...SELAMAT MEMBACA...
Tahun 2022, Negara La Centre, Royal Padra.
Royal Padra merupakan arena pacuan kuda bergengsi di salah satu negara maju monarki. Walau hari ini begitu terik, semangat 3.500 orang di garis penonton Royal Padra tidak surut karena Raja dan Ratu La Centre berserta keluarga kerajaan lainnya hadir dalam acara pacuan kuda yang digelar hari ini sebagai event tahunan ditambah satu peserta pacuan kuda diisi oleh Putri Marry Hetloin, putri bungsu penguasa. Putri Marry Hetloin adalah wanita berusia 22 tahun yang gemar mengikuti pacuan kuda dan hari ini, sekali lagi, Marry akan menunjukkan kemampuannya.
Pada tengah arena terdapat ruang lapang berumput hijau yang dipangkas begitu rapi, terlihat seperti permadani cantik sementara bagian tengah, jalur pacuan melintang diapit oleh area para penonton.
Hingar bingar meledak bersamaan atraksi pacuan kuda dimulai, para peserta melesat bersama tunggangannya. Marry Heitlon memimpin di garda terdepan membuat beberapa anggota kerajaan berdecak kagum bahkan para penonton berseru lantang sambil melaungkan nama Marry.
Marry tersenyum, tak ada yang lebih membahagiakan dari ini, namun tiba-tiba kuda tunggangannya mengikik keras, memberontak. Marry kesulitan dan panik, berusaha menenangkan kuda kesayangannya tersebut. Na'as, belum mencapai kemenangan, tubuh Marry terlempar, membentur pembatas jalur pacuan.
Hari meriah ini tiba-tiba menjadi suram. Kehebohan terjadi di Royal Padra, sementara kesadaran Marry perlahan kabur dibarengi darah yang tak henti keluar dari beberapa retakan di kepala, walau sudah memakai pelindung, benturan itu benar-benar membuat Marry tak berdaya.
Marry terus meringis, tapi senyumnya terlukis kala melihat raut panik dan khawatir ayah untuk pertama kali padanya bahkan Marry bisa lihat ayah berlari penuh ketakutan padanya.
...****...
...Tahun 1689, Negeri Valazad, Wilayah Raitle, Mansion Duke Of Raitle....
"Nona, tolong ampuni saya! Saya berjanji tidak akan mengulangi hal yang sama."
Seorang pelayan bersimpuh, mengemis pengampunan pada gadis bergaun merah sutera dengan riasan tebal yang semakin memperjelas aura antagonisnya, Lail Manuella, putri pertama Duke Raitle. Tapi, saat ini tubuh Lail dirasuki oleh Marry.
Saat ini Marry dalam posisi menjenggut rambut pelayan yang tanpa sengaja menumpahkan teh pada gaunnya. Namun, dalam keterkejutan, Marry mendadak melepas jenggutan tersebut, beringsut ke belakang sambil menutup mulut menggunakan kedua tangan.
"Aku jelas-jelas di Royal Padra." Marry bergumam, mata berpendar mengamati ruang bernuansa khas kerajaan abad pertengahan sampai akhirnya atensi Marry jatuh kepada pelayan yang terus menangis di hadapannya.
"Apa-apaan ini?" Marry kembali bermonolog lalu melangkah tak tentu pada ruang minum tehnya. Ruang yang beberapa bagiannya berdinding kaca, setiap sudut dihias tanaman cantik dalam pot besar, ubin mengilap dengan corak unik, juga sebuah meja dan sepasang kursi menjadi bagian di tengah ruangan, Marry benar-benar kebingungan dan dibuat pusing.
"Ah, mungkin aku dalam pengaruh obat saat ini sehingga berhalusinasi," Marry menenangkan diri lalu berusaha bersikap sewajarnya dengan duduk kembali di kursi.
Namun, tangis si pelayan membuat Marry terusik. Halusinasi ini terasa sangat nyata! Jantung Marry berdegup kencang, berusaha menepis pikiran konyol jika ia terlempar ke dunia dengan zaman berbeda dari dunia sebelumnya.
"To ... tolong ampuni saya Nona ..." lirih pelayan nelangsa.
Marry geram kemudian berseru lantang, menyuruh pelayan itu diam dan meninggalkannya sendiri. Sekarang, Marry benar-benar sendirian di ruang teh mewah ini. Kepala Marry berdenyut hebat, menunggu kesadarannya benar-benar pulih meski demikian pikiran Marry mengelana tentang bagaimana kondisinya, apakah dia akan koma atau mati? Marry tentu tidak mau mati, mengingat keluarga juga beberapa rekan yang selalu menemaninnya.
Marry terus berdiam diri, sesekali meraih beberapa kue kering pada wadah bertingkat di meja ditemani sebuah ketel dan cangkir terisi teh hitam.
"Kumohon .... pasti ini halusinasi atau mimpi panjang, 'kan?"
Marry bergumam ketika matahari kian merendah, hendak terbenam dan membiarkan petang menguap. Dari pagi hingga malam tiba, Marry tidak mendapati dirinya kembali. Perlahan air mata Marry luruh, terisak pelan menyadari mungkin ia tidak akan pernah kembali.
Marry terus terisak, tidak peduli ruang teh benar-benar gelap karena hanya diterangi oleh sinar bulan yang membias lewat jendela.
"Bagaimana?" Seorang pemuda muncul di depan pintu ruang teh, bertanya pada pelayan tentang kondisi Marry.
"Nona masih di dalam sir Daval." Salah satu pelayan menjawab.
Pemuda itu bernama Daval, pengawal pribadi Marry. Daval datang setelah tahu bahwa Marry tidak meninggalkan ruang teh sejak pagi bahkan mengusir semua pelayan yang sejak tadi memintanya untuk sarapan.
Daval masuk perlahan setelah mengetuk pintu kemudian menekan saklar pada dinding dekat pintu. Lampu hias di pusat langit ruangan menyala, memperlihatkan Marry tertidur di kursi dengan kepala berpangku pada meja.
"Nona tertidur." Daval memberitahu para pelayan di luar.
Perlahan Daval membawa Marry dalam gendongannya dan melirik jejak air mata di wajah Marry.
"Aku akan membawa Nona ke kamarnya." Daval pamit pada para pelayan kemudian meninggalkan ruang teh menuju kamar Marry.
Membawa Marry terbaring di ranjang besar, Daval menyelimuti Marry lalu pergi dari sana setelah menutup pintu dan mematikan lampu kamar, hanya menyalakan lampu tidur pada nakas.
...***...
Marry terbangun, bukan di negara asalnya atau dunia sebelumnya, melainkan di sebuah padang rumput tak berujung bersama wanita berwajah cahaya, berdiri di sampingnya. Saat ini, Marry tidak tahu bahwa ia berada di alam mimpi.
"Kau sudah mati, Marry Hetloin."
Marry terperangah lalu melotot setelah mendengar penuturan wanita itu bersamaan lokasi mereka yang yang berganti, berada di ruang mewah dengan peti putih besar dikalungi rangkaian bunga dan dikerumuni oleh seluruh anggota keluarganya.
Marry bergeming, jantungnya bertalu-talu ketika melihat tangis keluarga pecah ditambah tutup peti bergeser dan menampakkan wajah pucat dengan tubuh kaku dirinya di dalam sana.
Marry meninggalkan posisinya, berusaha menyentuh ibunya tetapi itu seperti kepulan asap ketika disentuh. Marry heran dan ketakutan lalu menatap si wanita berwajah cahaya.
"Apa yang terjadi? Kenapa aku tidak bisa menyentuh ibu? Lalu, kenapa aku disana?!" Marry meraung, air matanya kian luruh sehingga napasnya tersendat-sendat.
"Seperti kataku di awal. Kau sudah mati, Marry Hetloin. Saat ini siapa pun tidak akan bisa melihat kita karena sekarang kau dan aku adalah ketidak beradaan di dunia ini." Wanita itu menjelaskan bersamaan jentikan jari yang mengembalikan lokasi mereka di padang rumput.
Marry tak mengelak, hanya mampu bersimpuh dan terus menangis.
"Tapi, kami memberimu kehidupan kedua dari manusia yang tidak pernah berubah setelah diberi kesempatan kedua."
Marry mengernyit, memandangi sebuah asap mengepul lalu membentuk sebuah layar aneh, mempertunjukkan kisah hidup seorang gadis bangsawan berwajah persis dengannya.
"Namanya Lail Manuella. Bisa dibilang dia kembaranmu dari zaman lain. Lail Manuella memiliki kepribadian buruk sehingga membuatnya mengalami kematian tragis kemudian Lail Manuella memohon untuk diberi kesempatan kedua, namun setelah diberi kesempatan agar mengulang kehidupan untuk kedua kalinya, Lail Manuella justru melakukan hal yang lebih buruk dari kehidupan sebelumnya. Maka dari itu, kami menarik kembali jiwa Lail Manuela dan menukarnya denganmu. Kami ingin kau melanjutkan kehidupan kedua yang Lail Manuella sia-siakan."
Marry tertegun melihat serangkai adegan dari kisah hidup Lail Manuella yang sama persis dengan novel yang dibacanya baru-baru ini. Namun, di novel aslinya Lail Manuella tidak dihidupkan kembali untuk mengulang masa lalu yang lebih baik melainkan mati minum racun karena tunangannya lebih memilih wanita lain.
"Zaman lain apa? Ini jelas dunia novel." Marry menjelaskan.
Wanita itu menggeleng. "Asal kau tahu, ada beberapa dewa yang tinggal di duniamu dan menjelma sebagai manusia. Mungkin penulisnya adalah seorang dewa yang mampu membaca kisah hidup manusia dari dunia ini dan merangkainya jadi sebuah novel."
Tak!
Tontonan itu hilang, sekarang wanita tadi telah menghadap Marry dan berkata sebelum akhirnya berpisah.
"Tidak ada penolakan, Marry. Jadi jalanilah kehidupan kali ini karena sesuatu yang membahagiakan telah menantimu.”
...BERSAMBUNG ......
...CERITA LAINNYA YANG BISA DINIKMATI:...
...I Am (Not) The Blood Slave Of The Vampire Lord...
Deskripsi:
Yustav memilih darah hewan ketimbang harus merasakan darah manusia. Dia yakin bisa bertahan hidup tanpa nafsu untuk kembali menjejaki taringnya ke dalam daging manusia namun, pertemuannya dengan seorang gadis di sebuah restaurant justru membangkitkan gairah Yustav terhadap darah.
Aroma manis yang menguar dari darah gadis tersebut membuat jantung dan darah Yustav bergejolak. Tapi Yustav bukanlah pria yang dengan sembarang memilih mangsa, dia hanya menginginkan satu manusia untuk memuaskan haus darahnya, tapi semakin lama mengenal gadis itu, Yustav menyadari bahwa dari awal gadis itu bukan sekedar mangsa yang akan menjadi budak darahnya dalam waktu yang lama.
...Kesepakatan yang Menghukum Sang Tiran...
Deskripsi:
Ketika keluarganya terancam dieksekusi mati oleh Sang Tiran, Gaia memutuskan menemui Sang Tiran untuk membuat kesepakatan.
Rahid Stearic Hill bertemu wanita yang berani membuat kesepakatan dengan menggunakan kelemahannya, dan hal tersebut membuat emosinya cukup meluap, tapi apa yang harus dia lakukan jika si wanita justru menggugah rasa bosannya?
"Bagaimana jika aku menolakmu? Lagi pula, aku tidak peduli jika harus mati karena dendamku sudah terpenuhi." Rahid menyeringai, menekan pedang pada bawah dagu Gaia agar lebih menatapnya.
Rahid tersenyum sinis melihat Gaia terpojok. "Kenapa kamu berhenti bicara?"
Gaia kesal dan secara sadar menatap sengit pada Rahid. "Saya melihat aura kutukan itu sudah sampai jantung Anda. Sepertinya sebelum keluarga saya, Anda akan mati lebih dulu."
...SELAMAT MEMBACA...
Dalam novel bertajuk 'Kisah cinta Lady Aiksa' tokoh antagonis yang bernama Lail Manuella digambarkan sebagai sosok angkuh dan semaunya, selalu melanggar aturan ketat maupun konvensi, tak jarang ia melanggar etika bangsawan hanya demi melampiaskan emosi pada orang-orang yang membuatnya tersinggung.
Lail Manuella, hanya wanita pemarah yang tidak tahu apapun kecuali berfoya-foya dan mengejar cinta dari Wanner, seorang Marquess yang menjadi tunangannya.
Sekarang, Marry Heilton telah menjadi Lail Manuella, melupakan namanya karena ini adalah kehidupan barunya. Walau begitu sukar menyesuaikan diri, namun ia akan berusaha karena tidak ada pilihan lain kecuali menjalaninya.
Lail tak henti memandangi wajahnya pada pantulan cermin. Tidak ada yang berubah, Lail Manuella benar-benar kembarannya di dunia ini sayang karakter keduanya berbeda hingga Lail Manuella menemukan ajal yang tragis.
"N-nona, sarapan sudah siap."
Pelayan yang kemarin menangis dan memohon pengampunan datang, kepala tertunduk dengan kedua tangan menaut cemas.
"Kemarilah." Lail meninggalkan ranjang, berjalan menuju sofa dan duduk santai di sana.
Pelayan muda tersebut mendekat lalu bersimpuh di hadapan Lail. Tatapan Lail membuatnya gemetar sementara Lail menerka siapa pelayan ini.
"Siapa namamu?" Lail bertanya.
"Naika, Nona."
"Angkat kepalamu," titah Lail.
Naika, gadis berusia 18 tahun itu sontak angkat kepala, namun matanya tetap merendah.
"Mengenai kemarin aku minta maaf, aku tahu sudah melewati batas maka dari itu, aku berjanji tidak akan menyiksamu, Naika. Tapi berjanjilah untuk mengabdi setia padaku."
Naika tergugu, butuh waktu lama Naika angguk kepala demi menerima sumpah untuk Lail yang masih membuatnya skeptis.
"Kalau begitu, bawa sarapanku kemari. Aku ingin makan di kamar saja," pinta Lail dan Naika langsung bergegas membawa sarapan menggunakan troli perak menuju kamar Lail.
Setelah selesai sarapan, Lail membersihkan diri kemudian dibarengi balutan gaun sutera peach dengan lengan sifon berkerut bersama rok luar bervolume, Lail terlihat menawan. Tidak seperti biasa, sekarang Lail sengaja menggerai rambut blonde cerah bergelombangnya alih-alih disanggul dan dipenuhi aksesoris rambut mencolok seperti biasa ditambah riasan tebal Lail menjadi tipis, terlihat lebih natural.
Saat melewati koridor menuju ruang minum teh, beberapa penghuni tampak berbisik secara terang-terangan melihat sosok Lail yang tampak berbeda setelah mendengar cerita dimana Lail mengurung diri di ruang minum teh hingga malam.
Gaya berjalan, gerakan tubuh, cara bicara, penampilan bahkan tata krama Lail benar-benar membuat semua penghuni mansion tercengang. Mengingat bagaimana Lail akan marah-marah, mengomentari semua pekerjaan para pelayan bahkan membuat keributan dengan meminta para kusir mengantarnya pagi-pagi untuk menemui Wanner, tunangannya.
Tapi, kali ini bahkan Lail tidak berniat keluar dari mansion dan lebih memilih menikmati secangkir teh dan beberapa scone tersusun rapi pada wadah bertingkat yang unik. Lail merasa bebannya sebagai putri kerajaan La Centre menguap.
"Pasti keluargaku masih berduka saat ini." Lail tersenyum getir setelah menyesap tehnya lalu melempar pandang pada pemandangan taman di luar dinding kaca.
Daval yang berada di depan pintu bagian dalam hanya mengawasi Lail dari jarak itu, melihat kegetiran di wajah Lail, Daval buka suara.
"Maaf, Nona. Apa perlu saya memanggil Marquess kemari?" tanya Daval.
Lail berhenti sedih lalu mengetuk telunjuk pada meja berulang kali. Tidak menjawab pertanyaan Daval, Lail justru berpikir tentang bagaimana menyelesaikan masalah pertamanya, yakni memutuskan pertunangan dengan Wanner karena dalam novel, Lail mati karena dibutakan oleh cinta Wanner. Jika Lail memutuskan hubungan antara keduanya, semua akan selesai karena Lail tidak mencintai Wanner, pria asing baginya.
"Jangan." Lail menggeleng kemudian tersenyum tipis sambil memandang Daval. "Bawa Lady Aiksa kemari. Perlakukan dia dengan sangat baik, Daval."
Daval terkejut, apakah ini hal baik? Daval tampak ragu, Aiksa Kilin adalah putri dari keluarga Viscount Atkor, sekaligus wanita selingkuhan Wanner, semua sudah tahu bahwa Wanner lebih memilih Aiksa ketimbang Lail bahkan secara terang-terangan mengumumkan pada beberapa orang bahwa hanya mencintai Aiksa.
Lail tertawa kecil melihat ketegangan menggantung pada wajah tegas Daval. "Tenanglah, Daval. Aku tidak akan membuat keributan."
Daval mengembuskan napas lega kemudian mengangguk takzim dan mulai menjemput Aiksa.
Mengetahui tiba-tiba pengawal pribadi Lail datang untuk menjemputnya, Aiksa tampak ketakutan bahkan keluarganya mencegah Aiksa untuk pergi namun, Aiksa bersikeras karena bagaimana pun dia sudah terbiasa menerima perlakuan buruk Lail karena dengan begini hubungan Lail dan Wanner akan cepat berakhir karena Aiksa akan mengadu pada Wanner.
Mengenakan gaun biasa dengan kain langsung jatuh, Aiksa telah tiba di kediaman Lail.
"Silakan ikuti saya."
Daval kemudian menuntun Aiksa menuju ruang minum teh, dimana Lail telah menunggunya dengan beberapa cemilan dan satu cangkir tambahan untuk menjamu Aiksa pada kursi kosong di seberangnya.
"Nona, saya telah membawa Lady Aiksa."
Lail memberi kode pada Naika yang sejak tadi berada di dalam ruangan bersamanya untuk membuka pintu. Sesaat pintu terbuka, Lail berdecak kagum melihat bagaimana wujud Aiksa, si pelakor sukses dalam novel. Aiksa terlihat lemah lembut dan penuh ketakutan, memiliki tubuh kurus dengan kulit pucat yang cukup kontras dengan rambut cokelat gelap bergelombangnya, Aiksa terlihat kian memesona hanya saja Lail tidak begitu suka ketika mengetahui kenyataan lain yakni bahwa Aiksa adalah selingkuhan tunangannya.
"Duduklah, Lady Aiksa." Lail menggerakkan tangan kanan dengan sopan ke arah kursi kosong di seberangnya. Sambil menelan ludah sulit, Aiksa melangkah perlahan dan mengisi kursi.
Naika mendekat, mengangkat ketel dan mengisi cangkir Aiksa dengan teh hitam kemudian Naika kembali ke posisi awal begitupun Daval. Kali ini, Lail meminta Daval membuka pintu lebar-lebar, jika ditutup akan membuat sedikit masalah ke depannya.
"Apa anda mengundang saya kemari hanya untuk mengancam saya agar menjauhi Marquess?" Aiksa tiba-tiba menuding.
Lail nyaris menyemburkan tawa, apa-apaan Aiksa? Padahal sudah diperlakukan cukup sopan, tapi tiba-tiba berbicara dengan nada cukup tinggi dan penuh emosi sebelum Lail mengutarakan maksudnya.
"Dasar tidak tahu diri. Padahal aku belum berkata apapun, tapi mulutmu sudah kurang ajar saja," cibir Lail sembari bersedekap tangan di dada, menunjukkan aura berkuasanya pada Aiksa yang terlihat gemetar dan malu.
Aiksa terus menunduk hingga wajahnya tak terlihat jelas. Lail mengembuskan napas kemudian memberitahu hal mengejutkan yang membuat Aiksa menahan rasa bahagianya.
"Aku memutuskan untuk berhenti jadi tunangan Wanner."
Daval terkejut mendengarnya begitupun Naika. Semudah itu? Padahal Lail bahkan tak mampu bertahan jika sehari tak melihat batang hidung Wanner dan sekarang berkata seenteng itu tentang pemutusan hubungan pertunangan? Apa ini akal-akalan Lail yang baru? Daval menerka.
"K-kenapa tiba-tiba?" Aiksa bertanya.
Lail mendengus kasar lalu mengunci tatapan Aiksa cukup intens. "Anggap saja aku baru sadar dari kebodohanku. Yah, lagipula sudah tidak ada tempat bagi Wanner di hatiku jadi tidak masalah jika menyumbangkan Wanner untukmu karena Wanner memang ingin berada dalam genggamanmu." Lail tersenyum sarkas sebelum melanjutkan kalimatnya lagi. "Aku harap kau menyampaikannya pada Wanner karena aku enggan bertemu dengan peselingkuh itu lagi."
Setelah mengakhiri penjelasannya, Lail kembali tenang menyesap secangkir tehnya sementara Aiksa sedikit tersinggung karena Lail berkata menyumbangkan Wanner padanya.
"Wajar jika Marquess ingin bersamaku! Ini semua salah Lady Lail karena bersikap kasar dan tidak tahu malu pada Marquess! Aku dan Marquess saling mencintai, jadi tak perlu mengatakan hal ini karena pada akhirnya pertunangan kalian akan hancur kare—"
Perkataan panjang penuh emosi Aiksa terhenti tatkala Lail meletakkan cangkir cukup kasar pada tatakan hingga muncul retakan pada bibir cangkir hingga dasar.
"Ketimbang diriku, kaulah yang tidak tahu malu, Lady Aiksa. Sudah tahu bahwa kami bertunangan kenapa kau masih terus mendekati Wanner? Jika kau memang baik seperti kata orang-orang, seharusnya kau tidak menerima pria yang telah bertunangan dan menjadi selingkuhannya. Kau bahkan tak berhenti setelah tahu tunangannya begitu menderita karena hubungan gila kalian!" Lail merasa emosinya terpacu mengingat bagaimana Lail Manuella sebelumnya begitu nelangsa karena Wanner dan Aiksa terus menebar kemesraan.
Lail berdiri dari posisinya kemudian kembali menegaskan. "Aku akan mengakhiri pertunanganku dengan Wanner. Jadi, kuharap setelah ini jangan mengangguku kehidupanku!" setelah berkata demikian, Lail beranjak pergi dari sana namun, sebelum itu memberi Daval perintah untuk mengantar Aiksa kembali sementara Lail mengunjungi ruang kerja Anom, ayah Lail sekaligus Duke of Raitle.
Anom tampak sibuk dengan beberapa tumpuk berkas di meja, sesekali wajahnya mengernyit lelah karena berkas-berkas itu terus bertambah.
"Permisi, Duke."
Anom fokus ke depan, mendapati Lail masuk dan berdiri di depan meja kerja. Sesaat Anom tercengang mendengar Lail memanggilnya duke dan bukan ayah, apa yang telah ia lewatkan hingga Lail begitu berubah? Anom bisa lihat hanya dari gestur tubuh Lail ketika berbicara juga penampilan tak seheboh biasanya.
"Ya?" Anom kembali fokus menorehkan tanda tangan pada beberapa berkas.
"Aku ingin mengakhiri pertunanganku dengan Marquess Arche, segera mungkin."
...BERSAMBUNG.......
...SELAMAT MEMBACA...
"Aku ingin mengakhiri pertunanganku dengan Marquess Arche, segera mungkin."
Permintaan Lail berhasil membuat pena bulu dalam genggaman Anom terlepas, tinta dari ujung runcing pada pena mengotori lembar di bawahnya. Anom tersadar, buru-buru memisahkan pena dari kertas, meletakkan pada wadah semestinya kemudian menatap Lail penuh keraguan.
"Coba ulangi permintaanmu." Anom menegakkan tubuh, berusaha mendengar lebih seksama.
"Aku ingin mengakhiri pertuanganku dengan Marquess Arche, segera mungkin."
Anom sedikit mengernyit heran. Padahal pertunangan terjalin karena Lail begitu tertarik pada Wanner sehingga Anom melakukan pertemuan dengan keluarga Wanner untuk membahas masalah perjodohan keduanya. Jika akhirnya begini, Anom akan kesulitan menghadapi keluarga Wanner.
Tahu apa yang dipikirkan Anom hanya dari kerutan keras di wajah, Lail maju selangkah dan membeberkan beberapa fakta, mengenai Wanner berselingkuh dengan Aiksa dan secara terang-terangan Wanner pernah meminta padanya untuk mengakhiri pertunangan.
Mendengar penuturan Lail, rahang Anom mengeras dan wajah tampak menerah, marah. Mengetahui bahwa Lail diselingkuhi membuat Anom geram dan hendak melayangkan protes pada Wanner dan keluarganya, tapi Lail mencegahnya dan berkata itu semua bukan salah Wanner karena sikap kasarnya mungkin membuat Wanner melakukan hal ini. Bukannya meredakan emosi Anom, perkataan Lail justru membuat Anom kian geram. Walau terlihat begitu abai pada Lail, sesungguhnya Anom diam-diam terus memperhatikan segala tingkah Lail.
"Aku akan mengurus Wanner dengan caraku sendiri jadi kumohon, Duke tolong urus permintaanku barusan," tutur Lail.
Sekali lagi, Lail memanggilnya duke. Anom sedikit meringis kemudian menatap Lail lekat. "Kenapa tiba-tiba memanggilku Duke?" Anom bertanya.
Lail agak canggung, tentu saja alasan pertama karena Anom bukan ayah aslinya lalu di masa lalu, Anom begitu acuh pada Lail terdahulu jadi Lail bingung harus bersikap bagaimana.
"Jangan memanggilku begitu. Lakukan seperti biasa." Anom menyampaikan protes.
Lail hanya mengangguk kemudian izin undur diri sementara Anom bergegas meraih jubah, menyampirkan pada bahu lebarnya dan segera keluar tak lama Lail sudah pergi.
...***...
Baru saja menikmati senja sore dipoles binar kejinggaan penuh kelegaan, Lail justru harus menghadapi kedatangan Wanner ketika petang telah tiba.
Tepat di ruang tamu, Naika telah meminta Wanner untuk menunggu Lail yang baru saja berganti gaun. Tak lama, Lail datang bersama Daval yang mengekor.
Pemandangan pertama yang Lail dapatkan adalah mata cokelat Wanner yang bergetar karena emosi. Lail tidak tahu kenapa Wanner tiba-tiba datang kemari, atau mungkin sudah tahu bahwa pertunangan mereka telah berakhir? Tapi seharusnya Wanner senang bukannya tampak mengebu-ngebu penuh emosi begini.
"Ada ap—"
Perkataan Lail terhenti tatkala Wanner berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuh. Alis Wanner menukik tegas lalu bersuara lantang membuat Lail sedikit mendengus kasar karena telinganya sedikit terusik.
"Apa saja yang kau lakukan pada Aiksa?!"
"Haah .... " Lail mengembuskan napas panjang lalu duduk tegak di sofa sambil memberi kode pada Naika untuk mengisi cangkir Wanner yang masih kosong.
"Tidak ada. Kami hanya terlibat perbincangan saja." Lail menjawab sembari menyesap minumannya.
Wanner geram kemudian melangkah cepat ke arah Lail lalu mencengkeram sepasang bahu Lai, memaksa Lail berdiri berhadapan dengannya. Daval telah menarik pedang, hendak dilayangkan pada batang leher Wanner sebagai perlindungan.
Lail mengangangkat tangan untuk menghentikan tindakan Daval kemudian membalas tatapan sengit Wanner padanya.
"Aiksa bilang kau mengancamnya bahkan mencemoohnya! Kenapa kau tidak bisa membiarkan Aiksa hidup tenang?!" bentak Wanner.
Naika terperangah begitupun Daval karena Lail tidak pernah melakukan itu pada Aiksa saat terlibat pembicaraan di pagi hari tadi.
Lail tertawa sumbang, siapa sangka ternyata Aiksa lebih busuk ketimbang novel yang dibacanya.
"Jika aku mengatakan kebenarannya pun kau tidak akan percaya, jadi anggaplah begitu." Lail menepis kedua tangan Wanner yang mencengkam bahunya.
"Jangan pernah menganiaya Aiksa lagi! Kau tidak berhak melakukannya! Aiksa adalah wanita yang kucintai dan dia lebih baik darimu, bahkan jika disandingkan denganmu, Aiksa jauh lebih layak ketimbangmu. Kau itu hanya—"
Plak!
Satu tamparan dari Lail pada pipi kiri Wanner menimbulkan suara cukup keras di ruang tamu. Bersamaan rasa perih pada pipinya, Wanner merasa napasnya seolah tercekat, ini pertama kalinya Lail memberi tamparan.
"Kau salah. Aku lebih baik dan layak ketimbang wanitamu. Harus kutegaskan padamu bahwa aku tidak mencintaimu lagi. Aku sudah mengambil keputusan untuk mengakhiri pertunangan kita, sesuai kemauanmu sebelumnya. Jadi, jangan pernah salah paham mengenai perasaanku padamu," ungkap Lail.
Lail menahan air mata. Saat mengatakan hal itu, suara Lail agak bergetar karena mengingat bagaimana perjuangan Lail terdahulu demi mendapat perhatian Wanner juga bagaimana ketika tahu Wanner lebih mencintai Aiksa. Sementara Wanner merasa ada rasa tidak terima menyelinap di hatinya mendengar bahwa Lail tidak mencintainya lagi, lalu memutuskan pertunangan? Wanner berpikir itu hanya omong kosong karena ia belum mendengar informasi apapun terkait pertunangannya.
"Ayahku baru kembali dari kediamanmu setelah membicarakan pertunangan kita. Jadi, mulai sekarang kita tidak memiliki hubungan apapun!"
Lail kemudian kembali ke kamar tanpa memedulikan Wanner yang bergeming, menatap punggung Lail yang kian menjauh, menghilang dari pandangannya.
"Silakan kembali, Marquess," ucap Naika pada bibir pintu, membuka pintu selebar mungkin agar Wanner pergi dari sana.
Sedangkan Lail tengah menangis tanpa suara di kamar, hanya menyalakan lampu tidur pada nakas. Jika Lail terdahulu tidak begitu dibutakan oleh cinta, mungkin akhir dari kehidupannya tidak menyedihkan. Memperjuangkan pria yang tidak mencintai kita tidak akan mendapat akhir yang baik-baik saja kecuali mendapat luka terus menerus hingga lupa bagaimana rasanya sembuh dan tak merasakan sakit.
"Aku telah melakukannya. Sekarang, aku bisa menghadapi masalah yang lain." Lail menyemangati diri sendiri di tengah isakan tanpa suara.
Lambat laun Lail tertidur dengan jejak air mata lagi menghias wajah menawannya. Daval masuk, memandangi wajah Lail begitu lekat kemudian membenarkan posisi berbaring Lail seraya memasang selimut tebal berbulu hingga setengah tubuh Lail.
"Bagaimana dengan Nona?" tanya Naika.
Daval mengembuskan napas. "Sudah tidur."
...***...
Paginya, jam sembilan pagi setelah selesai sarapan, Lail berkutat dengan beberapa buku sejarah di perpustakaan yang setiap rak kayu besar disesaki berbagai macam buku.
Lail duduk di kursi kayu dengan meja bundar terisi kue kering dan secangkir teh.
Naika tersenyum, Lail benar-benar berubah. Padahal Lail lemah dibidang akademi, tapi kali ini Lail justru tidak bosan sama sekali setelah menyelesaikan satu buku cukup tebal.
"Selamat pagi, Kakak!"
Konsetrasi Lail hancur ketika seorang gadis berambut cokelat masuk ke kamarnya dengan senyum cerah. Lail tahu itu siapa, namanya Redia Bavie, adik Lail dari ibu berbeda. Di kehidupan lalu, Redia menghasut Lail agar terpancing dengan emosi pada hal-hal tak berguna, kemudian diam-diam mendukung perselingkuhan Wanner dengan Aiksa, tak berhenti disitu bahkan Redia membuat Lail jelek di mata para bangsawan hanya demi menyingkirkan Lail sebagai penerus Anom.
"Pagi kembali," balas Lail santai dan kembali fokus membaca.
Sebelah alis Redia terangkat melihat respons Lail yang tenang. "Kakak terlihat baik-baik saja. Padahal kudengar hubungan kakak dan Marquess sudah berakhir."
"Hm, aku justu merasa jauh lebih baik setelah hubungan kami berakhir." Lail menutup buku lalu menatap Redia serius. "Apa kau datang menemuiku hanya untuk mengatakan itu?"
Redia kelabakan, sikap Lail sedikit membuatnya gagap. "T-tidak. Aku datang hanya untuk menyapa karena sudah lama tidak berbincang dengan kakak."
"Kalau begitu kemari dan duduk bersamaku," ajak Lail sambil melirik kursi kosong dekatnya.
Redia mengangguk kemudian duduk berhadapan dengan Lail. Senyap. Lail tidak memulai percakapan, namun menunggu Redia bersuara.
"Ternyata benar bahwa kakak tampak seperti orang berbeda" batin Redia.
...BERSAMBUNG.......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!