda.
“Iya, nggak usah bawel.”
“Sesekali pacaran, El. Biar lo nggak main sama Layla terus,” kelakar Allegra seraya menyebut salah satu nama karakter hero dalam gim yang dimainkan Elgi.
Elgi sama sekali tak berniat membalas ucapan sahabatnya. Dari pada pacaran bikin pusing, seorang Elgi Rafardhan lebih suka menghabiskan waktu dengan ponselnya. Selama Allegra masih menjadi sahabatnya, itu saja sudah cukup. Lebih baik satu, tetapi selalu ada. Dari pada banyak, tetapi lebih mementingkan ego sendiri.
—Bersambung
Kamu si perayu yang mudah membuat perempuan layu.
—
“Kelakuan si kucing garong. Siang-siang udah nongkrong, dapatnya tongkol ....”
Garen terus berdendang di saat semua siswa tengah sibuk di kantin. Matanya menangkap sosok Bimantara yang sedang melancarkan aksi di sudut kantin. Cowok itu tengah duduk dengan sosok Jelita yang akhir-akhir ini menjadi incarannya.
“Nanti pulang bareng, ya.” Bimantara memulai aksinya.
Ya, Bimantara memang selalu memulai permainannya dengan kata ‘pulang bareng’ setelah itu, dia bisa bebas buat anak gadis orang baper dan setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, pasti ditinggal begitu saja. Jelita yang sepertinya sudah kelewat baper hanya bisa mengangguk pasrah.
“Eh, bentar. Minuman aku abis, mau pesan lagi, nih. Nggak apa-apa kalau kita ngobrol lama? Bel juga masih lama,” tambah Bimantara yang beranjak dari tempat duduknya. Jelita lagi-lagi mengangguk dan membiarkan Bimantara bergabung dengan beberapa siswa yang tengah mengantre di kantin.
Bimantara dan tubuh tingginya kini berdiri menunggu antrean di kedai minuman favoritnya. Sembari menunggu, dia mengeluarkan ponsel dan melihat beberapa pesan masuk dari korban cinta palsunya yang lain. Saat sedang santai membalas chat yang masuk. Tiba-tiba seseorang menabrak bahu Bimantara. Hampir saja ponsel ditangannya terjatuh. Pemuda itu mendelik kesal pada gadis bermanik mata hitam itu.
“Jalan pakai mata, Mbak!”
“Lo ngapain berdiri di jalan?” tanya gadis itu.
“Jalan? Lo buta? Ini tuh orang lagi antre. Makanya punya mata dipakai, dong,” balas Bimantara sembari menatap pada Allegra, cewek yang tadi pagi seenak udel menendang ‘adiknya’.
“Ya, udah.” Allegra hendak menjauh, tetapi Bimantara dengan cepat menarik kerah baju bagian belakang cewek itu. “Mau apa, sih? Nggak usah tarik-tarik!” bentak Allegra.
“Galak banget lo, udah kayak kucing beranak aja.”
Allegra hanya memutar bola mata malas, lalu kembali hendak meninggalkan Bimantara. Lagi-lagi cowok itu menariknya. Kali ini bukan kerah baju, tetapi lengannya. “Nggak usah pegang-pegang, dong!”
“Lo minta maaf sama gue ... sekarang!” titah Bimantara dengan lagak mengangkat dagu.
Allegra tertawa pelan, untuk apa juga dia meminta maaf pada Bimantara? Bukankah seharusnya pemuda itu yang harusnya minta maaf karena tadi pagi sudah tidak sopan padanya?
“Sori, gue kayaknya nggak ada salah sama lo.”
Bimantara mengangguk, diikuti senyum miring.
“Lo udah nendang gue, kalau lo lupa.”
“Itu juga karena lo nggak sopan.”
“Itu salah lo nggak pakai kaos. Udah tahu ini seragam transparan, sengaja mau pamer?” cerocos Bimantara.
Allegra hanya menatap tidak percaya pada omongan cowok itu. Pamer katanya? Yang benar saja. Apa yang mau dipamerkan dari Allegra yang tepos itu.
“Pokoknya gue nggak mau minta maaf. Lo yang salah, lo yang minta maaf.”
“Gue? Lo kali.”
Bimantara dan Allegra terus beradu mulut, membuat seisi kantin kini memperhatikan mereka. Bimantara tak mau kalah, meski bisikan samar mulai terdengar. Bimantara nggak mau kalah sama cewek. Apalagi ini sama adik kelas. Begitulah kira-kira bisikan-bisikan yang didengarnya Bimantara kelewat bersikap tak acuh, cewek di depannya itu memang enak diajak gelut.
“Lo yang salah. Lo yang minta maaf. Cowok, kok, nggak mau minta maaf,” sergah Allegra.
Garen mendekat ke arah mereka bersama dengan Jelita. Mereka berdua berdiri di samping Bimantara yang melipat tangan di depan dada. Sedang Allegra hanya berkacak pinggang sembari menatap kesal ke arah Bimantara.
“Lo udah bikin nyawa gue terancam,” protes Bimantara.
“Nggak usah berlebihan.”
“Ini menyangkut hidup dan mati!”
Garen menghela napas, lalu berujar, “Ayo, adik manis, minta maaf aja. Sekalian sama gue. Tadi udah nginjak kaki gue, sakit tahu.”
“Nggak!” Allegra berbalik mempertahankan rasa tidak bersalahnya. Dia berjalan cepat keluar dari kantin.
Garen menggeleng, tampak kagum pada gadis itu. “Lo tahu, Bim, dia itu ibarat gula batu.”
“Manis? Pahit, yang ada.”
“Bukan. Dia itu kayak gula batu. Gula, karena dia manis. Tapi, dia batu karena keras kepala,” lanjut Garen yang masih memperhatikan punggung Allegra.
-oOo-
Allegra mengomel sepanjang perjalanan menuju kelas. Setengah kesal pada Bimantara yang seakan menyalahkannya atas semua kesialan cowok itu pagi ini. Padahal tadi pagi, sudah jelas-jelas Bimantara yang menertawakan Allegra lebih dulu. Ya, bagaimana Allegra tidak kesal dan sekaligus merasa dilecehkan.
Langkah Allegra memelan saat sosok berwajah tegas berdiri tepat di depannya. Tangannya terkepal kuat begitu melihat senyum yang paling ia benci. Senyum yang selalu membuat Allegra takut setiap kali menatap manik mata abu itu.
“Kenapa buru-buru? Mau ke mana?”
Kaki kecil Allegra berjalan mundur. Tanpa sadar, kaki kecil itu membawanya ke tempat yang paling siswa SMA Sapta hindari. Tempat itu seperti biasa sangat sepi karena agak jauh dari ruang guru. Jadi, banyak siswa menyalah gunakan tempat itu. Contohnya cowok yang kini berdiri di depan Allegra. Dia adalah Levin, cowok yang ditakuti Allegra beberapa bulan terakhir di sekolah ini.
Allegra masih terdiam dengan lutut bergetar. Setiap kali melihat wajah Levin, dia selalu teringat saat cowok itu memperlakukannya dengan kasar. Semua tindak tanduk kasar Levin, lantas kembali terproyeksi dalam otak gadis bersurai hitam pendek itu. Ketakutan selalu memburunya saat berhadapan dengan Levin. Sejak naik kelas sebelas, entah kenapa Levin tak mengganggunya lagi, tidak mungkin cowok itu akan kembali membuat Allegra merasa terintimidasi, ‘kan?
“Le, lo nggak kangen sama gue? Udah lama gue nggak ganggu lo,” ucap Levin masih dengan senyum menjijikkan. Allegra memilih mundur dan siap memasang ancang-ancang untuk kabur.
Sayang, langkahnya kurang cepat dengan Levin yang kini menarik paksa tangannya. Susah payah Allegra memberontak, berusaha agar Levin melepaskan tangannya. Namun, cowok itu justru semakin kasar menariknya ke halaman bangunan terbengkalai SMA Sapta. Letaknya saja sangat jauh dari bangunan baru SMA Sapta. Jadi, murid atau pun guru jarang melintas di tempat itu. Tempat yang berdekatan sekali dengan bangunan lama SMA Sapta yang sudah tidak digunakan lagi.
“Tolong, lepasin gue!” pinta Allegra dengan suara bergetar.
Alih-alih menggubris, Levin justru mengangkat dagu Allegra dengan kasar. Dia menatap lama sorot mata penuh ketakutan itu. Allegra menghindar dari tatapan Levin. Namun, cowok itu lagi-lagi menariknya, hingga jarak mereka begitu dekat. Allegra memberontak, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kuat tangan Levin.
“Apa kabar? Lama banget, ya, kita nggak main bareng.” Bisikan menjijikkan dari Levin membuat kadar ketakutan Allegra bertambah. Dia terus menghindar saat cowok itu kembali memangkas jarak. Hidung mereka nyaris bersentuhan, jika Allegra tak cepat mendorong Levin.
“Tolong!”
Levin meludah kasar, tak terima dirinya baru saja didorong. Tamparan keras mendarat di pipi Allegra. Dia meringis menahan rasa sakit dan panas di pipi. Meski sekarang matanya juga ikut memanas, cewek itu tetap tak ingin mengeluarkan cairan bening itu dari sana. Allegra semakin ketakutan saat tangan besar Levin mengelus lembut rambut sebahunya. Cowok itu tersenyum penuh kemenangan. Seakan dia baru saja mendapat mangsa setelah seharian mencari mangsa yang tepat.
“Levin, tolong jangan macam-macam sama gue lagi,” lirih Allegra.
“Oh, jadi lo selama ini bikin masalah di sini? Keren juga persembunyian lo.”
Allegra dan Levin menoleh pada sumber suara. Si pemilik suara berjalan dengan santai sembari menghisap rokok. Setidaknya, Allegra sedikit lega karena ada orang lain yang mengetahui bahwa ia sedang dalam bahaya sekarang. Levin cukup terkejut melihat kedatangan Bimantara. Selama ini, tempat persembunyiannya tidak banyak diketahui orang. Untuk itu, saat melihat Bimantara dia langsung kaget dan menoleh pada Rio yang baru saja datang dengan wajah babak belur. Untunglah setelah bertemu dengan Jelita, Bimantara segera mencari tempat untuk merokok. Paling aman, ya di tempat sekarang kakinya berpijak.
“Lo ngapain ke sini, Bim?”
Bimantara mendekat dan menawarkan satu batang rokok utuh pada Levin. Tak lupa dengan koreknya. Melihat hal itu, kening Levin berkerut. “Wah, ternyata tempat tongkrongan lo asyik juga. Enak, nih, udaranya. Segar,” celoteh Bimantara sembari menghirup udara sekitar.
Melihat tak ada tanda-tanda dari Junior untuk menolongnya, Allegra menatap kesal cowok itu. Ya, memangnya siapa Bimantara, sampai-sampai harus berbesar hati akan menolong seorang gadis yang bahkan menendangnya.
“Omong-omong, lo ada masalah apa sama itu cewek?” tunjuk Bimantara.
“Gue rasa ini bukan urusan lo,” jawab Levin.
Bimantara mengangguk paham. Ia memilih mendekat, membabat jarak antara dirinya dan Allegra. Bimantara tersenyum miring, lebih bengis dari Levin. Tentu saja itu membuat Allegra semakin diburu rasa takut. “Iya, lo benar. Cewek ini memang pantas dikasih pelajaran. Oke, lanjut aja, Vin. Sori, ganggu.” Bimantara berbalik hendak pergi dari tempat itu.
Hilang sudah rasa lega dan kesal yang tertanam dalam diri Allegra. Untuk beberapa detik, kehadiran Bimantara membuatnya berharap, jika cowok itu akan berbaik hati menolongnya. Namun, apa yang baru saja dilakukannya, membuat Allegra bersumpah akan membenci cowok itu seumur hidup. Levin di tempatnya tersenyum penuh kemenangan.
“Tolongin gue! Gue mohon!” teriak Allegra.
Langkah Bimantara terhenti bersamaan dengan senyum yang tercetak jelas di bibirnya.
Rio sudah pasang badan untuk mencegah Bimantara berbalik kalau dia berubah pikiran. Benar saja, Bimantara berbalik dan mendekat ke arah Rio. Dia menatap Rio lama, lalu dengan satu pukulan keras, cowok itu tersungkur ke tanah. Puntung rokok yang tersisa sedikit dibuangnya dengan asal. Sejurus kemudian Bimantara sudah mendekat ke arah Levin.
“Lepasin dia!” titah Bimantara.
“Jangan ikut campur!”
“Kalau lo nggak ikutin ucapan gue, lo bakalan nyesel,” balas Bimantara masih dengan wajah tenangnya.
“Gue masih berbaik hati ngasih lo kesempatan buat pergi dari sini.” Levin tetap tak mau menyerah, jemarinya dengan kuat menggenggam pergelangan tangan Allegra.
Bimantara mengangguk-aguk, senyum tipis terlukis dari bibir penuhnya yang seksi. Sesaat kemudian, Bimantara melayangkan tendangan pada perut Levin. Cowok itu tersungkur. Tangan yang sejak tadi mencengkeram pergelangan Allegra, kini terlepas begitu saja. Allegra hanya mampu menutup mulut, tidak percaya jika ada yang berani melawan Levin.
“Sialan lo, Bim. Lo berani sama .... arghhh!” Kalimat Levin terputus saat Bimantara menginjak kasar kakinya.
Allegra sungguh tidak percaya dengan apa yang disaksikannya sekarang. Bimantara ternyata lebih beringas dari seorang Levian Orlando. Levin tetap mengerang kesakitan saat Bimantara semakin menekan kakinya dengan kuat di tangan Levin. Melihat Levin sudah tak berdaya lagi, Bimantara segera menarik tangan Allegra dan membawanya pergi dari sana.
“Lepasin gue!” Allegra menarik kasar tangannya dari Bimantara. Napasnya turun naik tak beraturan saat menyaksikan kejadian tadi.
Kini keduanya sudah menjauh dari area bangunan tak berpenghuni. Masih berusaha menormalkan napas, Allegra sesekali melirik Bimantara. Tatapan cowok itu seakan miris melihat kondisi Allegra sekarang.
“Ternyata selain nggak bisa minta maaf lo juga nggak bisa berterima kasih,” cibir Bimantara yang kini berjalan meninggalkan Allegra. “Pantas lo bodoh.”
“Siapa yang lo bilang bodoh?!” teriak Allegra membuat langkah Bimantara terhenti. Cowok itu tak berbalik dan merespons dengan senyum penuh keterpaksaan.
Allegra terus mengamati langkah Bimantara yang kini berjalan menuju kelasnya. Sepanjang jalan, banyak siswi yang tampak kagum pada cowok yang kerap mengenakan hoodie abu-abu itu. Sedangkan Allegra tak mengerti dengan pandangan semua orang tentang Bimantara. Selain menyebalkan, cowok itu sombong dan playboy. Bagaimana bisa para betina itu sangat terpesona padanya.
Selesai mengamati Bimantara, Allegra berbalik menatap lorong menuju bangunan tak berpenghuni. Mengingat Levin, ia bergidik ngeri. Semoga saja tak ada korban selain dirinya.
“Lebih baik gue cepat-cepat pergi, deh. Sebelum cowok gila itu nongol lagi.”
—Bersambung.
Bisa saja kamu protes terhadap takdir Tuhan. Namun, takdir Tuhan tidak
pernah salah. Termasuk tentang pertemuan kita. Pasti ada arti di baliknya.
—
“Lo serius, Le?” Allegra sampai mendorong tubuh Tari. Gadis itu berteriak heboh di depannya. Elgi yang ikut menyaksikan aksi Tari, hanya menggeleng heran. “Bentar-bentar. Lo serius Kak Bima nolongin lo?” tanya Tari. Allegra hanya mengangguk. “Wah! Kok bisa sih.”
Allegra mengangkat bahu sembari mengabaikan Tari yang kini menarik lengannya. Tatapan gadis itu seakan meminta banyak penjelasan. Allegra menghela napas. Rasanya percuma bercerita pada Tari. Gadis itu pasti akan terus bertanya sampai ke akar-akarnya.
“Lo kenapa terobsesi banget sama Bimantara?” tanya Elgi yang juga sangat penasaran dengan alasan Tari. Alasan cewek itu sampai rela menjadi stalker seorang Bimantara.
Padahal kalau dilihat lagi, Elgi juga tidak jauh beda. Cuma bedanya cowok itu kelewat asyik dengan dunianya sendiri. Terkadang begitu cuek, hingga tak memperhatikan sekitar.
“Ya, nggak tahu, deh. Namanya juga cinta,” beo Tari, “lo, kan, nggak pernah jatuh cinta. Jadi, percuma aja ngomongin cinta sama lo.”
“Hati-hati bisa masuk perangkapnya. Baru tahu rasa, deh.”
“Bodo amat. Lo nggak usah ikut campur urusan cewek, deh. Lagian, kenapa nggak sopan banget sama senior sendiri. Manggilnya, tuh, Kak Bima,” protes Tari penuh penekanan. Elgi tak mau kalah, dia hanya mencebikkan bibirnya. Lalu melongos berjalan lebih dulu. “Ayolah Allegra, lo cerita ke gue!”
“Tar, apa itu yang penting sekarang? Harusnya lo itu tanya sama gue, apa gue baik-baik aja atau nggak?”
“Lo ada di sini, artinya lo baik. Udah buruan cerita!” pinta Tari sembari memasang wajah kesalnya.
Allegra pun berhenti, dia menatap Tari dengan serius membuat gadis itu juga balik menatapnya dengan serius. Keduanya saling tatap di pinggir trotoar. “Gue nggak tahu. Tiba-tiba aja dia udah di sana,” kata Allegra, lalu berjalan menyusul Elgi yang sudah menjauh.
“Ih, Ale-ale jambu biji!” teriak Tari sembari mengentakkan kaki. Dengan sedikit rasa kesal dia pun berlari menghampiri kedua sahabatnya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, ketiganya hanya diam. Sejak tadi Tari sudah sibuk tenggelam di dunia sosial media. Kalau tidak mengecek dagangannya, ya paling stalking Instagram Bimantara. Padahal, yang selalu didapatnya hanya rasa sakit hati setiap melihat postingan Bimantara bersama pacarnya.
“Kapan Kak Bima ada niatan suka sama gue?” gumam Tari. Gumaman yang ternyata di dengar oleh Elgi dan Allegra.
“Nggak usah mimpi. Standar dia di atas lo,” sindir Elgi yang selalu sewot setiap kali Tari membahas Bimantara.
“Lo nggak pernah tahu adanya keajaiban, El.”
“Mimpi aja lo sana!”
“Lo tahu apa soal suka-sukaan? Kalau tiap hari lo cuma berurusan sama karakter fiksi di gim,” pungkas Tari yang tak mau kalah.
“Ketimbang lo? Udah nggak fiksi, tapi cinta sepihak pula. Duh, mirisnya,” tukas Elgi yang kini meringis ke arah Tari. Sengaja untuk mengejek gadis itu. Elgi biasanya tak banyak bicara, tetapi lain lagi jika sudah berhadapan dengan kedua gadis itu.
“Udah! Kenapa jadi kayak anak kecil gini, sih? Berantem mulu. Ini jangan-jangan kalian jodoh,” celetuk Allegra.
“Heh, amit-amit gue sama dia. Entar anak gue jadi apa? Jadi Assassin?” protes Tari tak terima. “Udah ya, gue balik dulu. Dah!” Tari segera berbelok ke salah satu gang. Rumahnya memang berbeda arah dengan Allegra dan Elgi. Melihat punggung Tari, dua anak manusia itu hanya menggeleng.
“Jadi nggak gue bantu angkat jemuran?”
“Astagfirullah! Gue lupa ada jemuran! Ayo, El! Bentar lagi sore, nih!” Allegra menepuk pundak Elgi dengan panik. Lalu, keduanya segera berlari ke arah rumah Allegra.
Rumah minimalis bercat putih itu tampak sepi. Dari arah bawah, jemuran tampak menari-nari sesekali diterpa angin. Rooftop rumah kecil itu memang biasa dijadikan tempat untuk menjemur baju pelanggan. Tepat di samping rumah itu, ada tempat kecil bertuliskan ‘Allegra Laundry’. Tempat yang dijadikan usaha oleh Elis, ibunya Allegra. Sejak suaminya meninggal, hanya dia yang menjadi tulang punggung keluarga, melalui usaha itulah dia dan putrinya bisa bertahan hidup sampai saat ini.
“Buruan angkat!” titah Allegra pada Elgi yang terlihat malas-malasan mengangkat jemuran, tetapi untuk Allegra, Elgi tidak bisa menolak.
Catat! Hanya pada Allegra. Jika cewek lain, pasti dia sudah menolak mentah-mentah. Lebih enak rebahan di kamar sambil main gim.
“Le, gue laper,” keluh Elgi yang berjalan di belakang Allegra. Menyusuri anak tangga menuju lantai bawah.
“Iya nanti gue masakin. Bilang aja lo nggak ikhlas nolongin gue, terus minta imbalan.”
“Jangan suudzon, dong,” protes Elgi yang kemudian berjalan mendahului Allegra.
Cewek itu hanya terkekeh melihat punggung Elgi. Memang dasar Allegra yang hobi membuat Elgi kesal. Elgi menaruh tumpukan cucian di salah satu meja yang biasa dipakai Elis untuk meletakkan baju-baju para pelanggannya.
“Mau makan apa?” tanya Allegra yang berjalan menuju dapur.
“Apa aja yang penting enak.”
“Emang masakan gue pernah nggak enak, El?” Elgi tersenyum nyengir.
Untuk urusan masak-memasak Allegra itu nomor dua setelah Ibunya. Elgi pun berjalan ke arah ruang tamu. Duduk di sana menyandarkan punggung dan menatap seisi ruangan itu.
Rumah itu masih sama seperti dulu. Hanya saja semakin sepi saat sosok Hardin dan Naya sudah pergi. Elgi beralih menatap punggung Allegra yang sedang memotong beberapa sayuran. Dia tersenyum kecil karena sampai detik ini sahabatnya itu masih bisa bertahan dan menjadi sosok yang kuat.
“Omong-omong, emang benar si Bimantara nolongin lo?” tanya Elgi. Allegra mengangguk tanpa berbalik menatap Elgi. “Gue kasih pelajaran aja ke Levin, Le. Lo jangan diam aja kayak dulu. Gue bisa bikin dia nggak berani ganggu lo lagi,” tawar Elgi.
Tawa Allegra lolos begitu saja. Kini ia berbalik menatap Elgi. Cowok itu justru memamerkan wajah kesalnya. “Lo? Ngelawan Levin? Emang lo berani?”
“Yaelah, gini-gini gue jago. Lo nggak tahu gue udah master.”
“Beda konsep, Elgi Rafardhan,” pungkas Allegra gemas.
Elgi terkekeh lalu merebahkan tubuh tingginya di sofa. Mata beriris abu itu tertutup rapat sembari memikirkan banyak hal. Suara Allegra masih terdengar sebelum dia benar-benar terbawa ke dalam alam mimpi.
“Lo tenang aja, El. Tadi gue nggak sengaja lewat kandang mereka.”
“Ya, Le. Gue tidur bentar. Bangunin gue kalau makanan udah siap. Biar gue cepat pulang. Kasihan ibu harus jagain Luna sendirian.”
Allegra tak menjawab. Dia hanya menatap Elgi sejenak lalu kembali melanjutkan aktivitasnya. Sepuluh tahun sudah berlalu sejak dia mengenal Elgi. Pertemuan di panti kala itu membuat Allegra berpikir, bahwa mungkin dia dan Elgi tak bisa bertemu lagi, tetapi memang terkadang ada saja kejutan tak terduga dalam hidup. Elgi kecil diadopsi oleh seorang wanita bernama Gina, janda beranak satu yang kala itu ditinggal mati oleh suaminya. Rumah mereka pun tidak terlalu jauh, hingga Allegra selalu bersyukur, sampai detik ini Tuhan masih membiarkannya berteman dengan orang sebaik Elgi.
-oOo-
Ibu : Alle, tolong jemput Ibu di panti, ya.
Allegra membaca ulang pesan yang lima belas menit lalu dikirim oleh Elis. Gadis itu hanya bisa menghela napas setiap kali Elis meminta dijemput pada jam malam seperti itu. Selain membuka usaha laundry, Elis juga sesekali pergi ke panti untuk sekadar bantu-bantu di sana. Panti yang tak jauh dari rumah mereka, tempat di mana Allegra bertemu Elgi untuk pertama kalinya. Juga ada Naya, yang sekarang sudah pergi menghadap Tuhan.
“Bang, berhenti di depan, ya,” kata Allegra pada sopir angkutan umum. Pria itu mengangguk, lalu berhenti tepat di depan panti.
Allegra memasukkan ponsel dan segera turun dari angkutan umum. Begitu angkutan umum itu menjauh dari hadapannya, dia segera masuk ke tempat itu. Seperti biasa tempat itu ramai dengan anak-anak kecil yang kini lari-larian di sekitar teras. Tinggal lima menit lagi mereka akan menyapa alam mimpi. Sehingga lima menit itu tak ingin disia-siakan begitu saja oleh mereka.
Tak perlu susah payah mencari Elis. Wanita itu tengah duduk di kursi kayu yang tersedia di depan teras, bersama seorang pria yang wajahnya tampak asing bagi Allegra.
“Ibu,” sapa Allegra begitu ia mendekat ke arah Elis. Perempuan berusia akhir tiga puluhan itu segera bangkit dari tempatnya saat melihat sang putri datang.
Pria berdasi yang sejak tadi memperhatikan mereka, lantas tersenyum ramah pada Allegra. Penampilannya rapi, persis seperti direktur-direktur muda di film-film. Usianya pun terlihat tak jauh beda dari Elis.
“Sayang, maaf udah ngerepotin kamu. Oh ya, kenalin ini Pak Rian,” ucap Elis sembari memperkenalkan lelaki di sampingnya.
“Halo, Om. Saya Allegra.”
“Halo, Allegra. Senang bisa bertemu kamu. Kamu cantik sekali, persis seperti yang ibumu jabarkan,” ucap Rian.
First impression yang baik, pikir Allegra. Lelaki itu ramah dan lembut. “Terima kasih, Om.”
“Kalau begitu, kami pulang dulu, Mas Rian,” pamit Elis. Rian mengangguk, membiarkan ibu dan anak itu berjalan menjauh darinya.
“Dia siapa sih, Bu?”
“Donatur baru di panti.”
Allegra hanya mengangguk paham, tanpa ingin mengetahui lebih lagi. Mereka terus berjalan bergandengan. Baginya wanita itu adalah segalanya. Sejak ditinggal kedua orang yang paling mereka sayang, hanya wanita itulah yang menjadi motivasinya untuk terus bersemangat menjadi orang sukses dan bisa membanggakan.
Langkah Allegra memelan begitu melihat sebuah mobil berhenti tepat di depan panti. Matanya membulat begitu melihat sosok yang baru saja turun dari mobil sedan hitam. Cowok itu membenarkan topinya, lalu berjalan menunduk sembari menatap layar ponsel.
“Alle, kok bengong? Ada apa? Kamu kenal dia?” tanya Elis sembari menarik lengan Allegra.
“Nggak, Bu.” Tentu saja Allegra segera menjawab. Terlalu malas jika harus menjelaskan siapa cowok itu lada ibunya.
Sayang, Bimantara yang baru saja melintas tiba-tiba berbalik arah. Cowok itu mengangkat kepalanya, menatap dua orang yang kini berdiri dengan ekspresi berbeda. Allegra melotot tak percaya, sedangkan Elis tersenyum ramah.
“Ngapain lo di sini, Kucing Garong?” tanya Bimantara.
“Siapa yang kucing garong?” Allegra memprotes tak terima. “Harusnya gue yang tanya begitu, Buaya Darat!”
“Katanya nggak kenal, Le. Bagaimana, sih?” protes Elis.
“Emang nggak kenal, Bu. Ini orang sok kenal aja.”
Bimantara hanya melongos, mengabaikan Allegra yang enggan meliriknya lagi. “Tante, ruangan pemilik panti di mana, ya?”
“Pakai tanya segala lo,” celetuk Allegra.
“Alle, jangan kayak begitu.” Elis menyikut lengan Allegra yang hanya mencebikkan bibir. “Oh, kamu masuk aja, terus lurus nanti belok kanan. Pas di dekat tangga,” jelas Elis kemudian.
Pemuda jangkung itu mengangguk. “Terima kasih, Tante. By the way, ini anaknya, ya?” tunjuk Bimantara pada Allegra.
“Ngapain tanya-tanya?” ketus Allegra. Setiap kali melihat Bimantara, bawaannya pengin marah-marah terus.
Lagi-lagi Elis menyikut lengan Allegra. “Iya. Anak saya, Dek.”
“Kok beda, ya? Ibunya cantik, anaknya kayak kucing garong.”
Allegra melotot saat mendengar ucapan Bimantara. Setelah tersenyum ramah pada Elis, Bimantara berjalan meninggalkan Ibu dan anak itu.
“Dasar Kadal berkedok Buaya!” umpat Allegra sembari menatap punggung Bimantara yang sudah menjauh. Melihat ekspresi kesal putrinya, Elis hanya tertawa pelan.
“Kenapa ketawa, Bu? Nggak ada yang lucu, ya.”
“Lucu, Alle. Masa kamu dikatain kucing garong.” Tawa Elis pecah karena Allegra yang cemberut. “Padahal iya, sih. Soalnya kamu selalu garang sama cowok selain Elgi.”
“Ibu tahu sendiri alasannya.” Allegra memilih berjalan lebih dahulu, hingga tawa Elis reda begitu saja. Elis begitu paham kenapa tiba-tiba canggung menyergap mereka.
“Sudah, jangan dibahas lagi,” kata Elis. Dirangkulnya gadis pemilik gingsul itu. Tak lupa senyum tulus menghiasi wajahnya yang awet muda.
—Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!