Azzam Untuk Shanum
Bab 1
Bagi sebagian anak laki-laki, ibu adalah cinta pertamanya. Namun, tidak dengan Azzam. Anak kedua dari tiga bersaudara ini. Zahra dan Azmi merupakan kakak dan adik Azzam. Mereka mendapat perlakuan yang sangat berbeda. Seperti sebuah rumus fisika, kasih sayang pebisnis sukses tersebut kepada Azam berbanding terbalik jika dibandingkan dengan kasih sayang yang mereka berikan kepada Zahra dan Azmi.
"Ayo, Zam. Siap-siap! Ini hari pertama kamu SD, kan?" ujar Zahra pagi itu.
Azzam dan Kak Zahra berjarak 6 tahun sedangkan Azzam dan Azmi hanya berjarak 1 tahun.
"Nanti kita pergi bareng!" Sambung Kak Zahra.
"Aku sekolah dekat sini, kok, Kak," Azzam kecil terlihat sangat senang dengan seragam merah putihnya.
"Ma, kenapa Azzam sekolahnya berbeda dengan aku?" protes Zahra kepada Mama Mela. "Azmi TK nya juga di komplek sekolahku, Kok Azzam di SD negeri?" Zahra memberi rentetan pertanyaan kepada Mama Mela.
Tiba-tiba Bude Darmi datang dari dapur sambil membawa kotak bekal untuk Zahra, Azam dan juga Azmi yang juga mulai sekolah TK. "Mau negeri atau swasta sama saja, ya, Mas Azzam?" Bude Darmi berusaha menghibur hati Azzam.
Walaupun Bude Darmi tahu, anak seusia Azzam belum peduli dengan sekolah favorite atau pun sekolah yang hanya terletak di sebuah kecamatan.
"Nanti kakak pulang sekolah, kita main lagi, ya, Dek," ucap Zahra saat mereka hendak masuk ke dalam mobil.
Azzam bersama Bude Darmi berjalan kaki. Mereka memotong jalan melewati gang kecil yang terdapat di belakang rumah gedung mereka. Bertemu teman-teman sepermainan membuat Azzam lupa akan penatnya berjalan kaki sejauh 1 km.
***
"Hai,melamun, ya? Melamunkan anak gadis siapa, nih?" ledek Kak Zahra sambil menyikut bahu Azzam.
Azzam menoleh dan dia tersenyum tipis. Walaupun begitu, terlihat sangat manis senyuman itu di wajah kakunya. "Mana ada anak gadis mau sama pengamen."
Kak Zahra duduk di sebelah Azzam. Dia menatap Azzam begitu lekat. "Kamu benar nggak mau mengelolah bisnis keluarga kita?"
Azzam menggeleng. "Untuk apa? Hanya untuk diragukan? Lalu dibanding-bandingkan dengan Azmi?" Nada bicara Azzam begitu santai seolah hidup tanpa beban.
Azzma melihat raut wajah Kak Zahra sedikit serbah salah, dia pun mengalihkan pembicaraan dengan bertanya bagaimana pekerjaannya di kantor dan sangat tumben masih pukul empat sore Kak Zahra sudah tiba di rumah.
Kak Zahra mengatakan bahwa dia nanti malam harus menemani Boby--suami Kak Zahra dalam jamuan makan malam para petinggi perusahaan dan juga akan membicarakan rencana Zami Grup mengembangkan perusahaan ritel mereka yang bergerak dalam waralaba makanan cepat saji.
"Yuk ikut!" ajak Kak Zahra penuh semangat.
"Nggan, ah. Mendingan aku ngamen," Azzam menolak mentah-mentah ajakkan Kak Zahra.
"Nggak mau ninggalin ngamen, apa takut nggak bisa ngelihat cewek dalam lamunan tadi," selidik Kak Zahra dengan nada bicara sedikit mengejek.
Azzam berdiri dan meninggalkan Zahra yang masih menunggu jawaban dari Azzam. Semoga saja benar, Azzam jatuh cinta.
"Aku teringat masa kecil." Azzam mengghentikan langkah dan menarik nafas. "Kenapa aku dan kalian berbeda." Lanjut Azzam dan dia juga melanjutkan langkah menuju kamarnya.
Mata Kak Zahra seakan mau loncat keluar, mulutnya sedikit membentuk huruf O setelah mendengar jawaban dari Azzam.
"Tau gitu, bagus nggak usah nanya," gerutu Kak Zahra.
Kini Zahra yang melamun, sebenarnya apa yang Azzam katakan itu tidaklah salah. Sampai sedewasa ini dia tidak mengerti kenapa kedua orang tuanya terlalu jelas pilih kasih. Seakan anak mereka hanya Kak Zahra dan Azmi.
Telah 28 tahun umur Azzam, tidak pernah sekali pun Kak Zahra mendengar orang tuanya bertanya siapa kekasih Azzam, kapan dibawa ke rumah, kapan akan menikah. Berbeda dengan Azmi, mereka selalu semangat menanggapi setiap wanita yang dibawanya ke rumah. Padahal dalam waktu enam bulan, bisa tiga orang wanita berbeda yang dia bawa.
"Azzam!" teriak Kak Zahra dan dia berlari ke kamar Azzam.
Menerobosnya masuk dan langsung merebahkan badan di kasur ukuran nomor dua itu.
"Apa, sih, Mami?" Azzam meniru panggilan Zalea--anak perempuan Zahra.
"Kamu beneran belum punya pacar?" Kak Zahra menaik-naikkan kedua alisnya.
"Benar. Nggak ada yang mau diajak jalan pakai motor," celetuk Azzam yang sedang sibuk mengelap gitar andalannya untuk mengaman nanti malam.
***
Pukul 7 malam. Di ruang tamu kediaman keluarga Zami Grup tampak sedang berkumpul dengan pakaian sangat formal. Setelan jas hitam untuk para pria dan gaun untuk mama dan Kak Zahra. Tidak ketinggalan Zalea berpakaian bak putri salju.
Sementara itu Azzam keluar kamar dengan pakaian seadanya. Kemeja dan celana jeans serta gitar yang digendong di bahu.
"Beneran kamu nggak ikut, Zam?" Kembali Kak Zahra mengulang pertanyaannya tadi sore.
Azzam menggeleng tanda menolak. Dia lalu berpamitan kepada Papa Irud dan Mama Mela. Mencium tangan kedua orang tuanya menjadi kebiasaannya dari kecil.
"Lu ngapain kayak gini, Zam?" Azmi mengeluarkan suara.
"Maksud, Lu?" jawab Azzam bingung.
"Berapa tahun kamu seperti ini. Apa yang kamu dapat?" Tidak disangka Mama Mela bertanya seperti itu.
"Ada beberapa tapi, tidak sehebat Azmi." Azzam melangkah meninggalkan rumah.
Belum sempat dia menutup pintu, terdengar suara Bude Darmi memanggil namanya dan berlari ke arahnya. Di tangan Bude Darmi ada sebuah kotak makan yang telah diisi dengan nasi beserta lauk pauk dan juga beberapa potong buah.
"Makan, ya, Mas. Untuk makan malam!"
Azzam mengambil kotak makan yang Bude Darmi sodorkan. "Bude, aku nggak akan kelaparan, kok. Aku kerja di cafe, banyak makanan."
"Beda, toh, Mas. Ini buatan Bude khusus untuk Mas Azzam." Bude Darmi tersenyum.
Azzam mencium tangan Bude Darmi dengan takzim. Dia merasa lebih dekat dan diperhatikan oleh Bude Darmi. Dia bisa menyembunyikan apa saja dari semua orang. Akan tetapi, dia tidak bisa menyembunyikan dari Bude Darmi.
***
Suasana jalan semakin ramai karena bertepatan dengan akhir pekan. Azzam menjalankan sepeda motor agak.terburu-buru karena tetesan air hujan sudah mulai terasa satu persatu membasahi wajah Azzam yang tidak tertutup kaca helmet. Seperti sebuah tanda hujan deras akan turun, benar sekali. Azzam mencari tempat untuk berteduh. Dia memutuskan berhenti di bawah fly over dan begitu juga dengan pengendara sepeda motor lainnya.
Seorang gadis buta sedang berjalan di bawah hujan dengan bantuan tongkat. Dia bingung harus ke mana di bawah guyuran hujan. Dunianya hanya gelap. Azzam turun dari motor dan berlari ke arah gadis buta tersebut. Gadis itu terkejut saat tangan Azzam memegang tangannya. Dia berusaha melepaskan pegangan tangan Azzam. Azzam menarik gadis itu ke bawah fly over.
"Terima kasih," ujar wanita buta dengan pakaian yang sudah basah.
"Kamu mau ke mana?" tanya Azzam kepadanya dan melihat gadis itu membawa sekeranjang bunga.
Belum sempat gadis buta tersebut menjawab pertanyaan Azzam, datang seorang wanita paruh baya menarik tangan gadis tersebut dan memaksanya untuk pulang.
"Kamu siapa? Main narik-narik anak orang," protes Azzam dengan tatapan tidak senang.
"Aku bibinya. Minggir!" Wanita paruh baya tersebut mendorong Azzam agar menjauh dan dia memaksa wanita buta tersebut naik ke atas motor.
Wanita buta, menggunakan tangannya untuk mengetahui posisi motor. Setelah dia merasa yakin bahwa yang dia pegang adalah jok belakang, dia mulai mengangkat kakinya dan duduk di boncengan.
"Masih hujan!" teriak Azzam.
Gadis buta itu menoleh dan tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Walaupun pandangannya tidak tepat menghadap Azzam.
Hujan semakin deras dan motor yang dikendarai wanita paruh baya yang memiliki wajah judes tersebut terus melaju menembus hujan. Makin lama cahaya lampu belakang motor yang mereka kendarai menghilang dalam gelapnya malam dan siraman hujan.
Bab 2
"Shanum!" bentak wanita paruh baya yang merupakan adik dari ibu Shanum.
"I-iya, Bi," jawab Shanum dengan suara bergetar diakibatkan kedinginan karena siraman hujan sepanjang perjalanan.
"Mana hasil hari ini? Hai. Cepat!" Kembali Bi Tanti menghardik.
Shanum menyodorkan keranjang yang berisi bunga ke arah Bi Tanti. Dia sedikit ragu memberikannya. Karena hari ini sedikit bunga yang laku. Dia berjualan dari pagi hingga sore hari di depan toko roti.
"Hanya segini?" Bi Tanti menjambak rambut Shanum.
Erangan kesakitan yang keluar dari bibir yang membiru itu tidak dipedulikan oleh Bi Tanti. Dia akan marah dan selalu memukuli Shanum jika Shanum pulang tidak membawa uang yang banyak.
"Besok kau, aku antar ke tempat baru. Jualannya dari sore sampai jam sepuluh malam," titah Bi Tanti.
Begitulah dia, menjadikan Shanum sebagai alat untuk menghasilkan uang. Setelah dia merasa puas mengomeli keponakannya itu, barulah dia membolehkan Shanum membersihkan badannya yang sudah menggigil kedinginan.
***
Lirik lagu Virzha berjudul Aku Lelakimu menghanyutkan setiap pengunjung cafe yang datang malam itu. Mereka seakan dapat merasakan setiap bait yang keluar melalui suara merdu Azzam. Tak sedikit pengunjung yang mengangkat tangan lalu menggerakkan seirama dengan alunan musik. Sorotan lampu kamera ponsel menambah pencahayaan panggung yang temaram.
Gemuruh tepuk tangan pengunjung menjadi pertanda berakhirnya live musik malam ini. Satu persatu pengunjung meninggalkan cafe dan meletakkan beberapa lembar uang dengan nominal yang berbeda-beda tas gitar milik Azzam.
Diliriknya pengingat waktu di ponsel, ternyata telah pukul dua dini hari. Pantas saja mata terasa perih. Azzam membereskan perlengkapan mengamennya malam ini, tanpa terasa sudah pukul tiga dini hari. Cafe outdoor itu pun telah sepi, hanya beberapa karyawan yang sedang merapikan kursi dan meja.
"Gue numpang tidur di sini, ya?" teriak Azzam sambil mengambil bantal kursi lalu merebahkan badannya pada sofa yang berada ini indoor cafe.
"Seperti orang miskin aja, Lu," sahut Junod yang merupakan sahabat Azzam sekaligus pemilik cafe.
Junod masuk ke dalam cafe sambil membawa tumpukkan kursi dan tidak tertinggal omelannya sepanjang dan secepat kereta api listrik.
"Brisik, Lu, Junaidi." Azam menarik bantal kursi satu lagi untuk menutup telinga dia pun memiringkan badannya menghadap sandaran sofa.
"Eh, ******, Lu, ya. Udah numpang tidur di tempat gue." Junod meracau dan melempak kain lap ke arah Azzam.
"Dasar ******, nih, anak. Udah molor aja dia. Bantuin ngapa." Kembali Junod menggerutu.
"Brisik, Lu, ya?" Azzam menjatuhkan bantal kursi yang menutup wajahnya dan bangkit.
Dari pada mendengar omelan Junod yang entah kapan berhentinya, Azzam pun membantu beberapa karyawan memasukkan meja dan kursi.
"Ini baru Azzam cowok paling ganteng di cafe ini. Tapi, sayang. Masih jomlo." Junod pun tertawa dengan ciri khas tawa seorang wanita jadi-jadian.
"Manusia jadi-jadian kalau udah ngomong, nyakitin, ya," timpal Azzam bermaksud menggoda Junod.
Junod marah kalau dikatakan manusia jadi-jadian. Jika sudah begitu Azzam yang tertawa ngakak melihat sahabat dar zamani mereka kuliah itu.
"Lu, laki kagak. Perempuan juga kagak. Jadi pas, dong, kalau gue manggil lu, manusia jadi-jadian," sahut Azzam di antara tawanya.
Junod bertambah kesal dan dia menyumpahi Azzam agar cepat ketemu jodohnya dan nikah. "Tahun depan masa kadaluarsa, Lu. Buruan nikah!"
"Emang ada perempuan mau uang receh?" sahut Azzam.
Mereka sudah selesai membereskan bangku dan kursi. Karyawan Junod juga sudah pada pulang. Tinggal Azzam yang sedang menghitung pendapatan mengamennya malam ini.
"Lu cari cewek buta, aja! Dia kagak tau, tu, Lu ngasih uang berapa," ucap Junod asal dan itu membuat dia mendapat sedikit pukulan di pantat teposnya.
Azzam tertawa, di sela tawanya dia membenarkan ucapan Junod, bahwa orang buta tidak bisa membedakan warna uang.
"Lagian, Lu aneh. Perusahaan babe lu banyak. Milih jadi pengamen, di cafe kecil model beginian lagi." Sambung Junod dengan logat khas-nya.
"Lu tau apa, sih, Junaidi?"
"Eh, eh, jaga tu mulut, ya! Gue ***** baru tau rasa, Lu."
"Amit-amit." Azzam menepuk-nepuk beberapa lembar uang kertas ke keningnya.
***
Pukul delapan pagi Azzam terbangun saat hangatnya sinar matahari pagi berhasil menembus ke dalam ruangan melalui celah-celah ventilasi. Di atas meja di sebelah sofa di mana Azzam berbaring sudah terletak anak kunci. Ini biasa dilakukan oleh Junod jika Azzam tidur di cafe. Junod akan meninggalkan salah satu anak kunci pintu cafe.
Azzam menarik jaket yang targantung di sandaran sofa, memakainya dengan cepat lalu dia menyandang gitar kesayangannya. Gitar akustik tua yang dia beli dengan uangnya sendiri hasil kerja kerasnya menjadi tukang parkir. Kala itu Azzam masih bersekolah di salah satu SMP ternama.
Motor tipe dua tak berwarna merah, Azzam tunggangi menembus hiruk pikuk jalan raya. Hingga motor itu mengarah ke sebuah rumah mewah yang berdiri kokoh di tengah rumah-rumah mewah lainnya. Penjaga rumah dengan cekatan membuka pintu pagar saat mendengar deru mesin motor milik Azzam.
Azzam tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada pria yang telah sepuluh tahun bekerja bersama orang tuanya. Pria berusia empat puluh enam tahun itu, akrab dipanggil Mang Ujang. Mang ujang merupakan salah satu teman ngobrol Azzam saat dia di rumah.
Setelah motor diparkirkan di garasi di antara enam mobil mewah. Azzam masuk ke rumah melalui pintu samping yang langsung menembus ke kolam renang. Saat itu terlihat Zalea anak dari Kak Zahra--kakak kandung Azzam sedang bermain sepeda. Dia lagi candunya bermain sepeda karena baru seminggu ini dia bisa bersepeda tanpa roda bantu.
"Om Azzam!" teriak Zalea. Dia menegakkan sepedanya dan berlari ke arah Azzam.
Azzam menyambut dengan tangan terkembang, memeluk dan langsung saja menggendongnya.
"Baru pulang, Zam?" tanya Kak Zahra saat Azzam melewatinya. "Lea dari kemarin nanyain kamu, tu." Sambung Kak Zahra.
Azzam mencium pipi bulat Zalea. "Rindu, ya, sama, Om?"
Zalea mengangguk dan semakin mempererat pelukannya.
"Ingat pulang juga kamu?"
Azzam menoleh ke arah sumber suara yang sangat berat dan berwibawah tersebut. Azzam tidak perlu menjawab. Toh, percuma saja menjawab yang akhirnya akan dicap sebagai pembangkang.
"Setiap hari kerjanya main-main. Nggak punya masa depan." Ucapan Pa Irud--ayah Azzam bukan sekali ini saja dia dengar.
"Bagaimana pertemuannya tadi malam, Pa?"
"Kamu mana mengerti," ketus Pa Irud.
Azzam menurunkan Zalea dari gendongannya. Dia menyuruh Zalea kembali bermain.
"Aku ke kamar dulu, ya, Kak," ucap Azzam kepada Kak Zahra dan mengacuhkan Pa Irud yang berdiri tegak pinggang di ambang pintu.
Ketika menuju kamar di lantai dua, Azzam berpapasan dengan Azmi. "Baru pulang, Lu?"
"Yes," jawab Azzam singkat. "Gue ke kamar dulu, ya. Ngantuk."
"Sip." Azmi mengacungkan jempolnya.
Di saat Azzam ingin melanjutkan tidurnya, terdengar suara pintu kamar diketuk. Kak Zahra datang membawakan sarapan untuk Azzam. Sepiring nasi goreng kampung dengan telur mata sapi separuh matang. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam. Azzam juga penikmat kopi hitam.
"Kenapa repot gini, Kak," seru Azzam.
"Nggak, kok. Soalnya susah banget ketemu adek kakak yang satu ini." Kak Zahra tersenyum menggoda lelaki berambut sedikit gondrong itu.
Tanpa basa basi, Azzam menyantap nasi goreng kesukaannya. Sedangkan Kak Zahra sibuk merapikan pakaian Azzam yang berserakan. Kak Zahra memang sangat menyayangi Azzam. Mungkin karena Azzam selalu tersisih setelah Azmi lahir.
"Kak," panggil Azzam di antara suapannya.
Kak Zahra menyahut tanpa menoleh.
"Kakak masih ingat gadis kecil di desa waktu mama berobat dulu?"
Mendengar pertanyaan Azzam, Kak Zahra menghentikan aktivitasnya dan memandang Azzam seakan sedang mencari informasi lebih.
Bab 3
Azzam mengatakan bahwa seminggu ini dia kepikiran tentang gadis desa itu, hingga kejadian-kejadian yang mereka alami saat di desa dulu muncul kembali dalam alam bawah sadarnya.
"Shanum, kan, namanya?" tanya Kak Zahra dan dia duduk di kursi kerja yang ada di kamar Azzam.
"Kakak masih ingat, ya?" Azzam berhenti sejenak. Dia mengambil nafas padahal siklus udara di kamar itu cukup baik. "Bagaimana, ya, wajahnya sekarang?"
"Mana kakak tau," nyeletuk Kak Zahra dan dia melempar bantal kursi yang ada di dekatnya ke kepala Azzam dan mereka pun tertawa bersama.
"Gi, cari dia!" suruh Kak Zahra.
"Nggak, deh. Ntar dia udah nikah. Bisa-bisa aku digorok sama suaminya." Azzam melanjutkan makannya. Menghabiskan nasi tanpa sisa.
"Bersih amat kamu makan," celetuk Kak Zahra saat melihat piring Azzam benar-benar bersih.
"Cari uang untuk beli beras, susah."
Kak Zahra kembali tertawa mendengar jawaban spontan Azzam. Azzam semakin membuat Kak Zahra tertawa. Azzam bercerita saat dia dilirik sinis dan dipandang aneh oleh beberapa pengunjung cafe karena dia tidak pernah menyisakan makanan di piringnya saat makan.
"Aku paling nggak suka cewek model begitu, sok kaya padahal harta orang tua," upat Azzam.
"Kamu gitu juga, dong. Pakai mobil kamu yang Kakak belikan itu!"
Kak Zahra pernah menghadiahkan Azzam sebuah mobil saat dia berusia 25 tahun.
"Ingat, Zam. Nggak ada cewek matre!"
"Aku bukan anti dengan cewek matre. Aku cuma nggak suka dengan cewek yang gayanya dibuat-buat. Aku suka cewek apa adanya. Bukan ada apanya."
"Terserah kamu aja! Yang penting hati kamu senang." Kak Zahra berdiri dan mengambil piring kosong yang ada di tangan Azzam.
Sebelum pergi dia menyempatkan untuk mengacak rambut Azzam dengan tangan kirinya. Bagi Kak Zahra, Azzam masih adik kecilnya yang menggemaskan dan selalu membela dia saat diganggu saat mereka kuliah.
"Kalau masih penasaran, cari aja ke kampungnya!" bisik Kak Zahra sebelum pintu kamar ditutup.
Azzam tersenyum lalu menjatuhkan badannya di atas ranjang dengan kedua tangan sebagai bantal. Pandangannya lurus ke depan seakan dapat menembus langit-langit kamar. Pikirannya jauh berkelana di mana dia menghabiskan beberapa bulan di desa yang masih asri, desa yang sangat indah dengan pantai sebagai daya magnet desa tersebut.
Mereka pernah mencari umang-umang di pinggir pantai sampai lupa waktu. Tanpa sadar ibu Shanum berteriak menjemputnya dengan membawa sebatang lidi.
***
Suara alarm dari salah satu ponsel berbunyi, Azmi yang sedang tidur sambil dipeluk wanita tanpa busana terkejut dan langsung saja mendorong wanita tersebut.
"Sialan. Aku ketiduran," upat Azmi dan dia bergegas turun dari tempat tidur setelah melirik angka di layar ponsel.
Dia segera mengutip pakaian-pakaiannya yang berserakan di lantai. Begitu juga dengan Belinda--kekasih Azmi, dengan tubuh polos dia memungut pakaian yang bisa berterbangan entah kemana, tidak pada tempatnya. Mungkin karena mereka tadi malam mabuk berat.
Azmi langsung berpakaian rapi, memasang dasi bermotif garis di kemeja putihnya. Jas hitam tidak ketinggalan dia kenakan. Tanpa mandi dia akan langsung meninggalkan kamar hotel.
"Sayang, kamu mau ke mana?" rengek Belinda dan berusaha menahan Azmi dengan pelukkan.
"Aku harus pulang, bisa-bisa papa curiga kalau aku nggak ikut sarapan." Azmi melepaskan pelukkan Belinda.
Dengan memberi sebuah kecupan di bibir, Belinda pun luluh dan membiarkan Azmi pergi. Sedangkan dia kembali naik ke atas tempat tidur dan kembali bergulung dalam selimut putih. Melanjutkan mimpi yang terjeda.
Langit masih gelap, alarm berbunyi dari ponsel Azmi yang menunjukkan pukul lima pagi. Dia harus segera tiba di rumah tanpa sepengetahuan orang tuanya. Jalan raya yang tidak ada sepinya, ramai tetapi, tidak macet membuat Azmi dapat dengan cepat tiba di rumah.
Dari jauh, Azmi menelepon penjaga rumah mereka agar segera membukakan pintu sehingga dia tidak perlu menekan klakson. Suara mesin kendaraan akan dianggap Azzam yang pulang dari mengamen. Karena Azzam selalu pulang subuh.
Mendengar suara mobil masuk, Azzam berdiri di depan jendela kamarnya, dia menatap kepulangan Azmi tanpa ekspresi. Ternyata perkiraan Azmi salah. Malam ini, Azzam pulang lebih awal.
"Lihat drama nanti pagi," gumam Azzam sambil menutup gorden jendela perlahan.
Tidak lama Azmi masuk, Adzan Subuh berkumandang.
Azzam segera mengambil wudhu dan keluar kamar. Pagi ini dia ingin melaksanakan Salat Subuh di masjid kampung belakang komplek. Anak-anak bilang, lingkungan mereka bernama kampung konglomelarat. Azzam pernah tertawa mendengar jawaban dari anak-anak tersebut. Mereka bilang karena konglomeratnya sudah diambil oleh komplek depan, sisalah kolongmelarat-nya.
Azzam keluar rumah melalui pintu belakang yang pagarnya langssung ke jalan setapak menuju kampung kolongmelarat. Tegur sapa dan bincang ringan terjadi antara Azzam dan bapak-bapak yang bertemu di jalan hendak melaksanakan Salat Subuh juga. Obrolan mengalir begitu saja karena Azzam sangat dikenal di kampung itu.
"Loh, rumah itu sudah ada yang nempati?" Tunjuk Azzam pada sebuah rumah yang dulunya dibiarkan kosong bertahun-tahun.
"Baru satu bulan ini," jawab Pak RT di kampung tersebut.
"Ternyata saya yang sudah lama tidak berjamaah," sahut Azzam dan tidak mempermasalahkan lagi perihal rumah tersebut.
Sesampainya di masjid yang dituju, Azzam diminta untuk Ikamah oleh para jamaah. Dengan senang hati Azzam melakukannya. Lantunan lafal Ikamah begitu merdu.
Di dalam rumah yang ditunjuk Azzam sebelum ke mesjid tadi. Shanum keluar dari kamar lalu meraba-raba jalan ke kamar mandi. Sebelum masuk ke kamar mandi, didengarkannya suara Ikamah tersebut, suara yang menyejukkan hati.
Lantunan setiap ayat membuat hati semakin nyaman, Shanum memejamkan mata meresapi hingga ke dalam hatinya.
"Seandainya aku mempunyai jodoh seperti itu," gumam Shanum dengan suara yang cukup didengar oleh dia sendiri.
Suara yang sama saat mengimami Salat Subuh di mesjid.
Selesai melaksanakan dua rakaatnya, Shanum membuka jendela kamar, menghirup udara yang tidak lagi segar. Tidak ada lagi burung-burung berkicau menyambut pagi. Tidak ada lagi wangi embun di pagi hari.
Hanya deru mesin dari kendaraan bermotor yang menyambut pagi, tanda hari akan dimulai.
Keluar kamar dengan cara meraba, dia sudah hafal dengan posisi semua benda di rumah ini, rumah yang sangat minim perabotan. Shanum menuju dapur untuk memasak air. Membuatkan teh hangat untuk Bi Tanti sudah menjadi rutinitas pagi.
Awal-awal tidak bisa melihat dan melakukan pekerjaan ini, tak jarang tangan shanum terkena air panas. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, memasak sederhana bisa dia lakukan sendiri.
Namun, di mata Bi Tanti, Shanum selalu saja salah. Tidak jarang dia mengatakan bahwa Shanum adalah beban yang ditinggalkan kakaknya untuk dia.
Berapa banyak luka hati yang Bi Tanti berikan kepada Shanum, tetapi semua dia pendam. Tidak ada teman untuk dia berbagi cerita, hanya kasur dan bantal tempat dia mencurahkan rasa.
Selain ibunya, dia merindukan sosok seseorang yang pernah dia kenal dulu sewaktu di kampung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!