"Assalamualaikum, Mbak Cantik!" teriak seseorang sambil mengetuk pintu rumah Dayana Greesa.
Dengan mata yang masih sangat mengantuk, Dayana terpaksa bangkit untuk membuka pintu dan melihat siapa yang mengetuk pintu rumahnya sepagi ini, orang tuanya sedang berada di luar kota untuk menyelesaikan pekerjaan dan hanya dirinyalah di rumah. Mereka tidak menggunakan pembantu, bukan karena tak mampu membayar. Hanya saja, Dayana terlalu malas untuk mencari orang yang ingin bekerja menjadi pembantunya.
Dirinya lebih memilih mengerjakan sendiri, sambil menunggu kedua orang tuanya pulang dari luar kota. Meskipun pasti melelahkan, tapi Dayana bisa melakukannya selama sebulan lebih. Orang tua Dayana memang sering pindah tempat, wajar Antonia Abraham adalah seorang guru yang sebenarnya sudah menetap di Jakarta.
Tetapi, laki-laki tersebut memilih untuk di pindah-pindahkan agar Anton bisa melihat-lihat sekolah yang ada di Indonesia. Beruntungnya Alya Diva selaku istri sangat setia menemani ke mana pun laki-laki yang mempersunting dirinya itu.
"Ada apa?" tanya Dayana ketika melihat tamu yang sama sekali tak diundang.
Mata yang terpejam seketika terbuka lebar ketika mendengar suara tawa dari orang tersebut yang begitu keras, Dayana pun dibuat bingung dan bertanya-tanya apa sebabnya laki-laki di depannya itu tertawa.
"Ada apa?!" bentak Dayana yang geram dengan pengganggu di depannya.
"Kerudung Mbak kebalik, tai mata bertumpuk bagaikan sampah di Ibu kota. Iler Mbak sudah seperti beberapa pulau yang ada, sungguh pemandangan yang indah di pagi hari ini. Tapi, Mbak tenang saja. Mbak tetap cantik di mata, Irga," tuturnya dengan tangan yang seolah-olah tengah membaca puisi.
'Wait, apa dia bilang? Tai mata, iler?' Dayana segera memeriksa daerah bibirnya dan matanya, benar saja. Ia begitu lelah karena baru saja pulang dari luar kota dan kemarin matanya termasuk debu yang menyebabkan ia harus meneteskan obat mata sebelum tidur, hal itu membuat tai matanya lebih banyak.
"Diam lu, Bocil! Lagian ngapain sih pagi-pagi buta udah ke sini aja! Masih jam enam pagi juga!" bentak Dayana dikarenakan malu.
"Jam enam pagi, Mbak? Ini udah jam delapan, lho," ucap Irga keheranan dengan wanita yang ada di depannya.
Arya Dirgantara, atau yang lebih sering dipanggil Irga berusia tujuh belas tahun dan masih duduk di bangku SMK 58 Jakarta Timur jurusan seni lukis kelas sebelas. Dirinya memiliki rumah yang bersebelahan dengan wanita yang berumur dua puluh dua tahun itu, meskipun umur Irga lebih muda. Namun, dirinya jauh lebih tinggi dibanding Dayana.
Mendengar ucapan Irga yang memberi tahu bahwa sudah jam delapan pagi, Dayana langsung melihat langit yang cerah dan dengan cepat menutup pintu kembali.
"Huwa ...!" teriak Dayana histeris.
"Lah, Mbak kenapa?" tanya Irga yang kebingungan dengan apa yang dilakukan oleh Dayana.
"Ini rantangnya kenapa gak diambil?" sambung Irga melihat rantang yang dari tadi dirinya bawa.
"Ya, ampun. Bisa-bisanya aku telat, gimana kalau habis ini aku dipecat. Mana dikantor mulut karyawannya lemes semua, banyak ngomong doang dan suka nyari muka. Aku gak paham kenapa mereka mencari muka, apakah muka mereka yang segede kelereng itu gak cukup? Eh, bentar. Kelereng emangnya gede? Ah ... sudahlah!" Dayana tak ada habisnya mengucapkan kalimat-kalimat yang entah memang isi hatinya atau sekedar kalimat yang tersusun indah di otaknya. Dirinya sudah siap dengan rok panjang dan hijab serta tas selempang berwarna hitam, dengan segera ia membuka pintu agar tak terlambat nantinya sampai di kantor.
"Eh, Bocil! Ngapain lagi lu di sini?" tanya Dayana saat melihat Irga yang dengan santainya duduk di bangku teras milik mereka sambil bermain handphone.
"Mbak mau ke mana?" tanya Irga melihat penampilan rapi Dayana.
"Mau ke kantorlah! Emangnya aku pengangguran kayak lu, Bocil?"
"Emangnya, ada kantor buka di hari minggu Mbak?" tanya Irga yang mencoba menahan tawanya. Dirinya tahu, jika tawa itu keluar dari mulutnya maka tamatlah riwatnya sebagai calon masa depan Dayana. Ehh, Irga yang ngarep.
Dayana membesarkan bola matanya pertanda; kaget, emosi, kesal dan masih banyak lagi. Dirinya menarik nafas panjang dan membuangnya, "Kamu mau ngapain ke sini, Cil?" tanya Dayana mencoba tersenyum sebisa mungkin.
Bukannya manis, tapi senyuman seram nan menakutkan yang ditampilkan Dayana, "Mau ngasih ini, Mbak. Dari Ibu," ujar Irga tetap menahan tawa.
"Sudah, cuma ini 'kan?" tanya Dayana tetap dengan senyumannya.
"Iya, Mbak. Kalau begitu, Irga pergi dulu. Assalamualaikum," salam Irga dan melangkah pergi.
"Waalaikumsalam," jawab Dayana.
"Apa lagi?" tanya Dayana ketika melihat langkah Irga berhenti dan melihat ke arah dirinya.
"Mbak, gimana dengan penawaran saya?"
"Penawaran yang mana lagi, Cil?"
"Mbak, jadi pacar saya," ucap Irga dan langsung berlari ketika melihat Dayana yang sudah menarik dalam-dalam nafasnya untuk meneriaki dirinya seperti sebelumnya.
Dayana hanya bergeleng-geleng melihat kelakuan anak tetangganya yang tak ada habisnya mengganggu dirinya, Dayana masuk kembali ke rumah dan menguncinya. Pagi yang sangat kacau, itulah yang ada dibenaknya.
"Wihh, enak banget," ujar Dayana membuka rantang yang tadi dibawa Irga. Ia menyusun satu per satu rantang yang berjumlah empat buah, ada berbagai macam masakan. Dayana mengambil piring dan nasi untuk segera menyantapnya.
"Pengen makan bakso, kayaknya hari minggu ini enak, nih! Sambil curi-curi pandang atau tebar pesona," kata Dayana tertawa dengan mulut yang berisi nasi.
Setelah selesai makan, dan memindahkan lauk ke wadah miliknya. Ia mencuci rantang milik Irga dan mengelapnya sampai kering, rencananya akan dia antarkan kembali saat ingin pergi makan bakso seorang diri.
"Hari minggu, saatnya jadi babu!" seru Dayana. Memang pada dasarnya, seseorang akan sangat rajin ketika tak satu pun orang ada di rumah. Bahkan, mengganti cat warna rumah saja mereka akan lakukan jika tak ada orang dan tanpa disuruh sama sekali.
"Banyak banget dah ni debu, pemalas banget yang punya nih kamar," ujar Dayana yang bersin beberapa kali ketika tengah membersihkan kamarnya sendiri. Di kamarnya memang banyak barang-barang yang menurut orang lain sangat membuat berantakan dan tak ada bagus-bagusnya. Namun, menurut dirinya itu sangat indah dan bagus.
"Dahlah, capek! Mending rebahan ngapain juga, aku jadi sok rajin begini." Dayana meletakkan sapu kembali dan memilih merebahkan tubuhnya di tempat tidur sambil mengambil handphone.
Saat tengah bermain handphone dan berselancar di media sosial yang berwarna biru, dirinya melihat postingan salah satu orang yang berisikan, "Jika seseorang pergi, maka tenang saja! Karena sejatinya, dirinyalah yang kehilangan orang sebaik kamu. Bukan kamu yang kehilangan dia." Tulisan dengan nama medsos Ilmy Alfathunnisa.
Dayana hanya tersenyum ketika membaca postingan tersebut dan melihat bagaimana kisah; percintaan dan persahabatannya. Sebelumnya, Dayana memiliki dua orang sahabat dan sangat terbuka kepada mereka. Apa saja yang Dayana tengah rasakan dan jalani maka mereka akan tahu, hingga pada akhirnya Dayana tahu bahwa mereka hanya memanfaatkan kebaikan Dayana.
Bahkan, dengan teganya mereka berdua duluanlah yang menjauh dari Dayana bukan malah Dayana yang menjauh karena mengetahui sifat buruk mereka. Namun, itulah hidup. Kita akan selalu menemukan orang yang memang tulus baik dan tidak.
Karena merasa bosen dengan aktivitas yang dilakukannya, Dayana berniat untuk makan bakso di pinggir jalan sore ini, karena kalau di tengah jalan maka dia akan ditabrak atau dianggap tidak waras oleh para penghuni jalan. Tidak lupa, Dayana membawa rantang yang tadi pagi Irga bawakan untuknya.
"Ini, kalau nanti diantar langsung ke rumah si Bocil apa dia gak minta ikut? Kalau dia ikut nanti gimana?" tanya Dayana bimbang dikarenakan rantang yang dipegangnya.
"Heleh, palingan dia gak ada di rumah juga. Biasanya juga ngumpul sama temen Ep-epnya," sambung Dayana dan mengunci pintu. Dirinya terlebih dahulu sudah melaksanakan kewajiban sebagai umat muslim, Dayana berjalan ke samping rumahnya karena memang rumah mereka bersebelahan.
"Assalamualaikum, Buk!" teriak Dayana tanpa mengetuk pintu.
"Waalaikumsalam, Mbak," jawab Irga dengan tangan kiri memegang handphone.
"Nah, makasih!" Dayana langsung memberi rantang tanpa berkata apa-apa lagi, dirinya sangat malas jika harus bertemu dengan Irga.
"Mbak ... tunggu!" teriak Irga.
Dayana tak memperdulikan teriakan remaja yang menjelang dewasa itu, ia tetap berjalan mencari angkot atau apa saja untuk dia naiki agar sampai di warung bakso.
"Mbak gak budeg 'kan?" tanya orang yang tiba-tiba ada di samping Dayana dengan ngos-ngosan.
Dayana yang kaget dengan keberadaan Irga langsung berhenti dan sedikit berteriak, dirinya tak mendengar suara langkah Irga, "Mau ngapain lu, Cil?" tanya Dayana yang heran dengan keberadaannya.
"Ya, mau ikut sama Mbaklah!" seru Irga dengan percaya dirinya.
"Gue emangnya mau ke mana?" tanya Dayana bersedekap.
"Makan bakso? Beli roti, cilok, boba, es cream, cimol, batagor, gula-gula, crepes. Intinya, Mbak pasti mau menghabiskan uang," tutur Irga dengan senyuman Pepsod*nt merasa dirinya bisa menebak ke mana Dayana akan pergi.
'Buset, nih Bocil pintar banget. Lagian, aku kalau pergi kali-kali ketemu ama Ayang, kek. Jangan ketemu sama laki orang mulu!' batin Dayana menatap geram orang yang berada di depannya.
"Gue kagak ke warung bakso dan ke tempat yang lu sebutin tadi, Cil," elak Dayana dengan wajah yang dibuat seserius mungkin.
"Jadi, ke mana?" tanya Irga mengerutkan alisnya.
"Ketemuan sama Ayang, dong. Lu kira gue jomlo, ape?!"
Dayana mulai melangkahkan kakinya mencari alat transportasi yang akan membawanya, Irga ternyata tak tinggal diam. Dia mengikuti wanita tersebut dari belakang, merasa ada yang mengikuti Dayana berhenti dan memasang wajah datarnya ke arah Irga.
"Lu mau ke mana?"
"Mau ikut sama, Mbak."
"Dih, ngapain?"
"Mau liat, Ayang Mbak."
"Kenapa diliat segala?"
"Masih cakepan aku apa dia? Kalau cakepan aku, masih kalah jauh dah dia itu. Mending Mbak sama aku aja, kalau Mbak rindu aku tinggal pura-pura minta gula aja sama Mama. Nanti pasti dikasih dan sekaligus bisa jumpa aku, kok. Gak perlu jauh-jauh naik angkot seperti ini," rayu Irga panjang kali lebar kepada Dayana. Sedangkan Dayana hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar ucapan manusia di depannya ini.
"Cakepan dialah, ya, kali kamu."
"Masa? Kok gak pernah dibawa ke sini? Ganteng doang, gak berani jemput ceweknya."
"Diam deh lu, Cil. Aelah!"
Dirinya kembali melanjutkan langkahnya dan membiarkan Irga ikut, tak mungkin bisa melarang orang yang saat ini ada di sampingnya untuk tak mengikuti dirinya. Karena, itu sama saja Dayana pun harus tak jadi pergi yang awalnya memang ingin membeli bakso.
"Kamu punya duit?" tanya Dayana saat sudah sampai di halte tempat menunggu angkot yang lewat.
"Ada dong, Mbak. Kenapa? Mbak mau aku bayari baksonya? Gak usah cowok, Mbak itu. Ntar, kalau putus dia malah buka bon sama Mbak."
"Bon apa?"
"Bon makan bakso Mbak, parkir motor dia, uang minyak dia atau yang lainnya."
"Lu tau beginian dari mana dah? Kayak orang dewasa aja omongan lu, Cil."
"Aku emang udah dewasa, Mbak. Mbak aja yang selalu manggil aku Bocil atau Cil," protes Irga yang tak terima dengan nama panggilan dari Dayana.
"Dih, emang masih bocil juga lu," ucap Dayana tertawa melihat ucapan demi ucapan yang keluar dari bibir Irga.
"Dewasa itu bukan dilihat dari umurnya, Mbak. Akan tetapi, dari cara dia berpikir dan juga dewasa adalah saat seseorang tersebut tidak menyalahkan orang lain atas kegagalan yang di dapatkannya. Lagian ... coba deh, Mbak berdiri!"
Dayana yang tadinya duduk seketika berdiri ketika disuruh oleh Irga, "Kenapa?" tanya Dayana yang kebingungan apa sebabnya dirinya disuruh berdiri.
Irga mendekat tapi tetap memberikan jarak di antara mereka, "Mbak bisa liat? Mbak lebih bocil daripada aku," kata Irga meluruskan tangannya di depan hidungnya.
Dayana yang melihat hal tersebut langsung menatap malas ke arah Irga, lagi-lagi tinggi badan selalu menjadi jawabannya. Sedangkan Dayana selalu mematokkan umur untuk men-cap seseorang.
"Niatnya mau jalan-jalan sore, malah jalan-jalan sengsara," ujar Dayana memilih duduk kembali.
"Siapa yang membuat, Mbak sengsara?" tanya Irga yang berada di samping Dayana tengah bersandar di besi.
"Lu, Bocil!"
"Lah, kok Irga yang tampan ini bisa buat Mbak sengsara? Padahal Irga gak minta gendong sama Mbak dan gak paksa Mbak buat cinta balik ke Irga, lho."
Mendengar kalimat terakhir, Dayana menatap geram Irga. Dirinya berdiri dan menghentikan angkot serta langsung masuk tanpa memperdulikan Irga yang memang tak diajak atau diundang, Irga tertawa dan masuk ke angkot duduk berhadapan dengan Dayana. Namun, Dayana memilih mengalihkan pandangannya tak ingin rasanya melihat orang yang saat ini duduk di depannya.
'Sabar, Dayana. Bagaimana pun Mamanya sangat baik padamu, jangan sampai kau hilangkan anak sulungnya ini. Sabar, jangan tunjukkan jiwa sikopetmu,' batin Dayana saat sekilas melihat ke arah Irga yang tersenyum memperhatikan dirinya.
Irga memang anak pertama dari dua bersaudara, dirinya memiliki adik cewek yang masih TK. Adiknya pun dekat juga dengan Dayana, namun tidak terlalu sering mereka bermain bersama diakibatkan Dayana yang sibuk dengan kariernya.
Seperti yang selalu dikatakan Dayana kepada Irga ketika laki-laki tersebut bertanya, mengapa dirinya begitu keras bekerja. Padahal, Dayana adalah anak satu-satunya sudah pasti kelak seluruh harta akan jatuh padanya bukan untuk orang lain.
Namun, dirinya selalu menjawab, "Allah memberi anggota tubuh, kemampuan, kepintaran kepada masing-masing manusia untuk manusia tersebut berusaha sendiri bukan malah berpangku tangan dan berharap kepada manusia lain."
Tak heran, Irga semakin jatuh cinta dengan wanita tersebut. Jawaban yang keluar dari mulutnya selalu mampu membius laki-laki tersebut untuk semakin jatuh cinta yang begitu dalam pada sosoknya.
Sebenarnya, Dayana tidak terlalu suka jika jalan-jalan sendirian. Itu membuat dirinya menjadi ingat tentang masa lalu terlebih pada tunangannya yang selingkuh pada wanita lain, dirinya sedikit bahagia ketika Irga berinisiatif menemaninya tanpa dipinta atau diberi kode terlebih dahulu. Lagian, bukankah memang seperti itu wanita? Sok jual mahal atau lebih tepatnya gengsi, atau malah berpikir takut merepotkan? Biarlah itu menjadi pikiran para kaum datang bulan tersebut.
"Makan di mana, Mbak?" tanya Irga yang melihat beberapa bakso langganan sudah terlewati dari kaca angkot. Ya, dirinya sering mengikuti Dayana mangkanya tak heran jika dirinya tahu tempat makan bakso langganan gadis tersebut.
Melihat tak ada tanggapan, Irga mencoba menyadarkan Dayana yang mungkin rohnya tengah pergi entah ke mana," Mbak kalo gak ngomong pas hitungan ke tiga, saya pindah ke samping Mbak! Satu ... dua ... tig—"
"Wey ... wey ... wey. Lu kagak sovan banget, ya, Cil. Pake ngancem yang paling tua segala!" protes Dayana memajukan bibirnya lima centi.
"Mbak, sih. Masa pacarnya yang tampan ini dianggurin, di apelin dong sesekali," goda Irga dengan senyuman yang membuat siapa saja ingin muntah.
Sontak, mendengar ucapan Irga membuat beberapa penumpang melihat ke arahnya. Bisa-bisanya laki-laki tersebut berucap sedemikian rupa.
"Jingin micim-micim, itii kimi cimi tinggil nimi," kata Dayana merapatkan giginya dan tersenyum ke arah Irga. Bukannya takut, dirinya malah tertawa melihat gaya bicara Dayana saat itu.
"Mbik, cintik bingit kilii giti. Tipi, kisiin pimbici jidinyi," jawab Irga menirukan gaya bicara Dayana tadi.
"Kalian berasal dari negeri dongeng mana, Dek?" tanya salah satu ibu-ibu penumpang yang berada di samping Dayana.
"Kami dari negeri dongeng putri duyung, Buk. Mbak, pengen banget jadi putri duyung. Tapi, putri duyung asli menolak dirinya," celetuk Irga yang tak ditanya membuat ibu tersebut akhirnya melihat dirinya.
"Kenapa ditolak?"
"Karena putri duyung yang lain takut kalah saing karna kecantikan, Mbak," rayu Irga mengedipkan satu matanya ke arah Dayana yang kebetulan melihat dirinya.
'Demi apa pun, lenyapkan manusia di depanku saat ini. Aku rela, gak papa. Nih aku malu banget meskipun, ya, yang dia ucapkan benar,' batin Dayana yang mencoba menahan emosi dan menahan segala yang ingin keluar ketika mendengar penuturan Irga.
"Adik kamu, ya, Dek?" tanya ibu tersebut lagi pada Dayana.
"Bu—"
"Pacarnya, Bu. Saya pacar Mbaknya." Belum sempat Dayana berucap, Irga sudah lebih dulu memotong kalimatnya.
"Pak, berhenti!" ketus Dayana kepada supir angkot.
"Wah, ternyata Mbak sudah tak tahan ingin memakan aku hidup-hidup," ucap Irga pelan yang masih bisa di dengar dengan jelas oleh telinga Dayana meskipun tertutup hijab.
Setelah membayar uang ongkos, Dayana berjalan lebih dulu. Dirinya meninggalkan Irga yang padahal tak mengetahui daerah mana sekarang mereka berada, "Apa aku tinggalkan aja tuh, Bocil. Siapa tau dia di culik, atau di makan hidup-hidup sama Dinousorus," kekeh Dayana saat melihat Irga yang masih menunggu kembalikan angkotnya. Dayana dengan cepat bersembunyi di salah satu mobil yang kebetulan ada di dekatnya.
Irga memang lumayan sering mengikuti Dayana pergi, terkadang pun dirinya juga sering pergi bersama dengan teman-temannya. Namun, Irga bukanlah tipe anak yang mampu mengingat nama-nama jalan. Terlebih lagi, dirinya setiap bulannya akan berjalan jauh di suatu tempat dan itu membuat dirinya terkadang tak mampu menghafali nama-nama jalan daerahnya tersebut.
Irga memiliki komunitas anak motor, dirinya tergabung dalam komunitas itu semenjak masuk SMK. Tak jarang, kadang dirinya pun ikut balapan dengan temannya. Padahal, Rosmawati sudah melarang anak sulungnya untuk mengikuti hal-hal buruk seperti itu.
"Semoga nih mobil kagak bunyi atau jalan pas aku ngumpet," kata Dayana pelan sambil memperhatikan Irga yang sedang memasukkan uangnya ke saku celana.
"Lah, Mbak ke mana? Apa di makan sama keong, ya? Eh, keong makanan Mbak." Irga mulai menggaruk-garuk kepala yang tak gatal dan tak berpenghuni kutu melainkan; buaya, gajah dan gorila. Sambil melihat-lihat sekitar.
"Mbak di mana, ya? Masa tega meninggalkan cowok setampan, semanis dan se-aku ini," ujar Irga yang berpusing-pusing mencari keberadaan Dayana. Dirinya yakin seribu persen bahwa wanita yang meskipun membenci dirinya atau terusik karena hadirnya, tak akan tega meninggalkan sendirian.
Saat dirinya melihat-lihat, tanpa Dayana sadari kedua mata Irga melihat sosoknya yang tengah bersembunyi di mobil orang lain, "Oh ... Mbak mau bermain-main sama aku? Oke, Mbak. Jangan nangis, ya, nanti," ucap Irga yang di otaknya sudah terancang rencana untuk menjahili Dayana.
"Eh, dia lihat aku atau enggak sih tadi? Kayaknya enggak, dia 'kan rada buta. Eh, minus karena keseringan liat handphone mulu," kata Dayana yang tetap memperhatikan Irga dari jauh.
"Mbak ... Mbak," panggil Irga yang berjalan pergi meninggalkan tempat turunnya mereka.
"Lah, kok tuh Bocil malah pergi. Seharusnya kayak di pelem-pelem, dong. Dia nemuin aku, eh atau dia akan bersiap-siap buat ngagetin aku dari belakang?" tanya Dayana kebingungan dengan apa yang terjadi.
Setelah menunggu sepuluh menit lamanya, Dayana akhirnya beranjak dari sembunyian dan melihat ke mana arah Irga pergi. Jujur, dirinya khawatir sama Irga meskipun dirinya beban. Udah beban keluarga, beban tetangga pula. Bagi kalian yang beban sama kayak Author, boleh dicoba jadi beban tetangga. Mana tahu, seru gitu.
Dayana melihat-lihat setiap orang yang berlewatan, mana tahu orang tersebut menyembunyikan Irga, "Mampus, mana lagi nih si Bocil. Kalau dia kenapa-kenapa, aku gimana? Eh, kenapa jadi aku gimana? Maknya bisa marah besar sama aku, habis itu aku dituntut karena gak becus jadi babunya tuh Bocil," rutuk Dayana dengan wajah cemas meskipun entah itu cemas beneran atau palsu semata.
Saat dirinya berjalan, ia melihat ada preman yang sedang melancarkan aksinya entah sama siapa. Dengan penasaran, Dayana melihat orang yang di palak preman tersebut, 'Ha? Irga. Astagfirullah nih Bocil, buat masalah aja,' batin Dayana melihat wajah menyedihkan Irga.
"Tolong ... ada preman di sini, mau malak anak hilang. Tolong ...," teriak Dayana. Seketika preman tersebut langsung melihat ke arah belakang yang terdapat Dayana, preman tersebut langsung lari sebelum orang pada ramai berdatangan. Suasana jalan masih lumayan sepi di daerah mereka sekarang, mungkin dikarenakan masih pukul empat sore. Biasanya akan ramai saat mau dekat dengan Magrib.
"Lu gak papa?" tanya Dayana mendekati Irga yang terduduk.
"Mbak ke mana aja, sih? Iya, Irga tau Irga cuma beban buat Mbak. Tapi, jangan tinggalin Irga juga kali Mbak. Kalau tadi Irga kenapa-kenapa, berkurang beban orang tua Irga," ujar Irga dengan wajah sedih.
"Ya, mmm ... bagus dong kalau berkurang. Kamu, gak boleh menyiksa seseorang Irga. Alhamdulillah, kamu gak jadi beban lagi," jawab Dayana.
'Dasar si Mbak, gak peka banget jadi orang. Nyebelin tingkat akut!' batin Irga yang tak habis pikir dengan jalan kerja otak orang yang ada di depannya.
Irga bangkit dan meninggalkan Dayana begitu saja, "Dih, Cil. Ntar, lu kena copet lagi!" teriak Dayana yang melihat jalan Irga menghentak-hentak tanah.
"Lagian, heran liat preman. Kok yang di palak beban orang tua, beban negara noh di palak. Ehh," kekeh Dayana dan berlari mengejar Irga. Lumayan, setidaknya Irga merasakan dikejar wanita jangan selalu dikejar angsa betina saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!