Kamila adalah rapunzel yang terkurung dalam kastil seumur hidupnya.
Di dalam kastil itu Kamila bukan tuan putri juga bukan seorang pelayan ataupun budak.
Dirinya bukan siapa-siapa. Hanya gadis dua puluh satu tahun yang berharap dunianya berubah, bukan sebagai Kamila.
Kamila cuma bisa mengubur wajahnya pada batal lembut kamar sekaligus kurungan itu, mengingat kembali apa yang ia lalui dua hari yang lalu.
"Ibu." Ia memanggil ibunya, seorang wanita bernama Amarilis yang memiliki keanggunan serupa Kamila. "Aku juga ingin menikah."
Dalam kastil ini, kaum wanita keturunan Narendra, baik mereka yang berdarah Narendra ataupun mereka yang hanya setengah Narendra tidak diperbolehkan menikah. Itu adalah sebuah peraturan turun temurun sejak pertama kali keluarga ini dibangun.
Namun, ada satu pengecualian. Kamila yang berasal dari keturunan tidak murni, dalam arti ibunya bukanlah istri seorang Narendra, maka ada satu kesempatan menikah.
Hanya saja ... hal itu diambil oleh kakaknya.
*Kamila tidak tahu-menahu mengenai apa pun di luar kastil. Tidak ada satupun, satupun hal yang bisa ia lihat selain pemandangan bukit dari gunung Jayawijaya ini.
Ia tak pernah bertemu siapa pun selain mereka yang tinggal di sini. Ia tak pernah sedikitpun berinteraksi kecuali dengan mereka yang berada di sini*.
Jiwanya berharap bebas. Kamila mendengar, orang-orang di luar sana bersekolah dan mengejar mimpi. Tapi Kamila tidak tahu apa itu mimpi atau sekolah.
Ia menjalani pendidikan di ruang bawah tanah. Hanya itu. Pendidikan sampai usianya lima belas, lalu hidup diam di kamar sampai ia mati.
Kamila takut membayangkan harus hidup seperti itu. Dan ... ia mencintai seseorang.
Seseorang yang mungkin tidak boleh untuknya.
"Bukankah Ibu sudah bilang berulang kali?" Amarilis membalas dingin hingga Kamila terkesiap. "Peraturan adalah peraturan! Kita tidak boleh menambah keturunan setengah Narendra selain keturunan kakakmu. Jadi berhenti menjadi gadis manja dan jangan menyusahkan Ibu!"
"Tapi, Ibu, aku juga—"
"Diam! Ibu akan menyuruh pria datang ke kamarmu jadi berhenti merengek!"
Kamila menggeleng kuat. Ia bukan mau pria datang ke ranjangnya lalu pergi seperti gig*lo.
Apa ini takdirnya? Karena ia wanita dari Narendra, tidak boleh ada satupun yang ia inginkan kecuali yang digariskan oleh Narendra?
Aku ingin bebas.
Kamila terisak di bantalnya.
Aku ingin bebas dan memilih.
Ia muak jadi rapunzel.
Ia muak pada takdirnya sebagai wanita Narendra.
...*...
Kastil ini bernama Kastil Bintang. Konon katanya, ini adalah kastil yang dibangunkan oleh pemimpin pertama Narendra untuk adik ipar tercintanya yaitu Trika Narendra, yang juga berarti Bintang.
Dalam kisah yang sering Kamila dengar, seluruh anak Narendra setelah itu dirawat dan dibesarkan di kastil ini sebelum mereka dipindahkan ke Kastil Mawar, yang berada di pulau Jawa, Kota Bogor.
Nyaris seluruh wanita Narendra, kecuali istri-istri mereka tinggal dan menempat di sini untuk mengurusi keturunan Narendra yang masih kecil.
Sekarang adalah masa-masa penghentian keturunan. Masa yang juga di sebut fase steril sebelum nanti secara serentak, seluruh keturunan Narendra akan lahir.
Itu adalah sistem Narendra. Itu adalah aturan dalam Narendra.
Kamila meringkuk di balkon kamarnya, memikirkan bahwa sebentar lagi pernikahan akan berlangsung.
Pernikahan sepupunya, keturunan asli Narendra, Iaros.
Jangan menikah, rintih Kamila berharap itu jadi doa meski Narendra tidak bertuhan.
Jangan menikah. Jangan tinggalkan aku.
Iaros seharusnya sudah menikah di usia dia yang ketujuh belas. Tapi untuk alasannya sendiri, Iaros menerlambatkan pernikahan itu sampai usianya sekarang berada di angka dua puluh tiga.
Iaros adalah keturunan terakhir Narendra yang belum menikah. Selesai pernikahannya, fase steril akan berakhir yang berarti istri Iaros juga akan hamil dan melahirkan seorang anak.
Tidak mau, tangisan Kamila dalam benaknya. Sedikitpun ia tak mau mengurus anak pria yang ia cintai.
Bahkan kalau mereka tidak diperbolehkan bersama, bahkan kalau dia keturunan asli dan Kamila hanya campuran, ia sungguh berharap pada Tuhan di sana, di mana pun Dia, untuk mengabulkan satu doanya saja.
Aku sudah hidup patuh seumur hidupku.
Kamila mengusap air matanya yang tak mau berhenti meleleh.
Aku sudah melakukan semua yang kubisa agar bersabar. Jadi tolong, Tuhan, siapa pun di atas sana, jangan buat aku hidup menyaksikan anak Iaros dengan wanita lain.
*
cerita ini sedang direvisi hingga terdapat perbedaan pada chapter setelahnya. semua chapter yang telah revisi akan diberi tanda [REVISED] pada judul chapter.
"Kamila."
Gadis itu tersentak. Buru-buru menghapus air matanya. "Ya, Nona?" balas ia serak.
Dia adalah saudara sepupu Kamila juga, berusia sedikit lebih muda darinya dengan rambut burgundy yang cantik. Namanya Euribia.
Meski sebenarnya sama-sama Narendra, untuk menghormati keturunan asli, Kamila, Amarilis dan kakaknya memanggil seluruh Narendra dengan sebutan tuan juga nona.
Perbedaan nama mereka juga mengesankan hal itu.
"Kamu menangis lagi." Gadis itu menghela napas. "Aku akan berpura-pura tidak melihat. Bisa tolong bantu aku?"
Euribia atau yang Kamila lebih sering sebut Nona Ribia adalah teman baiknya. Dulu sewaktu kecil Ribia diasuh oleh Amarilis hingga baginya ibu itu adalah sosok Amarilis sendiri.
Mungkin, hanya dia yang tahu bahwa Kamila sering menangis di dalam kamar dan balkonnya.
Menganggap bahwa Kamila akan terganggu—juga mengerti bahwa Kamila tidak bisa menjelaskan situasinya, Ribia cukup mengerti saja.
"Pekerjaan Anda sepertinya semakin banyak, Nona."
Ribia membetulkan kacamatanya hingga wajah cantik itu terlihat lebih bulat dan manis. "Ya. Iaros sebentar lagi akan menikah, kamu tahu, jadi aku mengerjakan beberapa pekerjaannya dulu. Kakak-kakak yang lain juga sangat sibuk. Tapi aku sedikit tidak sabar. Sejak pernikahan Kakak Deimos lima tahun lalu, kita belum pernah membuat pesta sama sekali."
Mulut Kamila bungkam. Ia tetap tak mau perasaaan terlarangnya pada Iaros diketahui. Meski mungkin Ribia akan mengerti, tidak ada yang dapat mereka ubah dari sebuah peraturan turun-temurun keluarga.
Sesampainya di perpustakaan, Kamila mengikuti Ribia. Ternyata gadis itu membutuhkan beberapa dokumen perpustakaan, dan sejak tujuh enam tahun ini ia yang mengurus susunan buku perpustakaan.
Kamila coba mengingat-ingat di mana dokumen itu tersimpan. Lantas ketika ingat ia meletakkannya di rak paling atas, Kamila mengambil tangga untuk naik menjangkaunya.
Tinggi lemari buku sekitar tiga setengah meter. Jadi mustahil dijangkau oleh tangan kosong.
"Kurasa ini bu—" Kamila mengerjap melihat sebuah buku usang menjadi seperti alasan bagi susunan dokumen rapi.
"Ada apa, Kamila?"
Ia menoleh kaget. "Tidak, Nona. Hanya ada debu sedikit."
"Pelayan seharusnya membersihkan. Apa yang mereka lakukan?"
"Tidak apa, Nona. Hanya sedikit debu. Nanti saya sampaikan agar mereka membersihkannya." Kamila bergegas turun. Menyerahkan dokumen itu. "Maaf hanya bisa membantu seperti ini."
Ribia memukul kepalanya dengan buku pelan. "Narendra tidak meminta maaf, dasar kakak bodoh."
Kamila tertawa kecil. "Sampai jumpa lagi, Nona."
"Ya. Akan kubelikan beberapa makanan jika kembali. Tentu, jangan katakan pada siapa pun."
Perasaan Kamila sedikit membaik. Makanan yang Ribia maksud adalah jajanan di kota. Narendra tidak boleh makan tepung, dilarang makan gorengan, lebih banyak mengonsumsi buah dan sayuran.
Ketika pertama kali Kamila mencoba makanan dari dunia luar yang diselundupkan Ribia, ia merasa seperti ingin makan itu selamanya.
Tapi tidak boleh.
Karena tidak sehat.
Kalau dipikir-pikir, aku dan Iaros juga pernah menyelundupkan makanan.
Tatapan Kamila sayu ketika ingatannya terlempar beberapa tahun silam, sewaktu ia dan Iaros masih selalu bersama di kastil ini.
"Hei, Kamila." Waktu itu, Iaros masih berusia sekitar delapan tahun. Datang membawakan Kamila sebuah pie mini yang di atasnya ada hiasan cream cantik.
Narendra punya koki dan Kamila bisa minta mereka membuat pie isi blueberry asli yang banyak. Tapi sewaktu Iaros datang membawakannya, Kamila sangat senang.
"Apa itu, Tuan Muda?"
"Aku minta Kakak membeli sesuatu dan dia membeli ini." Iaros duduk di sampingnya. Menyerahkan pie itu pada Kamila. "Buatmu. Kamu suka makanan manis, kan?"
"Tapi ini milik Anda."
"Aku akan makan yang kamu sisakan."
Pipi Kamila memerah meski saat itu ia masih terlalu kecil. Sangat kecil tapi sudah jatuh cinta. "Seharusnya Anda yang makan dan saya yang makan sisanya."
"Tapi aku ingin kamu yang makan." Iaros mencolek cream di atas pie itu, lalu memakannya. "Hmmmm. Ini manis sekali! Kamu pasti suka!"
Mulut Kamila langsung meleleh. "Be-benarkah? Boleh saya makan?"
Lalu tanpa rasa canggung, Iaros mencolek lagi pie itu, mengarahkan ke mulut Kamila.
Telunjuk dia basah oleh bekas mulutnya, namun Kamila tak ragu memasukkan tangan itu ke mulutnya.
Entah rasa manis cream atau rasa manis tangan mungil Iaros yang membuat ia tertawa. Setelah itu. mereka makan bersama, sambil diam-diam saling berjanji untuk berbagi makanan selundupan lagi kapan-kapan.
Kenapa? Kenapa Iaros harus hilang dari hidupnya?
Kenapa Kamila tidak lahir di peternakan saja, agar ia bisa masuk kategori pilihan istri Iaros dan menikah dengannya?
Kepala Kamila tiba-tiba berdenyut. Sesuatu terlintas di benaknya namun terasa sangat menyakitkan.
Lagi. Tak tahu kenapa, beberapa waktu ini ia terus merasa sakit kepala.
"Apa aku sakit?" gumamnya kebingungan.
Mungkin sebaiknya ia pergi memeriksakan diri ke dokter di ruang bawah tanah. Mungkin stresnya melonjak karena terlalu banyak menangis.
Kamila naik kembali untuk mengambil buku usang itu, lalu turun dan meninggalkan perpustakaan.
Satu yang Kamila tidak tahu.
Bahwa sakit kepala itu bukan sesuatu yang sesepele dirinya kelelahan karena terlalu banyak menangis.
*
"Anda baik-baik saja, Nona," ucap Dokter setelah melalui pemeriksaan lengkap dalam mesin scan di ruang bawah tanah. "Tubuh Anda sehat. Tidak ada kerusakan atau inveksi."
"Tapi kepalaku sakit."
"Nona kurang mengonsumsi air putih." Dokter tersenyum lembut. "Tolong paksakan diri setidaknya meminum air dua liter sehari, Nona. Otak manusia bekerja dengan listrik dan air adalah sumber energinya. Jika otak kekurangan asupan air, itu bisa jadi salah satu penyebab sakit kepala."
Meski Kamila tahu karena ia juga belajar medis, dirinya jadi tersadar.
Benar juga. Beberapa waktu ini ia kurang minum dan hanya terus menangis.
"Kalau begitu, aku permisi, Dokter."
"Tentu, Nona."
Tatapan Dokter itu tertancap pada punggung Kamila sampai gadis tersebut melihat, lalu menatap laporan kesehatan yang sebenarnya menunjukkan masalah.
"Maaf, Nona," gumam dokter itu tanpa diketahui siapa pun.
Sementara Kamila berjalan menuju ke atas, memeluk dirinya sendiri dengan selendang.
Gunung tempat kastil mereka berdiri adalah wilayah terdingin di negara ini. Suhu di siang hari tempat ini hanya berkisar sepuluh derajat atau bahkan kurang hingga rasanya sulit berkeringat.
Kamila berjalan naik ke lantai tiga dari lima lantai kastil, menuju ke kamarnya bersama buku usang yang ia temukan di perpustakaan.
Duduk sendirian di atas tempat tidur, Kamila membuka buku itu. Tadinya ia berpikir ini buku bacaan teoritis atau mungkin sebuah coretan jurnal kecil, namun ternyata salah.
Itu ... buku harian.
Kamila tersentak hanya dalam sekali buka, menemukan sebuah tulisan indah di atas kertasnya yang usang.
"Namaku ... Kamila?"
Jangan bilang ini buku Kamila leluhurnya?!
Kamila adalah anak haram Narendra yang pertama sekali dibawa ke kediaman Narendra saat berusia dua puluh satu tahun. Saat itu sudah ada peraturan bahwa keturunan Narendra tidak boleh menikah kecuali prianya.
Kenapa ada peraturan semacam itu? Kata Ibu, wanita Narendra adalah wanita terhormat. Tidak boleh sedikitpun mereka mengangkangkan kaki untuk seorang pria apalagi menikah dan menjadi budak mereka.
Tapi Kamila leluhur Kamila ini diizinkan memiliki anak untuk sebuah alasan. Yang sampai sekarang Kamila harap seharusnya dulu tidak jika memang dia hanya meninggalkan anak cucunya dalam kondisi menyedihkan.
"Hari ini Ayah menyusul kepergian Nyonya." Kamila membaca tulisan indah itu baik-baik. "Aku berharap waktu berputar. Aku berharap mengubah sesuatu sebelum kehilangan. Aku ingin Ayah kembali. Aku tidak bisa hidup kesepian tanpa Ayah."
Ah, mungkinkah dia menulisnya saat kematian Luka Narendra? Dia menyebut Nyonya, karena ibunya Kamila adalah wanita luar Narendra yang seumur hidup dia tinggalkan setelah berpindah ke Narendra.
"Iaros, apa yang harus kulakukan?"
Iaros?
Kenapa nama Iaros ada di sini?
Tidak. Dalam sejarah, tidak ada nama Iaros dalam keturunan Narendra. Belum pernah ada Iaros kecuali Iaros yang Kamila kenal, jadi siapa ini?
Kamila membuka-buka lembaran buku harian itu. Berusaha menemukan petunjuk sampai ia berhenti di sebuah halaman.
"Aku merasa bersalah pada Jenggala." Kalau tidak salah, Jenggala adalah nama pengawal Kamila masa itu. "Aku tahu dia mencintaiku. Aku juga mencintainya. Tapi, maaf, aku masih mencintai Iaros."
Jantung Kamila serada diremas.
Ada Iaros lain di rumah ini enam generasi yang lalu?
"Aku tidak bisa melupakan hari di mana kamu berkata berbohong mencintaiku. Kenapa harus Lissa? Kenapa bukan aku? Aku berharap aku mengalah. Aku berharap aku mengerti. Tapi Tuan Muda, tolong, tolong mengerti bahwa Anda membuat saya mencintai Anda melebihi saya mencintai diri saya."
Kamila menatap gamang goresan tinta usang itu.
Nama dia Kamila, namanya Kamila.
Nama pria yang dia cintai Iaros, nama pria yang Kamila cintai juga Iaros.
Lalu pria yang dia cintai bersama wanita lain, sementara pria yang Kamila cintai juga—
"Lissa?!" Kamila tersadar ada sesuatu yang aneh di sini.
Ia buru-buru beranjak, berlari kencang meski kepalanya berdenyut menuju lantai lima.
Di sana, di sebuah ruangan yang merupakan tempat penyimpanan lukisan anak-anak Narendra, terpampang wajah seorang gadis cantik berambut ungu yang tersenyum angkuh menatap mereka.
Dia Lissa.
Dia Lissa Makaria Narendra.
Dia Narendra!
Lalu Kamila menyebut Iaros dengan sebutan Tuan Muda.
Kalau begitu mereka—
"Kamila."
Saat Kamila sibuk memecahkan misteri di kepalanya, sebuah suara membuat dunia beku. Ia kaku memalingkan tubuhnya, menahan napas ketika sosok Iaros berdiri di sana, sampai-sampai ia terjatuh lemas.
Napas Kamila mendadak sesak.
Keringatnya bercucuran hebat. Mendadak lupa mengenai buku harian dan ingat bahwa ini adalah pertama kali setelah bertahun-tahun mereka tidak bertemu.
Dia pergi.
Kamila menangis.
Dia pergi begitu saja seolah semua yang dia berikan padaku hanya kebohongan.
"Kamila, apa yang terjadi? Kenapa kamu—"
"Jangan menyentuh saya!" Kamila memekik tertahan. Menepis tangan Iaros dari lengannya dan menangis semakin hebat.
Untuk apa dia datang? Memamerkan bahwa dia akan menikah sementara Kamila terkurung di kastil ini selamanya?
Atau menertawakan betapa bodoh Kamila karena berpikir mereka pernah saling mencintai, lalu semuanya ternyata cuma permainan?
"Kamila, tenangkan dirimu. Aku tidak—"
"Menjauh dari saya!" Kamila memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut tak karuan. "Bagi Anda, semuanya hanya permainan, kan?"
"Kamila."
"Anda senang karena terbebas dari saya, kan?!"
Kamila meringkuk. Gigil tubuhnya menandakan seduka apa dirinya sekarang memikirkan Iaros benar-benar akan mendekap wanita lain.
"Anda meninggalkan saya. Anda menikmati kebebasan Anda dan meninggalkan saya! Anda bilang Anda hanya ingin bersama saya, tapi nyatanya Anda—"
"Kamila." Iaros tiba-tiba menariknya dalam pelukan erat.
Tangisan Kamila berubah jadi rintihan. Seluruh tubuhnya sakit hanya dengan memikirkan Iaros pada akhirnya akan pergi. Tapi tangannya mencengkram bahu Iaros, berharap agar waktu berhenti dan mereka akan terus bersama.
Jika peraturan adalah peraturan, bisakah sedikit saja itu dilanggar?
"Jangan tinggalkan saya." Kamila meracau dalam tangisan pedihnya. "Tuan Muda, lakukan apa pun tapi jangan tinggalkan saya. Tidak ada sesuatu yang bisa saya miliki di dunia ini. Tidak ada. Jadi tolong jangan tinggalkan saya."
Semua orang bisa bermimpi menjadi wanita karier atau pergi menjelajah dunia, tapi Kamila adalah wanita Narendra dan wanita Narendra tempatnya adalah di kastil Narendra.
Tidak apa jika ia menyedihkan.
Tidak apa jika ia mengemis.
Hanya Iaros saja, tolong jangan ambil sesuatu yang setidaknya bisa mengubur perasaan sesak Kamila.
"Kamila."
Iaros menarik wajahnya, menyatukan bibir mereka disaksikan oleh seluruh lukisan wanita Narendra di ruangan itu.
Ia membalas ciuman Iaros, melampiaskan rasa rindunya yang menggebu-gebu. Tapi sesuatu terasa salah ketika Iaros menarik selendangnya lepas, menanggalkan pakaian Kamila tergesa-gesa.
"Tuan Muda."
Iaros membungkuk, kembali menciumnya sementara menuntun tangan Kamila ikut menyentuh.
"Aku juga merindukanmu," bisik pria itu mesra. "Aku juga merindukanmu setiap hari."
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!