"Putri, kemarilah! Kau harus lihat, bagaimana tampannya Pangeran Antareksamu itu ketika sedang memasak!" Gadis yang dipanggil itu mendengus pelan, karena ucapan berlebihan ibunya.
Pemandangan seorang Pangeran Antareksa sedang memasak bukanlah hal baru baginya tentu saja, karena pria itu sering datang ke sini dan memasakkannya makanan. Bahkan menurutnya, tidak ada yang spesial dari momen itu. Berbeda dengan keluarganya yang selalu memuji pria itu.
"Ayolah, Mami! Menurutku tak ada sesuatu yang harus dikagumi dari sana. Jadi, biarkan aku menonton dengan tenang, okey?"
Sang Mami mendelikkan matanya mendengar jawaban itu. "Putri, lihatlah! Dia itu benar-benar pria idaman wanita, juga menantu idaman para orang tua di luar sana. Bahkan ini!" Sang Mami beranjak mendekat, dan menyodorkan ponsel itu ke arahnya. "Lihat, penonton live-nya bahkan lebih dari sejuta. Ini juga komentar-komentar yang masuk, rata-rata dari para gadis yang menyanjung kepiawaian Pangeran saat memasak!"
"Ya, lalu? Dari sekian banyaknya pujian para gadis itu, haruskah aku juga melakukannya? Begitukah keinginan Mami?"
Elena mendengus keras mendengar pertanyaan putrinya itu. "Bukan seperti itu, sayang! Tapi, sekian lamanya kau saling mengenal dengan Pangeran, apa sedikit saja kau tak memiliki perasaan spesial padanya?" Lebih baik, daripada banyak memberi kode, Elena langsung mengucapkan maksud hatinya.
"Tentu saja ada!" jawab Renjana tanpa menunggu waktu lama. "Pangeran itu sudah lama hadir di hidupku, bahkan bisa dikatakan, aku menghabiskan waktu dengannya sejak kecil. Kami juga selalu bermain, dan ke mana-mana bersama. Dia orang terspesial setelah Papi, Mami, dan Kakak-Kakak."
Mata Elena seketika berbinar cerah. Ia harus memancing sang Putri, agar memberi tahu isi hatinya.
"Apa kau menyayanginya?" tanya Elena.
Tanpa berpikir panjang, Renjana mengangguk. "Ya, aku menyayanginya. Bahkan, aku sudah menganggapnya Kakakku."
Elena langsung melemaskan bahunya. Bukan jawaban seperti itu yang ia inginkan. "Sudahlah! Mami malas berbicara denganmu." Dengan wajah cembertu, Elena segera berdiri. Bahkan, live acara memasak yang ditayangkan di Instagram milik Pangeran Antareksa tak lagi menarik, gara-gara Renjana menghancurkan moodnya. Sebenarnya, ini salahnya sendiri. Sudah tahu anak gadisnya itu polos akan percintaan, malah dia bertanya hal seperti tadi. Jadinya, yang ia dapatkan malah kekecewaan.
"Ya sudah. Aku juga ingin menonton. Toh tadi Mami yang mengajakku bicara duluan!" Renjana bersikap tak acuh. Lagipula, ia tahu kalau Maminya hanya merajuk biasa.
"Kau! Lihat saja, Mami akan melaporkanmu pada Papi, karena merusak mood Mami hari ini," ancam Elena. Renjana tertawa menanggapi. "Kita lihat saja nanti. Mami pasti tahu, kalau Papi lebih membelaku dibanding Mami!" Bahkan, Renjana malah balik mengejek Maminya. Wanita berusia lima puluh tahun yang hobi merajuk. Ck, ck, ck! Kelakuan dan umurnya begitu berbanding terbalik.
"Mami akan memotong uang jajanmu!" ujar Elena lagi tak mau kalah. Jangan heran, meski sudah dewasa, Renjana belum bekerja.
"Tak apa. Aku akan minta pada Papi. Lagipula, aku masih punya tiga Kakak dan satu sahabat untuk aku mintai uang." Renjana tak ingin kalah.
Elena tak jadi melangkah ke kamar, ia malah berjalan mendekat ke arah Renjana. Renjana seketika menjadi waspada. Melihat senyum mencurigakan sang Mami, gadis itu segera berlari.
"Sini kamu! Mami gelitikin, biar nggak nakal lagi! Sini, ayo! Jangan lari!" Elena segera mengejar anaknya. Jangan salah, meski begini, Elena adalah atlit maraton saat SMA dulu.
"Ampun, Mami! Ampun!" Renjana berusaha memberontak saat sang Mami menangkapnya. Ia tertawa kegelian saat sang Mami merealisasikan ucapannya. Begitulah kehidupan dua wanita kesayangan keluarga Basuwardi itu. Tak peduli umur mereka yang tak lagi kanak-kanak, mereka akan saling kejar-kejaran setelah saling mengejek. Layaknya dua orang yang berteman, padahal hubungan mereka adalah Ibu dan Anak.
Mencoba membuat karya dengan bahasa baku. Semoga berhasil. Bismillah, semangat!!
Malam hari telah tiba. Kini, keluarga Basuwardi tengah menghadap makanan di meja makan. Bersiap menyantap makan malam yang terhidang dan terlihat begitu menggiurkan.
"Kak Jefry lembur lagi?" tanya Renjana saat tak mendapati wajah Kakak tertuanya itu.
"Iya. Malam ini, dia ada pertemuan dengan klien dari Singapura," jawab sang kepala keluarga.
"Ah, Papi. Akhir-akhir ini, aku rasa Kakak terlalu sibuk sampai-sampai jarang pulang ke rumah. Apa Papi tak bisa meringankan pekerjaan anak bungsu Papi itu?" cibir Renjana.
Bukannya Marah, Bagas Basuwardi malah menampilkan tawa akan rajukan dari Putri satu-satunya keluarga Basuwardi tersebut.
"Percuma kau merengek, Mami sudah membicarakan ini dengan Papimu sebelumnya. Tapi lihatlah, dia tidak melakukan apapun. Ck!" Kini, Elena berbicara menanggapi ucapan putrinya.
"Princess, dengar! Itu keinginan Kak Jefry, bukan salah Papi." Jendra Basuwardi, putra kedua keluarga Basuwardi membela Ayahnya.
"Benar apa yang dikatakan Kak Jendra. Bahkan, kemarin aku menawarkan karena pekerjaanku tidak terlalu banyak minggu ini. Dia malah menolak." Seperti sang Kakak, Reandra Basuwardi pun tak ingin kalah membela Ayahnya.
"Ah, itu hanya alasan kalian. Sudahlah, kalian bertiga tetap saja menyebalkan!" cibir Renjana. Ia dan Maminya kalah berdebat.
"Baiklah-baiklah! Besok malam, Papi akan pastikan Kakakmu akan ikut makan malam di sini. Jadi, hilangkan raut cemberutmu itu, oke?" Kepala keluarga itu akhirnya mengalah saat melihat wajah masam putrinya. Belum lagi, dengan raut wajah penuh permusuhan yang dilayangkan sang Istri. Dua lawan tiga, tetap saja yang dua menang. Siapa yang berani menentang Ratu dan juga Putri Mahkota?
"Giliran Putri yang meminta, kau selalu mengabulkannya. Dasar pilih kasih!" Seisi meja makan tertawa mendengar ucapan Elena.
"Kau tetap saja sama sejak dulu. Selalu cemburu dengan putrimu." Bagas hanya geleng-geleng kepala karena merasa lucu melihat kelakuan istrinya.
"Sudahlah, ayo kita makan!" ajak Bagas kemudian.
"Jangan cemberut, sayang! Aku bahkan sangat banyak menghabiskan waktu denganmu dibandingkan Princess yang hanya akan berbincang denganku ketika di meja makan dan ruang keluarga. Bagaimana mungkin kau cemburu? Hum?" goda Bagas. Sedangkan tiga anaknya hanya mendengus malas. Pasangan itu memang sering saling menggoda tak tahu tempat.
Usai makan malam, belum ada yang beranjak dari tempat duduknya. "Princess, besok kau mau kan, menggantikan Papi untuk kunjungan ke Cahaya Insan Cerdas?"
Mata Renjana langsung berbinar mendengar permintaan Ayahnya. "Lihatlah, Papi! Kalau masalah berkunjung ke sana, tak usah dipertanyakan lagi apa Princess setuju atau tidak." Jendra berucap sesaat setelah melihat wajah sumringah adiknya.
"Sampai saat ini Kakak masih bingung. Kenapa kau sangat senang kalau disuruh mengunjungi Sekolah, dibanding bertemu rekan bisnis Papi." Reandra menyuarakan rasa penasarannya yang sudah lama ia pendam.
Memang, Renjana akan selalu antusias ketika disuruh mengunjungi Cahaya Insan Cerdas, yayasan pendidikan milik keluarga Basuwardi, yang dimulai dari play group hingga Senior High School.
"Ah, itu! Sebenarnya, ketika mengunjungi anak-anak itu, aku merasa seperti kembali ke masa Sekolah dulu. Bertahun-tahun aku menghabiskan waktuku di sana, membuatku terkadang merindukan masa itu," jawab Renjana.
"Maksudmu, kau merindukan masa di mana kau selalu membuat kami kelimpungan karena kelakuanmu? Begitu?" cibir Reandra.
Renjana tertawa geli. "Hmm. Aku ingat, dulu kalian sering mengancam pria yang dekat denganku. Padahal, akulah yang duluan memperlihatkan kalau aku menyukai mereka. Ckk! Kalian benar-benar pria posesif. Dan waktu kalian satu-persatu lulus, aku merasa senang karena akan terbebas meskipun terkadang rindu. Ternyata aku salah, karena melupakan kehadiran Pangeran yang kalian suruh memata-mataiku." Bibir Renjana mengerucut mengingat hal tersebut. Tiga Kakaknya, ditambah dengan Pangeran begitu posesif padanya. Ia dilarang berdekatan dengan pria lain, dengan alasan takut mereka memanfaatkan Renjana.
"Itu semua demi kebaikanmu, Princess," ujar Jendra membela diri.
"Ya, ya, ya! Sejujurnya, aku tidak terlalu kesal. Karena artinya, kalian begitu menjagaku." Tangan Bagas mendarat di puncak kepala anaknya. Mengelus dengan lembut, tak lupa senyuman manis yang ia sematkan di bibirnya.
"Jadi bagaimana, kau bersedia pergi besok?" tanya Bagas memastikan.
"Iya, Pi. Dengan Mami, kan?" Renjana beralih pada Maminya yang baru mendudukkan diri setelah tadi membantu ART mereka membawa piring kotor ke wastafel.
"Mami besok akan menemani Papi ke pernikahan anak dari rekan bisnisnya," ucap Elena.
"Baiklah. Tak masalah, aku pergi sendiri. Lagipula, aku ingin menghabiskan waktu lebih lama di sana untuk bernostalgia." Semua penghuni meja makan hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan si bungsu Basuwardi itu.
Sebelum lanjut, aku cuma mau bilang, kalau di cerita ini mungkin ada banyak tokoh yang kubuat. maklum, karena Renjana berasal dari keluarga kaya, jadi otomatis perbincangannya bukan cuma pada satu atau dua orang saja. apalagi, dia memiliki tiga kakak. jadi, mohon dimaklumi, ya!
"Pagi, Pak Gumi!"
"Pagi!"
"Pagi, Pak!"
"Pagi!"
Seorang pria melangkah santai menuju ruangannya, sambil sesekali menjawab sapaan yang diberikan oleh beberapa siswa dan guru yang berpapasan dengannya.
Sudah lebih dua tahun ia bekerja di sini. Tempatnya begitu nyaman, penghuninya pun rata-rata bersikap ramah. Terlebih, gajinya bisa menutupi kebutuhannya selama sebulan penuh dan juga bisa menambah angka di rekening tabungannya. Sekolah milik keluarga Basuwardi itu memang terkenal dengan sekolah bergengsi. Banyak orang tua yang menginginkan anaknya masuk di sana. Juga, banyak lulusan yang ingin menjadi tenaga pendidik di sini. Tapi, untuk masuk ke tempat ini seleksinya begitu ketat. Dia bahkan bisa berada di sini karena rekomendasi dosennya saat di kampus dulu. Gumilar memang menyelesaikan pendidikannya hanya tiga tahun setengah bulan. Dia mendapat penghargaan sebagai wisudawan tercepat, juga lulus dengan gelar cumlaude.
Mengajar di sini, selain menyenangkan, Gumilar juga bisa menyisihkan uangnya sebagai tabungan. Dia hanya berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya sudah lama meninggal, dan Ibunya sudah sakit-sakitan. Dari gajinya juga, akhirnya Gumilar bisa membayar biaya berobat untuk sang Ibu. Gumilar tak memiliki saudara, itu sebabnya dia bertanggung jawab penuh terhadap keluarganya. Untuk kuliahnya dulu saja, ia hanya mengharapkan beasiswa. Untung saja ia dianugerahi otak yang pintar.
"Hai, suami masa depannya Inces Keisya!" Sapaan centil itu membuat Gumilar tersenyum geli. Pria itu menghentikan langkah. Ia menggeleng pelan melihat remaja yang berdiri di depannya dengan tangan yang terdapat kipas berwarna hitam. Di belakang gadis remaja itu, terdapat dua temannya yang selalu setia mengikutinya ke manapun.
"Pagi juga Keisya! Tapi untuk yang ke sekian kalinya kukatakan, kau masih terlalu kecil untuk jadi istriku," balas Gumilar.
"Ah, Pak Gumi menyakiti hatiku." Keisya meringis lebay, sedetik kemudian wajahnya kembali normal. "Eh, Pak. Hari ini ada kunjungan pemilik Yayasan, kan?"
Gumilar hanya mengangguk. "Aku tadi sempat curi dengar di ruang guru, katanya yang datang bukan Om Bagas. Tapi my lovely sister, Putri Renjana Basuwardi," ujar Keisya dengan pelan. Bahkan, kedua temannya terlihat kepo apa yang ia katakan. Keisya merupakan keponakan dari Bagas Basuwardi. Dia adalah anak dari Bagus Andrawira, yang tak lain adalah adik seibu dari Bagas Basuwardi. Orang tua Bagas dulu bercerai, keduanya adalah korban perjodohan. Kemudian Ibunya--Rasita-- menikah lagi dengan Andrawira dan mendapatkan Bagus Andrawira dari pernikahan keduanya. Sementara Basuwardi memilih tak menikah dan memilih fokus pada pekerjaannya.
"Oh. Lalu? Bukannya sama saja?" tanya Gumilar bingung.
"Ah, memang sih. Tapi, aku hanya mengingatkan saja. Kak Renjana itu sangat cantik dan menawan. Hati-hati, nanti Bapak terjerat dalam pesonanya!"
Ucapan Keisya disambut tawa oleh Gumilar. "Jadi, hanya karena itu. Kau takut kalau aku naksir padanya?"
Keisya menggeleng. "Tidak juga. Bisa dikatakan untuk ukuran pasangan, aku rasa kalian terlihat serasi. Aku hanya tidak ingin Bapak jatuh cinta padanya dan malah bertepuk sebelah tangan. Soalnya Kak Renjana itu terlalu cuek untuk ukuran seorang gadis cantik. Ckk! Bahkan di usia 23 tahun dia belum memiliki satupun mantan kekasih." Keisya yang tak habis pikir, malah tak sadar sedang menggosipkan sepupunya.
Gumilar kembali tertawa. "Terima kasih karena sudah mengingatkanku. Baiklah, aku rasa setelah ini akan memasang tembok di hati agar tidak jatuh cinta pada sepupumu," ujarnya dengan perasaan geli. Lagipula, siapa yang berani naksir tuan putri keluarga Basuwardi itu. Gumilar sadar diri dia siapa. Terlebih, gajinya selama ini berasal dari keluarga itu. Mana berani dia berangan tinggi. Begini saja sudah cukup.
"Bagus. Tapi tenang saja, karena kebetulan aku sedang mencari kandidat untuk sepupuku itu, aku akan memasukkan nama Bapak juga. Kalau dia sudah membuka diri, baru Bapak kukabari." Gumilar kembali tertawa mendengar ucapan ngawur muridnya itu.
"Kau ini sangat lucu! Lagipula, kenapa harus aku?"
"Ah, karena Bapak sama sekali tidak goyah meskipun setiap hari kugoda. Jadi, aku yakin kalau Bapak adalah pria baik. Sangat cocok dengan Kak Renjana yang baik!" Gumilar hanya kembali menanggapi ucapan polos Keisya dengan tawa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!