NovelToon NovelToon

Pemilik Kehormatanku

Resmi Berpacaran

“Lura ... Aku suka kamu ... Apakah kamu mau jadi pacarku?” teriak Farrel lantang hingga semua siswa menoleh ke arahku saat itu.

Berberapa saat aku terdiam kemudian megangguk pelan. “Ya ... Aku mau jadi pacarmu!” jawabku pelan tapi Farrel bisa mengerti arti anggukan dariku sebagai jawaban penerimaan cintanya.

Antara senang dan malu saat menerima pernyataan cintanya. Tak ada salahnya menurutku jika membalas perasaannya. Toh, selama ini aku memang sedang dekat dengannya. Sehingga kebersamaan kami menumbuhkan perasaan diantara aku dan Farrel.

Aku, Allura Charya. Anak panti asuhan yang tidak tahu darimana asal usulku dan siapa orang tuaku. Aku di besarkan di Panti Asuhan.

Gadis polos yang baru saja mencoba menjalin hubungan dengan seorang lelaki tepat ketika kelulusan sekolah diumumkan.

Farrelino Abraham, Pemuda tampan, anak dari pengusaha ternama di desa tempat tinggalku. Pria muda yang setengah tahun ini dekat denganku. Banyak wanita yang berharap menjadi pacarnya, entahlah mengapa dia memilihku sebagai kekasihnya. Ia menyatakan cintanya kepadaku saat kami sedang berada di sebuah lapangan terbuka dan ramai.

Beberapa jam, setelah di umumkannya kelulusan sekolah kami. Para siswa dan siswi sudah merencanakan dari jauh hari untuk acara tersembunyi ini.

Farrel ikut serta di dalamnya. Dia juga sudah merencanakan untuk mengungkapkan perasaan cintanya padaku tepat dihari itu.

Dia memelukku, berterima kasih karena sudah menerimanya menjadi pacarku. Refleks aku mendorongnya. Aku belum terbiasa bersentuhan dengan lawan jenisku.

Aku pikir ucapannya kepadaku yang mengatakan akulah yang menjadi penghuni di hatinya hanya sebuah gombalan semata. Ternyata Farrel membuktikan kesungguhan atas pernyataan cintanya kepadaku. Semua teman sekolah yang berada di lapangan terbuka itu memberikan selamat kepada aku dan Farrel, karena kami resmi berpacaran.

"Selamat bro akhirnya jadian juga lo?" ucap salah satu teman Farrel yang datang mendekati kami.

"Thanks, Yan! Akhirnya gue dapetin juga cewek manis ini, setelah lama perasaan gue dipendem!" celetuk Farrel seraya menatapku dengan tatapan menggoda.

Aku hanya bisa tertunduk malu ditatapnya seperti itu. Farrel tersenyum melihat sikapku yang pemalu.

Beberapa murid yang berada di sana terlihat melakukan aksi corat coret di seragam putih yang saat ini mereka kenakan.

Awalnya aku menolak untuk aksi corat coret seragam karena sekolah sudah mengingatkan sebelumnya agar tidak melakukan aksi tersebut saat kelulusan. Tapi Farrel terus membujukku. Begitupun Siska, dia adalah teman saru meja di kelasku. Dia juga yang mau mengantarku saat Aldi teman Farrel menyampaikan pesan dari Farrel agar mau menemuinya di lapangan jaraknya lumayan jauh dari sekolah.

“Sekali-kali, Ra! Ini akan jadi kenangan untuk kita. Kapan lagi bisa melakukan aksi ini kalau bukan saat kelulusan?” bujuk Siska agar aku mau mengikuti acara rahasia itu.

Akhirnya Aku mengikuti ucapan Siska untuk menemui Farrel. Tak ada salahnya sih, menurutku. Aksi corat-coret saat kelulusan seperti ini sudah turun temurun dilakukan. Tak ada kesan dan kenangan indah saat masa SMA jika melewati aksi ini.

Aku tertawa lepas saat melihat semua teman seangkatanku yang ikut aksi tersebut saling mencorat coret pakaian merek dengan pilok warna-warni.

Kami tertawa bahagia bersama. Kami saling bergantian memberikan tanda tangan dan menulis kata-kata perpisahan di baju putih yang kami pakai.

Farrel terus menggenggam erat tanganku, seakan tak ingin aku pergi darinya. Dia menuliskan tanggal, hari dan tahun di pundak bajuku dengan spidol yang ada di tangannya.

Lura dan Farrel. 23 Juni 2019.Tulisan itu berada di tengah simbol berbentuk Love. Itu adalah hari di mana aku dan Farrel menjadi sepasang kekasih.

Coretan spidol dan pilok memang tak banyak di baju putihku. Aku takut ibu panti marah melihat kelakuanku saat itu.

“Ini adalah tanda bukti kalau kita sudah resmi pacaran, sekarang giliran kamu!" Farrel menyerahkan spidol dari tangannya kepadaku.

“Aku tulis di mana? Semuanya penuh dengan coretan?" ucapku dengan mimik wajah bingung. Farrel terkekeh mendengar dan melihat reaksiku.

“Di sini!" Farrel menunjuk dadanya dengan telunjuk. "Di hatiku saja.” Farrel berbisik di telingaku. Hembusan nafasnya terasa hangat. Aku memalingkan wajah ke samping menghindar dari tatapan Farrel. Hatiku berdebar saat Farrel berkata seperti itu. Wajahku kian merona dibuatnya.

“Woy ... Kabur! Ada sidak guru BK (bimbingan konseling) datang ke sini!” Andi berlari sambil berteriak memberitahu teman-temannya yang sedang asik mencorat-coret dan saling memberi tanda tangan di kemeja putih kami.

Semua siswa langsung bubar dan menyelamatkan diri masing-masing, berlarian untuj bersembunyi karena kali ketahuan dan tertangkap ijazah kami akan ditahan oleh pihak sekolah.

Farrel langsung menarik tanganku. Dia memberikan sweater yang dibawanya agar aku pakai. Dia juga memanggil Siska agar mengikuti langkah kami.

“Pakai ini!” Farel memakaikan sweater- nya kepadaku.

“Tapi kamu pakai apa?” tanyaku dengan nada gemetar karena takut.

“Aku tak masalah. Tapi jika kamu yang terlihat guru BK (Bimbingan konseling) itu yang jadi masalah. Mereka gak akan berani kepadaku. Tapi, kalau kamu yang terciduk, mereka pasti akan menghukummu. Kalian jangan keluar sebelum keadaan benar-benar sepi!" ucap Farrel sambil berlari cepat menarikku ke belakang salah satu rumah warga.

“Kamu mau ke mana, Rel?” tanyaku dengan nada gemetar saat melihat Farrel meninggalkan aku dan Siska di tempat persembunyian.

Baru kali ini, aku merasakan keadaan terdesak seperti ini. Wajar saja jika aku merasa ketakutan. Selama ini aku tak berani bersikap aneh-aneh di sekolah karena takut pihak sekolah akan mencabit beasiswaku.

“Aku akan ikut bersama yang lain, menghadap guru BK (Bimbingan Konseling). Aku harus ikut bertanggung jawab. Ingat pesanku! Jangan keluar sebelum keadaan benar-benar sepi!” perintahnya sambil berlari menjauh dariku.

Aku mengangguk pelan. Aku dan Siska masih bersembunyi di balik rumah warga yang letaknya lumayan jauh dari lapangan. Hingga situasinya aman untuk kami keluar dari persembunyian.

Aku terkesima mendengar ucapan Farrel. Kata-kata biasa tapi terdengar luar biasa bagiku, ucapan dan sikapnya yang selama ini perhatian padaku membuat hati ini telah jatuh cinta kepadanya. Farrel tidak pernah memandang statusku yang hanya anak panti asuhan. Dia pernah berkata tulus mencintaiku tanpa melihat status sosial dan asal usulku.

"Sepertinya sudah aman, Ra!" ucap Siska setelah mengintip situasi dari balik tembok.

"Kamu yakin?" tanya Lura.

"Yakin! Kita pulang sekarang saja!" ajaknya padaku.

Aku mengangguk setuju. Pelan dan hati-hati. Aku dan Siska keluar dari persembunyian, berlaga seperti tidak terjadi apa-apa. Agar tidak dicurigai ikut dalam aksi corat-coret. Beruntung Farrel memberikan sweater-nya kepadaku sehingga coretan spidol dan pilok di bajuku tertutup. Begitu juga dengan Siska, dia menutupi baju putihnya dengan jaket yang ia bawa sendiri.

Aku dan Siska tertawa bersama mengingat kejadian tadi. Sungguh memacu adrenalinku, seperti inikah rasanya menjadi anak nakal saat sekolah SMA.

Aksi corat-coret ini juga menjadi kisah yang akan aku ingat sebab dalam aksi ini kisah cinta pertamaku dimulai.

.

.

.

Hai... readers ini karyaku selanjutnya.

Beri dukungan like komentar dan tambah Ke Favorit kalian ya agar tidak ketinggalan up nya.

Ikuti terus kisah cinta Lura dan Farrel akan terus berlanjut atau berakhir kisah mereka...

Hari Terakhir

Tiga bulan setelah surat kelulusan di bagikan, dan Ijazah sudah di tangan. Rasanya lega sudah menuntaskan pendidikan meski hanya lulusan SMA.

Untuk melanjutkan ke jenjang kuliah rasanya sangat jauh dari harapan. Harus ikut jalur prestasi jika ingin terus melanjutkan kuliah.

Saat itu itu aku mencoba mengajukan beasiswa lewat jalur prestasi seperti yang di anjurkan.

Aku mengajukan beasiswa ke perguruan tinggi di daerahku. Banyak sekolah yang mengajukan siswanya di Blair tersebut. Dan berapa sedihnya aku harus menjadi salah satu siswa yang tidak lulus seleksi untuk ikut program beasiswa.

Keinginan untuk melanjutkan pendidikan harus terkubur dalam saat itu, tapi aku harus berpikir untuk melanjutkan hidup. Bu Rahma, Ibu panti memberiku semangat agar aku melanjutkan hidup.

“Bukan rejeki, kamu harus semangat! Tahun depan bisa ikut mengajukan lagi untuk melanjutkan kuliah,” ucap Bu Rahma memberi semangat kepadaku.

“Terima kasih, Bu. Maaf jika Lura masih belum bisa membantu keuangan panti!” balasku.

Rasanya tidak enak hati kepadanya. Seharusnya aku bisa membantu keuangan panti saat ini.

Mencari pekerjaan di kampung ini terbilang susah. Aku hanya bisa berharap agar kehidupanku lebih baik ke depannya.

Selama belum mendapat pekerjaan, aku membantu mencoba berjualan kue dan makanannya ringan yang kubuat sendiri. Di bantu adik-adik panti yang membantu. Alhamdulillah, hasilnya lumayan untuk kebutuhanku dan sebagian keuntungan aku berikan kepada Bu Rahma.

Bu Rahma terus memberiku semangat agar aku bisa mengembangkan usahaku ini.

Hubunganku dengan Farrel semakin hari semakin menghangat.

Kami bertemu setiap hari karena aku sering berkeliling menjajakan kue dan daganganku.

Terkadang Farrel sering membantuku berjualan di waktu senganggnya sebelum dia berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya.

“Farrel, kamu tidak malu membantuku? Nanti kalau ibumu liat gimana?” tanyaku.

Saat ini kami sedang duduk berdua di taman, barang daganganku habis terjual. Sore ini Farrel membantuku agar hasil daganganku habis lebih cepat. Ada yang ingin ia bicarakan kepadaku.

“Ibuku tidak akan tau, tenang saja!” Farrel tersenyum padaku.

Orang tuanya belum mengetahui hubunganku dengan Farrel. Mereka melarang Farrel untuk berpacaran terlebih dulu.

Farrel selalu ditekankan agar berhasil dulu dalam pendidikan. Kadang aku merasa kasihan melihatnya. Orang tuanya terlalu menekannya untuk berhasil.

Banyak yang kami bicarakan ketika berdua. saling mencurahkan kasih sayang, saling berkeluh kesah bersama.

Sungguh berada di dekatnya membuatku nyaman. Perhatian dan kejutan yang sekali ia berikan padaku selalu berhasil membuat hati ini berbunga. Rasanya diri ini terlindungi oleh kehadirannya.

Meskipun umur kami masih terbilang muda. Tapi Farrel berjanji akan membawa hubungan ini ke arah yang lebih serius. Serius menjalani pendidikan. Kemudian ia akan meneruskan usaha orang tuanya. Setelah itu ia akan mengajakku untuk menikah. Itulah janji nya kepadaku setiap kali kita sedang bersama.

"Aku akan ke Jakarta besok. Maaf jika aku tidak bisa menemanimu lagi di sini. Tapi aku janji selalu mengabarimu. Tunggu aku sampai aku bisa mempersuntingmu, Ra!" ucap Farrel membuat hati ini senang sekaligus sedih.

Aku hanya bisa mengangguk pelan.

kami berdua sama-sama berjanji untuk menjaga cinta ini selama ia berjuang belajar sampai akhirnya Fareel datang untuk menjadikan aku istrinya.

Sore ini adalah hari terakhir untukku dan Farrel bersama.

Hatiku sedih, akan terasa berbeda rasanya jika hubungan jarak jauh kami jalankan. Tapi aku berusaha meyakinkan diri, jika Farrel bisa menepati janjinya.

****

Hari makin berganti menjadi bulan. Tak terasa sudah tiga bulan kami berpisah. Berhubungan jarak jauh tak semudah yang kukira.

Hubunganku dengan Farrel masih berjalan baik. Ia selalu menghubungiku, memberi kabar kepadaku setiap harinya. Hanya selama satu bulan semua itu dilakukan.

Belakangan ini Farrel jarang memberi kabar kepadaku.

Merasa penasaran dengan kabarnya aku mencoba menghubunginya malam ini.

Lama panggilan dariku tak terjawab. Detik berikutnya sambungan telepon terhubung. Tapi hanya senyuman musik disko yang kudengar.

“Hallo, Farrel, kamu di mana? Kok berisik banget, suaramu juga enggak jelas?” tanyaku dari seberang telepon. Aku harus sedikit menjauhkan benda pipih itu dari telingaku karena suara yang tersambung begitu keras memekakkan telinga.

“Hai, beb! Aku kangen sama kamu, muuach.” Ardi berucap tak jelas saat menerima telpon. Terdengar suara parau seperti suara orang mabuk.

“Hallo, Rel. Ini kamu kan?” Lura menegaskan pendengarannya. Aku lihat kembali layar ponselnku, takut salah menghubungi orang.

“Rel. Kamu masih di sana ‘kan? Aku berbicara dengan nada tinggi. Tanpa kusadari telepon itu terputus sepihak.

“Ko dimatikan, sih? Farrel kamu di mana ? Kenapa akhir-akhir ini kamu berbeda. Apa yang terjadi sama kamu?” batinku.

Sedih, sudah pasti. Itu yang aku rasakan saat ini. Orang yang selama ini sangat perhatian dan menyanyiku hilang kabar entah ke mana. Apa Farrel bosan dengan hubungan ini, Ataukah Dia sudah mempunyai penggantiku di sana.

Perasaan gelisah berkecamuk dalam sukma.

Hari terus berlalu rasanya berbeda tak ada semangat lagi kurasakan. Hingga suatu hari aku berkomunikasi dengan teman seangkatan di sekolah. Ternyata dia sudah bekerja di salah satu Mall terbesar di Jakarta.

Dina, dia adalah temanku. Beruntung nasibnya bisa bekerja di Jakarta. Sebab lulusan SMA bisa mendapat pekerjaan di kota besar itu. Dina memberitahuku kalau ada lowongan pekerjaan di tempatnya bekerja. Dia menawarkan pekerjaan itu kepadaku. Sungguh kabar angin yang membuat hati ini lega.

Kapan lagi aku mendapat penawaran bagus seperti ini. Di kampung begitu sulit mendapat pekerjaan. Usaha berjuang kue pun tidak bisa menjanjikan untuk masa depanku. Setidaknya bertekad untuk merantau ke kota besar adalah salah satu pilihan untuk merubah nasib.

Hari ini aku beranikan diri untuk meminta ijin kepada Bu Rahma, ibu panti yang selama ini turut andil membesarkanku. Aku meminta ijin agar bisa pergi ke kota. Rasanya ingin keluar dari Panti ini. Bukan karena tidak betah tinggal di sana, tapi lebih kepada perasaan tidak enak hati, seharusnya aku sudah balik membantu untuk panti.

Aku ingin merasakan hidup di luar sana, mencari keberuntungan hidup. Mencari jati diriku.

Aku mengira diriku adalah anak yatim piatu, tapi ternyata kenyataan yang membuat hati ini semakin terpukul hebat. Tatkala mengetahui bahwa diriku adalah anak terbuang. Bu Rahma tidak tahu siapa orang tuaku. Dan Kenapa mereka begitu tega meninggalkan aku di Panti ini.

Hari meminta ijin itu aku baru mengetahui kebenarannya. Bu Rahma menceritakan kepadaku bahwa dia menemukanku di depan pintu gerbang Panti Asuhan saat aku berumur sekitar 3 bulan. Terlihat surat pernyataan kelahiran dari Bidan yang terselip dalam selimut yang aku gunakan saat itu.

“Kamu tetap anak ibu, meskipun kamu belum tahu siapa orang tuamu! Kita tidak tahu alasan apa yang mendasari mereka membuangmu, Ra?” ucap Bu Rahma saat menceritakan sedikit kisah tentangku.

“Mungkin aku anak haram? Atau anak yang tidak diinginkan, Bu! Tidak masalah bagiku, yang penting saat ini aku ingin menyusun kehidupanku, Bu. Aku ingin bekerja di Kota.” Kusampaikan keinginanku pada Bu Rahma.

“Apa kamu yakin mau keluar dari panti ini, Ra? Kenapa harus jauh dari sini? Apa tak ada perusahaan di daerah sini?” cecar Bu Rahma saat aku beranikan diri meminta ijin darinya untuk merantau ke Jakarta.

“Aku sudah mencoba di daerah sini, Bu. Tapi tak ada yang lowongan pekerjaan di kota ini. Kalau pun aku diterima di sana. Aku akan sering memberi kabar pada Ibu karena hanya Ibu dan adik-adik panti yang aku punya. Kalian yang selalu ada buatku. Aku tidak akan melupakan jasa ibu yang sudah membesarkanku sampai saat ini.” Aku merangkul tangan Bu Rahma lalu menyandarkan kepalaku di pundaknya.

“Huh...,” terdengar helaan napas berat dari Bu Rahma. “Ya sudah! Kalau itu sudah menjadi tekadmu, ibu hanya bisa mendoakanmu. Kamu harus bisa membawa diri di tempat baru, jaga diri, jaga sikapmu terhadap orang lain.” Bu Rahma menasehatiku.

Aku mengangguk dan mendengarkan semua ucapan dari beliau. Memang berat awalnya tapi aku harus bisa. Ini untuk masa depanku.

“Iya, Bu. Lura pasti ingat selalu pesan dari Ibu,” ucapku sendu.

Bu Rahma melepaskan tanganku yang merangkul salah satu tangannya. Ia hendak beranjak dari kursi panjang yang kami duduki.

“Tunggu di sini, Ibu ada sesuatu untukmu, Mungkin ini akan membantumu mencari jati dirimu selama ini!” ucap Bu Rahma pada kau. Sepertinya ada sesuatu yang akan diberikan kepadaku.

Aku menyatukan alis. Tak mengerti apa yang dibicarakan Bu Rahma. Aku akan menunggunya di sini sesuai perintah beliau.

Apa sebenarnya yang akan Bu Rahma berikan padaku.

.

.

.

...Bersambung...

Masih sepi sekali.... bantu like dan Favorit nya say.... agar author makin semangat

buat up bab baru 🥰😘😘

Menuju Kota Besar

Bu Rahma kembali sambil membawa kotak kecil berbentuk persegi di tangannya. Dia menghampiriku, membuka kotak kecil itu di hadapanmu.

Aku melihat Bu Rahma mengeluarkan isi yang ada di dalam kotak tersebut. Kalung putih dengan liontin berinisial huruf A dan sebuah surat yang kertasnya sudah terlihat usang.

“Ibu menemukanmu di depan Panti Asuhan ini, 20 tahun yang lalu. Umurmu waktu itu baru berusia sekitar tiga bulan. Ibu mengetahui tanggal lahir dan namamu dari surat lahir yang terselip di dalam selimut yang menyelimuti tubuhmu saat itu.” Bu Rahma menjeda ucapannya.

“Dan ini, Ibu temukan kedua benda ini dalam keranjang bayimu!” Bu Rahma menyerahkan kalung, surat kelahiran dan sebuah surat yang dilipat kepadaku.

Perlahan kubuka lipatan surat yang menguning karena termakan usia. Aku tidak berani membuka surat itu. Takut menerima kenyataan yang ada bahwa aku hanyalah anak yang kehadirannya tidak diinginkan oleh orang tuaku. Sejenak aku terdiam. Pikiran dan perasaan jadi tak menentu. Siapkah aku mengetahui siapa jati diriku.

“Bukalah, Nak! Mungkin itu bisa jadi petunjuk untukmu.” Bu Rahma menguatkanku. Beliau mengelus punggungku pelan dan penuh kelembutan.

Perlahan keberanian diri membuka lipatan surat itu.

Allura ... sayang, putri mama, maafkan mama. Bukan mama tak sayang padamu. Tapi mama harus menyembunyikanmu dari suatu hal yang belum kamu mengerti, Nak.

Mama harap kamu jadi anak yang tegar dan kuat dalam menjalani hidupmu.

Kehadiranmu sungguh sangat berarti buat Mama. Papa mu juga pasti senang jika dirimu masih bernapas sampai saat ini. Sayangnya dia tidak tahu, mama sengaja menutupinya karena suatu hal yang suatu saat nanti akan mama ceritakan jika kita bertemu.

Maafkan mama tidak bisa menemani tumbuh kembang, Nak. Tapi di sini, mama akan selalu mendoakanmu, berharap yang terbaik selalu ada padamu, Nak. Semoga Tuhan dan Ibu panti bisa merawatmu dengan baik.

Mama harap kamu bisa memaafkan mama. Mama sayang kamu.

Allura Charya putri mama. Semoga kita bisa bertemu kembali suatu saat nanti.

Dadaku sesak saat membaca bait demi bait yang tertulis dalam selembar kertas itu.

Sakit rasanya menerima kenyataan yang ada, jika aku boleh memilih lebih baik aku tahu diriku yatim piatu daripada mengetahui kenyataan yang sesungguhnya.

Mempunyai kedua orang tua lengkap tapi tidak tahu siapa mereka.

Air mata ini tak sanggup ku tahan.

Aku hanya bisa menunduk, menggenggam erat kalung yang ada di tangan ini. Kenapa kehidupan ini begitu kejam. Jika kehadiranku tidak diinginkan ke dunia ini, kenapa tidak menyingkirkan diriku saja sejak masih dalam kandungan. Sehingga aku tidak menerima kenyataan pahit seperti ini. Mendambakan kasih sayang orang tua dari kecil.

Tubuhku bergetar seiring isak tangisku. Kutumpahkan rasa sakit, sedih, kecewa saat itu.

Bu Rahma menarikku ke dalam pelukannya.

“Menangislah jika itu akan membuat perasaanmu lega!” ucap Bu Rahma kepadaku.

Lekas kupeluk balik tubuh wanita yang selama ini merawat dan membesarkanku seperti anaknya sendiri.

“Maafkan, Ibu! Ibu baru memberikan ini padamu sekarang. Mungkin dengan ini kamu bisa menemukan keluargamu. Kamu bisa bahagia saat bertemu mereka.” Bu Rahma terus menenangkanku sambil mengucap pelan pundakku yang naik turun seiring tangisku yang masih belum mereda.

“Dia tidak mengharapkanku, Bu! Mamaku sendiri membuangku. Untuk apa aku mencari mereka kalau diriku tak di harapkan, atau aku anak haram yang mereka buang,” ucapku yang perlahan melepaskan diri dari pelukan Bu Rahma.

“huss ... Jangan bicara seperti itu! Kita tak tahu alasan mamamu menitipkan kamu di Panti ini.” Bu Rahma mencoba menenangkanku. Tapi rasanya percuma kekecewaan sudah menyelimuti sukma ini.

Aku mendongak, menatap Bu Rahma. ”Seandainya saja, Ibulah yang menjadi mamaku?” Bu Rahma tersenyum mendengar ucapanku.

“Loh ... Ibu kan memang mamamu, kamu adalah anak Ibu! Ibu yang sudah merawat dan membesarkan kamu!” ucap Bu Rahma sambil tersenyum hangat kepadaku.

Aku kembali memeluk erat Bu Rahma. Seakan enggan untuk melepaskannya. Tak bisa kupungkiri, selama ini, Bu Rahma ‘lah yang merawat dan memberikan kasih sayang kepadaku dan anak-anak panti yang lain, sampai saat ini. Tapi dalam hati ini aku juga ingin merasakan kasih sayang dari orang tua kandungku sendiri.

“Terima kasih, Bu. Sudah mau merawatku!”

“Sudahlah, jangan menangis! Katanya mau mandiri, kok jadi cengeng begini, malu dengan adik-adik yang lain.” Bu Rahma melepaskan pelukanku kemudian mengusap air mata yang masih menempel di pipi ini.

Di Panti Asuhan semua anak sudah layaknya anak sendiri bagi beliau. Dia mendidik kami jadi anak mandiri dan tidak manja, pandai bersyukur dan diajarkan untuk berkata jujur.

“Ibu hanya bisa mendoakan kamu, semoga di mana pun kamu berada, selalu dalam lindungan Allah SWT. Jaga solatmu, jaga sikapmu juga, terutama kepada lelaki! Allah akan menguji masa mudamu dengan mendatangkan seseorang yang membuatmu jatuh hati. Seolah-olah ia membawa cinta tapi nyatanya hanya kemaksiatan semata.” Bu Rahma menasihatiku.

”Sudah dikemasi belum barang yang mau di bawa besok? Persiapkan dari sekarang agar tidak ada yang tertinggal. Ayo Ibu bantu,” ajak Bu Rahma seraya menepuk pelan bahu ini kemudian berjalan lebih dulu menuju kamarku.

Aku menggelengkan kepala pelan. Ada rasa bersalah di hati ini mendengar nasehat Bu Rahma. Aku bahkan tidak bisa menolak ungkapan cinta dari Farrel, yang sampai saat ini tidak berkabar padaku. Apa aku salah sejak awal sudah menerima cintanya. Aku berharap Farrel bisa memberiku pada jalan kebahagiaan.

Aku bergegas berjalan menyusul Bu Rahma ke dalam kamar berukuran sedang. Kamar itu hanya di isi oleh empat orang. Aku adalah penghuni yang usianya lebih dewasa dari yang lainnya. Tiga di antaranya ada Laila yang masih duduk di kelas lima Sekolah dasar, Naima di kelas 6 Sekolah Dasar, dan Ismi kelas 2 Sekolah Menegah Atas. Ismi satu sekolah denganku.

Kami berdua masuk ke sekolah yang sama melalui program Beasiswa yang didapat dari sekolah sebelumnya. Di tambah lagi, aku dan ismi adalah anak asuh dari Panti Asuhan Cinta Kasih jadi ada jatah untuk setiap Panti Asuhan untuk mendaftarkan anak asuhnya ke sekolah favorit tersebut. Beruntung kami berdua masuk ke dalam siswa berprestasi, jadi bisa mengantarkan tanpa jatah dari sekolah kami masuk melalui jalur Beasiswa, bukan dari jalur Panti sosial. Meski kadang sangat terlihat perbedaan perlakuan dari siswa yang memiliki kekuasaan dan uang.

Bu Rahma masih mendampingi dan membantuku mengemasi barang yang akan di bawa ke Jakarta. Beliau duduk di sisi ranjang berukuran Mini size, hanya bisa di tiduri untuk satu orang saja.

“Apa kamu sudah dapat tempat tinggal saat di Jakarta, Ra?” tanya Bu Rahma saat memasukkan beberapa barang milik kita ke dalam tas besar.

“Sudah, Bu! Aku ikut dulu dengan teman. Dia ngontrak di sana.”

“Entah mengapa, rasanya Ibu masih belum rela membiarkan kamu pergi, Ra? Tapi Ibu juga tak mau menahanmu di sini! kamu harus mencari kehidupan yang lebih baik di luar sana,” ucapnya dengan nada sedih yang tertahan.

“Ibu ingat betul, beberapa kali kamu mencoba menolak orang tua asuh yang akan mengadopsimu. Kamu selalu bersikap nakal dan susah di atur, membuat mereka yang tadinya memilihmu mengurungkan niatnya untuk mengadopsimu!” Bu Rahma menjeda ucapanya. Aku melihat ia meneteskan air mata yang segera ia usap agar aku tidak melihatnya. Tapi terlambat aku lebih dulu menyaksikan itu. Aku terus diam mendengarkan Bu Rahma berbicara.

“Itu semua hanya tingkah asalmu supaya mereka tidak jadi mengangkatmu sebagai anak!” Bu Rahma lekas menghentikan gerakannya sesaat ia termenung, mengenang kejadian waktu silam lalu tersenyum getir.

Aku lekas memeluk tubuh wanita itu. Kami kembali berpelukan meluapkan rasa sayang yang selama ini selalu kami rasakan.

“Jasa ibu tidak akan pernah aku lupakan. Kalau tidak ada dirimu bagaimana jadinya aku, Bu! Terima kasih!” ucapku sendu di sela pelukanku padanya.

Hari keberangkatan pun tiba. Mobil travel carteran pun sudah siap menunggunya di depan Panti Asuhan.

Tak lama lagi aku akan meninggalkan tempat ini, tempat yang selama ini menjadi tempatku tumbuh.

Bu Rahma dan beberapa adik asuh mengantar kepergianku. Begitu berat rasanya meninggalkan tempat ini. Tempat yang menjadi saksi dari perjalanan hidupku.

Semua pasti terjadi, tidak mungkin aku selalu berada di sini. Aku ingin hidupku lebih baik, hingga suatu saat nanti aku akan membawa Bu Rahma bersama kebahagiaanku.

“Bu, Lura pergi dulu!” Aku meraih tangan kanan Bu Rahma, lalu menciumnya dengan takzim.

“Hati-hati ya, Ra. Jaga dirimu!” Bu Rahma memelukku erat sambil mengelus lembut punggungku.

Berat rasanya, pasti akan sangat kurindukan sentuhan ini. Sengajaku undur waktu agar bisa merasakan kehangatan pelukan Bu Rahma.

Hingga panggilan pak supir yang menyadarkanku.

Melepas pelukan Bu Rahma, doa dan harapan terucap dari wanita yang selalu memberikan kasih sayang tulusnya kepada kami. Anak-anak panti yang ia besarkan.

Tak banyak yang mengantar kepergianku, pagi ini. Adik asuh yang lain masih dalam lingkungan sekolah. Hanya Bu Rahma dan Febi yang setia mengantarkanku.

“Jangan lupa kabari kami, ya , Kak!” Teriak Febi, anak panti yang paling kecil, di antara semua anak panti. Lambaian tangan darinya melepas kepergianku menuju Kota Jakarta.

Tanpa suara hanya setetes air mata yang kembali jatuh mengiringi perpisahan ini. Aku membalas lambaian tangan Febi.

Kini aku bersiap menempuh perjalanan menuju kota besar di mana aku akan berjuang untuk masa depanku

Bersambung.

Bagaimana ceritanya. Jangan lupa like dan ramaikan kolom komentar ya.

satu lagi kasih rating bintang untuk karya ini tekan love juga untuk favorit kan karya ini. biar kalian gak ketinggalan berita kalai aku up bab baru.

Banyak ya kemauan Author ini.

Love u sekarung beras deh buat kalian.😘😘😘

Jangan lupa.... ok... ok...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!