...WARNING! CERITA INI MENGANDUNG UNSUR KATA KAS4R, HARAP BIJAK DALAM MEMILIH BACAAN!...
...KALAU ADA TYPO ATAU KESALAHAN KATA, MOHON DIMAKLUMI, KARENA SEBAGIAN CHAPTER TIDAK SENGAJA TERHAPUS, JADI TIDAK BISA DIREVISI!...
...HAPPY READING!...
..."Hari ini aku membencimu. Tetapi, tak ada yang tahu hari esok kelak. Mungkin saja nama mu lah yang tertulis dalam Lauhul Mahfudz sebagai takdirku."...
..._Bianca Dealova Christabel...
...***...
Gadis bernama lengkap Bianca Dealova Christabel sedang memandangi tembok yang menjulang tinggi dihadapannya. Kira-kira ukuran tinggi tembok pembatas ini lebih dari satu meter. Padahal, inginnya Bianca tak ingin melakukan ini lagi. Namun, keadaan mengharuskannya untuk melakukan ini lagi.
Menguncir rambutnya menggunakan ikat rambut ditangannya dan menghembuskan napas. Bianca lantas menaiki tangga yang terletak memang didepan tembok tersebut. Saat sampai diatas, Bianca kemudian melompat turun kebawah dan kakinya pun memijak sempurna di tanah.
Bianca celingukan untuk memastikan apakah disekitar ada anggota osis yang mengawasi atau tidak. Untuk waspada, Bianca berjalan mengendap-endap seperti maling dari belakang sekolah hingga sampai di koridor kelas.
Bianca menghembuskan napas lega saat sampai sejauh ini tak ada tanda-tanda anggota osis yang berpatroli dikawasan sekolah. Pada akhirnya ia melanjutkan kembali langkahnya dengan perasaan lega dan santai seperti tak ada beban.
Selama perjalanannya menuju kelas, Bianca bersenandung kecil sembari mengunyah karet didalam mulut.
"Lambat lagi?"
Langkah Bianca spontan terhenti saat mendengar suara bariton tersebut. Matanya memejam sekilas sembari meringis kecil. Kenapa tiap kali terlambat ia selalu ketahuan?
Tanpa menoleh tentu Bianca sudah tahu sang pemilik suara berat tersebut. Agam Ezekiel Arbyshaka. Ketua osis disekolah SMA Garuda ini.
Bianca berancang-ancang akan kabur. Namun, Agam menahannya dengan menarik tas Bianca sehingga membuat gadis itu mundur dua langkah dan nemplok di tubuh bagian depan laki-laki dibelakangnya.
"Mau kabur huh?" tanya Agam datar.
Mengusap tengkuknya yang tak gatal, Bianca nyengir lebar menampakkan deretan gigi putihnya.
"Lo, ikut gue keruang osis." Agam melepas tas Bianca dan menatapnya tanpa ekspresi. "Gue akan mikirin hukuman yang pas buat lo kali ini." imbuhnya lagi.
Bianca mendengus. "Bisa gak sih untuk kali ini, kakak lolosin Bia dulu? capek tau gak dihukum terus." keluhnya jenuh.
"Salah sendiri lambat." sahut Agam cuek membuat Bianca kesal setengah mati. Gadis itu menghentak-hentakkan kakinya kesal dilantai koridor.
"Dasar ketos nyebelin!"
Agam tak menanggapinya, ia berjalan tegap sambil memasukkan kedua tangannya disaku jas almamaternya. Merasa ada kesempatan, Bianca berancang-ancang akan kabur lagi. Namun, ternyata Agam sudah hapal dengan tabiat Bianca. Dengan cepat lelaki itu membalikkan badan saat Bianca hendak akan kabur.
Agam melemparkannya tatapan tajam, seolah memberi peringatan pada Bianca agar tak kabur. "Ikut gue, jangan kabur." tekannya tajam.
Bianca menggerutu kesal. Ia berjalan dengan mencak-mencak mengikuti Agam menatap kesal kearah punggung lelaki itu. Dalam hati Bianca sudah marapalkan sumpah serapah untuk murid kesayangan para guru-guru di SMA Garuda ini.
Menurut kebanyakan kaum perempuan di SMA Garuda ini, Agam adalah pria idaman dengan sejuta pesona. Dirinya dijuluki sebagai King disekolah ini. Karena selain tampan, Agam memiliki perangai yang cool dan badas. Terlebih lagi kapasitas IQ nya yang diatas rata-rata, membuatnya menjadi kesayangan para guru-guru di sekolah ini.
Akan tetapi bagi Bianca tidak berlaku, Agam tak lain hanya seorang laki-laki paling menyebalkan di bumi ini. Selain tampang dan otak, tak ada yang istimewa dari sosok Agam dimata Bianca. Malah hanya wajah sedatar triplek dan sok berwibawa dimata Bianca. Baginya, tak ada yang lebih tampan dari Lucas, sang kekasih.
Saat mereka memasuki ruang osis, saat itu juga atensi beberapa murid yang juga mengenakan almamater osis berwarna biru dongker seperti yang dikenakan Agam saat ini terpusat pada keduanya.
"Dia lagi Gam?" tanya Camella sang bendahara osis pada Agam, dengan tatapan mengarah ke pada Bianca yang mengambil posisi duduk di sebelah Agam. Agam menghela napas panjang lalu mengangguk singkat.
"Jadi, hukuman apa yang lo kasih ke dia kali ini?" Nah kali ini suara Nathan, wakil ketua osis.
Agam memijat pelipisnya merasa pening memikirkan hukuman untuk Bianca. Pasalnya gadis ini terlalu sering terlambat seperti kali ini juga sampai membuatnya bingung harus memberi hukumannya dengan apa. Ia ingin memberikan sebuah sanksi yang dapat membuatnya kapok. "Lagi mikir." sahutnya.
"Seperti biasa aja. Bikin pusing aja mikirnya." Timpal Bella sang sekretaris osis tanpa menoleh. Ia sibuk membuka-buka lembaran buku ditangannya.
Saat ini memang kelas mereka sedang jam kosong dan sedang mager untuk melakukan patroli. Tadi saja Agam hanya dari toilet dan tanpa sengaja memergoki Bianca.
Agam memberikan gelengan kepala. "Jangan. Hukuman kali ini harus lebih berat, biar dia kapok." ujarnya melirik sekilas kepada Bianca. Diam-diam, Bianca merutuki Agam didalam hati. Tega sekali terhadap gadis yang mungiel ini.
Camella dan Nathan meletakkan tangan di dagu membantu Agam berpikir, hukuman apa yang pas untuk sang adik kelas yang sering terlambat ini.
"Bersihin perpus?" usul Camella.
"Atau bersihin toilet?"
Sambil meletakkan buku diatas meja, Bella juga menyuarakan usulan simpel. "Jemur aja seperti biasa."
Agam menjentikkan jari saat diantara saran dari ketiganya ada yang pas menurutnya. "Bersihin toilet cewek sama cowok." finalnya datar.
Mata Bianca membelalak sempurna mendengarnya. What--bersihin toilet? mana mau dia! Sudah bau, membuat lelah jiwa dan raga pula. "Masa bersihin toilet sih." Protesnya tak terima.
"Apa? gak terima? salah sendiri lambat."
Bianca menyatukan kedua tangannya memohon. "Please, apapun deh asal jangan bersihin toilet."
"Gam pake usulan gue aja, bersihin perpus."
Agam mengacungkan tangannya di udara tanda tak menyetujui usulan itu "Malah hukuman yang gak ingin sama sekali dia kerjakan itu yang paling pas buat hukumannya."
Mendengar perkataan itu membuat bahu Bianca melemas. Sudahlah pasrahkan saja kepada yang maha kuasa.
Agam menegakkan duduknya dan melipat tangannya diatas meja. "Oke fine! jadi keputusan sudah bulat. Jam istirahat nanti, lo harus bersihin toilet cewek sama cowok." pungkasnya penuh jiwa kewibawaan.
Bianca menghembuskan napas kasar seraya memutar bola matanya malas. Kebanyakan orang mungkin melihat Agam adalah orang yang berwibawa. Tapi tidak bagi Bianca, menurutnya ketua osis ini hanya sok berwibawa.
"Ke kelas sana."
Bianca yang masih jengkel persoalan hukuman membersihkan toilet itu bangkit dengan kasar kemudian langsung beranjak dan menutup pintu ruang osis dengan keras sehingga membuat keempat anggota osis tersebut terlonjak kaget.
Brakk!
Nathan, Bella dan Camella reflek mengusap-ngusap dada saking terkejutnya. Sedangkan Agam, ia tetap stay cool walaupun dalam hati terjengit, terjungkal dan terjengkang. Lelaki itu begitu pandai menyembunyikan ekspresi.
****
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Setidaknya itu peribahasa yang kompatibel untuk mendeskripsikan nasib Bianca saat ini.
Lihatlah Bianca sekarang, Gadis itu seperti kucing yang disirami air. Kepalanya menunduk tak berani bersitatap dengan sang Guru killer yang sudah memberikan tatapan mengintimidasi kepadanya. "Kenapa lambat?"
Bu Bona__julukan murid-murid kepada sang Guru matematika super galak yang sedang menginterogasi Bianca saat ini didepan seluruh siswa yang berada didalam kelas X MIPA 7.
Tak mendapat respon, Bu Bona memukul-mukul penggaris panjangnya diatas meja. "Jawab Bianca Dealova Christabel! Gak punya mulut kamu?!" bentaknya garang. Hal itu membuat Bianca merasa takut sekaligus malu. Kedua tangannya saling bertaut tegang, bingung harus menjawab apa.
"A-anu buk. Salah bangun." Kalimatnya terbata-bata saking gugupnya.
"Salah bangun gimana?" tanya Bu Bona galak. "Jadi maksudnya, kamu tidurnya dikamar, tapi saat bangun kamu salah bangun di jalanan?" Tanya demi tanya yang dilayangkan Bu Bona mengundang tawa nyaring para murid-murid yang ada dikelas itu. Guru itu memukul-mukul penggaris panjangnya diatas meja untuk meredakan tawa warga kelas.
Bianca semakin kelimpungan sendiri ditempatnya dan segera mengoreksi ucapannya. "M-maksud aku, kesiangan buk."
"Oh, makanya yang jelas bicaranya. Udah kelas sepuluh tapi gak tahu membedakan antara salah bangun sama bangun kesiangan" Bu Bona beralih menatap ke depan dan memberikan instruksi pada murid-murid dikelas tersebut. "Lanjut catat materi." Titahnya kembali beralih melirik Bianca. "Untuk kamu Bia, kamu berdiri disini sambil angkat kaki sambil jewer kedua telinga sampai jam istirahat."
Menghembuskan napas panjang, Bianca benar-benar sial hari ini. Lantas kemudian mengangkat sebelah kaki dan menyilangkan tangannya untuk mencubit kedua telinganya sendiri seperti perintah. Tidak ada gunanya memberikan komplain, mengingat bagaimana Kepri Bu Bona selama ini, semakin kita keras kepala, maka ia juga akan kian keras memperlakukan kita.
Ekor netranya sedikit melirik kearah bangkunya saat Tasya sang sohib melambai-lambaikan kecil tangannya. Mata Bianca menyipit tajam memperjelas apa yang Tasya ucapkan dengan gerakan mulut. "Kok bisa lambat?"
Mengubah arah lirikan mata pada Bu Bona sejenak, saat memastikan Guru killer itu tengah sibuk menulis materi dipapan Bianca pun menjawab pertanyaan Tasya dengan gerakan mulut pula. "Kesiangan, tadi malem begadang, nonton drakor."
Tasya menggeleng-gelengkan kepala, pantas saja! Sudah, terima saja nasib burukmu wahai Bianca!
****
...HAPPY READING!...
...***...
Hari yang sial dan benar-benar melelahkan lahir batin. Pada jam istirahat kali ini, Bianca uring-uringan sendiri membersihkan kamar kecil. Dengan langkah gontai, Bianca memasuki pintu utama toilet perempuan dengan ditangannya menggenggam sebuah ember bersama dengan pel. Dirinya baru saja selesai membersihkan toilet laki-laki.
Menghembuskan napas lelah, Bianca mengusap bulir-bulir kecil keringat yang mengalir di pelipisnya. Capek sekali membersihkan toilet-toilet sendirian!
Memilih memulai membersihkan lantai utama terlebih dahulu. Dengan cekatan, Bianca mencelupkan lap ke dalam ember yang berisi air dan mengepel lantai toilet tersebut.
Selang beberapa detik Bianca beraktifitas, ia membuang napas berusaha sabar sabar saat ember berisikan air itu sengaja ditendang oleh salah satu siswi. Bianca mengangkat pandangan agar dapat menatap siswi tersebut.
Sherly.
Kalau yang satu ini adalah perempuan idaman para laki-laki di SMA Garuda ini. Ada King, pasti ada Queen. Sama halnya seperti disekolah ini, Agam yang menjadi King dan Sherly yang menjadi Queen. Perempuan ini seangkatan dengan Bianca, namun beda kelas.
Kelas Sherly berada dikelas elite, khusus anak-anak pintar, X MIPA 1 tentunya. Dan gadis ini sudah menjadi kandidat terkuat para murid untuk menjadi anggota osis selanjutnya apabila para kakak kelas yang menjadi pengurus osis saat ini sudah pensiun nanti.
Selain kecantikan dan body goals yang Sherly miliki. Dirinya juga memilik otak cerdas, sebelas dua belas dengan Agam. Karena kecerdasan keduanya, hingga tak jarang para murid-murid disekolah ini mengatakan jika mereka berdua serasi jika menjadi pasangan, bisa dibilang the perfect couple jika bersatu.
"Ups sorry sengaja." Sherly membekap mulutnya dramatis dan terkekeh dengan nada mengejek membuat Bianca mendelik kesal kearahnya.
Bianca mencoba bersabar. Ia tak ingin tersulut emosi yang berpotensi dapat memperburuk keadaan nanti. Bianca membungkuk, dengan menggerakkan kedua tangannya ibarat mempersilahkan seorang ratu lewat. "Silahkan keluar tuan ratu. Jangan cari masalah."
Sherly mengibaskan rambut, berjalan angkuh. Ia berhenti tepat dihadapan Bianca, memberikan tatapan angkuh dan senyum miring. "Kalo gue gak mau keluar, gimana?"
Timbul geraman dalam hati Bianca melihat kelakuannya. Ingin sekali ia menceburkan kepala perempuan ini kedalam closet. Cari masalah sekali!
"Gue gak mau hukuman gue ditambah gara-gara dapet masalah sama lo. Jadi dengan senang hati, gue ingin lo keluar dari sini."
Sherly mengamati penampilan Bianca dari bawah sampai atas dengan delikan tak suka juga tatapan yang terkesan mengejek. "Gini ya penampilan orang-orang bodo. Kasian, sudah dikelas rendahan, sering dapet hukuman pula ups."
Beberapa siswi yang kebetulan tengah mencuci tangan di wastafel atau sekedar menambah make up sembari bercermin di kaca wastafel tersebut memusatkan atensi kepada keduanya.
Cukup! kali ini emosi Bianca benar-benar terpancing. Ia menjatuhkan kasar gagang pel kelantai toilet dengan mata menatap nyalang sang Queen SMA Garuda.
"Lebih bodoan mana? gue yang bodo ini--" tunjuk Bianca tertuju pada dirinya sendiri dan tersenyum miring, "Atau lo yang sangat cerdas ini. Tapi, gak punya attitude sama sekali?" imbuhnya pedas menunjuk Sherly.
Sherly mendorong bahu Bianca sehingga membuatnya mundur beberapa langkah. "Persetan sama Attitude! Mau gimanapun good attitude lo, kalo otak lo gak pintar dan wajah gak good looking, orang-orang gak bakal menghargai lo!" Sherly meletakkan jari telunjuknya di bagian kepala samping. "Pikir pake logika cuy!"
Salah satu siswi menyenggol lengan teman disebelahnya dan berbisik. "Gue tebak, bentar lagi bakal ada perang dunia ketiga."
"Saksikan aja." Bukannya melerai, malah ketiga siswi itu menikmati perdebatan antara Bianca dan Sherly, bahkan ada yang sudah mengeluarkan ponsel untuk merekam dan mengabadikan momen epic ini.
Bianca mendorong balik bahu Sherly dengan kekuatan penuh hingga gadis itu jatuh terjerembab dilantai toilet. "Itu penilaian orang-orang yang hanya menilai fisik dan materi! dan itu hanya dilakukan oleh orang yang bodoh! Satu lagi, gue sama sekali gak peduli pada penilaian buruk orang terhadap gue, karena gue hidup bukan untuk membuat mereka terkesan!"
"Berani ya lo dorong gue!"
"Emang kenapa gue gak berani?! Lo aja dorong gue tadi!" Bianca melipat kedua tangannya didepan dada menatap angkuh Sherly dari atas.
Sherly menggeram marah, dengan kedua tangan terkepal kuat, ia bangkit dengan amarah yang meluap. "Dasar rendahan!" tangannya menarik kuat rambut Bianca membuat kepala gadis itu terdongak.
"Awshh sakit anjing!" Rambut Bianca serasa ingin copot dari kepala. Jelas ia tak akan tinggal diam, ia balas menarik kuat rambut Sherly balik sehingga terjadilah aksi saling menjambak tersebut.
"Wah makin seru nih! cepet! cepet! panggil yang lain!" siswi itu memukul-mukul girang lengan temannya untuk menyuruh memanggil murid-murid lain agar menyaksikan perkelahian tersebut. Sontak, salah satunya keluar dari toilet dengan buru-buru.
"PERHATIAN! PERHATIAN! DI TOILET PEREMPUAN ADA PERKELAHIAN ANTARA QUEEN SMA GARUDA DAN RUBBISH SMA GARUDA!" Suara bak toa itu begitu menggema di koridor. Siswi itu berlari-lari mengumumkan perkelahian antara Bianca dan Sherly.
Para murid-murid yang mendengarnya otomatis berhamburan lari menuju toilet perempuan untuk menyaksikan kejadian tersebut. Agam dan Nathan yang baru keluar dari kantin pun merasa heran saat melihat segerombolan para siswa yang berlarian kecil menuju toilet.
Agam menahan salah satu murid laki-laki untuk bertanya lantaran penasaran. "Ini kenapa?"
"Itu, katanya ada perkelahian di toilet cewek."
Agam dan Nathan saling pandang. "Siapa sama siapa?" Kali ini giliran Nathan yang bertanya lagi, Murid laki-laki itu menggeleng tak tahu sebagai tanggapan. "Kalo penasaran, yaudah ikut aja." Seperti perkataannya, mereka yang merasa penasaran, akhirnya Agam dan Nathan ikut menuju toilet.
"Ayo Queen! Jangan sampai kalah!"
"Queen!"
"Queen!"
"Queen!"
Sorakan demi sorakan diiringi bunyi tepukan tangan terdengar begitu riuh didalam toilet. Bianca dan Sherly masih belum kunjung menghentikan aksi saling menjambak rambut dan juga saling mencakar. Bukan hanya itu, bahkan rambut keduanya sangat berantakan dan beberapa bekas cakaran di area wajah, seragam keduanya pun sudah kusut dan awut-awutan. Penampilan mereka jauh dari kata rapi.
Agam dan Nathan membela kerumunan anak-anak yang berkerumun padat di ambang pintu sampai kedalam toilet, mereka berdua menerobos masuk. Mata Agam membulat saat melihatnya. Lagi lagi gadis ini lagi!
"HENTIKAN!" Teriakkan lantang itu berhasil membuat keadaan yang semulanya ricuh seketika menjadi hening. Juga aksi Bianca dan Sherly yang saling menjambak rambut itu terhenti. Nafas kedua perempuan itu menderu dengan dada naik turun mengatur napas mereka yang tidak beraturan. Keduanya saling melemparkan tatapan tajam penuh permusuhan.
Agam melemparkan tatapan dingin namun mendominasi kepada Bianca dan Sherly secara bergantian. "Bianca! Bisa sekali saja jangan berbuat ulah?!" bentaknya membuat sang pemilik nama menoleh sinis kearahnya.
"Gue terus! gue terus! gue terus! seolah-olah hanya gue yang salah!" sentak Bianca menunjuk Sherly. "Kenapa bukan dia yang disalahin?! kenapa?!" marahnya dengan senyum miris. Apakah yang bodoh selalu salah dan yang pintar selalu benar?
"Kenapa?! apa karena dia pintar, jadi dia selalu benar?! dan gue yang bodoh ini selalu disalah kan? begitu?!" tudingnya berhasil membuat Agam tertegun. Agam kemudian kembali menata ekspresinya. "Maksud lo apa?!"
Bianca melangkah mendekati Agam lalu menunjuk laki-laki tepat didadanya. "Lo itu pintar! Gak udah sok gak paham! di kejadian ini pun lo menyimpulkan kalo gua sendiri yang salah kan?!"
Agam menatap Bianca dan senyum miring yang tersamar. "Memang lo yang salah kan? secara lo kan memang pembuat onar disekolah ini."
Bianca berdecih sinis dan meludah dilantai toilet. Ia bertepuk tangan kagum tawa sumbangnya memenuhi bilik toilet. "Gue kagum sama manusia sekarang! seenaknya menyimpulkan sesuatu tanpa tahu gimana cerita sebenarnya!"
"Memang kenyat--" Nathan memegangi bahu Agam dari belakang. "Udah Gam. Kita interogasi dulu." selanya tak ingin masalah ini bertambah semakin runyam.
Agam menarik napas kasar. "Kalian ikut gue keruang osis, kalian berdua akan di interogasi disana." Jedanya lagi dan lagi menatap Bianca beserta Sherly secara bergantian. "Kalau misalnya, masalah ini tak dapat di selesaikan kami para osis. Terpaksa, kalian berdua akan ditangani oleh Guru BK."
"Lah ini kenapa ramai-ramai dah?" Seloroh Tasya linglung membela kerumunan. Gadis itu baru saja dari kios sebelah membeli pembalut. Sempat heran, lantaran di kantin dan juga di koridor tak ada murid-murid.
Tadinya niat Tasya ke toilet ini untuk mengenakkan pembalut yang di belinya. Namun, ia melihat banyaknya orang-orang berkerumun di toilet ini. Disebelah tangannya membawa kantong kresek mini yang berisi pembalut.
Melihat penampilan Bianca yang saat ini sangat berantakan, Tasya menjadi heboh sendiri. "Ya ampun! Itu kenapa my bestai jadi berantakan gitu?!" Ia menghampiri Bianca. "Itu juga kenapa pipi lo jadi lecet-lecet gini ya ampun!" Tasya membolak-balikkan badan Bianca untuk memastikan apakah ditubuh gadis ini ada luka juga atau tidak.
"Siapa sih yang buat lo sampe gini?!" marahnya menoleh pada Sherly dan melemparkan tatapan curiga. "Pasti lo kan?" tudingnya tepat sasaran.
Sherly mengedikan bahu tidak acuh. "Tanya sendiri ke teman lo itu."
"Lo--"
"Udah-udah! gak usah nambah suasana semakin runyam." Lerai Nathan kemudian mengedarkan pandangan, menyapu seluruh siswa yang ada di toilet tersebut. "Ngapain masih pada disini?! Bubar sana!" suruhnya.
Murid-murid itu menyoraki terlebih dahulu sebelum keluar dari dalam toilet. "Kalian berdua ikut keruang osis." perintah Agam datar seraya memasukkan kedua tangannya disaku celana kemudian berlalu dari sana.
Hal itu membuat Tasya melemparkan tatapan tanya kepada Bianca dan berbisik. "Lo buat masalah apa lagi?"
Bianca menghela napas berat lalu menunjuk wajahnya sendiri. "Luka-luka ini lo kira apa? ini yang buat gue dapet masalah. Dan ini gara-gara anak itu tuh." Bianca menunjuk Sherly dengan dagu.
****
Seorang pria setengah baya dengan setelan jas dan celana formal duduk tegap, berkutat dengan laptop dihadapannya. Tulisan RENDRA ARSENIO GIOVAN terpampang jelas dimeja kerjanya. Siapa yang tak kenal Rendra? Beliau adalah pengusaha terhebat.
Seorang yatim piatu yang merintis usahanya dari nol, melalui lika-liku kehidupan juga ketegaran dengan hujatan, makian dan cercaan para orang-orang sebelum dirinya mencapai puncak kejayaannya.
Dan untuk sekarang, Pria itu telah sukses menjadi pengusaha kaya dan ternama. Bahkan, cabang-cabang perusahaannya pun merembet keluar-luar negeri.
Rendra mengulurkan tangannya untuk meraih ponselnya diatas meja saat benda pipi itu berdering. Dahi rendra berkerut saat melihat si pemanggil. Beliau menekan icon hijau untuk menyambungkan panggilan.
"Why?" tanyanya mengapit ponselnya diantara bahu dan telinga, kedua tangannya masih sibuk berkutat dengan keyboard laptop didepannya.
"Sir, the company's revenue here is getting lower this month. And I intervened, I can't handle this anymore" kata diseberang telepon.
Mendengar kabar tersebut, pria itu spontan menghirup oksigen dalam sebelum membalas. "Alright, I'll think of a solution later."
Setelah mengatakan beberapa kalimat itu, Rendra memutuskan sambungan telepon. Beliau memijat pelipisnya gusar. Belum juga dirinya menyelesaikan proyeknya saat ini. Malah ada kabar buruk dari luar negeri tentang cabang perusahaannya disana.
Beliau menolehkan kepala kearah pintu saat wanita setengah baya dengan setelan kemeja putih dan rok span pendek berwarna hitam masuk. Ditangannya membawa secangkir kopi. "Kenapa Ndra?"
"Ini, perusahaan di Amerika tiba-tiba merosot drastis. Aku gak tahu gimana menangani masalah ini."
Wanita bernama Alena yang berstatus sebagai Mrs Giovan itu meletakkan cangkir kopi di atas meja lalu mendekati Rendra. Beliau mengusap-usap bahu sang suami untuk menenangkan. "Yaudah kita kesana untuk menghandle perusahaan itu."
"Pasti butuh waktu beberapa tahun untuk memperbaiki perusahaan itu." gumam Rendra. Dirinya merasa bimbang memikirkan persoalan itu. "Gimana dengan Bianca? Gak mungkinkan kita tinggalin dia di kota ini sendiri?"
"Kita bawa aja dia, Ndra. Gampang kan?"
Rendra menggeleng sebagai tanggapan. "Aku gak mau dia terpengaruh dengan pergaulan negara luar. Kamu kan tahu gimana pergaulan di negara luar?"
Alena berjalan kearah sofa dan mendudukkan dirinya disana. "Apa kita titip aja ke mama papa aku?"
"Gak Na, kamu tahukan, kedua orang tua kamu gak pernah suka sama aku karena aku hanya anak piatu. Pasti, mereka gak akan nerima Bia."
"Lalu gimana Ndra? Apa kita jodohkan saja dia, supaya ada yang jaga dia di kota ini?"
Rendra merenung sesaat untuk memikirkan usulan sang Istri. Sepertinya ia bisa melakukan saran terakhir dari sang istri tadi. "Yaudah kita jodohin dia agar ada yang jaga."
"Tapi dengan siapa? Apa dengan pacar Bianca yang sering datang ke rumah?"
Rendra menggeleng. "Bukan, aku udah lama memperhatikan sikap lelaki itu. Selain tampangnya, tak ada yang spesial darinya, aku melihat gelagatnya seperti orang brengsek."
"Jadi dengan siapa Ndra?"
Rendra melipat tangannya diatas meja dengan pandangan lurus ke depan. "Kamu tahu Bastian mempunyai anak laki-laki?" tanyanya menoleh pada Alena dan mendapat gelengan kepala dari istrinya. "Masa iya? Aku gak pernah lihat anaknya."
"Iya kamu gak tahu karena kamu gak pernah main ke rumah Bastian. Aku pernah melihat anak laki-lakinya. Laki-laki itu terlihat seperti pria baik dan bertanggung jawab."
Sebagai seorang Ayah, tentu saja ia menginginkan yang terbaik untuk putrinya. Mungkin ini terdengar egois, tetapi ini adalah yang terbaik menurut Rendra untuk sang putri semata wayangnya. "Aku akan mencoba bernegosiasi dengan Bastian. Mudah-mudahan saja dia mau bekerja sama." lanjutnya menggumam.
****
Disinilah Bianca dan Sherly sekarang berada, diruang terkutuk kalau bagi Bianca. Mereka berdua di interogasi bagaikan dipersidangan. Keduanya duduk bergabung bersama anggota osis lain dengan posisi di hadapan para osis tersebut.
"Oke, kita mulai dari Bianca terlebih dahulu." Agam menatap Bianca lurus. "Jelaskan secara rinci tentang keributan tadi. Jujur dan gak ada kebohongan. Gak ada yang dilebih-lebihkan dan gak ada yang kurang." imbuhnya tegas. Anggota osis yang lainpun diam menunggu penjelasan dari Bianca.
Bianca memasang raut serius dan mengambil oksigen sebagai persiapan mengoceh panjang lebar. "Jadi gini! seperti perintah kakak waktu tadi pagi, jam istirahat gue bersihin toilet. Nah, saat gue lagi ngepel lantai toilet, nih anak sengaja nendang ember berisi air yang gue pakai ngepel!" Bianca mengungkapkan fakta yang sejujur-jujurnya seraya menunjuk Sherly disebelahnya.
Tentu Sherly segera membela diri. "Bohong tuh kak!" sanggahnya cepat. Agam mengangkat tangan tanda tak mengizinkan Sherly membuka suara.
"Belum giliran lo." Ujarnya sebelum menitahkan pada Bianca untuk meneruskan kata keterangan darinya. "Lanjut." Nathan, Bella dan Camella nampak menyimak serius penjelasan tersebut.
Lagi, Bianca mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. "Gue masih berusaha sabar tuh! dan gue suru dia keluar agar tak terjadi kejadian yang tak di inginkan. Tapi, nih anak gak mau keluar!"
"Disitu kesabaran gue berada diambang batas. Dan saat dia dorong gue duluan. Disitu benar-benar emosi gue kek meledak gitu. Jadi gue bales dorong tubuh dia. Gitu awalnya dari kejadian tadi."
Agam mengangkat tangannya di udara. "Oke cukup." Menolehkan kepala kepada Sherly. "Sekarang, giliran lo. Jelasin semuanya dari sudut pandang lo."
Dengan mimik wajah sedih dibuat-buat Sherly pun mulai berdalih. "Dia bohong Kak! Dia yang dorong aku duluan sampe jatuh. Pantat gue sakit tau gak! Dia juga nampar aku." lirihnya dramatis membuat Bianca membulatkan mata. Dramatis sekali!
Keempat anggota osis tersebut saling pandang untuk membuat keputusan. Nathan memasang raut wajah serius dan mulai mengutarakan pendapat. "Gini aja, kalian berdua saling minta maaf satu sama lain. Supaya masalah ini kelar. Gimana Gam?" tanyanya diangguki oleh Agam yang artinya ia setuju dengan pendapat Nathan.
"Wah gak bisa gitu dong kak!" sergah Sherly tak terima sembari menggebrak meja.
"Gak perlu gebrak meja!" tegur Bella tajam.
"Bia harus dihukum Kak! Bia yang salah bukan aku!" Kilahnya semakin menjadi-jadi membuat Bianca melemparkan tatapan tak percaya kepadanya. Pintar sekali anak ini berdalih.
Keempat anggota osis tersebut membuang napas frustasi. "Keputusan ada ditangan sang ketua osis. Jadi, apa keputusan lo Gam?" Camella bertanya pada Agam.
"Gue setuju sama perkataan Nathan barusan. Saling minta maaf saja, agar masalah segera selesai dan kalian tidak akan sampai berurusan dengan guru BK" pungkasnya tegas mendapat anggukkan satu tim dari tiga anggota osis lainnya.
"Jadi, kalian berdua saling minta maaf gih." suruh Bella tertuju untuk Bianca dan Sherly.
Dengan perasaan agak ragu Bianca menyodorkan tangan. Tiga detik Sherly menatap tanpa minat sodoran tangan tersebut. Ia memutar bola mata malas lalu menjabat tangan Bianca ralat--yang ada hanya ujung jemarinya saja menyentuh tangan Bianca seolah bahwa tangan Bianca adalah suatu objek yang menjijikan untuk dipegang, Bianca mencebik kesal dibuatnya.
"Udah kan?" tanya Sherly tak acuh. "Kalo udah, gue keluar." Bangkitlah dirinya dari duduknya dan tanpa berkata-kata lagi ia segera beranjak dan keluar dari ruang osis. Kelima orang didalam ruangan itu menatap punggung Sherly yang sudah menghilang dibalik pintu dalam diam.
Agam beralih melirik Bianca. "Lo juga keluar sana." Bianca berdiri dengan perasaan menggebu-gebu karena ia merasa diusir dengan cara yang tak terhormat.
"Tanpa lo suruh juga gue memang udah mau keluar! Pengap gue lama-lama di ruangan terkutuk ini!" sentaknya beranjak dari sana.
Nathan menggeleng-gelengkan kepala menatap wujud Bianca. "Kalian berdua sudah seperti musuh bebuyutan." Ucapannya tertuju untuk Agam. Agam hanya menanggapinya dengan tatapan datar seolah tidak tertarik sedikitpun.
"Kata mama gue. Biasanya yang musuhan bisa jadi jodoh loh." Celetuk Camella mendapat anggukkan setuju dari Bella. "Bener-bener. Nyokap dan bokap gue aja waktu masih remaja seperti kucing dan anjing kalo dari cerita nyokap gue sih."
"Nah iya. Paman sama Tante gue juga gitu! Awalnya saling benci dan musuhan. Tapi ujung-ujungnya malah naik pelaminan cuaksss." heboh Nathan mencibir Agam.
"Awas ya jadi jodoh yaa!" Ledek Camella dan Bella menunjuk Agam dengan tatapan jahil. Laki-laki itu hanya melemparkan tatapan datar kepada ketiganya membuat Camella, Bella dan juga Nathan berdecak sebal.
Bella meraih bekas gelas plastik minuman diatas meja dan melemparnya kearah Agam. "Dasar tembok hidup!"
****
Baru saja Bianca memasuki kelas, ia sudah disambut heboh dari pertanyaan bertubi-tubi oleh sang sohib membuat kepala Bianca kian pening saja. "Lo gak diapa-apain sama anggota osis lagi kan? ada luka lain gak selain di pipi lo?! di tangan lo? di kepala lo sampai ujung kaki ada luka gak?!"
Bianca menghembuskan napas jengah lalu menangkup pipi Tasya. "Gue gak papa Sya! pipi gue doang yang luka. Inipun cuma goresan-goresan doang. Palingan beberapa hari udah sembuh kok. Tenang aja." Dirinya mencoba meyakinkan dan melepas tangkupan tangannya di wajah Tasya.
Tasya mencebikkan bibir. "Gue khawatir tahu gak."
"Iya iya! Tapi gak usah berlebihan. alay tau gak." cerocos Bianca sembari terkekeh kecil. Ia mendudukkan pantatnya di bangku diikuti Tasya duduk disebelahnya.
Keduanya menajamkan pendengaran saat mendengar desas-desus persoalan Bianca dan Sherly tadi. "Eh eh tadi kalian tau gak! si Bia berantem sama si Sherly." ucap salah satu siswi berambut sebahu memulai per-gibahan.
"Sherly si Queen itu gak sih?!" heboh siswi berkuncir kuda. Dengan rusuh ia meraih salah satu kursi di dekatnya dan ikut bergabung bersama si rambut sebahu tersebut.
"Iya-iya tadi gue juga nyaksiin itu juga. Seru banget tahu gak!" nah kalau yang itu suara dari si rambut sepunggung.
"Berani banget si Bia berantem sama Queen sekolah ini. Secara kan Sherly dan Bia itu seperti langit dan bumi. Ibaratkan berlian dan batu kerikil." ucap siswi berkuncir kuda tersebut.
"Jadi, ibaratnya, Sherly berliannya dan Bia batu kerikilnya." Simpul si rambut sepunggung meroasting Bianca mendapat anggukan setuju dari kedua siswi lainnya.
Mendengar pembicaraan internal itu, Tasya lantas berdiri dan menggebrak meja marah. Tentu saja ia tak terima jika temannya dicaci maki seperti itu. "Kalian tahu definisi batu kerikil?!" tanyanya menarik perhatian ke tiga siswi yang duduk dibagian sudut berlawanan dari mereka berdua.
"Apa?" tanya si rambut sebahu penasaran.
"Definisi batu kerikil sebenarnya itu gadis-gadis seperti kalian! Sudah jelek! burik! minus attitude pula. Gak ada yang bisa di bangga-banggain dari kalian! Jadi, gak sok menghina orang lain deh!" sindirnya pedas membuat ketiga siswi itu kicep ditempat.
Bianca menarik pergelangan tangan Tasya untuk kembali duduk. "Udah jangan nambahin masalah lagi."
"Kesal tau gak!" cebik Tasya.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!