Dentingan musik bertalu-talu memenuhi ruangan di rumah salah seorang gadis cantik yang sekarang sedang merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun. Semua orang tampak berjoget dengan riang, dengan segelas minuman yang menghiasi tangan mereka.
Di tengah-tengah keramaian, seorang gadis yang diketahui sang pemilik acara tiba-tiba mundur, menarik seorang lelaki yang merupakan bagian dari tamu undangan untuk dibawa menuju tempat yang lebih sepi.
“Lo ngapain bawa gue ke sini?” seru lelaki itu kesal karena si pemilik acara menganggu kesenangannya.
Gadis itu tidak segera menjawab, ia mendekatkan dirinya pada tubuh lelaki itu guna menajamkan penciumannya.
“Lo mabok, kan?” tuduhnya.
“Kalau iya kenapa?” balas lelaki itu malas. Ia kemudian meneguk kembali minuman beralkohol yang ada dalam genggaman tangannya.
Gadis itu tersenyum licik, “Gue punya hadiah buat lo.”
Lelaki itu menatap gadis yang berada di sebelahnya itu dengan sebelah alis terangkat.
“Lo mau nggak?” tanya gadis itu masih dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya.
“Apaan?” tanya lelaki itu.
Gadis itu menatap pada seorang gadis dengan balutan dress berwarna hijau mint yang hanya berdiri terdiam di dekat meja yang menyimpan banyak jenis minuman.
“Dia!” tunjuk gadis itu.
Gadis dengan balutan dress berwarna hijau mint itu melangkahkan kakinya memasuki sebuah kamar dengan tangan yang membawa tumpukan hadiah.
“Gelap banget,” gumamnya saat netranya tidak menemukan setitik cahaya.
Ia kemudian berjalan menyusuri dinding pada sisi kirinya guna mencari saklar. Namun, tiba-tiba pintu tertutup dengan kencang membuat gadis itu terkejut dan berlari menuju pintu namun pintu terkunci.
“Siapa di luar?” teriak gadis itu namun tidak ada yang menyahut.
Sebut saja gadis itu Lyra. Alyra Felicia Nalendra.
Lyra terus memutar knop pintu berharap pintu terbuka tanpa peduli dengan kota hadiah yang mulai berjatuhan.
“Tolong buka pintunya!” Lyra kembali berteriak namun tidak satupun seseorang merespon.
Lyra mulai merasa panik, ia membalikkan badannya dan kembali mencari saklar. tidak butuh waktu lama, Lyra akhirnya menemukannya, gadis itu segera menekan saklar tersebut hingga lampu pun menyala. Namun, betapa terkejutnya Lyra saat ia membalikkan badannya, seseorang telah berdiri di belakangnya.
“Haii, sayang,” sapanya.
Lyra menjatuhkan semua kado yang dibawanya, gadis itu segera menutup hidungnya saat bau alkohol tercium dari mulut lelaki itu.
“Lo siapa?” tanya Lyra ketakutan apalagi saat lelaki itu mengungkung tubuhnya.
“Masa lo nggak kenal sama gue si?” kata Lelaki itu sembari mendekatkan wajahnya pada wajah Lyra.
Lyra semakin dibuat ketakutan, kepalanya terasa pusing dan ia merasa sangat mual kala bau alkohol yang memenuhi indera penciumannya.
“Gue nggak tahu lo siapa, please jangan apa-apain gue,” suara Lyra terdengar gemetar membuat lelaki itu terbahak senang. Ia menarik tangan Lyra dan menjatuhkan gadis itu di atas ranjang yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Gapapa lo nggak kenal sama gue, yang penting malam ini kita bersenang-senang,” ujarnya sembari membelai lembut wajah Lyra.
Air mata Lyra jatuh detik itu juga, ia benar-benar merasakan takut yang luar biasa. “Siapapun tolong gue!” teriak Lyra.
Melihat tatapan penuh nafsu dari lelaki yang kini berada di atasnya itu membuat Lyra benar-benar ketakutan. Sekuat tenaga ia memberontak namun tenaganya tak cukup kuat untuk melawan lelaki yang ada di atasnya itu.
“Tolongin gue, siapapun tolongin gue!” teriak Lyra dengan berderai air mata namun tak satupun ada yang merespon.
“Kamu hanya membuang-buang tenaga, ini lantai tiga dan kamar ini kedap suara mana mungkin ada orang yang mendengar suara kamu,” ujar lelaki itu.
Lyra menggelengkan kepalanya dengan air mata yang terus mengalir, “Gue mohon lepasin gue,” pinta Lyra memohon.
“Gue suka sama lo, lo cantik dan—” lelaki itu menggantungkan ucapannya. Tangannya tergerak untuk mengusap lembut paha putih milik Lyra yang terekpos memanjakan mata.
“Ini terlalu sayang untuk sia-siakan,” imbuhnya.
Ia kemudian menarik tubuhnya yang condong untuk mulai melepaskan kancing kemeja yang ia kenakan. Hal itu membuat Lyra segera bangkit dari posisinya guna mencari kunci.
“Kamu tidak akan menemukan kunci apapun di sini, darling,” kata lelaki itu yang sudah melepaskan pakaian atasnya. Ia kembali menarik tangan Lyra dan menjatuhkan gadis itu di atas ranjang.
Lyra menangis ketakutan, ia terus memberontak saat lelaki yang tidak ia ketahui namanya itu mulai menciumi lehernya.
Lyra yang terus memberontak membuat lelaki itu marah, “Apakah kamu tidak bisa diam, babby?” ujarnya penuh nafsu.
“Gue mohon lepasin gue, siapapun tolongin gue!” ujar Lyra namun hal itu justru membuatnya mendapati hadiah berupa tamparan pada pipi kanannya.
“Gue bilang diem!” bentak lelaki itu membuat Lyra bungkam seketika.
Ia memejamkan matanya, pasrah dengan segala hal yang akan menimpa dirinya. Kedua tangan Lyra meremas sprei pada sisi kanan kirinya saat lelaki yang tidak ia kenal itu terus mencumbui dirinya bahkan mulai menarik pakaian yang ia kenakan.
“Mari kita mulai babby,” itu lelaki itu sembari mengusap lembut wajah Lyra.
...***...
Lyra mengetuk pintu rumahnya dengan keadaan yang berantakan. Waktu sekarang menunjukkan pukul tiga dini hari.
Dengan kaki telanjang, rambut berantakan, serta air mata yang terus bercucuran Lyra berjalan pulang dari rumah temannya yang mengadakan pesta.
Lima menit menunggu, pintu juga tidak terbuka membuat Lyra mengetuk lebih keras hingga terdengar sura dari dalam.
“Sabar!”
Pintu pun terbuka diikuti oleh seorang wanita setengah baya yang terlihat masih sangat mengantuk.
Lyra langsung menangis detik itu juga membuat wanita setengah baya itu tersadar sepenuhnya. Ia kemudian menatap Lyra dari ujung kaki hingga kepala.
“Astagfirullahaladzim, kamu kenapa?” ujarnya syok.
Pasalnya, tadi putrinya itu berangkat bersama dengan teman-temannya dalam keadaan baik-baik saja lantas kenapa sekarang ia pulang dalam keadaan berantakan?
“Mama,” lirih Lyra dengan air mata yang lagi-lagi membanjiri wajahnya.
Renata, Mama Lyra segera menarik putrinya untuk masuk ke dalam rumah tak lupa pula ia mengunci pintu rumahnya. Ia segera membangunkan suaminya hingga kini Lyra dan kedua orang tuanya berkumpul di ruang keluarga.
Lyra terus menangis sembari memeluk Renata sementara wanita setengah baya itu mencoba untuk tetap tenang pun dengan Affandi, Papa Lyra.
“Sayang, kamu kenapa? cerita sama mama,” ujar Renata sembari merapikan rambut putrinya.
Setelah tangisnya cukup reda, Lyra menarik tubuhnya dari sang mama, gadis itu menatap menunduk tidak berani menatap kedua orang tuanya.
“Lyra!” suara Affandi terdengar menyentak telinga Lyra.
“Lyra udah nggak suci lagi,” ujarnya lirih.
Renata dan Affandi syok mendengar pernyataan yang keluar dari mulut putrinya. Tubuh Renata membeku dengan nafas tercekat, matanya pun membola dengan sempurna.
“Lyra minta maaf, Pa, Ma,” sambung Lyra.
Affandi ingin marah mendengar perkataan putrinya barusan, namun sebisa mungkin ia menaha diri agar tidak memahami putrinya itu. Affandi menarik nafasnya dalam, ia lantas mendudukkan dirinya pada sisi putrinya, “Kamu ceritakan semuanya dari awal!” titah Affandi.
Lyra menarik nafas dalam, ia lantas mulai menceritakan serentetan kejadian yang menimpa dirinya. Renata yang mendengar cerita putrinya sudah menangis sementara Affandi semakin dibuat emosi.
“Lyra takut, Ma....” Lirih Lyra sembari menatap sang mama.
Renata kembali memeluk putrinya dengan erat. Sesungguhnya, ia marah dengan apa yang menimpa putrinya namun semuanya sudah terlanjur terjadi.
“Besok papa akan lapor polisi, kamu ikut papa untuk memberikan pernyataan!” ujar Affandi.
Mendengar itu Lyra segera melepaskan diri dari dekapan sang mama. Ia menatap sang papa sembari menggelengkan kepala.
“Jangan, Pa!” pinta Lyra.
“Ini adalah tindakan pelecehan, Lyra! Kamu berhak mendapatkan keadilan atas apa yang sudah menimpa kamu!” seru Affandi.
Lyra terus menggeleng sembari menangis.
“Lyra nggak mau, Pa!”
“Dia ngancem kamu?” tanya Affandi.
Lyra mengangguk, “Iya, kalau sampai Lyra lapor sama polisi maka dia akan menyebarkan ke seluruh sekolah kalau Lyra sudah dilecehkan sama dia,” jelas Lyra sembari mengingat ucapan lelaki itu sebelum mengakhiri permainannya.
Flashback On
“Jangan lapor polisi atau gue sebarin ke seluruh sekolah kalau lo udah nggak suci lagi, lo gadis yang sudah rusak!”
“Gue nggak main-main, gue udah nggak peduli sama nama baik gue. Karena lapor polisi sama dengan menghancurkan nama baik gue dan gue juga nggak akan segan-segan untuk menghancurkan nama baik kita bersama.”
Flashback Off
Seharian penuh, Lyra mengurung diri di dalam kamar dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Kejadian malam itu benar-benar membuat Lyra down.
Beberapa kali, Renata mengetuk pintu kamar Lyra namun tidak ada sahutan dari siempunya. Seperti sekarang ini, Renata kembali mengetuk kamar putrinya itu untuk mengantarkan makanan karena semenjak pagi, putrinya itu sama sekali belum keluar kamar.
“Lyra sayang, buka pintunya nak!” pinta Renata namun Lyra tidak menanggapi. Gadis itu semakin memeluk erat lututnya, meringkuk di balik selimut tebal sembari menangis.
“Sayang, kamu seharian belum makan, ayo makan dulu,” Renata dengan sabar membujuk Lyra namun sama sekali tidak ada tanggapan.
Affandi menghampiri istrinya, mengelus lembut bahu istrinya, “Masih belum mau keluar?”
Renata menganggukkan kepala.
“Ya sudah, biarkan aja dulu, Lyra butuh waktu,” ujar Affandi. Lelaki itu mengambil alih nampan berisi makanan yang dibawa Renata kemudian mengajak istrinya itu untuk turun menuju lantai satu.
Pasangan tengah baya itu kemudian mendudukkan dirinya pada meja makan dengan posisi saling berhadapan.
“Lyra punya asam lambung, Mas,” ujar Renata cemas.
Affandi mengerti perasaan khawatir istirnya namun ia sendiri juga tidak bisa memaksa putrinya. Perasaan putrinya itu pasti sangat hancur, dan putrinya butuh waktu untuk menerima semua yang sudah dialaminya.
Affandi menggenggam kedua tangan Renata yang tersimpan di atas meja, diusapnya lembut punggung tangan tersebut menggunakan telapak tangannya.
“Sekarang ini, Lyra pasti sangat terpukul, hal ini benar-benar tidak mudah untuk bisa dilewati dan diterima. Jadi, kita harus kasih Lyra waktu untuk menenangkan dirinya, ya?”
Renata tidak merespon, hatinya terus merasa resah.
“Mas, punya kunci cadangan kamar Lyra, kan?”
“Iya ada.”
Renata segera bangkit dari kursi yang ia duduki hingga membuat genggaman tangan Affandi terlepas.
“Ayo kita buka pintunya sekarang, aku benar-benar takut kalau sampai dia kenapa-kenapa.”
Affandi menghela nafas panjang, ia menatap istirnya sejenak membuat istirnya itu mendesak dengan tidak sabar. Ia pun akhirnya bangkit dari posisinya, bergegas mengambil kunci cadangan kamar Lyra lantas kembali menuju kamar putrinya itu.
Pintu akhirnya berhasil terbuka, segera Renata memasuki kamar putrinya dan betapa terkejutnya ia saat mendapati putrinya tergeletak di atas lantai dengan tangan kanan berlumuran darah.
“Lyra ya Allah!” pekik Renata sembari berlari menghampiri putrinya.
Wanita setengah baya itu langsung merobek baju yang ia kenakan kemudian ia ikatkan pada lengan Lyra untuk menghentikan pendarahan.
“Mas, ayo cepat kita bawa Lyra ke rumah sakit!” pinta Renata dengan berlinang air mata.
Affandi segera mengambil alih putrinya untuk ia gendong menuju mobil diikuti Renata. Bahkan, Renata sampai tidak sempat untuk mengganti pakaiannya. Ia sudah tidak peduli dengan penampilannya yang terpenting sekarang adalah nyawa putrinya.
“Mas ayo cepet!” pinta Renata saat mobil mulai melaju meninggalkan pekarangan rumahnya, membelah jalanan kota yang lumayan padat sore itu.
Renata terus menangis sembari mengusap lembut puncak kepala Lyra. Hatinya begitu sakit melihat putrinya yang begitu menderita.
Tiga puluh lima menit lamanya, mobil yang dikendarai Affandi akhirnya tiba di salah satu rumah sakit kota yang paling dekat dengan rumahnya. Segera Affandi mengeluarkan putrinya dan meminta bantuan suster yang memang sudah sigap menyambut kedatangan Lyra.
Lyra pun dibawa menunju ruang gawat darurat untuk segera diperiksa dan diobati lukanya sementara Renata dan Affandi menunggu di luar ruangan.
Affandi memeluk erat istirnya yang kini menangis hebat karena putrinya. Tangannya terus bergerak untuk mengusap lembut bahu sang istri yang terus bergetar.
Affandi sendiri merasa tidak tenang, hatinya diselimuti perasaan khawatir namun sebisa mungkin ia tidak sepanik istirnya. Keadaan akan sangat tidak baik-baik saja jika ia ikut menangis bersama istrinya.
Dua puluh menit kemudian, dokter akhirnya keluar. Affandi bersama Renata segera berdiri dan mendekati sang dokter untuk menanyakan keadaan putrinya.
“Maaf, sebelumnya apakah pasien mengalami kekerasan?” tanya sang dokter.
Renata mengangguk, “Iya dokter.”
“Pasien sangat sedih dan kemungkinan mengalami depresiasi. Salah satunya adalah melakukan tindakan untuk mengakhiri diri. Dan juga, asam lambung pasien naik, tampaknya pasien sudah tidak makan dalam kurun waktu yang cukup lama.”
Lyra sangat sedih mendengar penjelasan dokter.
“Apa kita boleh melihat keadaan putri saya, Dok?” tanya Affandi.
“Setelah pasien dipindahkan ke ruang inap, pasien sudah boleh untuk dijenguk.”
“Baik, terima kasih, Dok,” ujar Affandi.
Dokter yang menangani Lyra pun mengangguk kemudian kembali memasuki ruangan gawat darurat untuk menyiapkan Lyra pindah menuju ruang inap.
...***...
Malam harinya, Lyra sudah tersasar. Kini, gadis itu hanya terdiam sembari menatap kosong keluar jendela.
“Sayang, makan ya mama suapin?” ujar Renata namun Lyra membalas dengan gelengan kepala. Gadis itu sama sekali tidak mau mengeluarkan suara.
Renata menghela nafas panjang, ia kemudian meletakkan bubur yang dibawanya di atas nakas yang berada di sisi ranjang. Renata menghampiri suaminya yang tampak sibuk dengan ponselnya di atas sofa.
“Mas,” panggil Renata sembari menyandarkan kepalanya pada pundak sang suami.
“Kenapa sayang?”
“Nanti kamu minta sama dokter Davin buat carikan psikiater untuk Lyra, ya?” pinta Renata.
“Iya, aku udah bilang sama dokter Davin, katanya malam ini psikiaternya bakal datang.”
Renata mengangguk mendengar penjelasan sang suami. Ia lantas menarik kepalanya dari bahu sang suami. Ditatapnya Lyra dengan tatapan penuh kesedihan namun tersirat rasa syukur di hati Renata karena putri semata wayangnya itu masih bisa diselamatkan nyawannya.
Suara ketukan pintu terdengar membuat Affandi mempersilahkan tamu untuk masuk. Ternyata itu adalah dokter Davin bersama dengan seorang perempuan cantik yang tampak masih muda.
“Permisi, Tuan dan Nyonya Nalendra,” ujar Dokter Davin sopan.
“Dokter Davin,” ujar Affandi sopan.
“Tuan, Nyonya, ini Nona Clara, dia psikiater yang akan membantu Nona Lyra untuk memulihkan kondisi mentalnya,” terang Dokter Davin.
“Clara,” ujar Clara sopan sembari mengulurkan tangan yang langsung disambut hangat oleh Renata dan Affandi secara bergantian.
“Dokter Clara, saya minta tolong bantuin putri saya, ya, Dok,” ujar Renata.
“Saya pasti akan berusaha yang terbaik untuk pasien, Ibu,” jelas Clara.
“Tapi sebelum saya berbicara dengan Nona Lyra, bisakah saya berbicara dengan bapak dan Ibu?” sambung Clara sembari menatap bergantian pada Affandi dan Renata.
“Tentu saja,” balas Renata.
“Lebih baik kita mengobrol di ruangan saya, Pak, Buk,” ujar Clara.
“Tapi, Lyra?”
“Saya akan membantu Tuan dan Nyonya Nalendra untuk menjaga Nona Lyra,” kata Dokter Davin.
“Aku tidak mau!” seru Lyra tiba-tiba bersuara membuat Renata segera menghampiri putrinya itu.
“Sayang, akhirnya kamu mau buka suara,” ujar Renata senang.
Lyra menatap takut pada dokter Davin yang langsung terbaca oleh Dokter Clara.
“Hmm, sepertinya setelah ini Dokter Davin tidak bisa lagi menjadi dokternya Nona Lyra,” ujarnya.
“Tidak apa-apa, nanti biar saya minta perawatan untuk menjaga Nona Lyra,” kata Dokter Davin.
“Baiklah, terima kasih, Dokter Davin,” kata Affandi yang langsung dijawab anggukan oleh dokter Davin.
“Kalau begitu saya permisi,” pamit Dokter Davin kemudian berlalu pergi meninggalkan Lyra bersama kedua orang tuanya dan Dokter Clara.
***
Gess aku lagi sedih, hibur aku dengan vote komen kalian dongg :)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!