Raisa Amalia telah tujuh tahun merantau untuk melanjutkan pendidikannya dan berkarier di luar kota. Karena kini ia hanyalah seorang yatim piatu, ayahnya telah meninggal lebih dulu saat Raisa kecil dan begitu ia baru lulus sekolah SMA ibunya menyusul ayahnya.
Raisa memutuskan kuliah ke luar kota dan sekaligus mencari nafkah demi menghidupi dirinya sendiri.
Sekian tahun telah berlalu membuatnya rindu pada tempat kelahirannya. Akhirnya Raisa memutuskan untuk berkunjung mumpung ada kesempatan ia bisa mengambil cuti tahunannya yang jarang ia pakai.
"Di sini Neng alamatnya?" tanya driver ojek online yang lalu menghentikan kendaraannya.
"Iya, tapi bener nggak sih yah ini rumahnya?" Raisa malah bertanya sebab ia tak yakin karena penampilan rumah orang tuanya sudah banyak berubah.
"Lho, kok malah nanya. Ya aku nggak tau, kan si Neng yang bilang alamatnya yah sesuai titik di aplikasi, di sini tempatnya Neng"
Raisa masih memandang heran, ia takut salah. Sejenak Raisa mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin saja rumah orang tuanya sudah direnovasi karena terkadang tantenya selalu menelpon meminta uang untuk biaya renovasi dan Raisa tanpa sungkan selalu memberinya sesuai yang diminta.
"Ok, deh. Nih, ambil aja kembaliannya bang"
"Makasih Neng" Ojek online itu pun segera tancap gas.
Raisa berdiri dan masih belum melepaskan pandangannya ke rumah peninggalan orang tuanya itu.
Raisa terus melangkah perlahan mendekati pintu pagar dan ada sedikit keraguan melintas di benaknya. Raisa sengaja tak menghubungi tantenya karena ia pikir ingin membuat kejutan atas kedatangannya. Rumah tante Raisa agak sedikit jauh karena beda RT dari rumah orang tuanya. Setelah mengunjungi rumah orang tuanya kelak Raisa juga akan berkunjung ke rumah tantenya, niatnya sih begitu.
Raisa kaget pintu gerbangnya terkunci dari dalam, apa ada orang di dalam. Mungkinkah tantenya sedang datang mengecek, pikir Raisa.
"Permisi... Tante... Tan... Tante..." Raisa berteriak memanggil-manggil tantenya dari luar pagar.
Suara teriakan Raisa mengusik penghuni di dalam rumah itu yang ternyata saat muncul bukanlah Tante Raisa. Seorang pria keluar dengan wajah kusutnya karena kesal terdengar suara Raisa yang membuatnya merasa terganggu.
Raisa terkejut melihat seorang pria asing berpakaian kaos oblong berwarna putih dan celana pendek dengan motif polkadot berada di rumah orang tuanya.
"Siapa?" tanya pria itu masih berdiri depan teras.
"Lho, pake nanya. Harusnya yang tanya itu aku, kamu siapa ada di rumah ini?"
"Apa? Yah jelaslah ini kan rumahku"
"Woi!!! Jangan sembarangan kalau ngomong" pekik Raisa tidak terima ada orang yang mengaku rumahnya.
Pria itu sedikit tersulut emosi akhirnya memilih mendekati Raisa untuk memastikan siapa orang yang sudah berani bicara tidak sopan di depan rumahnya.
"Hei, Nona kalau mau cari keributan jangan depan rumah orang. Teriakanmu itu jelek sekali masih bagus suara bebek bernyanyi, uh sangat mengganggu sekali"
'Apa dia bilang?' Raisa mengernyit lalu berteriak lagi, "Buka pintunya! Ayo, cepat buka pintunya! Biarin aku masuk" Raisa yang marah mengubrak-gubrak pagar. "Kamu mau maling yah di rumah ini?" lanjutnya.
"Jaga ucapanmu, seenaknya aja kamu nuduh aku. Kalau kamu cari gara-gara aku bisa lapor ke Pak RT karena tingkahmu sudah mengganggu kenyamanan aku"
"Kamu juga tadi yang ngatain aku seenaknya, lapor aja sana! Siapa takut"
Raisa berusaha memanjat pagar dan menyeruak masuk.
"Hei...Hei... apa-apaan ini? Turun! Nggak sopan kamu yah manjat-manjat pagar rumah orang"
Raisa bersikukuh tak peduli, sampai akhirnya dia berada di atas pagar lalu melompat begitu saja.
Pria itu tercengang melihat tingkah bar-b*r Raisa.
Setelah turun Raisa melotot dan seakan menantang pria itu tanpa rasa takut, "Apa?!"
Pria itu menatap tajam tak percaya bahwa ada seorang gadis berani masuk ke halaman rumahnya. Jelas ini membuatnya sangat geram dengan kelakuan Raisa. Mereka berdua saling berhadapan dengan emosinya.
"Kamu berani ya sama aku?"
"Kenapa kamu ngaku-ngaku ini rumahmu? Jelas-jelas ini rumahku, peninggalan orang tuaku"
Pria itu tertawa hampa meremehkan seorang gadis yang tinggi badannya hanya sebahunya bertingkah lancang padanya. Baginya, dia bukan lawan yang sepadan.
Raisa mendongak menatap wajah pria itu sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Bukannya kamu yang tiba-tiba datang mengaku-ngaku ini rumah orang tuamu. Dasar nggak jelas, silahkan pergi dari sini!"
"Hei, pria polkadot coba beri tahu aku apa buktinya kalau rumah ini adalah rumahmu?" Mulai detik ini Raisa menamai pria yang sudah merebut rumahnya dengan pria polkadot. Dia enggan untuk menanyakan nama pria itu yang sebenarnya.
"Siapa yang kau panggil pria polkadot? Aku?"
"Ya siapa lagi, lihat motif celanamu polkadot"
Mimpi apa dia semalam sampai harus bertemu seorang gadis yang mengganggu ketenangan di hari liburnya. Sungguh ini tidak bisa dibiarkan.
"Aku akan tunjukkan buktinya, jika aku benar silahkan kamu pergi dari sini dan jangan muncul di depan rumah ini lagi. Ingat itu baik-baik!"
Pria itu menarik lengan Raisa untuk masuk ke dalam, ingin menunjukkan bukti kepemilikan sah dirinya. "Ayo, ikut aku!"
"Lepaskan, aku nggak mau kau ajak ke dalam."
"Dasar gadis keras kepala. Ok, baiklah. Kamu tunggu di sini saja"
Raisa hanya berdiri menunggu pria itu menunjukkan buktinya. Mata Raisa memandang ke sekitar halaman rumahnya.
Betapa indah halamannya yang sekarang, seperti selalu dirawat dengan baik. Banyak tanaman yang menghiasi halaman dengan indah. Warna warni bunga yang tumbuh menyejukkan matanya. Raisa merasa kagum. Sejenak emosinya hilang sesaat karena terbuai dalam pesona tumbuhan yang ditanam dan ditata dengan rapi.
Tanpa menunggu lama, pria itu muncul dengan membawa berkas di tangannya.
"Buka matamu lebar-lebar dan lihatlah!" Pria itu dengan cepat menunjukkannya.
Raisa tercengang setelah melihat dengan jelas sertifikat rumah itu bukan lagi atas nama orang tuanya. Tubuhnya lunglai dan matanya mulai berkaca-kaca. Betapa hatinya hancur dan dadanya terasa sesak menyaksikan kenyataan yang sebenarnya.
Raisa pun menangis sekuat tenaga di halaman rumah itu.
"Hei, Nona jangan menangis di sini, jangan kau kira aku akan bersimpati setelah kau membuat kekacauan di sini"
Raisa semakin menangis kencang, meluapkan perasaan sedihnya yang mendalam. Tidak disangka dirinya disambut oleh kekecewaan.
"Ayo, bangun! Cepat pergi dari sini! Aku nggak bakal tertipu oleh dramamu" tanpa rasa belas kasihan, pria itu menyeret Raisa keluar dari halaman rumahnya lalu mengunci pagarnya kembali. Ia tidak peduli dengan keadaan Raisa. Dirinya adalah orang yang tidak punya perasaan.
Raisa tak berdaya, dirinya pasrah saat pria itu mengusirnya. Masih dalam lamunan kosongnya, Raisa berjalan terseok-seok sambil menggeret kopernya. Perasaannya kini tidak bisa tergambarkan lagi. Apa yang sudah terjadi tanpa sepengetahuannya? Raisa menjadi tak mengerti.
Raisa berbalik memandangnya lagi ke arah rumahnya, ia bersumpah akan merebut kembali rumahnya dari pria polkadot itu." Baiklah tuan polkadot, hari ini aku terusir dari sini kelak akulah yang akan menjadi pemilik rumah itu lagi"
---
---
Bersambung...
Bersambung...
Sambil mengusap airmata yang membasahi pipinya, Raisa mencoba menguatkan dirinya.
Raisa kesal setengah mati setelah mengetahui rumah peninggalan orang tuanya sudah menjadi milik orang lain. Tanpa persetujuan darinya, rumah itu sudah terjual. Bagaimana bisa pria polkadot memilikinya dengan sah, sementara Raisa sebagai ahli waris tak mengetahui proses pindahnya kepemilikan rumah itu. Pikiran itu terus bergelayut di otaknya.
Untuk saat ini Raisa tak tahu harus tidur dimana malam ini, bahkan tantenya pun dikabarkan sudah pindah entah kemana tak ada orang yang mengetahuinya. Berulang kali Raisa menghubungi tantenya tetap saja nomor ponselnya tak aktif. Tantenya menghilang begitu saja.
Jauh-jauh datang dari luar kota, niat hati ingin mengenang masa kecil di rumah orang tuanya malah berakhir begini.
Raisa yang masih duduk di bawah pohon depan pagar rumahnya memikirkan ide untuk cari tempat menginap. Dengan terpaksa ia mencari kos-kosan terdekat dengan rumah orang tuanya untuk bisa memantau pria polkadot itu yang sudah menjadi pemilik rumah itu.
"Raisa" seorang gadis berhijab menyapanya.
"Sarah? Ya ampun Sarah apa kabar?" Raisa menghampirinya dan langsung memeluknya.
Raisa sangat senang bisa bertemu Sarah-teman masa kecilnya yang kebetulan lewat.
"Baik. Lho kamu ada di sini?"
"Iya, aku baru aja dateng. Udah lama sekali yah kita nggak ketemu bikin pangling"
"Aku pikir kamu nggak bakalan dateng ke kota ini lagi secara di sini kan sudah tidak ada tempat yang harus kau kunjungi"
"Nah itu dia masalahnya"
Sarah memerhatikan Raisa dari atas hingga ke bawah dan dilihatnya ada koper di sampingnya. Sarah pikir Raisa kabur. Melihat keadaan Raisa yang seperti itu, Sarah menjadi iba lalu mengajak Raisa ke rumahnya. "Ayo, ke rumahku! Kita bisa bicara dengan nyaman di rumah. Nggak enak ngobrol pinggir jalan"
"He'eh" Raisa menyetujuinya.
Raisa bersyukur bertemu bisa bertemu Sarah setidaknya, ia bisa meminta bantuannya.
"Mau minum apa?"
"Ah nggak usah repot-repot, air putih aja"
"Tunggu sebentar ya, aku ke dalam dulu"
"Iya"
Raisa tidak tahu bahwa rumah Sarah kini sudah pindah, rumah ini berbeda dengan rumah yang biasa disinggahi saat masih kecil bermain bersama Sarah. Rumah dengan desain minimalis ini terasa nyaman.
"Nih diminum dulu, kamu pasti lelah karena perjalanan jauh" Sarah menyuguhi minuman yang diminta Raisa.
Tanpa rasa sungkan Raisa meneguknya hingga habis tak terasa. Rupanya teriakannya tadi membuat tenggorokannya menjadi kering.
Sarah duduk menghadap ke Raisa, melihat mata sembab Raisa lagi-lagi Sarah prihatin. Ia mengira pasti ada sesuatu yang terjadi. Ia pun menunggu Raisa bercerita tanpa harus menanyakannya terlebih dahulu, Sarah tak mau menyinggung perasaan Raisa.
Raisa mengatur napasnya untuk menenangkan dirinya yang tengah kalut.
"Aku berniat liburan di sini untuk beberapa hari dan ziarah ke makam orang tuaku. Tapi..." Raisa menghentikan perkataannya, sungguh berat ia ingin bercerita. Karena perasaannya kini telah terluka.
"Tapi apa?" Sarah makin penasaran
Raisa menarik napasnya dalam-dalam berusaha untuk menahan kesedihannya.
"Rumah itu...ehm maksudku rumah orang tuaku ternyata jadi milik orang lain tanpa sepengetahuanku trus aku juga tidak tahu ternyata Tanteku pindah rumah entah dimana. Jadi aku harus menginap dimana malam ini, nggak mungkin aku balik lagi ke luar kota. Aku lelah, perjalanannya memakan waktu 4 jam" Raisa tertunduk lesu.
"Bagaimana kalau kamu menginap saja di sini. Ada satu kamar kosong khusus untuk tamu" saran Sarah.
"Tapi orang tuamu nanti tidur dimana?"
"Yah di rumahnya"
"Maksudnya? Trus ini rumah siapa?"
Sarah terkekeh, ia lupa menceritakan kalau dia sudah menikah.
"Rumahku dan suamiku"
"Oh kamu sudah menikah? Pantes kok rasanya rumahmu bukan di sini, seingatku di RT sebelah berdampingan dengan rumah tanteku. Kapan kamu nikah aku nggak tahu?"
"Baru tiga bulan yang lalu. Maaf yah nggak ngundang soalnya aku nggak tahu nomor mu yang baru trus tantemu sudah lama pindah jadi ku pikir ya sudahlah nggak mungkin kamu ke sini lagi"
"Nah itu masalahnya, aku nggak tahu tanteku pindah"
"Lho kok bisa?"
"Entahlah, pasti ada sesuatu yang tanteku rahasiakan, dia seperti menghindariku. Lebih tepatnya dia kayak orang yang udah bikin salah sama aku. Bahkan aku juga nggak tahu kapan rumah orang tuaku dijual ke pria polkadot itu. Hari ini aku kesal, kecewa dan marah. Semua bercampur aduk perasaanku"
"Pria polkadot? Maksudmu Pak Diki Sanjaya?"
"Entahlah aku nggak tahu namanya dan juga nggak mau bertanya padanya. Yang pasti saat aku ke sana dia hanya memakai kaos polos dan celana pendek bermotif polkadot. Oh ya apa kamu tahu tentang dia? Sejak kapan dia menempati rumahku eh maksudku rumah orang tuaku?"
"Udah lama sih, sekitar tiga tahun kalau nggak salah. Yah, aku sih nggak tahu apa-apa aku kira kamu yang sengaja menjualnya"
"Apa? Tiga tahun?"
"Iya, aku bisa tahu karena dia itu atasan suamiku"
Hati Raisa kembali teriris mendengar kenyataan yang begitu menyakitkan berarti dua tahun ini tantenya sudah menipunya. Sejak beres kuliah tantenya tahu Raisa bekerja di perusahaan bonafit dan ditempatkan di posisi dengan gaji yang lumayan. Saat itu tantenya berani meminta dana dengan alasan untuk biaya renovasi agar tidak lapuk dimakan usia ternyata rumah itu sudah terjual satu tahun sebelumnya. Sungguh Raisa tidak menyangka.
Raisa melamun tanpa terasa airmatanya menetes.
"Raisa? Kamu nggak apa-apa?"
"Eh nggak apa-apa" Raisa menyeka air matanya dan tersenyum getir.
"Maaf, Sarah aku nggak bisa menginap di rumahmu. Nggak enak, kamu kan masih pengantin baru. Nggak baik jika seorang teman wanita satu atap dengan orang yang sudah menikah. Takut fitnah"
"Ya ampun Raisa, nggak apa-apa tau. Kamu mikirnya kejauhan. Yah tapi terserah kamu aja sih, aku cuma menawarkan. Lagian aku nggak tega liat kamu"
"Tenang aja, kalau bisa cariin aku kos-kosan aja yang deket sini. Biar aku menginap di kos-kosan untuk beberapa hari ke depan sampai habis masa liburanku. Aku belum mau balik dulu, masih pengen di sini"
"Ya udah deh, ntar aku bantu cari."
"Makasih, Sarah. Untung aku ketemu kamu"
"Sama-sama, kita kan temen dari kecil. Aku juga nggak nyangka bakalan ketemu kamu lagi di sini. Aku pikir kamu bakalan lupa"
"Nggak mungkin lah aku lupa, ini tempat kelahiranku dan di sini banyak kenangan masa kecilku terutama rumah orang tuaku"
Sarah tersenyum melihat temannya kini sudah kembali ceria.
"Syukurlah kalau begitu, aku senang dengernya. Oh ya kamu bener mau nginep di kos-kosan? Nggak sayang duitnya kan kamu cuma beberapa hari doank di sini trus kan bayarnya harus full sebulan mendingan cari penginapan aja"
"Nggak ah, kayaknya kemungkinan juga bakalan seterusnya di sini deh"
"Serius? Kamu bakalan tinggal lagi di sini?"
Raisa mengangguk meyakinkan Sarah, karena seketika ia terbesit sebuah ide cemerlang yang hinggap di otaknya yang encer.
Bersambung...
Setelah beberapa jam mencari tempat kos-kosan yang terdekat, akhirnya Raisa dan Sarah mendapatkannya tepat di belakang rumah orang tua Raisa. Sungguh keberuntungan yang mujur sekali bagi Raisa. Dengan begitu ia bisa memantau si pria polkadot alias Diki Sanjaya.
"Makasih Sarah kamu udah banyak bantuin aku, sini masuk dulu sebentar"
"Maaf, hari udah sore waktunya suamiku pulang dan aku harus ada di rumah. Aku pamit yah Raisa ntar kapan-kapan kalau ada waktu luang aku maen"
"Ya udah kalau begitu, sekali lagi makasih"
"Iya, sama-sama. Aku pamit pulang dulu"
"Iya, hati-hati"
Raisa berdiri depan pintu memandang kepergian Sarah. Setelah itu Raisa kembali ke dalam lalu merebahkan tubuhnya di kasur lantai, hari ini ia lelah sekali.
Tak terasa malam bersambut, Raisa lupa ia belum makan sejak siang tadi. Pantas sekarang perutnya keroncongan.
Raisa pun memutuskan keluar rumah mencari makanan untuk sekedar mengisi perutnya yang kosong.
Raisa berjalan melewati gang yang berhimpit dengan tembok rumah orang tuanya. Betapa ia teringat masa kecilnya yang sering berlari di sekitaran sini, sungguh kenangan yang tak kan bisa terlupakan begitu saja.
Ketika Raisa berjalan pandangannya terus mengarah ke rumah itu, Raisa melihat jendela kamar bekas kamarnya dulu. Dulu saat malam hari sebelum tidur, sambil tiduran di ranjang Raisa selalu memandang bintang-bintang dari jendela kamarnya. Sayang, sekarang semua itu hanya memori baginya.
Eh tapi ada perasaan penasaran yang muncul, Raisa ingin tahu apa yang sedang dilakukan pria polkadot itu. Raisa sedikit memasang telinganya, kesempatan berpihak padanya karena keadaan gang sedang sepi.
"Nggak kedengeran suara apa pun, emangnya lagi ngapain dia? Sunyi sekali seperti tak ada tanda-tanda kehidupan" Raisa bergumam. "Apa pria itu tinggal sendirian? Baguslah" ujarnya sambil tersenyum dan terus melangkahkan kakinya.
Raisa melihat di seberang jalan ada gerobak pedagang nasi goreng mangkal, pas bener jadi Raisa tidak perlu jauh-jauh mencari makanan.
Eits, tunggu dulu Raisa menahan langkahnya saat pandangannya tertuju pada seorang pria yang dia ingat. Yah, pria polkadot itu rupanya dia juga sedang membeli nasi goreng.
Raisa berpapasan dengan Diki yang akan berjalan pulang dengan membawa bungkusan nasi goreng di tangannya.
Di luar dugaan, Diki heran kenapa ia bisa bertemu dengan gadis menyebalkan itu lagi pikirnya. Diki kira Raisa tidak akan pernah muncul di depannya lagi setelah ia mengusirnya.
"Wah kita ketemu lagi tuan, apa kau juga membeli nasi goreng?" sapa Raisa berpura-pura ramah, ada maksud terselubung dari tingkahnya.
Sikap aneh yang ditujukan Raisa pada Diki membuatnya curiga. Bagaimana tidak, jelas tadi siang Diki melihat tingkah Raisa yang bar-b*r kenapa sekarang berubah jadi sok ramah. Diki merasa tidak akan tertipu dengan sikap manis yang ditujukan Raisa.
"Kenapa kamu ada di sini? Aku kira kita tidak akan bertemu lagi, tunggu dulu jangan bilang kamu akan mengganggu lagi" ucap Diki ketus
"Tentu saja itu tidak mungkin"
"Baguslah, aku pegang ucapanmu" Diki pun berlalu begitu saja.
'Cih, angkuh sekali orang itu' bisik batin Raisa saat melempar senyuman palsu pada Diki.
Raisa menghela napas, ternyata bersikap pura-pura itu tidak mudah. Jauh di lubuk hatinya Raisa masih kesal ketika melihat Diki tapi apa daya dia harus bersikap manis. Tentu saja pasti ada alasan yang melatarbelakanginya. Demi rumah peninggalan orang tuanya, Raisa tidak akan menyerah untuk mendapatkannya lagi. Ini langkah awalnya.
*****
Subuh sudah menyapa Raisa, suara ayam di pagi hari terdengar nyaring. Raisa bersiap ke pasar membeli bahan makanan, hari ini ia ingin memasak. Sekali-kali Raisa pikir tidak ada salahnya memberi makanan yang dimasak dengan tangannya sendiri agar sedikit lebih terasa enak. Untuk urusan masak, Raisa memang jago.
Semalam saat Raisa membeli nasi goreng yang mangkal di seberang sana, pedagang nasi goreng itu sedikit bercerita tentang Diki yang selalu menjadi langganannya. Dari situ ia tahu Diki memang tinggal sendiri dan dia masih lajang. Sebuah peluang bagus menurut Raisa untuk mendekatinya meski rasanya itu tidak mudah karena sikap Diki yang terlihat angkuh. Tapi tak masalah bagi Raisa karena ini tantangan yang harus Raisa taklukan.
"Assallamualaikum" ucap Raisa dari balik pagar.
'yups, pertama-tama aku harus ucapkan salam biar terkesan sopan meski pagi-pagi sudah mengganggunya' Raisa bersiap menyambutnya dengan senyuman lebar.
Senyuman lebar Raisa pun menjadi kering setelah menunggu tak ada jawaban, "Yang benar saja, apa dia masih tidur jam segini? Coba lagi, siapa tahu tadi nggak kedengeran"
"Assallamualaikum," masih nggak ada jawaban, Raisa mencari tombol bel di sekitar pintu pagar Diki tapi tak kunjung dia temukan. "Ni, rumah kenapa nggak dipasang bel sih kan susah harus manggilnya kejauhan dari pintu rumah" keluh Raisa. "Baiklah, Raisa. Kamu nggak boleh mengeluh. Ini namanya perjuangan" Raisa menyemangati dirinya sendiri.
"Ngapain kamu di sini? Mau mata-matain aku yah?" Terdengar suara pria dari belakang Raisa.
Sontak membuat Raisa terkejut, ia pun segera membalikkan badannya. Raisa memasang senyumannya yang ia rasa paling manis sedunia. "Eh ada pria polkadot" lagi-lagi Raisa lupa selalu menyebutnya seperti itu hingga Diki mengerutkan alisnya. "Ups...eh bukan...Tuan eh Pak eh Om," secepatnya Raisa langsung mengoreksi, ia bingung harus memanggilnya apa.
Rupanya Diki habis jogging, keringatnya masih membasahi tubuhnya. Baju yang dipakainya membentuk siluet tubuhnya. Sejenak Raisa terpaku, rasanya pagi ini matanya telah ternodai saat melihat Diki berpakaian seperti itu. Sungguh sangat manly. Tetapi pandangan Diki tertuju pada sesuatu yang di bawa Raisa. Tanpa berkata Raisa langsung mengerti ke arah mana Diki melihat.
"Ehm maksudku ini, aku bawa sesuatu. Yah sebagai tetangga baru di sini aku hanya ingin sedikit berbagi. Itung-itung sebagai permintaan maaf aku tentang masalah yang kemarin"
Diki memicingkan matanya, ia masih tidak percaya pada sikap Raisa begitu saja. Bagaimana bisa ia berubah drastis, pasti ada udang dibalik batu pikir Diki.
"Aku nggak mau menerima apapun darimu" sesekali Dicky mengelap keringatnya dengan handuk kecil lalu pergi begitu saja tidak peduli.
'Sombong sekali dia, kalau bukan demi rumah warisan. Udah aku lempar nih makanan ke mukanya' gerutu batin Raisa di dalam topeng senyuman manisnya.
"Tunggu!" Raisa mencoba menahan Diki
Diki terus melangkahkan kakinya, sikapnya seakan mengacuhkan keberadaan Raisa. Lalu Diki membuka pintu pagar rumahnya dan dia masuk hanya seorang diri. Saat badannya berbalik menghadap ke Raisa dari balik pagarnya, Diki berujar, " Pagi ini aku nggak menerima tamu" Ia pun langsung mengunci pintu pagarnya dan meninggalkan Raisa yang masih terbengong.
Raisa mengerti maksud perkataan Diki, itu tandanya Raisa tidak diperkenankan masuk ke rumahnya dan menolak secara tidak langsung pemberian darinya.
"Ok, aku akan menunggumu di sini." Raisa bertahan menghadapinya.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!