NovelToon NovelToon

Nala

Serat Grha Pamujan - Nala Turasih

Pada umurnya yang ketiga belas, Nala Turasih pernah sakit begitu parah sehingga meninggal. Warga kampung menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri ketika gadis itu kembali bangun, bangkit dari gelapnya dunia kematian dan bernafas ketika baru saja selesai dipocongi.

Nala Turasih dilahirkan dan besar di sebuah desa bernama Obong. Ia adalah anak kedua dari suami kedua ibunya. Sebelumnya, sang ibu memang pernah menikah. Saat itu ia menikah di kala usianya masih sangat belia, enam belas tahun. Dari suami pertama, sang ibu memiliki seorang putri bernama Tasmirah, sang kakak.

Seperti sudah diduga, kehamilan diluar pernikahan sang ibu di masa mudanya tentu tidak menciptakan sebuah keluarga yang awet. Ibu dan ayahnya bercerai dua tahun kemudian karena percekcokan mengenai hal-hal yang sepele. Dua tahun juga sebenarnya dirasa cukup lama mengingat kedua anak remaja itu dahulu tak saling kenal dan bersetubuh di tepian sungai Pratama hanya karena iseng dan keenakan bermain kelamin sehingga keterusan.

Takdir rupanya berbicara dengan cara yang lain. Membutuhkan waktu lima tahun lamanya sampai seorang juragan muda, pemilik kebun tebu di desa itu memutuskan meminang sang janda beranak satu tersebut.

Juragan muda ini nyatanya adalah seorang laki-laki penyayang dan penuh kasih kepada sang istri, termasuk anak perempuannya yang sudah berusia tujuh tahun tersebut. Ia tidak hanya menikahi sang janda karena tertarik pada kecantikannya belaka, sebaliknya, perilaku terpuji sang suami membuat istrinya begitu mencintai sang juragan.

Hanya saja memang, lima belas tahun pernikahan mereka belum membuahkan anak kandung, meski cinta juragan tebu itu pada anak tirinya, Tasmirah, sama sekali tak berkurang.

Tepat ketika Tasmirah berumur dua puluh dua tahun, dan sang ibu tiga puluh tujuh tahun, kabar bahagia bagi sang juragan terdengar pula. Akhirnya sang istri hamil anak kandungnya. Nala Turasih lahir sembilan bulan kemudian.

Tasmirah tak cemburu dengan kasih sayang yang melimpah oleh kedua orangtuanya kepada adik barunya itu. Toh ia sudah berusia dewasa, bekerja di sebuah pabrik gula di kampung sebelah. Tasmirah sempat ikut merawat dan memberikan cinta kasih serta perhatiannya pada adik kandung yang jauh lebih muda dibanding dirinya itu, meski hanya beberapa tahun awal saja.

Nala Turasih sudah berumur lima tahun ketika Tasmirah memutuskan untuk menerima pinangan pemuda Kuranji yang merupakan pegawai ayahnya. Keduanya hijrah dari desa Obong untuk tinggal di kota lain. Pemuda Kuranji bekerja di salah satu cabang perusahaan tebu milik sang ayah.

Sampai disini kehidupan sepertinya terlalu baik-baik saja, luar biasa malahan. Janda beranak Tasmirah itu dikawini seorang laki-laki yang sepertinya tak memiliki cela dan retakan di dalam raga maupun jiwanya. Walau tak bisa dikatakan tampan, ia jelas kaya, baik pula. Bukankah itu terlalu sempurna untuk sebuah kenyataan?

Sang suami mengamalkan ilmu pesugihan.

Tanpa istri dan anak-anaknya sadari, yang tiri maupun yang kandung, bahwasanya rumah besar yang mereka tinggali selama ini tidak pernah memiliki bentuk yang tetap. Paling lama enam bulan, pasti ada saja yang dikerjakan. Dari pembangunan kamar baru, renovasi, atau hanya sekadar perbaikan kecil-kecilan.

Istri dan anak-anaknya merasa wajar. Tanah luas yang dimiliki beserta bangunan rumah yang besar, penambahan dan renovasi atau restorasi nampaknya menjadi hobi si juragan tebu itu. Meski kadang istri merasa risih karena selalu saja ada kegiatan pertukangan di rumah mereka, tapi ia tak sampai curiga. Padahal itu adalah syarat penganalan ilmu pesugihan dimana, walau membayar tukang, sang suami tetap ikut mengerjakan pekerjaan itu secara langsung.

Ini agar kekayaannya tetap terjaga.

Hanya ada satu ruangan khusus yang tidak boleh berubah. Ruangan ini juga adalah syarat mutlak dari ilmu pesugihan tersebut, berisi beragam sesajen dan mantra yang disembunyikan di dalam sebuah lemari. Istri dan anaknya hanya tahu bahwa kamar tersebut adalah sebuah 'ruangan kerja' yang tidak boleh diganggu.

Nala Turasih, beranjak gadis, dipenuhi hormon berisi rasa penasaran berlebih dan berahi, bergandengan sembunyi-sembunyi mengajak pacarnya masuk ke 'ruangan kerja' sang ayah. Kebinalan sang ibu di masa remaja dahulu menguar dari tubuhnya.

Ia dan sang pacar saling meraba, memuaskan sinyal penasaran yang tombolnya terlanjur ditekan. Nala Turasih membiarkan seorang mulut anak laki-laki menghisap pucuk dadanya dengan rakus.

Ruangan itu akhirnya tercemar. Nala Turasih dan pacarnya terkena laknat. Dimulai dari pacar yang juga teman sekolah Nala Turasih. Ia tewas besoknya, ditabrak truk pengangkut tebu. Tulang-tulang di tubuhnya mencuat keluar menembus daging dan kulitnya.

Kekuatan sihir di dalam ruangan itu tidak mau membiarkan Nala Turasih mati cepat. Gadis itu tersiksa demam berkepanjangan seharian. Kulit wajahnya sampai melepuh saking tingginya demam yang ia derita.

Ketika dokter datang, ia telah dinyatakan wafat.

Sang ayah begitu terpukul, bahkan melebihi rasa sedih istrinya. Ia menangis dan menjerit sejadi-jadinya di dalam 'ruangan kerja' nya. Ia memohon ampun dan meminta kepada kekuatan gaib yang ia puja agar memberikan kesempatan agar putrinya dikembalikan. Ia akan melakukan apa saja untuk membayar hal itu, termasuk menumbalkan dirinya sendiri, menjadi budak neraka.

Wajah-Wajah menyeramkan yang menempel di dinding kamar itu menyeringai licik dan puas.

Nala Turasih hidup kembali.

Semua orang yang awalnya ketakutan berubah menjadi kagum. Kejadian ini adalah keajaiban yang luar biasa. Gadis itu telah menyeberangi alam kematian untuk kembali bernafas. Cinta sang ayah dianggap terlalu kuat bagi semesta untuk melawannya sehingga Nala Turasih dikembalikan kepadanya.

Sekali lagi, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya sang Kala yang mampu menunjukkan wajah asli sebuah kebusukan.

Sang juragan menua dengan cepat. Ia melemah dan sakit-sakitan. Ia tidak mampu lagi untuk ikut andil dalam pekerjaan pertukangan di rumahnya. Sebagai akibatnya, tidak hanya kesehatannya yang menurun, perlahan kekayaannya pun ikut berkurang. Keuntungan perusahaan mandeg dan terjun bebas.

Pak Kuranji langsung berhenti berharap akan mendapatkan warisan dari bapak mertuanya. Sudah merupakan nasib dan takdirnya untuk hidup seperti ini, cukup dan tak berlebih. Bila diingat-ingat, memang sang istri, Tasmirah, bukanlah anak kandung juragan tebu atasan sekaligus bapak mertuanya itu.

Sang juragan menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Ia tak lagi menjadi pemilik perusahaan dan hanya mendapatkan secuil harta, berupa tanah dan rumah. Direksi memutuskan untuk menggantikan kepemimpinannya demi menyelamatkan perusahaan.

Tiga tahun setelah kebangkitan kembali Nala Turasih, sang ayah wafat.

Tinggallah sang ibu yang tak tahu menahu perihal mengurus rumah dan tanah. Suami pun tak meninggalkan kemampuan berniaga, berbisnis atau apapun yang membuat keluarganya bisa melanjutkan usaha keuangan.

Jengkal demi jengkal tanah dijual sampai sang istri meninggal.

Sebatangkara dan sendirian nampaknya Nala Turasih, meski telah menginjak usia dua puluhan tahun. Namun ia sejatinya tak pernah sendiri. Rumah besar itu tak pernah sepi.

Permohonan mendiang ayah kepada kekuatan gaib di dunia seberang sana langsung dikabulkan. Satu syaratnya saja. Mereka boleh mendiami tubuh Nala Turasih sebagai kendaraan menyebrang ke dunia nyata.

Serat Grha Pamujan - Lingga Ardiman

Bahkan sewaktu ia berumur belasan tahun, Nala Turasih sudah terlihat matang. Dadanya membulat sempurna dan penuh. Pinggulnya melengkung tegas dan indah. Dagingnya kenyal dan padat, seperti kesaksian dua mantan kekasih yang cukup beruntung sempat berpacaran dengannya.

Lingga Ardiman, yang adalah salah satu pegawai pabrik tebu sang ayah yang sering ditugaskan ke rumah besar sang juragan di desa Obong, juga menjadi saksi betapa memesonanya anak gadis itu.

Saat itu, Nala Turasih berumur enam belas tahun, tiga tahun setelah kebangkitannya dari kematian. Di waktu itu juga adalah masa dimana ayahnya sedang sakit-sakitan.

Lelaki berumur dua puluhan tahun itu menjadi sering ke rumah sang juragan untuk mengurus beragam keperluan pribadi maupun urusan perusahaan sejak atasannya tersebut mulai sering berada di rumah karena kesehatannya yang menurun drastis beberapa bulan terakhir. Intinya, pekerjaannya ini membuat ia lebih sering melihat dan bertemu dengan Nala Turasih.

Berbeda dengan desas-desus yang kerap ia dengar mengenai Nala Turasih bahwa anak kesayangan sang juragan itu disebut-sebut memiliki kegenitan dan kebinalan yang menurun dari ibundanya, menurutnya, Nala Terasih adalah seorang anak perempuan yang manis, sopan dan ceria. Memang bukan berarti Lingga Ardiman tidak setuju dengan pendapat banyak orang bahwa Nala Turasih memiliki tubuh seorang gadis yang telah masak bagai sebiji mangga matang.

Saat itu adalah di sore hari mendekati Magrib. Lingga Ardiman baru saja keluar dari kamar sang juragan sehabis melaporkan catatan pekerjaan dan meminta tanda tangan atasannya yang terbaring sakit-sakitan di atas tempat tidurnya itu. Ketika ia hendak pulang, sosok Nala Turasih lewat di depannya. Cahaya remang senja menyinari wajah sang gadis dengan lemah. Namun Lingga Ardiman yakin ia melihat Nala Turasih berpaling ke arahnya dan tersenyum.

Ia tak sempat membalas senyuman itu karena sosok sang putri juragan sudah menghilang di balik sisi bangunan rumah besar itu. Biasanya ia dan Nala Turasih tidak hanya bertukar senyuman dan sapa, mereka bahkan kerap mengobrol dan bercanda.

Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi Lingga Ardiman merasa ada dorongan untuk menemui gadis itu untuk paling tidak membalas senyumannya. Maka lelaki itu mengejar kemana sosok Nala Turasih menghilang.

Ketika Lingga Ardiman berbelok di salah satu sudut bangunan, ia menjadi sedikit bingung. Dalam cahaya redup senja, ia melihat sebuah lorong panjang dengan banyak pilar putih di samping dan lantai yang terbuat dari marmer. Masalahnya, sepengetahuan laki-laki yang telah sering bolak-balik ke tempat ini, ia belum pernah melihat lorong tersebut. Sekeras apapun ia mengingat, tak ada rekaman memori yang menunjukkan bahwa lokasi ini pernah ada di rumah sang juragan.

Lalu, kemana Nala Turasih tadi pergi kalau bukan ke lorong ini? Sedangkan ia baru saja melihat sang gadis beberapa detik lalu sebelum memutuskan untuk mengejarnya. Namun sekarang tidak terlihat tanda-tanda keberadaannya.

Dituntun oleh rasa penasaran, Lingga Ardiman berjalan menelusuri lorong marmer penuh pilar yang kesemuanya berwarna putih itu.

Hawa mendadak menjadi dingin. Tidak membekukan, namun menciptakan rasa merinding yang aneh. Seakan udara dingin itu merayap di permukaan kulitnya. Ia menggosok-gosok kulitnya dengan kedua telapak tangan untuk menciptakan rasa hangat.

Setelah beberapa saat berjalan, di ujung pandangannya ia melihat sosok yang diperkirakan sebagai Nala Turasih sedang berdiri membelakanginya. Lingga Ardiman tersenyum dan mempercepat langkahnya.

Ketika ia sudah cukup dekat, sosok yang ia duga adalah Nala Turasih itu masih membelakanginya tapi sudah mulai jelas terlihat oleh pandangannya. Namun, saat itulah pula Lingga Ardiman berhenti tiba-tiba beberapa langkah dari sang sosok. Ia merasakan sebuah kejanggalan dari sosok perempuan yang ada di depannya tersebut.

Ia memang tak ingat pakaian apa yang dikenakan Nala Turasih tadi, tapi biasanya gadis itu kerap mengenakan pakaian terusan yang jatuh dengan lembut, membuat bentuk lekuk tubuhnya tergambar jelas meski tak begitu tegas. Sedangkan, sosok perempuan di depan yang sedang membelakanginya tersebut mengenakan busana Jawa lama. Kebaya berwarna merah. Keremangan cahaya mentari senja yang redup sudah cukup untuk menunjukkan gambaran utuh sosok itu.

Keraguan atas kejanggalan ini perlahan berubah menjadi rasa takut manakala Lingga Ardiman menatap ke atas, ke belakang kepala sosok yang semua ia pikir adalah Nala Turasih itu. Dilihatnya lah bahwa sanggul yang dikenakan sang sosok sudah acak-acakan dan tidak terbentuk dengan baik dan rapi lagi. Ada bagian yang rambutnya tergerai dan kusut masai.

Tanpa sengaja, ia juga menebarkan pandangannya ke bawah. Sepasang kaki sosok itu tak beralas, kotor sepenuhnya oleh lumpur hitam yang mengering. Noda juga menghiasi bagian kain jarit yang dikenakannya.

Rasa takut menyerang dan menyergap Lingga Ardiman dengan segera tanpa ampun. Kini insting memaksanya untuk segera berbalik arah dan meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Sialnya, tepat ketika ia membalikkan diri itu bersamaan dengan sosok perempuan berkebaya merah itu yang juga berbalik menghadapnya.

Sepersekian detik Lingga Ardiman dapat melihat wajah pucat seputih kapas dan mata melotot merah menyeringai ke arahnya. Darah menetes keluar dari kedua mata dan bibirnya.

Lingga Ardiman merasa tak pernah setakut ini dalam hidupnya. Ia berusaha berlari sekencang-kencangnya. Namun yang terjadi, lorong putih dengan banyak pilar ini seperti memanjang dan tubuhnya seakan bergerak lambat sekali.

Seperti sebuah film yang diputar dengan slow motion, ia dapat melihat beragam jenis mahluk gaib nan mengerikan memunculkan diri mereka dari balik setiap pilar.

Ada sosok anak laki-laki dengan tubuh gosong terbakar. Kulitnya terkelupas kemerahan dan salah satu matanya hampir mencelat keluar. Di pilar lainnya ada sosok laki-laki yang mengenakan busana keprajuritan Jawa masa lampau tapi tanpa kepala menggenggam pedang di tangan kanannya. Ada pula sosok gendruwo bertubuh besar menjulang. Kepalanya hampir mencapai langit-langit lorong yang juga berwarna putih pualam. Tubuhnya penuh dengan bulu sedangkan sepasang matanya bulat lebar merah darah. Mulutnya dihiasi oleh sepasang taring yang mencuat keluar.

Lingga Ardiman berlari bagai orang kesurupan, tapi lorong itu tetap memanjang. Ia masih belum bisa mencapai ujungnya dan malahan terus ditontonkan dengan kemunculan mahluk-mahluk mengerikan lainnya. Pocong dengan kain putih lusuh oleh noda tanah meloncat keluar dari balik pilar, membuatnya berteriak terkejut dan ketakutan. Kuntilanak berambut panjang acak-acakan tertawa histeris dengan wajah begitu mengerikan ke arahnya. Ia juga hampir tersandung oleh sesosok hantu anak-anak perempuan yang busananya panjang menghalangi jalan lorong. Lingga Ardiman melompati kain busana hantu anak perempuan tersebut dan tak sengaja melihat bentuknya: wajah hancur tak berbentuk lagi, hanya berupa rongga besar di wajah yang dipenuhi gumpalan darah.

Ketika nafasnya serasa hendak habis, ujung lorong dengan sebuah belokan akhirnya terlihat. Lingga Ardiman mempercepat langkah larinya dan berbelok.

Sosok seorang perempuan berdiri tepat di depannya, membuatnya tercekat dan tersentak. Ia tak bisa lagi mengerem laju larinya sehingga menabrak tubuh perempuan itu.

Keduanya jatuh dengan tubuh Lingga Ardiman berada di atas tubuh sang perempuan.

Bau semerbak wangi melati memenuhi rongga hidung Lingga Ardiman, menutupi rasa sakit di lututnya yang menghantam lantai ketika terjatuh tadi. Detak jantungnya berpacu begitu cepat sampai ia hampir tak bisa bernafas lagi.

Namun bunyi desah sosok perempuan yang ia timpa itu mendadak menyadarkannya. Lingga Ardiman membuka mata dan melihat wajah ayu Nala Turasih ada di bawahnya, mengeluh dan merintih kesakitan karena terhimpit diantara tubuh Lingga Ardiman dan lantai.

"Mas Lingga, aku tidak bisa bernafas," keluh sang gadis dengan suaranya yang terengah-engah.

Serat Grha Pamujan - Teh Hangat

Lingga Ardiman tersadar dan buru-buru melepaskan dirinya dari posisi menindih sang gadis di lantai kemudian berdiri dan menjauh. "Maaf, maaf dek Nala. Mas tidak sengaja. Aduh, bagaimana ini ...," ujarnya panik dan merasa bersalah.

Nala Turasih mencoba duduk. Ia begitu lega karena nafasnya sudah tak tercekik lagi. Pakaian terusannya berantakan dan bagian bawahnya tersibak lebar.

Lingga Ardiman yang sudah merasa tak enak semakin merasa kikuk ketika tak sengaja melihat pemandangan itu: sepasang tungkai kaki Nala Turasih yang mulus bersih sekaligus dengan pangkal paha yang terpampang jelas.

Sang lelaki memalingkan muka tepat ketika Nala Turasih membetulkan bagian bawah busananya itu dan berdiri. "Mas Lingga kenapa sih lari-lari seperti itu? Sedang dikejar setan ya?"

Lingga Ardiman tersentak. Kata-kata Nala Turasih yang merupakan ekspresi kekesalan itu sebenarnya memang nyata adanya. Ia memang habis dikejar setan. Lebih dari satu bahkan. "Eh, maaf dek Nala. Itu, anu ..., mas tadi rasanya melihat dek Nala di sana, jadi maksudnya mas mau menyapa. Ternyata cuma lorong ...," ujar sang pemuda terlalu bingung untuk membalas dengan alasan apa.

"Apaan sih. Aku yang lihat mas jalan ke pojok rumah. Makanya aku kesini. Lagipula, mana ada lorong di sana, mas," balas sang gadis sembari masih menepuk-nepuk pakaiannya. Wajahnya menekuk cemberut karena sebal, walau masih terlihat sangat manis di mata si pegawai laki-laki itu.

Lingga Ardiman kemudian memandang ke arah dimana ia berjalan tadi. Benar memang seperti kata Nala Turasih. Lorong yang ia maksud ternyata tidak ada, pun tidak dengan ujung bangunan yang berbelok. Hanya ada jalan menuju ke sebuah tembok bagian dari ruangan lain. Satu-satunya akses adalah sebuah pintu masuk ke bangunan itu yang mana tak mungkin ia lakukan karena seingatnya, jalan berbelok itu ada di ujung bangunan.

Ia menggaruk-garuk kepalanya bingung.

"Atau, mas Lingga beneran dikejar setan, ya?"

"Ah, tidak, tidak. Bukan begitu dek Nala. Mungkin tadi mas salah lihat," balas Lingga Ardiman sedikit terbata.

Wajah manis Nala Turasih mendadak berubah menjadi lebih riang. Senyumnya mengembang lebar. Ada percikan kenakalan dan keusilan di sana. "Terus, setelah ketemu aku sekarang, mas mau apa?"

"Anu ..., mas ya, cuma mau menyapa, dek Nala. Kebetulan tugas mas sudah selesai dan mau pulang. Sudah magrib, nih," ujar Lingga Adiman.

"Jadi cuma mau menyapaku saja? Hanya itu?" tanya Nala Turasih. Kali ini senyumnya menghilang.

Kembali si pemuda pegawai sang ayah itu tercekat mendengar pertanyaan tersebut. Ia sama sekali tak bisa memperkirakan maksudnya. Nala Turasih seperti tidak menunjukkan tanda-tanda ia sedang bercanda atau menggoda. Namun, nada di dalam kalimat pertanyaan itu menunjukkan sebaliknya.

Lingga Adiman menengok ke wajah putri atasannya itu. Nala Turasih memaku dengan pandangannya yang bermakna misterius, membuat makin sulit bagi Lingga Adiman memahami arti apa sebenarnya pertanyaan itu. Mendadak detak jantungnya menjadi kembali cepat ditatap seperti itu. Bayangan tentang kejadian janggal yang ia alami beberapa saat sebelumnya kembali muncul ke permukaan.

Secara naluriah, Lingga Adiman perlahan menunduk dan mencoba melihat ke arah kaki Nala Turasih. Rasa takut yang bercampur dengan penasaran saling bertubrukan menjadikan tindakannya ini terasa begitu lama, bagai sebuah scene film yang diputar dengan slow motion.

Kaki telanjang gadis itu menapak tanah, menempel sempurna, tidak melayang.

Nafas Lingga Adiman tercekat ketika bahunya disentuh. "Mas kenapa?"

Lingga Adiman mendongakkan kepala dan melihat wajah ayu Nala Turasih berada dekat sekali di depannya. Wajah itu menatap dirinya dengan raut wajah bingung dan bertanya-tanya.

Namun semua sudah terlanjur. Bayangan akan mahluk-mahluk mengerikan dan tak bisa ia jelaskan itu kembali menghujani kepalanya. Lingga Adiman merasa pusing dan mual. Lututnya goyah dan otot-ototnya melemah.

"Mas, mas Lingga ...," terdengar suara Nala Turasih samar-samar mencoba menembus kesadaran Lingga Adiman yang sedang dalam keadaan mengambang gamang dan tubuh yang bergoyang serta pandangan mata meremang.

Wajah pemuda itu memucat seakan darah berlarian menjauh. Ia hampir saja jatuh bila Nala Turasih tidak mencengkram lengannya secara refleks meski dengan menjerit tertahan.

"Mas Linggaaa ...!" teriak Nala Turasih.

Lingga Ardiman langsung menjaga keseimbangan sebisa mungkin untuk kemudian dengan kedua tangannya menahan tubuhnya untuk duduk di lantai.

"Mas Lingga kenapa?" ulang Nala Turasih. "Mas pucat sekali. Mas sakit ya?"

"Ah, mas sepertinya kelelahan, dek Nala," jawab Lingga Ardiman. Ia harus segera merespon Nala Turasih dengan jawaban sewajar mungkin dan masuk akal. Ia pun belum bisa menjelaskan tentang keadaan yang tadi ia alami dan yang mempengaruhi tubuhnya sedemikian rupa.

"Ayo mas Lingga, ikut aku. Mas perlu istirahat dulu sebentar. Aku buatkan teh hangat," balas Nala Turasih. Tangan lembutnya memegang lengan atas Lingga Adiman dan coba membantunya berdiri.

Dengan keadaan yang masih sedikit puyeng, Lingga Ardiman mencoba berdiri. Mala Turasih yang sepertinya tahu bahwa tubuh pegawai ayahnya itu lemah dan tak seimbang langsung mengangkat lengan laki-laki itu dan melingkarkannya ke bahunya sehingga dapat membantu menjadi penopang tubuh.

Tubuh ramping Nala Turasih terasa nyata di lengan Lingga Ardiman. Aroma melati itu kembali menyeruak di penciumannya, tetapi bukan saatnya untuk memikirkan hal tersebut. Ia merasa sungguh-sungguh lemah dan tak berdaya. Jadi, bantuan Nala Turasih memang sangat diperlukannya.

Setelah beberapa langkah yang payah, Nala Turasih berhasil membawa Lingga Ardiman masuk ke dalam rumah. Laki-laki duduk di sebuah meja jati bundar di ruangan keluarga.

"Mas Lingga tunggu disini, ya. Aku kembali sebentar lagi," ujar Nala Turasih lembut.

Lingga Ardiman mengangguk lemah. Ia tak mau berbasa-basi segala menolak tawaran bantuan putri atasannya itu. Ia melihat punggung sang gadis menghilang ke ruangan lain sebelum tak lama telah kembali dengan nampan berisi gelas di atasnya.

"Mas Lingga, minum teh hangat ini dulu. Aku sengaja buat tak terlalu panas agar bisa segera mas minum," jelas Nala Turasih.

Benar saja, cairan pekat itu mengalir masuk ke kerongkongan Lingga Ardiman dan bergulir lancar. Kehangatan dan rasa nyaman menyebar ke seluruh tubuhnya. Otot-ototnya yang semula lemah tanpa daya perlahan terisi tenaga. Begitu pula wajah pucatnya kiri berangsur-angsur bercahaya.

Lingga Ardiman mereguk teh hangat tersebut dengan terlalu bersemangat sehingga tak lama iapun tersedak.

"Pelan-pelan, mas Lingga," Nala Turasih mendekat cepat dan mengelus-elus punggung Lingga Adiman ketika ia terbatuk-batuk.

"Ah, terimakasih, dek Nala, terimakasih. Mas tiba-tiba lemas tadi. Jadi tidak enak karena sudah merepotkan dek Nala," ujar Lingga Adiman jujur setelah batuknya mereda.

"Tidak apa-apa, mas Lingga. Lagian, mas Lingga bekerja terlalu keras sampai kelelahan seperti ini. Mbok tubuh itu dijaga, mas."

Lingga Ardiman mengangguk sebagai respon. Andai Nala Turasih tahu bahwa permasalahannya sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau cara ia bekerja. Bayangan aneh dan mungkin surealis yang ia tadi seperti sebuah mimpi buruk. Tiada logika yang berbicara dan mampu menjelaskannya, tetapi sebaliknya juga, ia yakin bahwa mahluk-mahluk itu ada.

Wajah cantik Nala Turasih yang terbalut dengan keremajaan itu masih berada dekat di sampingnya dan memandang penuh perhatian. Apa mungkin pikiran genitnya untuk mencoba mendekati putri sang juragan itu yang membuat mahluk-mahluk tak kasat mata di dalam rumah ini ikut genit mengerjainya pula?

"Dek Nala, terimakasih sekali lagi atas bantuannya. Tapi ini sudah menjelang malam. Mas pikir sudah saatnya buat pulang. Maaf karena telah merepotkan," ujar Lingga Ardiman sembari berdiri.

"Lho, mas. Sudah kuat, apa?" tanya Nala Turasih.

Lingga Ardiman sendiri memang merasakan tenaganya sudah kembali sempurna. Seakan-akan bagian rumah misterius dengan lorong tak nyata itu tadi lah yang menyedot habis kekuatan dan daya upayanya. Ia mengangguk ke arah Nala Turasih dan bergegas pergi. "Mas permisi, ya dek," ujar Lingga Ardiman berpamitan.

"Iya, mas, Lingga. Hati-hati ya. Jangan dipaksakan kalau masih tidak kuat," suara Nala Turasih mengiringi kepergian Lingga Ardiman.

Sembari menyela motornya, Lingga Ardiman memandang rumah juragannya yang bersinar oleh lampu-lampu yang baru saja dihidupkan itu. Malam perlahan menelan bangunan yang cukup akrab baginya sekaligus ternyata tetap memberikan ruang bagi banyak pertanyaan di benaknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!