"Yang kenceng larinya dong!" Arumi berteriak dari sisi lapangan menyemangati salah satu temannya yang tengah berlomba.
"Iya, bener. Ridho, cepetan!" teriak Sari –teman Arumi.
Pertandingan itu semakin sengit. Semakin kaki cepat berlari, maka semakin besar pula peluang untuk menang.
Pertandingan yang digelar sejak dua hari lalu ini memang diperuntukkan untuk memeriahkan ulang tahun sekolah yang ke dua puluh lima. Banyak perlombaan yang digelar dari berbagai bidang. Tentu juga para siswa dari kelas sepuluh sampai dua belas pun turut serta.
"Ridho, yang kenceng larinya. Nanti aku kasih kue buatan Ibuku!" Arumi terus saja berteriak memberikan support pada Ridho yang menjadi perwakilan kelas mereka.
Ridho yang dimaksud pun semakin terpacu. Sorak ramai dari kelas lain pun berusaha mengacaunya. Tak ingin kalah, kelas Arumi pun semakin ramai menyemangati salah satu temannya.
"Ayo, semangat!" Suara Arumi paling meriah dibanding yang lain.
"Berisik!" tegur Rehan.
"Dia lama-lama jadi kayak toa!" Bima tak kalah kesal.
"Biarin!" Arumi menjulurkan lidahnya. Kesal.
Pertandingan berakhir. Ridho keluar sebagai pemenang. Hal ini disambut meriah oleh para temannya. Mereka menyambut Ridho yang berlarian ke sisi lapangan karena sudah selesai menjalankan misi.
"Gue keren, kan?" tanya Ridho dengan membanggakan diri.
Arumi mengacungi jempol. "Keren bingit!"
"Emang paling keren kamu, Do!" tambah Sari.
Bima memberikan air minum pada Ridho. "Minum dulu, Bro! Biar enggak haus."
"Beneran. Gue haus banget." Ridho mengambil alih botol minum tersebut. Meneguknya secepat mungkin.
"Baca bismillah, Do. Kebiasaan kamu!" tegur Arumi.
Ridho menghabiskan setengah botol tersebut, mengelap ujung bibirnya. "Seger."
"Pastinya," kata Bima.
Arumi menggelengkan kepala. Orang jika sudah nafsu memang lupa pada etika.
Ridho duduk di dekat Sari. Keringatnya bercucuran tiada henti.
"Cewek banyak, tapi enggak ada yang mau ngelapin nih keringat. Nasib jomblo." Ridho mengelap sisa keringat di kening. "Padahal keringat gue wangi, lho."
Arumi seketika ingin muntah. "Yang ada mah bau!" Gadis itu menutup hidung.
Sontak seluruh siswa kelas mereka tertawa.
Ridho hanya bisa cemberut. Merasakan kelelahan yang kini baru terasa.
Bima duduk di samping Ridho. Ia mengeluarkan lap tangan dan mengusap keringat Ridho sambil berkata, "Nggak usah nunggu cewek yang ngelapin. Kan, ada gue."
Arumi tertawa kencang lagi. Kelakuan teman berkulit hitam manis itu ada-ada saja.
Dikira Ridho akan menolak, tetapi sebaliknya. Anak remaja itu ikut andil dalam alur drama yang sedang dimainkan Bima.
"Iya, dong, Ayang. Lapin semua keringatku ini," kata Ridho menahan tertawa. Ia sebenarnya geli.
"Ayang Ridho." Ekspresi Bima terlihat nyata.
Ridho tak tahan. Tubuhnya bergeser ke kanan menjauhi Bima. "Udah, ah, gue geli tau!" Suara tawanya meledak kencang.
"Ayang Ridho, kok, malah menjauh!" Bima masih saja belum menyerah.
Bahu Ridho merinding. Kelakuan Bima di luar nalar. "Gue merinding, Bim."
"Perasaan bukan film horor." Bima mengibaskan sapu tangan. Kali saja keringat Ridho yang sempat menempel di benda itu bisa hilang.
Sari memperhatikan. "Bim, kamu ngapain?"
"Biasa, Sar. Lagi kibas sapu tangan, kali aja ada duit jatuh," jawab Bima.
Ridho melongo, sedangkan kening Arumi mengerut.
"Lo, kalau ngayal jangan jam segini, Bim." Rehan menepuk lelaki dengan rambut paling rapi dibanding mereka. "Kalau jam segini tuh waktunya ngadepin kenyataan."
Si paling bijak memang Rehan.
"Nah, bener, tuh!" Ridho berbalik badan, mengacungi jempol ke arah Rehan. "Sohib gue emang the best!"
"Gue dilawan!" Rehan memegang kerah baju. Membanggakan diri.
"Sayangnya suka nyebelin," sela Arumi.
"Nah, itu juga fakta," sambung Ridho.
Rehan menjitak kening Ridho. "Lo, muji apa ngatain?"
"Dih, dia marah." Ridho memegang keningnya. Sakit juga.
Bima memandangi lapangan yang tengah menggelar pertandingan lari wanita antar kelas sepuluh. Salah satu dari pesertanya menarik hatinya.
"Wih, tuh, cewek cakep amet!" tunjuk Bima ke arah gadis dengan kuncir kuda.
Ridho dan Bima langsung mengikuti arah Bima.
Arumi dan Sari pura-pura tidak mendengar.
"Beneran cakep," puji Ridho yang juga terpana.
"Itu mah si Ayu, anak IPS sepuluh," ujar Rehan.
"Lo, kenal?" tanya Bima.
Rehan mengangguk pelan. "Dia temen Adik gue dulunya."
"Kenalin gue dong." Bima merajuk.
"Berani berapa?" Rehan mengajak berbisnis.
Ridho terkekeh geli. "Dasar jiwa bisnis!"
Hari berlanjut siang. Waktu istirahat pun tiba. Para siswa dan siswi memadati kantin sekolah. Di meja yang paling tengah terlihat Arumi, Ridho, Sari, Bima, dan Rehan duduk bertiga. Mereka memesan mie ayam favorit para penghuni gedung sekolah ini.
"Do, Lo, tadi tanding sama si Amri hebat juga," puji Rehan.
"Bener, tuh. Kan, tuh Anak IPA yang paling jago lari," tambah Bima.
Arumi dan Sari sibuk dengan makannya sendiri. Keduanya saling menambahkan saus.
"Nggak usah banyak juga dong, Sar," protes Arumi. Ia sudah ngeri duluan melihat banyaknya saus di mangkuk Sari.
Ketiga lelaki itu pun melirik. Ridho cukup diam. Rehan menggeleng dua kali, sedangkan Bima juga ngeri melihatnya.
Sari yang baru saja menuangkan saus pedas tersebut merasa tertantang. Lidahnya tak sabar menikmati kegilaan yang akan dihadapi. "Ini tuh nikmat hakiki tau, Mi."
"Itu mah cari penyakit namanya!" sentak Rehan.
Sari yang duduk di depan Rehan pun menginjak kaki kanan anak remaja itu. "Suka-suka aku, dong!"
Ridho mengambil mie ayam miliknya. "Dia mah kalau belum ngerasain di infus, nggak bakalan kapok. Makanya, doain dulu aja sakit, terus diinfus."
Arumi tertawa kencang. "Kamu doain malah yang nggak bener. Eh, aku juga ikutan, deh."
Sari kesal. Semua temannya tertawa.
"Ok. Kalian semua bersekutu!" Sari menancapkan garpu ke meja. "Empat lawan satu. Sini, maju!"
"Wih, si Sari ngajak duel," kata Rehan sambil tertawa lagi.
"Paling juga kalau dilawan malah nangis," tambah Bima.
Ridho dan Arumi meneruskan makan. Sesekali Ridho mencuri pandang dari Arumi. Teman sekaligus tetangganya itu memang selalu menawan.
"Kalian ini!" Sari geram.
Pada akhirnya mereka pun menghabiskan makanan, karena takut waktu istirahat kedua itu habis. Setelah ini, ada pertandingan basket. Tentu mereka harus hadir untuk memeriahkan pertandingan tersebut.
Istirahat habis. Semua siswa menuju ke lapangan basket, begitu pun dengan lima serangkai. Baru beberapa langkah, Arumi merasa sakit perut. Ia pamit ke toilet dan berjanji akan menyusul.
"Jangan lama," pesan Ridho.
Arumi berlarian ke arah toilet. Sakit itu kian terasa. Pertahanan dirinya pun goyah, dan akhirnya terjatuh karena benar-benar sakit.
"Sakit banget!" Arumi duduk berselonjor dengan kedua tangan di perut. "Perasaan sambelnya dikit tadi."
Tak ada siswa. Koridor pun sangat sepi. Jelas, semua sudah pergi ke satu tempat saja.
Tiba-tiba suara langkah kaki mendekati Arumi. Sosok tinggi berdiri di depannya tanpa berkata apa pun. Arumi perlahan menengadahkan kepala. Menatap dalam gambaran wajah yang asing baginya.
"Lo, kalau mau duduk, jangan di sini! Ngalangin jalan!" Kalimat pedas itu keluar dari orang tinggi tersebut. Pandangan mata mereka bertemu dan saling menerobos netra lawan.
"Arumi berusaha berdiri. Rasa sakit menyerang perutnya. "Hei, kamu si Tiang listrik. Aku tandai kamu dulu." Dengan cepat Arumi berlarian ke arah toilet. Ada urusan yang lebih penting dari sekadar mencaci maki lelaki tersebut.
"Gadis aneh!" gerutu si anak lelaki, lalu kembali melangkah menuju ruangan kepala sekolah.
Arumi sampai di toilet. Menuntaskan kepentingannya agar semua terasa lega.
"Perutnya enakan juga," kata Arumi begitu selesai.
Toilet terasa seram jika hanya sendirian. Arumi memegang leher belakang bawah seraya berkata, "Masih siang, tapi udah horor gini."
Daripada terus berperang dengan ketakutan, Arumi bergegas keluar toilet. Melirik ke kanan, ke kiri. Anak lelaki tadi sudah pergi.
"Coba kalau ketemu lagi. Aku bejek kayak rujak. Bukannya nolongin malah bikin kesel!" gumam Arumi.
Gadis itu melangkah ke arah kanan. Berjalan tiga langkah dengan menunduk, lalu tiba-tiba menabrak seseorang.
"Duh, sakit!" Arumi berhenti, mengangkat kepala tegak. Seiring dengan itu matanya terbuka lebar kembali. "Si Tiang listrik!"
Orang yang ditabraknya ternyata anak lelaki tadi.
Arumi naik pitam. Kekesalannya yang sempat tertunda pun akhirnya memiliki tempat pas untuk dialirkan. "Kamu yang tadi, kan?"
Anak lelaki itu diam dengan kedua tangan melipat di dada.
"Hei, Tiang Lisfrik! Kamu itu punya perasaan atau nggak, sih? Orang lagi kesakitan bukannya ditolongin malah dibikin kesal. Coba kalau itu nimpa di diri kamu," omel Arumi.
Tinggi anak lelaki itu lumayan membuat kepalanya pegal menatap ke atas. Tinggi Arumi hanya sedadanya saja. Bisa dibilang tidak seimbang.
Anak itu tetap diam dengan tatapan sulit diartikan.
Kening Arumi berkerut. Bisa-bisanya ia bertemu anak seperti ini. Rasanya menyebalkan.
"Hei, kamu denger nggak, sih?" tanya Arumi sekali lagi.
Tatapan anak lelaki itu masih sama. Ia tersenyum miring, lalu berjalan melewati Arumi tanpa menjawab apa pun.
Arumi kesal. Harum semerbak parfum anak lelaki itu menusuk hidung. Menangkan dan seolah menghipnotis diirnya untuk diam.
Dua detik terpaku, Arumi sadar dan berbalik badan. Matanya menyorotkan kekesalan yang luar biasa. "Hei, Tiang Listrik! Kamu punya telinga nggak?"
Lelaki itu berhenti.
"Aku nggak tau kamu kelas berapa. Perasaan nggak pernah lihat, tapi satu hal yang perlu kamu tau kalau orang itu dinilai dari sopan santunnya!" tegas Arumi.
"Lo, ngerasa lebih sopan dari orang lain?" Tiba-tiba anak lelaki tersebut mengajukan pertanyaan.
Suaranya lembut, tidak seperti sikapnya.
"Jangan terlalu merasa tinggi. Belum tentu lo juga lebih baik," tambah si anak lelaki tersebut.
Arumi tidak terima. Sampai sebesar ini pun ia sama sekali tidak pernah merasa paling sopan dari siapa pun. Sebab, ia masih belajar banyak hal.
"Aku nggak bilang kalau aku lebih sopan!" tegas Arumi. Gadis itu berjalan tiga langkah ke depan melewati anak lelaki tersebut, lalu menggerakkan badan agar berhadapan langsung. "Dan, salah satu sopan santun paling kecil adalah tatap mata lawan kalau bicara!"
Netra mereka saling bertemu lagi. Arumi kembali terhanyut dengan ketampanan yang dimiliki anak tersebut. Namun, sebisa mungkin menarik diri agar tidak terlalu terbawa arus.
Arumi memperhatikan seksama penampilan sosok tinggi di depannya. Jika dikatakan sempurna, tidak juga. Jika dibilang kurang menarik, sosok itu sepertinya punya magnet sendiri dalam menarik perhatian orang.
"Kenapa? Lo, naksir gue?" Sebuah senyuman miring diberikan sang Anak lelaki pada Arumi.
Bola mata Arumi membulat sempurna. Kekesalannya sampai pada puncak, hingga menggerakkan kaki kanannya menginjak kaki kiri anak lelaki tersebut. "Kalau jadi orang orang tuh nggak usah terlalu percaya diri. Paham?"
"Sakit!" Anak lelaki itu mengaduh kesakitan.
Arumi menarik lagi kaki kanannya, lalu pergi tanpa mengatakan apa pun lagi. Ia akan menyusul teman-temannya yang lebih dahulu sampai di ruangan basket.
"Mimpi apa aku semalam? Bisa-bisanya ketemu cowok macam kayak gitu!" Sepanjang jalan Arumi terus saja mengoceh. Ia kesal. Benar-benar kesal!
**"
Ridho memperhatikan sekitar terutama pintu masuk ruangan basket. Tak ada tanda-tanda Arumi datang.
Suara sorak ramai terdengar tidak beraturan. Banyak yang menyemangati. Akan tetapi, banyak pula yang saling bersorak ria saja.
"Do, Lo, kenapa?" tanya Rehan yang memperhatikan gerak-gerik teman di sampingnya itu.
Sari dan Bima sibuk menyemangati kelas yang sedang bertanding.
"Ayo, bakar semangat kalian!" seru Rehan.
Sari menepuk pundak Rehan kencang. "Kalau dibakar, habis sekolah kita."
"Kan, semangatnya, Sar, yang dibakar. Bukan sekolahnya." Bima membela diri.
"Iya, ya." Sari paham.
Ridho tidak menjawab. Ia hanya memandangi ke arah pintu luar tanpa henti.
Rehan berdecak kesal. Temannya ini jika sudah fokus ke satu titik akan sulit dikacaukan.
Rehan mendekatkan wajahnya ke telinga Ridho, lalu berbisik, "Lo, lagi nungguin Bu Risma, ya. Guru paling cantik di sini."
Ridho kaget. Ia hampir saja memukul kepala Rehan jika temannya itu tidak menghindar.
"Lo, apaan, sih!" Ridho merinding.
Rehan menarik lagi wajahnya, lalu tertawa kencang. "Lagian lo diem aja. Gue nanya dari tadi malah dikacangin!"
"Kepo banget jadi orang!" sungut Ridho.
"Kepo itu hal yang menyenangkan." Lagi-lagi suara tawa terdengar dari Rehan.
"Nyenengin buat sendiri, tapi kalau buat orang lain ngeselin!"
Sorak ramai tepuk tangan terdengar. Rupanya salah satu anggota dari pemain basket adalah anak terpopuler.
Sari sejak tadi tidak berhenti menatap. Gilang, namanya. Anak kelas dua belas jurusan IPS adalah lelaki paling tampan di seluruh sekolah. Gilang juga bisa dikatakan anak pintar dan selalu juara umum selama ini.
"Coba aku yang jadi pacarnya. Pasti seneng tuh," kata Sari.
Bima tertawa lepas.
Sari yang mendengar pun memanyunkan bibir. "Kenapa malah ketawa?" Gadis itu menoleh pada Bima. "Pengen juga jadi pacarnya Gilang?"
Bima bergedik ngeri. Setampan apa pun Gilang, Bima masih normal. Tak mungkin juga ia sampai berbelok ke jalur yang salah.
"Pasti pengen dong!' ledek Sari.
"Idih, Lo, kesambet setan di mana, sih? Siang bolong gini ngelantur!' sungut Bima.
Rehan berbisik. "Di pohon mangga belakangnya. Kan, rindang, tuh. Nah, Mbak Kunti doyan di sana."
Sontak Tawa Bima kian kencang, hingga beberapa siswa memperhatikannya.
"Bener, tuh. Dia kayaknya kesurupan Mbak Kunti," jelas Bima.
"Enak aja!" bantah Sari. Pandangannya tidak lepas dari sosok Gilang.
Bima hanya tersenyum kecil. Menatap Sari yang seolah tidak berkedip sedikit pun.
"Udah, nggak usah banyak ngayal. Nanti gila!" tegur Bima.
Sari tidak menghiraukan. Gilang memang bisa dikatakan sempurna di mata seorang orang. Pasti sangat beruntung yang akan menjadi kekasihnya.
"Doi emang perfect," puji Sari.
Bima menggelengkan kepala, heran. Ia memilih membiarkan dan kembali menonton.
Ridho sendiri masih asyik dengan tatapan penuh harap ke arah pintu. Berdoa semoga Arumi baik-baik saja.
Keesokan harinya kesibukan terlihat di dapur rumah Arumi sejak sebelum azan Subuh. Seperti biasa, Arumi harus membantu ibunya memasak nasi uduk yang akan dijajakan setiap pagi. Hasil jualan inilah yang dipakai Bu Isma—ibunya Arumi—untuk membiayai anaknya sekolah.
“Sayang, jangan kebanyakan garam. Kemarin pelanggan Ibu pada protes,” ujar Bu Isma.
Arumi yang sedang mengocek telur pun tertawa kecil. “Maaf, Bu. Kemarin aku ngantuk.”
“Kalau ngantuk, nggak usah bantu Ibu. Lagian, tugasmu itu sekolah. Bukan cari uang.”
“Nggaklah, Bu. Aku nggak mau Ibu doang yang banting tulang buat bayar hutang bekas Ayah sama sekolah aku.”
Kepergian sang Ayah satu tahun lalu karena sakit kanker pun meninggalkan tumpukan hutang. Semakin hari, semakin berbunga. Namun, Bu Isma sebagai orang tua berusaha melunasi.
Bu Isma menatap Arumi. Memperhatikan wajah anak gadisnya yang tak tahu akan seperti apa saat mendengar keputusannya. “Nak, mungkin ini hari terakhir Ibu jualan.”
Sontak Arumi mengangkat kepala. Melihat balik ibunya. “Ibu, dapat kerjaan, ya?”
Bu Isma mengangguk cepat. “Ya, Nak.”
“Alhamdulillah. Di mana, Bu?” Arumi ikut bahagia. Setidaknya, jika ibunya bekerja di tempat yang layak. Tidak perlu bangun sepagi ini. Bukankan jika bekerja dimulai dari jam delapan pagi? Itu yang ada di pikiran Arumi saat ini.
Bu Isma terdiam. Menimbulkan rasa penasaran dalam diri anaknya.
“Kok, Ibu diam aja?” Arumi mulai mengendus hal yang tidak wajar. “Ibu, kan, harusnya senang dapat kerjaan.”
Bu Isma menarik napas panjang. Mengembuskannya perlahan. Ia tak tega. Namun, keadaan yang memaksa. “Sebelumnya, Ibu, minta maaf sama kamu, Nak.”
Dari sini saja Arumi sudah tidak enak hati. Berusaha mendengarkan sampai selesai perkataan ibunya.
“Ibu, harus kerja keluar negeri,” ungkap Bu Isma.
Arumi tersentak. Tubuhnya terdiam.
“Cuma itu yang bisa menghasilkan banyak uang. Hutang kita semakin bertambah. Ini memang salah Ibu karena meminjam uang ke rentenir,” sambung Bu Isma.
Arumi bergeming. Tak ada yang bisa dilakukan lagi.
“Kalau Ibu pergi. Aku sendirian,” tutur Arumi.
Bu Isma mendekat. Memeluk anak semata wayangnya dengan erat. “Ibu, minta maaf. Sebenarnya, rumah ini harus Ibu jual untuk menebus setengah dari hutang Ibu.”
Lagi-lagi Arumi dibuat terkejut. Ada apa ini? Kenapa begini? Banyak pertanyaan yang timbul di benaknya. Akan tetapi, terpendam dengan sendiri.
“Kalau gitu. Aku tinggal di mana, Bu?” kali ini air mata Arumi hampir saja menetes. Membayangkan hidup tanpa orang tua saja sudah susah. Apalagi jika harus tanpa adanya tempat tinggal. Manis sekali permainan takdir ini.
“Ibu, mau titipin kamu ke teman Ibu. In syaa Allah, Beliau ini orang baik, Sayang.” Bu Isma melepaskan pelukan. Rasa bersalah menggunung, tetapi tak bisa berbuat apa pun. “Jangan sedih, Ibu minta maaf."
Arumi bergeming di pelukan ibunya. Semesta sedang bercanda, menurutnya. Mengapa harus hal ini yang terjadi? Bayangkan saja ia akan tinggal dengan keluarga yang sama sekali tidak dikenalinya.
"Bu, bilang kalau ini nggak bener?" tanya Arumi.
Bu Isma hanya diam, lalu tangisnya beranak sungai. Keputusan paling berat harus diambil karena tak ada lagi jalan keluar. "Ibu, minta maaf, Nak. Semoga Allah membantu kita untuk bisa sama-sama lagi. Ibu, nggak mungkin bawa kamu karena sekolah itu penting, Nak. Kamu harus jadi orang yang punya pendidikan tinggi dan akhlak yang baik."
Awalnya keputusan itu sulit diterima Arumi. Anak mana yang bisa segampang itu berpisah dengan orang tuanya? Namun, Bu Isma terus menasihati dan membujuk Arumi.
"Mereka juga punya anak, Nak. In syaa Allah, anaknya baik. Kamu pasti betah karena Tante sama Om-nya juga baik," imbuh Bu Isma.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!