"Gila! Ngga mau aku. Yah, Ibu aja baru meninggal... Makamnya belum kering, udah mau cari pengganti."
"Kia... Ayah butuh pendamping, menggantikan Ibu. Dan Mama Lisa, Dia bisa menggantikan Ibu, serta menemani Ayah dalam setiap pekerjaan."
"Tapi kenapa harus Dia, Yah? Dia punya anak seusia Kia, dan dia itu hanya mau-... !"
"Fikiran kamu terlalu jauh, Kia. Nanda itu ngga seperti itu, dia akan membantu Ayah ngurus perusahaan. Toh, kamu ngga mau bantu ayah, jadi apa salahnya?"
Akia masih kesal dengan segala keputusan ayahnya. Ya, Ibunya baru saja meninggal Empat puluh hari yang lalu, dan Sang Ayah sudah berani membawa wanita baru untuk menjadi Istri barunya. Lisa Widayanti namannya, Ia juga memiliki anak perempuan yang usianya tak jauh dari Akia. Bahkan, Kakak kelas beda jurusan di bangku kuliahnya.
"Kia... Mama janji, Mama akan...."
"Stop! Akan apa, kamu? Morotin harta Ayahku? Atau apa?" sergah Akia.
"KIA!!!" Bentak sang ayah padanya. Tangan nya mengepal, tapi masih tertahan agar tak melayangkan sebuah pukulan ke pipi yang mulus itu. Yang bahkan, matanya masih bengkak karena masih berduka akibat kematian Ibunya.
"Ayah akan tetap menikahi Mama Lisa. Dan setelah itu, Nanda pun akan tinggal disini."
"Kia akan pergi dari rumah ini, jika Ayah melakukan nya." ancam Kia pada sang Ayah.
"Ada atau pun tak ada kamu, Ayah akan tetap menikah."
"TERSERAH!" Kia berjalan dengan kasar, naik menuju kamarnya. Ia segera meraih koper dan membereskan semua pakaiannya. Tak terkecuali, semua ijazah dan foto sang Ibu. Ia kemas semua dalam satu koper dan membawanya turun.
Sementara itu, dibawah sana Pak Arman dan calon istri barunya tengah berdebat. Lisa meminta calon suaminya itu agar sabar menunggu dan tak tergesa-gesa mengambil keputusan untuk keduanya.
"Aku bisa menunggu, Mas. Tenangkan Kia, agar ngga menjadi masalah baru lagi. Aku juga takut kalau...."
"Tidak, Lisa. Aku akan menikahimu, dengan atau tanpa Kia di samping kita. Dia itu labil, manja, dan keras kepala. Tak akan bertahan lama dia pergi dari rumah ini. Apa yang dia bisa, dengan ijazah perawatnya itu. Pembangkang!" tukas Pak Arman.
Kia memang lulusan perawat, padahal Sang Ayah memintanya mengambil jurusan bisnis agar dapat menjalankan perusahaan keluarga. Wajar saja, karena Kia anak semata wayang Pak Arman dan Bu Lena, pemilik perusahaan bidang ekspor impor yang sudah cukup maju di kotanya.
Suara langkah kaki merebut perhatian keduanya. Tampak Kia turun membawa koper besar sendiri tanpa bantuan dari siapapun. Sang bibik menawarkan diri, tapi Kia menolaknya.
"Kamu, mau kemana?" Pak Arman menghampirinya.
"Kia udah bilang, Kia mau pergi. Jangan cegah,"
"Jika kamu pergi, kamu tak akan bisa kembali."
"Udah Kia bilang, terserah." sergah gadis yang masih penuh emosi itu.
"Kia... Mama mohon, jangan begini. Kamu ngga bisa pergi seperti ini, kamu butuh Ayahmu. Beliau satu-satunya wali kamu." Lisa mencoba untuk jadi penengah antara keduanya. Memohon agar tak terjadi huru hara lagi dan semua lekas membaik. Meski Ia yang harus mengalah.
"Kamu dan anakmu bebas, setelah aku pergi. Nikmati semuanya. Itu kan, yang kalian mau?" tatap sinis Kia pada calon Ibu tirinya itu.
"Engga... Sama sekali engga, Kia. Ngga pernah ada maksud untuk..."
"Biarkan dia pergi. Biar dia tahu, kerasnya dunia diluar sana. Bekerja, dan mencari uang sendiri. Bagaimana rasanya susah, tanpa bantuan sama sekali." Pak Arman tampak begitu tenang, menutupi segala gundah dalam hatinya. Menanggung segala keras kepalanya sang putri, yang sebenarnya sama dengan sifatnya sendiri.
Setidaknya itulah, yang dikatakan mendiang sang istri padanya.
Kia hanya menghela nafas panjang. Ia memantapkan diri, dan berjalan lurus menuju pintu keluar dari rumah itu. Tanpa menoleh sama sekali, dan tanpa membawa apapun termasuk mobil kesayangannya. Ia hanya bisa menatap sedan mewah hitam itu dari kejauhan. Lalu menghentikan taxi yang Ia pesan lewat online.
"Kemana, Non?"
"Jalan aja dulu, nanti berhenti ketika saya minta."
"Baiklah," angguk sang supir padanya.
Suara monitor di sebuah ruangan terdengar begitu nyaring, dengan layar bergerak naik turun sesuai ritme dan pola yang dibentuk. Suara itu tengah memonitor detak jantung seorang Pria bernama Bisma. Pria yang baru saja mengalami kecelakaan fatal hingga motornya hancur tak berbentuk karena menabrak sebuah truk besar yang lewat tepat di hadapannya..
"Bagaimana keadaan Bisma saat ini?" Mata Oma sekar masih sembab, karena kondisi sang cucu yang tengah terbaring tek berdaya disana. Apalagi, titik cahaya dalam tubuhnya lah yang menjadi korban. Mata indah itu, terpercik ceceran kaca hingga membuatnya tak dapat melihat lagi.
"Belum ada perubahan. Padahal, sudah Enam bulan. Kenapa masih seperti ini?" Surya, Adik ipar Bisma berusaha menenangkan sang nenek mertua. Dipeluknya dengan erat, sembari mengusap bahunya untuk saling menguatkan satu sama lain.
Ya, sudah enam bulan Ia terbaring disana dengan segala peralatan yang melekat ditubuhnya. Tak ada tanda-tanda apapun untuk perkembangan kesehatannya. Tampak stuck, dan nyaris membuat semua menyerah dan ikhlas dengan kemungkinan terburuk yang ada.
Para dokter saling bekerja sama menangani kasus Bisma. Operasi, dan bahkan berbagai terapi di lakukan agar tak terjadi Dislokasi yang lebih parah karena pengapuran tulang yang sempat cidera. Semua telah berjuang demi kesembuhan Bisma, bahman tak sedikit yang telah di gelontorkan demi menunjang semua proses yang ada. Andai dapat dirawat dirumah dengan perawat pribadi, pasti itu akan mereka lakukan juga untuk saat ini. Semua agar mereka juga dapat mengawasi Bisma dengan sebaik mungkin di sela segala kesibukan masing-masing.
"Permisi, dengan Tuan Bisma?" seorang perawat wanita datang, dan akan memberikan beberapa tindakan padanya.
"Ya, ini Bisma. Silahkah, Sus." ucap Oma sekar dengan ramah, duduk kembali di atas sofa nya yang nyaman. Sedangkan Surya, telah pamit kembali ke kantornya. Ia mengambil alih sementara perusahaan sementara Bisma tak aktif.
Infus diganti, obat pun diberikan lewat selang yang ada. Tampak sedikit, ketika tangan Bisma menegang ketika menerima suntikan yang sedikit perih merasuk ke dalam aliran darahnya. Perawat itu mengusap dengan lembut jalan obat itu mengalir, sesuai dengan jarum infus yang terpasang di Vena Bisma saat ini.
"Sudah, Bu. Kalau ada apa-apa, silahkan panggil saya, atau perawat yang lain."
Oma Sekar hanya mengangguk, dan tampak Ia memijati kepalanya. Tapi Ia sadar, itu adalah perawat baru yang memang baru kali ini menangani Bisma, putranya.
Tampak oleh nya, Bisma yang masih amat tenang dalam tidur dan mimpi indahnya. Andai bisa berdoa, ingin rasanya Oma sekar meminta agar Bisma bermimpi buruk agar Ia segera sadar dari lelapnya yang tampak indah. Membuatnya amat nyaman hingga enggan bergerak.
"Bangun, sayang. Bagaimana pun keadaan kamu, Oma ikhlas. Oma akan usahakan bagaimana caranya kamu sembuh," harapnya begitu tinggi. Ia pun lama kelamaan terlelap dengan sendirinya, karena semua rasa lelah di tubuh dan isi kepalanya.
Tiiit.... Titttt.....! Beberapa kali monitor berbunyi dengan sangat kuat. Mama sekar terbangun dan menatap gerakan pada monitor itu. Naik turun tak stabil dan tampak mengerikan baginya. Bahkan, Bisma tampak kejang dengan kondisi yang ada.
Oma Sekar seketika cemas, dan memencet bel yang ada. Namun, begitu lamban respon yang Ia terima. Hingga akhirnya Ia berlari untuk mencari bantuan.
"Kemana saja kalian? Cucu saya hampir mati disana. Apa kalian Tuli?!" sergah Oma Sekar, dalam segala emosinya.
Dokter dan beberapa perawat pun datang. Mereka segera menangani Bisma dengan baik, hingga akhirnya tertolong dan kembali normal. Semua menghela nafas lega setelahnya. Hanya saja, Oma sekar tampak amat rengam dengan kejadian hari ini.
"Siapa perawat yang baru saja masuk? Dia yang menangani dan menyuntik obat untuk Bisma." tatap Oma sekar pada semua perawat dengan penuh amarah.
Semua tampak tegang kala itu. Hingga akhirnya seorang perawat masuk dan mengakui kesalahan yang telah Ia buat. Ia lah yang sebenarnya menyuntik obat yang barusan pada Bisma, sesuai dengan apa yang Ia lihat dari catatan.
"Kenapa bisa, kamu beri obat yang salah?" tegur pimpinan padanya.
"Saya ngga salah. Justru saya memberi sesuai yang ada di catatan." perawat itu memberikan bukti foto jadwal obat serta terapinya. Semua lengkap, dan Ia melakukan nya sesuai arahan.
"Kamu baru?" tanya pimpinan itu padanya.
"Saya sudah Lima bulan. Tapi belum memiliki ruangan tetap. Saya masih berpindah tempat untuk menyesuaikan ditempat mana saya harus bertugas."
Semua mata terbelalak melihat semua bukti yang Ia sampaikan. Tak dapat di elak lagi, jika semua yang Ia katakan adalah benar. Dan kini situasi menjadi kembali gempar mengenai obat yang diberikan untuk Bisma sebelum ini.
"Pantas, dia selalu tidur dan nyaris tak pernah bangun. Padahal, semua hasil CT Scan nya baik." ujar salah seorang dokter sayaraf disana.
Permasalahan selesai di awal, penjagaan terhadap Bisma pun di perketat hingga Bisma mengalami banyak kemajuan dan sadar dari tidurnya yang panjang.
" Saya ingin bawa Cucu saya pulang," ucap Oma sekar pada penanggung jawab ruangan.
"Bu, maaf. Tapi belum bisa karena Tuan masih harus perawatan intensif dan...."
"Saya akan bawa perawat kerumah. Saya gaji secara pribadi."
"Tapi, Bu...." perawat itu pun hanya bisa menghela nafas kasar, melihat keangkuhan Oma sekar padanya. Jika dibilang wajar, orang tua mana yang tak cemas ketika beberapa kali cucunya salah diberi obat. Meski oknum tersebut telah ditangkap dan dipenjara.
"Baiklah... Saya akan urus semuanya." ucap sang perawat, membuat Oma sekar seketika tenang dan lega.
Oma sekar pun kembali ke ruangan Bisma, menyapa putranya yang tengah duduk menikmati matahari pagi disana. Meski hanya teriknya yang menghangatkan, dan bukan cahayanya yang indah menyilaukan mata.
"Oma?" Panggil Bisma. Agaknya sudah hafal dengan parfum sang Oma yang memang selalu menemaninya.
"Hey, sayang. Bagaimana saat ini?" peluk sang Oma dari belakang punggungnya.
Perban di mata itu bahkan belum dibuka, karena Oma sekar sendiri belum siap menatap mata cucunya yang tak lagi bisa melihat dunia.
"Buka saja, Bisma sudah terbiasa, Oma. Hanya perlu menyesuaikan diri dengan semua keadaan." pinta Bisma, seketika membuat air mata sang Oma berderai kembali.
"Iya, sayang..." angguk Oma, yang akhirnya membuka perban itu sendiri dengan tangan nya, tanpa bantuan alat sama sekali. Pasalnya, memang sudah tak ada luka apapun di pelipis Bisma atau bahkan disekujur tubuhnya.
Oma menatap nanar mata Bisma. Mata yang masih tampak begitu indah dengan lensa coklatnya, dan tatapan yang biasanya tajam. Tapi kini, tatapan itu tampak kosong tanpa arah, ke depan tanpa tujuan. Bisma tampak sesekali mengibaskan tangan di depan matanya sendiri.
"Hhhh, semua menghilang dan gelap." tuturnya perih.
"Masih ada Oma, Sayang. Oma akan selalu ada disamping kamu,"
"Jangan perlakukan Bisma seperti orang sakit, Ma. Bisma mohon. Bisma tak ingin terlihat lemah di mata siapapun."
Oma sangat tahu bagaimana Bisma, yang memang berwatak keras. Oma hanya bisa mengangguk menyanggupi semua permintaan cucunya itu.
"Permisi... Semua persiapan sudah beres. Dan pasien sudah bisa pulang, jika sudah siap." seorang perawat masuk keruangan mereka. Bisma tampak memejamkan matanya, dan berusaha meresapi suara yang Ia dengar saat ini dengan indera pendengaran nya yang tajam.
" Bukan... Bukan dia yang aku cari."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!