“Ya Rabb, aku mencintai Akhmar, lalu kenapa aku malah menikah dengan kakaknya Akhmar? Apakah benar Mas Aldan adalah jodohku?” Suara hati Aiza berseru. Ia gemas sekali dengan keadaannya sendiri.
Makin ke sini, makin makan hati.
"Duuh... Kak Zahra, kamu dimana sih Kak? Selamatkan Aiza. Pulanglah, Kak. Seharusnya Kak Zahra yang menikah, bukan Aiza. Aiza ingin bebas dari pernikahan ini!” Aiza menggumam sendiri. Meski setelah bebas dari pernikahan itu Aiza tidak bersama dengan Akhmar, setidaknya dia tidak menikah di atas sandiwara begini.
Zahra seharusnya menjadi pengantin, namun justru Aiza yang menggantikannya disebabkan Zahra kabur tepat di hari lamaran Aldan.
Alhasil, Aiza dipaksa menggantikan Zahra. Aiza sungguh tak bisa menolak karena sang ayah sudah menggelepar seperti ikan lele. Kalau saja Aiza benar- benar menolak hanya demi memikirkan kebahagiaannya sendiri, bisa jadi jantung ayahnya yang menjadi taruhan.
Bunga- bunga dan segala pernak- pernik sudah ditata rapi di kediaman Aiza. Ada banyak orang di rumahnya meski ini sudah tengah malam. Ya, malam ini mereka tengah menyelesaikan hiasan rumah, sebab esok hari adalah waktunya dimana pernikahan antara Aiza dan Aldan dilangsungkan.
Aiza tidak didandani selayaknya pengantin yang menurut adat tangannya dihias dengan inai, alisnya dicukur dan lain sebagainya. Dia muslim, yang paham bahwa hal itu akan mengganggu kecintaannya pada sang Rabb karena ibadahnya yang akan menjadi rusak akibatnya, sehingga ia memilih untuk didandani pas hari H saja, itu pun dandan seperlunya tanpa inai di tangan, juga tanpa cukur alis.
Meski di tengah keramaian, orang- orang yang lalu lalang dengan banyak kegiatan, namun Aiza merasa kesepian. Inikah yang dinamakan kesepian di tengah keramaian?
Aiza sangat mencintai Akhmar, tapi hanya dalam hitungan hari, ia justru akan menikah dengan pria yang tak lain adalah kakaknya Akhmar.
Perlu diingat, bahwa di sini wanita yang seharusnya menikah adalah Zahra, kakaknya Aiza. Tapi Zahra malah kabur tepat di hari lamaran sehingga Aiza menjadi korban yang harus menggantikan kakaknya.
Aiza berjalan di ruangan luas, dimana para penata ruangan tengah sibuk menghias segala penjuru. Kamar pengantin sudah selesai di rias, kini mereka terlihat sibuk mengurus ruangan utama. Buket bunga, pernak pernik, lampu- lampu dan segala macam hiasan membuat ruangan menjadi indah.
Ya Allah, begini rasanya akan menikah. Kenapa rasanya malah seperti tawanan yang digiring ke tiang gantungan? Kenapa malah ingin mundir dan lari? Huh, Mas Aldan, bukan maksud menolak untuk menjadi makmum kamu, tapi hati ini rasanya malah teraniaya.
Aiza mendengus mengawasi sekeliling. Nayla, sahabatnya tidak bisa hadir malam itu, katanya sibuk mengurus baju pesanan customer. Besok Nayla baru bisa datang.
Meta lah yang ikut berpartisipasi di ritual malam itu. Sebagai teman, Meta penasaran seperti apa suasana malam pengantin, ia ingin turut merasakannya. Ia mengaku akan menginap di rumah Aiza untuk menemani Aiza malam itu.
"E e eh... Kok malah keluyuran sampai sini sih? Pengantin tuh dipingit, mggak boleh kelayapan," tukas Meta yang membawa segelas air mineral yang tadi diminta oleh Aiza. Ia menyerahkan gelas berisi air mineral kepada Aiza.
Segera Aiza meraih gelas itu lalu meneguknya.
"Pingit apaan?" Aiza menanggapi meski telat.
"Emang gitu, calon pengantin tuh di kamar aja," jawab Meta bersemangat. "Kalau jalan kemana- mana, entar kenapa- napa loh. Besok adalah hari pernikahanmu."
"Mitos." Aiza melambaikan tangan ke sembarang arah. Ia lalu melangkah menuju kamar, diikuti oleh Meta.
"Aku boleh nemenin kamu di kamar pengantin kan?" tanya Meta yang penasaran sekali bagaimana rasanya berada di dalam kamar pengantin. Dan berhasil, keinginannya terkabul. Ia malah terlihat bersemangat naik ke ranjang yang sudah dihias dengan kelopak bunga. Lalu berbaring menikmati ranjang itu. Membayangkan sedang menunggu Akhmar sebagai pengantinnya. Mukanya memerah malu membayangkan itu. Tak lama, ia malah pulas.
Apa kabar pengantin yang sebenarnya? Aiza tampak duduk di lantai, punggung bersandarkan kaki dipan kasur. Terdiam. Isi kepalanya telah berkhianat dengan akalnya yang sejak kemarin memerintah untuk tidak lagi memikirkan Akhmar, tapi masih saja ia terus mengingat sosok Akhmar.
Besok ia akan menikah, artinya Akhmar adalah masa lalu.
Aiza tidak bisa tidur. Bahkan masih terus melek meski jarum jam terus berputar. Waktu pun berlalu hingga subuh pun menjemput. Aiza benar- benar tidak bisa tidur. Ia menghabiskan sepanjang malam dengan membaca Al Quran. Sampai akhirnya ia tersadar bahwa subuh sudah tiba ketika adzan berkumandang.
Ya ampun, mata benar- benar tidak bisa merem, bawaannya pingin melek terus. Semua itu gara- gara pikiran terus melayang.
"Allahu Akbar!" Aiza menunaikan ibadah shalat subuh.
***
Bersambung
Ini season dua dari kisahnya Aiza dan Akhmar. Selamat membaca.
Jangan lupa langsung Klik tombol favorit di bawah ini ya biar kalian langsung tahu kalau ada notifikasi bab baru yg Emma Update.
Akhmar mengenakan kemeja putih, dipadu tuxedo putih, celana putih serta dasi kupu- kupu warna senada. Sepatu yang juga berwarna putih.
Ini adalah hari H dimana Aldan dan Aiza akan menikah, mengucap ijab qobul, lalu bersanding di pelaminan sebagai pasangan halal suami istri.
Akhmar akan menjadi saksi di pernikahan itu. Ya, dia akan menyaksikan Aiza menikah dnegan kakaknya sendiri.
Akhmar menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang tak lagi terlihat sangar, justru keresahan dan kekhawatiran yang muncul di wajah itu. Ia masih menatap wajah tampan dengan rahang kokoh itu beberapa detik sampai akhirnya ia melepas pandangannya dari cermin. Ia lalu melangkah turun menuju ke lantai bawah, dimana orang- orang tampak berkumpul dengan pakaian serba rapi, wajah- wajah bahagia menyambut sang pengantin. Hanya ada tawa dan kegembiraan yang terpancar di wajah- wajah mereka, mungkin mereka tidak menyadari ada raut yang disembunyikan di balik ekspresi wajah Akhmar.
Terdiam di sofa, Akhmar membuka botol air mineral dan meneguknya. Tenggorokan yang terasa kering pun kini sudah basah. Ia mulai sedikit lega. Wajahnya lalu terangkat saat mendengar suara langkah kaki menuruni anak tangga. Tampak Aldan berjalan di anak tangga dengan wajah sumringah, tak mampu membendung kebahagiaan. Jelas tampak kebahagiaan di wajah itu. Tak perlu ditanya apakah Aldan bahagia dengan pernikahannya yang sebentar lagi akan berlangsung, ekspresi wajah Aldan sudah menjadi jawaban.
Adam merentangkan tangan, menyambut kedatangan putranya yang terlihat sangat tampan mengenakan tuxedo stelan putih lengkap dengan sepatu dan dasi kupu- kupu warna senada. Penampilan Aldan dan Akhmar hampir sama, mereka sama- sama mengenakan stelan tuxedo putih. Hanya saja, yang membedakan antara Akhmar dan Aldan adalah kopiah putih yang bertengger di kepala Aldan. Akhmar tidak mengenakannya.
"Selamat, Nak! Kamu akhirnya menemukan pendamping hidup yang baik. Inilah yang sejak dulu papa harapkan, putra papa memiliki kebahagiaan dalam rumah tangganya kelak. Jika saja istri kamu adalah wanita solehah, maka papa yakin kebahagiaan akan menaungimu. Papa bahagia, Nak!" Adam berkaca- kaca. Ia lalu mengucek matanya yang basah dan memeluk Aldan.
Menyaksikan itu, Akhmar terdiam. Rasa bangga Adam terhadap Aldan sejak dulu tidak pernah berkurang. Dari cara Adam mengungkapkan kebahagiaannya itu, jelas membuktikan bahwa dia sangat menyayangi Aldan. Hal itulah yang sejak dulu tidak pernah didapatkan oleh Akhmar, sampai detik ini.
Tidak. Akhmar tidak boleh iri, apa lagi memendam kecemburuan, jangan sampai kejadian yang sama terulang lagi, ketika akhirnya Akhmar membenci papanya dan memilih untuk berkelahi dengan situasi. Tidak boleh terulang kembali.
Akhmar mendekati Aldan sesaat setelah melihat Adam melepas pelukan Aldan.
Akhmar meraih lengan kakaknya, menatap intens. "Aku turut senang."
Aldan membalas tatapan adiknya, mengangguk gembira.
"Aku tau antara Mas Aldan dan Aiza baru saling mengenal, tapi aku tau ini pernikahan yang baik untuk Mas. Aiza adalah gadis baik yang hadir di kehidupan Mas, aku percaya gadis yang dekat dengan Mas bukanlah gadis sembarangan. Dia gadis yang beruntung," ucap Akhmar tenang.
"Mas nggak percaya kamu bisa bicara sedewasa ini, ada banyak perubahan yang terjadi padamu setelah beberapa tahun di Yogya." Aldan menepuk pundak Akhmar penuh kebanggaan.
"Apakah Mas menyukai Aiza?" Tenang sekali Akhmar melontarkan pertanyaan itu.
Aldan terkekeh pelan. "Pertanyaan kamu itu salah, sebab bukan hanya sebatas suka, tapi sayang. Iya, Mas menyayangi Aiza. Perasaan itu tumbuh begitu saja semenjak pertama kali melihat dia. Kamu tau nggak, sebelum dia menjadi calon istri Mas, kami pernah bertemu beberapa tahun silam. Waktu itu, dia masih sekolah dengan seragam putih abu- abu. Dan saat itu, hati Mas udah mengatakan bahwa Mas memiliki harapan pada gadis itu. Tuhan akhirnya mengabulkan harapan Mas. Alhamdulillah." Aldan bahagia tiada tara.
Adam sampai ikut tersenyum melihat senyuman sulungnya.
Melihat kebahagiaan di wajah Aldan dan Adam, Akhmar pun melangkah mundur. Memang sudah sepatutnya Aiza mendapatkan pria salih seperti Aldan. Akhmar tau diri. Ia tidak pantas untuk Aiza.
Akhmar Kembali meraih botol berisi air mineral dan meneguknya. Hatinya terasa lebih adem saat meneguk air mineral.
Orang- orang yang berkumpul hendak mengantar pengantin ke rumah mempelai wanita, sudah bersiap keluar rumah. Masuk ke kendaraan masing- masing. Hari ini, mempelai pria diantar ke rumah mempelai wanita dimana akan dilangsungkan acara ijab qobul. Setelah itu mempelai wanita dan pria akan disanding di pelaminan.
Aldan dibimbing memasuki mobil pengantin. Disana juga ada Adam yang mengiringi.
Akhmar memilih mobil lain, tidak mau satu mobil dengan sang pengantin.
"Mas Akhmar, aku bersamamu ya!" pinta Aisha yang saat itu turut serta sebagai rombongan pengantar pengantin.
Akhmar mengangguk menyetujui permintaan gadis yang kini terlihat menggunakan kurk sebagai alat bantu untuk berjalan. Mereka duduk bersisian di satu mobil.
Akhmar membawa beberapa botol air mineral di mobil, yang kemudian ia teguk di sepanjang jalan. Entah kenapa perasaannya resah, dan keresahan itu menghilang sebentar setiap kali ia meneguk minuman. Oleh sebab itu, ia terus meneguk minum hingga menghabiskan hampir tiga botol.
"Dehidrasi ya, Mas?" tanya Aisha yang heran melihat Akhmar terus minum.
Akhmar hanya memutar mata.
Bersambung
Sesampainya di rumah besar kediaman calon mempelai wanita, mobil- mobil rombongan calon mempelai laki- laki berhenti di parkiran yang sudah ditunjuk. Mereka semua berjalan mengiringi calon mempelai laki- laki hingga sampai di dalam. Permadani panjang sudah digelar untuk menyambut kedatangan calon mempelai pria, langkah kaki Aldan gontai melewati permadani hingga sampailah dia di sebuah kursi, lalu duduk di kursi yang sudah disediakan. Kursi di sampingnya masih kosong, belum ada penghuninya. Aiza.
Ya, gadis itu belum muncul. Perasaan Aldan tengah berbunga- bunga, ditambah jantung deg- degan tak karuan, pokoknya asmara dalam dadanya tengah membuncah. Rasa syukur terus mengalir dalam benaknya.
Adam duduk di belakang Aldan, tepatnya di kursi paling depan bagian tamu.
Sedangkan Akhmar masih duduk memaku di dalam mobil. Sesekali mengusap wajah.
"Mas Akhmar, ayo! Kok, masih di dalam mobil!" ajak Aisha, tetangganya yang satu mobil bersama dengan Akhmar, ia sejak tadi sudah kesemutan menunggu Akhmar turun. Ia bagaikan satpam di sisi mobil. Berdiri sampai kening keringetan akibat tersengat sinar matahari yang pagi iyu tampak sangat bersahaja, cerah.
Akhmar diam saja, membiarkan Aisha terus mengetuk kaca mobilnya.
Kasihan, akhirnya Akhmar menurunkan kaca mobilnya. Ia melihat keringat di pelipis Aisha sudah sebesar biji jagung. Kasian amat.
"Kamu duluan aja!" pinta Akhmar.
"Loh, nggak bisa dong, Mas. Kan aku pendamping kamu sekarang. Aku maunya jalan ke dalam beriringan sama kamu," pinta Aisha terdengar manja.
"Aku pusing." Akhmar malah memejamkan mata, menyenderkan kepala ke sandaran kursi.
"Loh, kok gini sih, Mas? Ini pernikahan Mas kamu loh. Jangan sampai nggak menyaksikan. Sekali seumur hidup. Kamu akan kehilangan momen penting sejarah ini. Kasian kan Mas Aldan kalau kamu nggak menyaksikan acara ini?"
Huh, bujukan Aisha berhasil membuat hati Akhmar menjadi gundah. Pria itu akhirnya menuruni mobil, membuat senyuman Aisha tertarik lebar. Mereka berjalan bersama menuju ke rumah. Tentu saja Aisha berjalan dengan bantuan kurk.
Meta yang sejak duduk di bangku SMA sudah jatuh cinta pada Akhmar, sedang mengintip dari dalam rumah Aiza, menyaksikan Akhmar turun dari mobil bersama dengan Aisha, mendadak dadanya terasa panas, terbakar api cemburu. Rasanya ingin menangis, menjerit dan mencakar- cakar atap rumah sambil mewek bombai. Sayangnya ia hanya bisa merengut kesal melihat Akhmar dan Aisha yang kini tampak berdiri di teras.
"Awas kamu ya!" kesal Meta dengan gemuruh cemburu yang berkobar. Ia lalu beranjak ke dapur dengan muka cemberut.
Sementara Akhmar masih berdiri di teras, tampak ragu untuk masuk.
"Ayo masuk, Mas. Tamu undangan udah pada duduk rapi di dalam," ajak Aisha sambil melongokkan kepala untuk mengintip situasi di dalam.
Akhmar tidak mengindahkan ucapan Aisha. Lirikan matanya sesekali melihat ke arah dalam rumah, dimana Aldan terlihat duduk menyendiri, belum tampak Aiza di sisi kakaknya itu.
"Kamu duluan aja. Aku mau ke belakang." Akhmar melenggang melewati teras samping rumah. Sekilas menatap dinding beton pagar rumah yang catnya sudah berganti, tulisan yang dulu dia ukir bersam dengan Aiza di sana, sudah tidak ada lagi. Kini rata dengan warna hijau.
Akhmar memalingkan pandangan, lalu masuk melalui pintu samping, tujuannya adalah toilet.
"Loh, Mas Akhmar kok di sini?" tanya Meta yang kebetulan berpapasan dengan Akhmar.
"Kamu juga kenapa ada di sini?"
"Aku bantu- bantu di sini sejak semalam, Mas. Nginep di sini juga, nemenin Aiza," jawab Meta penuh semangat sambil sesekali merapikan jilbabnya.
"Aku mau ke toilet. Tunjukkan dimana toiletnya!" pinta Akhmar datar.
"Oh.. di sana, Mas. Ayo, aku tunjukkan!" Meta melangkah melewati beberapa ruangan luas bernuansa klasik, tang setiap ruangan dipadati ibu- ibu rempong yang sedang sibuk mengurus masakan di dapur. Kalau orang Jawa bilang, istilahnya adalah 'rewang'.
"Di sana, Mas!" Meta menunjuk pintu warna biru.
"Hm." Akhmar segera memasuki kamar kecil. Ia benar- benar ingin buang air saat itu, mengingat di sepanjang jalan, ia sudah menghabiskan beberapa botol air mineral, yang akhirnya sekarang ia terjebak dalam situasi kebelet.
Bersambung
Jangan lupa klik like sebelum lanjut 😉
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!