"Huweek! Huweek!" Bu Mayang yang sedang menyikat baju di kamar mandi, buru - buru keluar menghampiri Nara yang sedang mual - mual di depan kulkas. Wajahnya perlahan pucat, pupil matanya tidak normal dan gerakan tubuhnya pun aneh.
"Neng, kamu kenapa?" tanya Bu Mayang cemas. Nara yang kemarin mendapat informasi dari hasil pengumuman sekolahnya, tidak sangka setelah membeli tespesk tadi dan melihat hasil dua garis merah itu membuatnya mual - mual kembali.
"Ibu... aku hamil."
Bu Mayang syok berat. Gadis cantik itu yang baru pulang dari sekolah itu membuat mulutnya kaku setelah mendengar kabar yang tidak terduga itu.
"Ibu... bagaimana ini? Aku hamil!" Tangis Nara jatuh bersimpuh. Menepuk pelan perutnya yang sudah mengandung janin dua bulan. Janin yang tidak seharusnya ada di dalam perutnya.
"Katakan, aku harus bagaimana, Bu?" Nara menangadah ke atas dan menarik tangan Bu Mayang yang masih syok. Tak ada kemarahan, hanya ada kekecewaan pada dirinya sendiri.
"Bu, aku masih ingin sekolah dan masih ingin mengejar cita - citaku. Tolong katakan sesuatu, Bu." Nara memohon pada Bu Mayang untuk bicara. Tetapi wanita itu tetap terdiam.
"Baiklah, kalau tidak mau bicara, aku akan pergi menggugurkannya." Nara berdiri namun segera dicegah oleh Bu Mayang.
"Jangan, jangan kamu aborsi anak itu, Neng," larang Bu Mayang.
"Anak itu tidak bersalah," lanjutnya iba.
"Memang tidak bersalah tapi gara - gara dia, aku tidak bisa bersekolah nantinya," ucap Nara.
"Neng, dengarkan Ibu. Jika kamu lakukan ini, orang tuamu pasti kecewa." Bu Mayang tidak mau Nara sampai nekat menghilangkan nyawa anaknya sendiri.
"Lalu apa yang harus kulakukan padanya?" Nara ingin memukul perutnya tapi Bu Mayang menangkap dua tangannya.
"Rawat dan lahirkan, dia satu - satunya keluarga yang kamu miliki, Neng." Bu Mayang memeluknya.
"Lahirkan? Lalu bagaimana dengan sekolahku, Bu?" tanya Nara terisak.
"Kita tunda setahun dan setelah kamu melahirkannya, kamu bisa lanjut sekolah. Ibu akan bantu kamu rawat dan lahiran."
Nara memeluk Bu Mayang. Hanya wanita itu yang selama ini menjaganya setelah orang tuanya pergi. "Maafkan aku, Bu." Nara terpaksa menuruti Bu Mayang.
SATU TAHUN KEMUDIAN
"Umhh... sedikit lagi harus selesai nih," desis Nara menggigit bibir bawahnya.
"Nara, cepat keluar!"
"Ahh....ssht.. bentar aku lagi pompa susunya Alan, Bu." Nara sibuk meremaas - remaas dada kirinya kemudian menumpahkan asinya ke dalam botol susu untuk Alan yang sedang terlelap di sebelahnya.
"Neng, sudah jam tujuh nanti telat masuk sekolah loh!" panggil Bu Mayang setengah teriak. Pembantu Nara dulu dan sekarang menjadi Ibu angkatnya.
"Ya, Bu sebentar lagi!" Cepat - cepat Nara memperbaiki bhnya yang menyangga *********** yang besar kemudian mengancing seragam sekolahnya dari atas ke bawah.
"Aku harus cepat - cepat nih sebelum perwakilan dari sekolah datang menjemputku." Sebelum keluar kamar, Nara menyelimuti Alan dan tidak lupa memberi kecupan manis di pipi halus yang masih kemerah - merahan dan lembut itu.
"Alan, bunda sekolah dulu, jangan rewel ya."
Setelah pakai tasnya, pintu dibuka Bu Mayang. Ia masuk dengan muka paniknya.
"Nara, di luar Pak Fahri sudah datang, cepatlah keluar sebelum dia masuk ke rumah!"
"Baik, Bu. Tolong jagain Alan, aku pergi sekarang, assalamu alaikum." Meski hanya Ibu angkat, Nara dengan sopan tetap mencium punggung tangan Bu Mayang.
"Hati-hati ya, Neng!"
Pesan Bu Mayang berdiri di pintu rumah. Nara melambai kemudian diantar oleh perwakilan sekolah. Bu Mayang yang melihat semangat Nara membuat hati kecilnya merasa lega. Pasalnya, Nara begitu terpuruk tahun lalu semenjak menjadi korban pelecehan dan sekarang gadis cantik yang memakai kacamata tebal dan cerdas itu dapat lagi merasakan lingkungan sekolah.
.
"Nak Nara, sekarang pergilah ke aula, semua siswa baru tahun ini sudah berkumpul di sana dan bapak harap kamu bisa bergabung dengan baik bersama anak-anak yang lainnya." Pesan Pak Fahri yang sudah sampai ke sekolah. Beliau juga termasuk salah satu guru pelajar di SMA ELIPSEAN II.
"Baik, terima kasih, Pak!" Nara bergegas ke aula penyambutan siswa baru. Terbesit rasa iba di wajah Pak Fahri melihat Nara yang telat satu tahun masuk sekolah karena alasan mentalnya sedang buruk.
"Semoga saja hari ini lancar-lancar jaya." Pak Fahri pergi ke tempat para guru berkumpul.
Seperti tahun lalu, di dalam aula yang besar dan luas sudah banyak siswa - siswi berkumpul dari kelas tiga dan dua untuk menunjukkan ekskul - ekskul kepada adik kelas nantinya. Semua pesona siswa yang hadir terlihat mereka berasal dari keluarga kaya raya dan hebat - hebat.
Sedangkan Nara dari keluarga kaya tetapi tahun lalu semua kekayaan orang tuanya habis karena melunasi hutang - hutang peninggalan orang tuanya yang sudah meninggal.
Sebelum guru memberi sambutan, Nara cepat - cepat duduk ke kursi kosong, mengelus dadanya yang berdebar-debar karena dari tadi di tatap oleh siswa tingkatannya. Tentu siswa - siswi baru heran melihat Nara bergabung. Padahal jika dilihat-lihat lagi, Nara yang tinggi dan montok harusnya kakak kelas mereka. Seketika pandangan mereka teralih ke depan ketika para guru memulai penyambutan.
"Alhamdulillah, aku bisa duduk di sini bersama mereka," hela Nara merasa lega. Saat mau fokus, tiba - tiba ada yang mengajaknya bicara.
"Hei, siapa nama kamu?" tanya siswi berparas cantik, berambut pirang tapi sedikit gendut.
"Eh kamu ajak aku bicara?" Tunjuk Nara ke diri sendiri. Siswi bule itu mengangguk dengan manis.
"Namaku Garce, kalau kamu siapa?" tanya Garce mengulurkan tangan. Dengan ragu - ragu, Nara pun menerimanya.
"Nara Kumaira, panggil Nara," balas Nara tersenyum.
"Hm senang berkenalan denganmu, Nara." Senyum Garce memperlihatkan keimutannya.
"Senang juga bisa mengenalmu, Garce."
Dalam hati Nara, ia sangat gembira dapat teman pertama yang baik dan ceria. Mereka berdua sama - sama mendengar pidato yang sedang disampaikan.
"Perhatian kepada seluruh siswa dan siswi SMA ELIPSEAN II, acara orientasi akan segera dimulai."
"Untuk kelancaran acara, siswa dan siswi diharapkan mematikan perangkat elektronik dan tetap tenang selama acara berlangsung."
"Sekali lagi…blablablabla."
Nara yang mendengarnya hanya bisa terkagum - kagum, apalagi kakak kelas mulai menampilkan berbagai ekstrakuler mereka yang begitu menakjubkan. Dari sekian ekskul, Nara tertarik pada ekskul paduan suara. Fokus melihat - lihat, seketika Nara tersentak dada kirinya yang subur tampak ingin mungcrat keluar lagi.
'Emmm... jangan keluar dulu dong.' Desis Nara tidak mau Garce melihat seragamnya basah.
🌾🌾🌾🌾🌾🌾
Baby Alan😍 tiga bulan.
"Hei, Nara," bisik Garce. Nara menutup cepat dadanya pakai tas dan menahan asinya tidak keluar sekarang.
"Kenapa?"
"Dengar - dengar wakil kepsek di sekolah ini sudah diganti dengan yang baru, lho."
"Kalau begitu siapa orangnya?" tanya Nara penasaran karena wakepsek di sekolah ini tidak pernah diganti dan sangat baik hati.
"Aku juga belum tahu sih tapi yang jelas wakepsek dulu saat ini sedang dirawat di rumah sakit."
"Serius, kenapa bisa?" tanya Nara.
"Beliau mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu dan sekarang lagi koma."
"Ku harap, beliau cepat sembuh dan bisa masuk lagi ke sekolah." Nara turut prihatin. Garce menganggukkan kepala sedih.
"Eh tapi katanya wakepsek sekarang beda dari yang dulu lho." Garce masih tidak bisa berhenti bergosip di tengah - tengah orientasi berlangsung.
"Bedanya apa?"
Garce mendekati telinga Nara, berbisik sangat kecil. "Katanya killer dan menyeramkan." Kalimat itu spontan saja membuat bulu kuduk Nara berdiri.
"Serius?" tanya Nara memeluk tubuhnya sendiri.
"Serius, tapi–"
"Tapi apa?" Rasa takut Nara hilang seketika.
"Katanya ganteng dan masih muda sih, hehehe." Garce cengengesan membayangkan wakepsek adalah sugar daddy yang gagah dan tinggi. Benar saja, dia sekarang berjalan ke atas panggung dan dengan cepat mencuri perhatian siswi - siwsi baru. Mereka terpana dan hanyut dalam bayang - bayang imajinasinya. Begitupun Nara membayangkan dirinya bisa membawanya pulang untuk diberikan ke Alan.
"KYAAAAAA!"
"WAAAAH GANTENG BANGET!"
Suasana benar - benar heboh diisi jeritan - jeritan dari mereka dan bersorak - sorak hingga siswa yang lain merasa malu dan risih. Terutama wakapsek juga sangat terganggu. "Haha, takdir punya paras tampan memang begini, yang sabar ya, Pak." Pak Fahri yang berdiri di sebelahnya menepuknya dan tidak sungkan - sungkan memuji siapa saja.
Bagi Pak Fahri ini bagus tapi bagi wakepsek baru sangat tidak suka keributan. Dia pun mengeluarkan toa dan mengucapkan satu kata saja dengan lantang hingga semuanya diam menghening.
"DIAAM!!"
DEG! Mereka duduk cepat dan sedikit takut ditatap tajam dan tegas. "Mohon perhatiannya untuk tenang dulu." Wakepsek tampan itu pun memulai penyambutan dan aturan pendidikan dalam ELIPSEAN II yang harus dipatuhi dan menjaga attitude adalah hal yang penting bagi mereka.
Nara mengangguk paham dan kembali menyimak sampai wakepsek pun masuk ke topik yang paling penting ialah OSIS yang fenomenal. Identitas mereka dirahasiakan, sehingga murid di SMA ELIPSEAN II tidak pernah tahu siapa anggota - anggota OSIS.
"Nara, katanya dalam penyambutan ini, pak wakepsek akan memilih waketos osis yang baru," bisik Garce ke Nara.
"Memang ada waketos juga?" tanya Nara seingatnya sekolah ini tidak memiliki waketos dan ketos hanya berdiri sendiri bersama anggota lainnya. Itulah salah satu bedanya dari SMA lain.
"Dulu sih tidak ada tapi gara - gara insiden wakepsek dulu, tahun ini sekolah mencari waketos untuk mendampingi ketos kita."
"Kenapa dengan ketos sampai harus repot - repot merekrut di sini?"
"Nara, wakepsek dulu adalah ayah ketos saat ini dan gara - gara identitas anaknya terbongkar tahun lalu, seseorang yang benci pada ketos dengan sengaja menabrak mobil wakepsek yang sedang menuju ke sekolah kita."
"Terus pelakunya bagaimana?"
"Pelakunya sudah ditangkap tapi karena usia pelaku masih di bawah umur, jadi dipenjara beberapa bulan saja."
"Ehh, kalau begitu nyawa ketos bisa selalu dalam bahaya jika pelakunya terbebas, 'kan?" tanya Nara kemudian dibalas anggukkan.
"Semoga saja waketosnya bisa bela diri demi menjaga keamanan dan kesejahteraan sekolah ini," ucap Nara.
"Ya tapi—"
"Kenapa?" tanya Nara.
"Aku dengar waketosnya dari siswa yang mendapat beasiswa tahun ini."
Nara terkejut bukan main karena itu jatuh kepadanya. Benar saja wakepsek memanggil nama satu siswa di antara ratusan murid.
"Nara Kumaira, dipersilahkan maju ke atas aula."
Garce spontan syok, bisa - bisanya kandidat waketos dan murid beasiswa adalah Nara Kumaira. Begitupun yang lain terkejut dapat mengetahui identitas waketos mereka. Satu - satunya anggota osis yang diketahui selain ketos.
"Apa karena aku yatim piatu jadi dipilih?" gumam Nara masih tidak percaya terpilih.
"Sekali lagi, Nara Kumaira mohon segera maju ke aula!" Panggil wakepsek tegas. Tidak tahan dipanggil terus, Nara pun terpaksa maju. Sekali lagi mereka heboh mengetahui wajah Nara Kumaira. Tidak seperti Nara yang jalan gemetar dan diam - diam berkeringat dingin.
"Nara, selamat atas jabatanmu di sekolah ini." Pak Fahri memberi lencana osis.
"Kenapa saya yang dipilih, Pak?" tanya Nara.
"Karena nilaimu berada di atas rata-rata dari semua murid baru di sini dan salah satu murid yang masuk kriteria bapak kepala sekolah kita. Saya harap kamu menerima jabatanmu dengan suka rela." Jelas wakepsek tegas di depan Nara. Mata seperti elang yang tajam mematuk lurus.
"Terima kasih, Pak —" Henti Nara belum tahu nama wakepsek barunya.
"Mahendra." Mahendra kemudian berpaling muka dengan acuh dan dingin membuat Nara sedikit jengkel karena Mahendra terlihat sombong.
Tbc.
Note :
Wakepsek : Wakil kepala sekolah.
Waketos : Wakil ketua OSIS.
Ketos : Ketua OSIS.
Seusai Nara resmi diangkat sebagai anggota OSIS, dia pun dipanggil menghadap ke Kepsek dan berjalan di sebelah Mahendra. Rasa canggung melanda perasaannya sekarang dapat melihat kepala sekolahnya yang sudah cukup tua. Matanya redup dan rambutnya sudah beruban.
"Nara, selamat datang di sekolah kami." Pak Kepsek menyambut dengan senyum ramah dan duduk di kursinya.
"Terima kasih atas kebaikannya sudah memberi saya kesempatan untuk masuk ke sekolah ini, Pak." Dengan sopan, Nara membungkuk setengah badan lalu berdiri normal.
"Maaf sebelumnya, tapi bisakah Pak Kepsek jelaskan kenapa harus saya yang terpilih masuk dan menjadi anggota OSIS?" tanya Nara dan melihat Pak Mahendra duduk di sebelah kepala sekolah.
"Sudah saya katakan tadi tapi kamu masih tidak percaya penjelasanku?" Mahendra menatap dengan sinis.
"Pak Mahendra, jangan pasang wajah seram seperti itu. Kamu menakutinya." Pak Kepsek menegur Mahendra yang selalu bermuka dingin.
"Duduklah dulu kemari, biar bapak jelaskan yang sebenarnya padamu, Nara." Nara mengangguk kemudian duduk di hadapan dua laki - laki dewasa itu. Kepsek pun menjelaskan kalau sekolah sudah menantikan kehadirannya sejak tahun lalu. Tetapi kerena musibah yang terjadi pada keluarga Nara membuat gadis cerdas itu menunda pendidikannya. Padahal tahun lalu sudah diresmikan untuk memulai sistem OSIS yang baru, tapi karena Nara yang punya nilai rata - rata tinggi tidak masuk, Pak Kepsek pun menunda dan akhirnya memulai tahun ini.
"Maaf, Pak. Saya saat itu sedang terpuruk." Nara menunduk sedih. 'Semoga saja pihak sekolah hanya mengetahui musibah orang tuaku.' Nara tidak mau pihak sekolah tahu dia sudah punya anak dan rahasianya yang pernah dilecehkan orang yang tega menculiknya dan memperkosanya di kamar hotel yang gelap. Karena itu juga, Nara tidak tahu siapa ayah Alan sampai saat ini.
"Sekarang apa kamu bisa belajar dan melakukan tugasmu dengan konsisten selepas kematian orang tuamu, Nara?" tanya Pak Kepsek sangat prihatin melihat Nara yang sedang tegar di hadapannya.
"Baiklah, saya akan berusaha semaksimal mungkin menjaga organisasi ini dan konsisten." Nara tersenyum mantap dan mengkepal tinjunya dengan semangat.
"Bagus, jiwa semangat muda yang tinggi, Nara," puji Pak Kepsek bangga kepada anak mantan didikannya dulu yang juga punya potensi yang tinggi di sekolah dulu.
"Kalau begitu pergilah ke kelasmu dan mohon kerjasamanya untuk tidak banyak bicara tentang pembicaraan kita hari ini," ucap Mahendra serius.
"Siap, Pak! Saya ke kelas dulu, permisi." Nara bergegas keluar, tidak tahan ditatap sinis. Bukannya ke kelas, Nara berjalan ke toilet untuk memperbaiki bhnya yang sedikit longgar. Namun saat sendirian di koridor yang sepi, Nara tersentak kaget dan menampol jidatnya.
"Haih, aku lupa tanya siapa nama ketua OSIS di sekolah ini!"
"Ya sudahlah, aku ke toilet dulu dan mencarinya nanti." Nara berlari cepat. Sesampainya di depan dua toilet yang terpisah, tiba - tiba dari toilet cowok, Nara berhadapan dengan seorang siswa yang tampan, tapi tampilannya berandalan. Dia baru saja keluar dan melihat Nara sebentar kemudian pergi dengan angkuh.
"Idih, sepertinya di sekolah ini banyak banget warganya yang sombong - sombong. Hmp!" Kesal Nara pun masuk ke toilet cewek. Dia membuka bajunya dan bertelanjang dada. Nara mengganti kuttang yang sedikit dibasahi asinya yang keluar tadi. Untung saja tidak tembus ke seragamnya.
Melihat tampilannya sudah rapih, Nara keluar bersamaan bel pelajaran pertama dimulai.
"Haih, jangan sampai aku terlambat masuk!" Sebagai OSIS yang resmi dipilih, Nara tidak mau membuat kesan buruk di hari pertamanya. Tidak sangka, Nara satu kelas dengan Garce. Mereka berdua pun duduk bersama dan belajar dengan tenang. Tetapi karena jabatan Nara, siswa di kelas tidak bisa berhenti meliriknya. Nara yang risih pun hanya bisa diam dan bersabar.
🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒
Jam istirahat pun tiba, Nara yang selesai merapikan buku - bukunya membuka ponselnya untuk mencari siapa nama anak wakepsek yang dulu.
"Nara, lagi cari apa?" tanya Garce yang mengunyah sanwich di tangannya.
"Nama anak wakepsek dulu," jawab Nara.
"Memang kamu tidak tahu?" tanya Garce lagi.
"Ya, aku tidak tahu siapa ketos kita," ucap Nara karena sibuk belajar di rumah dan mengurus Alan, jadi baru mencari biodatanya di internet. Garce menahan tawa melihat temannya yang kesusahan.
"Kenapa sih harus cari ke internet, kamu kan bisa tanya ke aku, hahaha…." Tawa Garce, anak yang terlahir kaya raya dan punya banyak informasi tentang sekolah. Tidak seperti Nara yang miskin dan hanya punya ponsel jadul alias murah.
"Iya haha, aku lupa!" Tawa Nara baru sadar. Garce pun menjelaskan nama ketos yang sudah bocor. Bernama Daffa Pratama, kelas dua kesenian dan umurnya tujuh belas tahun beda delapan bulan dari Nara.
"Wih, lihat! Tampan kan?" Tunjuk Garce ke foto profil instagram Daffa yang memiliki followers ratusan ribu. Gara - gara insiden ayahnya, banyak orang simpatik sehingga Daffa sangat terkenal di sekolah.
"Oh ya, mau apa kamu mencarinya?" tanya Garce berjalan di sebelah Nara yang pergi mencari Daffa dan menemani Nara supaya tidak digoda oleh cowok - cowok kecentilan.
"Sebagai partnernya, aku perlu berkenalan dengannya dulu dan juga meminta info lain soal organisasi kita," jelas Nara menuruni tangga ke lantai bawah.
"Eh memang kamu tidak diberitahu oleh Pak Kepsek?" tanya Garce heran bisa - bisanya Nara tidak tahu menahu organisasinya sendiri.
"Haha soal itu, sepertinya cuma ketos yang bisa memberitahuku." Senyum Nara grogi.
"Berarti kamu tidak tahu juga siapa nama - nama anggota lain?" Nara mengangguk. Dia harus mematuhi ucapan Kepsek untuk tidak banyak bicara.
"Aih, sayang sekali ya." Garce mengeluh, gagal mendapat info terbaru. Nara pun sadar kalau Garce gadis ceria yang banyak bicara. Tiba - tiba saja saat menginjak lantai bawah, semua murid di lantai itu berlari ke lapangan.
"Hei apa yang terjadi sampai kalian berlarian?" Garce menahan salah satu siswa cewek. Siswa cewek itupun tersentak melihat Nara.
"Kamu waketos, 'kan?"
"Ya, kenapa?" tanya Nara.
"Bagus, cepat ikut saya ke lapangan. Kamu harus menghentikan mereka sebelum tambah parah!" Nara ditarik pergi dan Garce ikut juga.
Seketika, Nara membelalak melihat perkelahian dua kakak kelasnya. Tapi lebih kaget lagi diantara mereka ada cowok angkuh itu.
"Hei kalian! Berhenti membuat masalah di hari pertama adik kelas belajar! Berhenti!" lantang Pak Satpam mencoba melerai cowok yang emosi ingin menghajar cowok angkuh itu.
"Woy sialan, mentang - mentang lo anak yayasan di sekolah ini beraninya nuduh gue pencuri! Mana buktinya, haaa?!" teriak lawannya marah - marah.
"Cih maling mana ada yang mengaku," cemohnya tanpa perasaan kemudian pergi begitu saja.
"Woy Ezra! Sini lo! Jangan cuma seenaknya pergi setelah merusak nama baik gue!" Teriaknya ingin menerjang tapi Pak Satpam tetap mencekal tangannya.
"Lepasin gue, Pak!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!