Bulan Desember tahun 1991.
Surat kabar harian menyebarkan berita, seorang pengusaha bernama Sumiran dinobatkan sebagai laki-laki terkaya di Kota T. Dalam berita itu pun diceritakan kalau dulunya sang pengusaha hanyalah bocah miskin dari pedesaan di daerah selatan. Mengawali bisnisnya dari jasa sol sepatu di pasar tradisional. Siapa sangka, kini Sumiran menjelma menjadi pengusaha sepatu kulit yang teramat sangat kondang kawentar hingga mancanegara.
Rumah Sumiran berdiri megah tak jauh dari alun-alun kota. Pagar besi hitam terlihat kokoh menjadi benteng rumah yang berdiri di atas lahan 2 hektare dengan dua pohon pule besar di halaman depan. Suara gemericik air kolam ikan khoi pemberian dari rekan bisnis, terdengar hingga ke jalan umum menimbulkan suasana adem saat langit tengah mendung berawan.
Bersama isterinya yang masih muda belia, sang konglomerat duduk di teras depan rumah sambil membaca surat kabar. Kumisnya yang lebat nampak bergerak-gerak liar mengikuti bibirnya yang menyunggingkan senyuman.
"Lihat sayang, suamimu sekarang menjadi orang nomor satu di kota ini," ucap Sumiran bangga.
Sang istri yang bernama Melati terlihat acuh, tak menanggapi perkataan Sumiran.
"Kamu kok diam saja? Seharusnya bangga doong," gerutu Sumiran.
"Aku seneng Mas, sampeyan kaya. Tapi aku juga khawatir." Melati menatap taman hijau di hadapannya. Nampaknya dia gusar. Cekungan matanya menghitam, seolah dia kurang tidur.
"Khawatir apa? Hmm?" tanya Sumiran.
"Ya khawatir saja. Kamu jadi pusat perhatian sekarang. Aku nggak suka kalau nantinya ada yang mengulik masa lalumu. Masa lalu kita. Gimana kalau akhirnya ada yang tahu tentang hubungan kita dulu dimulai dari sebuah kesalahan," sambung Melati lirih.
"Halahh! Kalau ada yang berani macam-macam denganku atau padamu, siap-siap sengsara seumur hidupnya selama tinggal di kota ini," tukas Sumiran sambil mengusap-usap kumisnya.
"Aku itu hanya ingin hidup tenang Mas." Melati beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam rumah.
Sumiran memandang kepergian Melati dengan tatapan sinis. Dengan kasar dia membanting surat kabar ke atas meja bulat di hadapannya.
"Wong wadon, cerewet! Masih untung aku masih ada hasrat padamu!" gumam Sumiran kesal.
Belum reda rasa kesalnya, Sumiran menyadari tidak ada kopi gula aren kesukaannya di atas meja. Semakin memerah wajah laki-laki yang sudah berusia kepala lima itu menahan amarah.
"Surtiiiii!" teriak Sumiran. Suaranya menggelegar terdengar dari bagian depan hingga ujung belakang rumah.
Sosok perempuan mengenakan batik motif cengkeh nan lusuh berjalan tergopoh-gopoh. Kaki kirinya sedikit pincang, sehingga terlihat lamban dalam melangkah.
"Njih Ndoro." Sang pembantu bernama Surti bersimpuh di hadapan Sumiran.
"Njih mat*mu! Mana kopi ku?" bentak Sumiran.
"Tadi pagi setelah bangun tidur kan sudah minum kopi manis. Kata Nyonya lebih baik Ndoro mengurangi minum yang manis-manis berlebihan," ucap Surti ragu-ragu.
"Cangkeman! Kenapa nurut kata Nyonya? Aku yang membayarmu! Nurut sama aku! Mau tak pecat?," ancam Sumiran.
"Ngapunten Ndoro, anak saya masih SD. Butuh biaya untuk sekolah, Ndoro. Jangan pecat saya. Maafkan saya." Surti mengiba, tak menduga hal sepele membuat mata pencahariaannya terancam. Padahal masih pagi, tapi sang Tuan sudah penuh amarah di hatinya.
"Halah, sekolah untuk apa. Aku nggak sekolah tinggi juga bisa jadi boss. Yang penting itu relasi, dan pandai melihat peluang Surti," ejek Sumiran.
"Njih Ndoro," sahut Surti mengangguk. Dia tak berani membantah lagi. Surti sadar betul kepribadian Tuan nya itu tergantung suasana hati. Kalau sedang mood nya baik, Sumiran bagai malaikat. Tak jarang dia berbagi uang dengan cuma-cuma. Tapi saat moodnya buruk seperti saat ini, salah sedikit saja Surti benar-benar bisa kehilangan pekerjaannya.
"Cepat buatkan aku kopi. Terus satu lagi panggil si Santoso kemari. Aku mau main catur dengannya!" perintah Sumiran.
"Maaf Ndoro, Santoso tidak masuk hari ini," jawab Surti cepat.
"Lhah? Nggak biasanya dia bolos kerja. Baru juga kemarin kupuji paling rajin, ternyata mbelgedhes juga. Yasudah sana!" hardik Sumiran mengusir pembantunya. Surti segera beringsut mundur. Hatinya terasa perih memiliki majikan yang memperlakukannya dengan semena-mena.
__
Jam 3 sore, hujan turun dengan sangat lebat. Jalanan begitu lengang nan sepi. Warung-warung tenda di sekitar alun-alun nampak nyaris tanpa pengunjung. Di salah satu sudut alun-alun terparkir mobil kijang berwarna merah maroon. Ada 6 orang yang berdiam di dalamnya.
Enam orang laki-laki berbadan tegap memakai setelan pakaian serba gelap. Raut wajah mereka tegang semua. Bahkan salah satu yang duduk di kursi belakang nampak menunduk sambil memegangi kepalanya sendiri.
"Apa kalian yakin akan melakukan semua ini?" tanya laki-laki yang tengah terduduk di kursi belakang.
"Kamu tahu kisah robinhood kan?" Laki-laki di belakang kemudi balik bertanya. Semua orang terdiam, suasana benar-benar hening kini. Hanya bunyi air hujan yang menghantam talang air mobil yang terdengar nyaring.
"Robinhood mencuri milik si kaya yang lalim untuk dibagi-bagikan kepada yang membutuhkan," ucap laki-laki di belakang kemudi.
"Terus, apa hubungannya dengan kita?" tanya laki-laki yang duduk di kursi tengah. Tubuhnya kurus, dengan tulang pipi yang menonjol lancip.
"Kita pun akan melakukan pencurian pada si Kaya yang lupa darimana dia berasal. Lupa akan orang-orang yang membantunya dulu," jawab laki-laki di belakang kemudi.
"Tapi kita kan tidak membagikan hasilnya nanti pada orang-orang yang membutuhkan," bantah laki-laki yang tertunduk di kursi paling belakang.
"Lha memangnya kita bukan orang-orang yang membutuhkan? Hah? Anakku sakit butuh biaya pengobatan! Bapakmu terlilit hutang pada rentenir. Apa kamu nggak butuh duit? Apa Sumiran ingat dengan nasib kita? Bahkan aku pernah menemuinya beberapa minggu yang lalu, dan dia hanya tersenyum sinis padaku. Jadi, kurasa tidak ada salahnya meminta sedikit uangnya untuk berbagi dengan kita!" Orang yang duduk di belakang kemudi membentak. Suaranya kencang, tapi tetap kalah dengan bunyi derasnya rintik hujan.
"Bulatkan tekad. Kita berangkat! Mana topeng untuk penyamarannya?" laki-laki di belakang kemudi terus memerintah. Sepertinya dia merupakan seorang leader dalam gerombolan tersebut.
Laki-laki berambut ikal di kursi tengah terlihat merogoh kolong bawah kakinya. Dia mengambil sebuah tas hitam dan segera membukanya. Nampak topeng berwajah putih dengan hidung merah besar bagai tomat. Sebuah topeng badut.
Laki-laki di belakang kemudi tersenyum sekilas, kemudian menginjak pedal gasnya secara perlahan. Mobil melaju cukup kencang membelah jalanan yang penuh genangan air. Mobil bergerak lambat saat mencapai kompleks perumahan elite milik Sumiran.
"Tapi tolong, jangan sakiti Tuan Sumiran," pesan laki-laki yang duduk di kursi paling belakang.
"Nggak boy. Tenang saja. Selesai kita menguras harta bendanya yang ada di dalam rumah, kita segera cabut!" Jawab laki-laki yang duduk di belakang kemudi.
"Sumiran sangat baik padaku selama ini," sambung laki-laki yang duduk di kursi paling belakang.
Hujan kembali turun dengan derasnya.
Bersambung___
Bulan November tahun 2021.
Sepasang kaki melangkah gontai melewati jalanan aspal penuh lubang. Sayup-sayup terdengar suara adzan maghrib berkumandang di kejauhan. Beberapa orang terlihat berpakaian rapi menuju ke masjid. Berbeda dengan laki-laki berwajah lusuh yang kini tengah melangkah tanpa alas kaki menyusuri jalanan pasar kecamatan yang kumuh.
Namanya Wildan. Berusia tiga puluh tahun. Seorang pengangguran yang bercita-cita sukses dengan cara berjudi. Begitupun sore ini. Dia menenteng ayam jagonya yang berwarna merah mengkilap. Wildan memberinya nama Jawara.
Setiap hari Wildan mencekoki Jawara dengan ramuan jahe merah dan serangga tawon. Berharap ayam jago itu bisa garang dan menang dalam judi sabung ayam. Namun seperti yang sudah dapat diduga, tidak ada perjudian yang membawa kesejahteraan. Jawara menang satu kali dan kalah berturut-turut hingga sore ini.
Wildan pulang dengan kekalahan. Uang yang tadinya tersisa satu lembar berwarna merah sudah raib untuk bertaruh. Hanya ada Jawara dengan wajah penuh luka yang menemani Wildan kini.
Wildan mendongak menatap langit. Dia ingin menangis sejadi-jadinya. Di usianya yang sekarang, Wildan merasa hanya menjadi sampah di masyarakat. Saat semua teman SMA nya dulu sudah berumahtangga, dia malah bertingkah seperti bocah. Jangankan berumahtangga, pekerjaanpun dia tak punya.
Wildan menghentikan langkah di salah satu emperan kios yang tutup. Dia menyandarkan tubuhnya di pintu seng yang sedikit berkarat. Wildan menurunkan Jawara dari gendongannya. Ayam jago itu tertunduk lemah, kehabisan tenaga.
"Namamu Jawara, tapi kalah terus. Seharusnya kuberi nama kamu Wildan saja. Sama sepertiku, orang yang selalu kalah dan gagal." Wildan menggerutu sambil menatap Jawara yang terlihat tak berdaya.
Saat Wildan tengah asyik dengan ayam jagonya, datanglah Pak Anwar seorang guru ngaji yang hendak pergi ke masjid. Melihat kondisi Wildan, Pak Anwar geleng-geleng kepala.
"Dan, cepet pulang mandi terus kalau keburu datanglah ke masjid," ucap Pak Anwar memberi nasehat. Wildan pura-pura tak mendengar.
"Kamu itu dulu pinter, paling pinter di antara murid-murid yang pernah belajar ngaji padaku. Tapi sekarang kok keblinger kayak begini." Pak Anwar kembali geleng-geleng kepala.
Wildan tak menyahut, menoleh pun tidak. Akhirnya, Pak Anwar pergi berlalu dengan hatinya yang penuh keprihatinan.
"Berisik! Hal paling mudah dilakukan di dunia ini adalah mengomentari hidup orang lain kakek tua," gerutu Wildan setelah Pak Anwar pergi.
Wildan kembali berjalan, masuk gang sempit di sebelah pasar. Dia menghindar bertemu orang-orang yang hendak berangkat ke masjid. Apalagi kalau sampai berpapasan dengan orangtua Ika, bisa semakin malu nantinya.
Wildan sebenarnya memiliki paras yang tampan. Kulitnya bersih dengan hidung mancung. Meskipun jarang berolahraga tubuhnya pun nampak tegap dan cukup atletis. Dulu dia memiliki pacar dari masa SMA namanya Ika.
Wildan dan Ika berhubungan sudah cukup lama. Bahkan sempat menjalani kisah LDR kala Ika harus kuliah di luar kota. Setiap sebulan sekali mereka bertemu. Ika selalu janjian dengan Wildan saat pulang dari asramanya. Mereka bertemu di terminal bis dan menyewa hotel murah di sekitar sana.
Semua itu mereka jalani selama bertahun-tahun, hingga akhirnya petaka terjadi. Hubungan asmara itu diketahui oleh ayah Ika. Wildan sempat dijebloskan ke penjara selama 5 bulan 15 hari dengan tuduhan membawa lari perempuan dengan tipu muslihat. Sejak saat itu, hubungan Ika dan Wildan kandas. Ika kini sudah berumahtangga tak jauh dari kampung Wildan.
Mengingat pahit getir hidupnya, tanpa terasa air mata menetes di pipi Wildan. Langkahnya yang lemas dan gontai membawa Wildan sampai di pekarangan sempit rumah beratap asbes dengan dinding tembok yang belum diplester. Wildan menjatuhkan tubuhnya di kursi 'menjalin' yang ada di sudut teras depan. Jawara dia biarkan terduduk lemas di bawah kursi.
Wildan menempati rumah kecil itu bersama Bapaknya yang sudah tua. Namanya Pak Umar. Usianya tepat menginjak 70 tahun di bulan ini. Ibuk Wildan sudah lama meninggal.
Dulu sewaktu SD Wildan sempat merasakan menjadi anak orang kaya. Pak Umar terbilang sukses dengan toko alat pancingnya. Namun, saat Wildan kelas 4 SD sang Ibu meninggal tanpa alasan yang jelas. Ingatan Wildan samar-samar kala itu. Seingatnya sang Ibu ditemukan di tepi jalan raya dalam keadaan tak bernyawa.
Setelah hari itu Pak Umar berubah. Hidupnya berantakan. Alkohol adalah tempat pelariannya. Toko alat pancing terbengkalai, begitupun pendidikan dan kehidupan Wildan menjadi tak terurus. Toko dan rumah besar yang mereka tempati disita oleh bank. Pak Umar akhirnya membeli rumah kecil yang hingga kini mereka tempati.
Wildan mengingat masa kecilnya sebagai kehidupan yang penuh kebahagiaan. Sedangkan masa remaja merupakan masa kelam yang ingin dia lupakan. Hampir tiap malam dia harus mengurus sang Bapak yang tertidur di halaman rumah sepulang dari tempat mabuk-mabukan.
Seringkali Wildan mendengar Pak Umar meracau dalam keadaan tak sadarkan diri. Pak Umar kerap menyebut soal topeng badut dan nama-nama asing yang tak pernah Wildan kenali. Pak Umar sering pula menyebut kematian sang isteri karena seseorang bernama Sumiran.
Langit yang mulai gelap membuat Wildan tersadar lampu rumah belum dinyalakan. Rumah yang nampak tak terawat semakin terlihat kumuh dan suram.
"Paakk? Lampu belum nyala lhoo," teriak Wildan memanggil Pak Umar.
Suasana hening, tidak ada jawaban dari dalam rumah. Wildan mengernyitkan dahi, karena dia yakin Bapaknya ada di dalam. Tapi kenapa rumah dibiarkan gelap gulita? Wildan beranjak dari kursi dan melangkah ke dalam ruang tamu.
Ruang tamu benar-benar gelap. Wildan mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba membiasakan netra dalam pekatnya kegelapan. Wildan meraih saklar di tengah ruangan. Dia menyalakan lampu ruang tamu dan teras depan.
Kini terlihat jelas, tidak ada siapapun di ruang tamu juga di depan TV. Wildan tak menemukan sang Bapak yang biasanya di waktu maghrib hanya duduk melamun. Tak mungkin rasanya orangtua yang sudah lansia itu keluar rumah saat hari sudah gelap.
"Pak? Bapak tidur?" teriak Wildan. Dia berjalan mendekati bilik kamar di bagian belakang dekat dapur.
Wildan mengetuk pintu kamar Pak Umar beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Dia menempelkan telinga di daun pintu berbahan kayu sengon yang nampak usang.
Dok. . .
Dokk
Dookkk
Terdengar suara ketukan yang berjeda dari dalam kamar. Seperti bunyi seseorang yang tengah memukul dinding dengan palu.
"Pak? Bapak ngapain?" tanya Wildan sekali lagi.
Suasana masih tetap hening. Tak ada jawaban dari dalam kamar.
"Pak? Wildan masuk ya?" teriak Wildan sekali lagi.
Wildan meraih kenop pintu kamar dan mendorongnya perlahan. Kamar yang terasa pengap dengan aroma sedikit pesing menguar di udara. Wildan segera meraih saklar dan menyalakan lampu.
Pemandangan di dalam kamar Sang Bapak, membuat dada Wildan terasa sesak. Kaki Pak Umar menjuntai di tengah ruangan terombang ambing menyentuh dinding kamar menghasilkan bunyi ketukan yang berjeda. Sang Bapak telah tiada, tergantung pada seutas tali kabel yang terpaku dengan langit-langit kamar.
"Bapaaakkk!" pekik Wildan pilu.
Wildan menatap nanar wajah Bapaknya yang membiru. Laki-laki sepuh itu kini sudah tak bernafas, terbujur kaku dan dibaringkan di atas dipan ruang tamu. Banyak tetangga sekitar dan warga yang berkumpul. Termasuk Pak Kasun dan anggota kepolisian.
Wildan hanya bisa menangis. Kini dia merasa tak punya siapa-siapa lagi di dunia. Usianya memang sudah dewasa, tapi rasa takut akan kesepian membuatnya tersedu, menangis seperti bocah. Se buruk-buruknya Sang Bapak, setidaknya Wildan merasa memiliki seseorang di dunia ini. Namun kini, sudah tak ada lagi.
"Sabar Dan," ucap Pak Anwar sang guru ngaji menenangkan. Dia menepuk-nepuk bahu Wildan yang nampak berguncang.
Sebuah kalimat tulus dari Pak Anwar malah membuat hati Wildan semakin teriris. Bagi Wildan orang lain dapat dengan mudah mengucap kata sabar padanya, padahal mereka tak pernah tahu dan mengerti rasa sakit, rasa sepi di hati Wildan.
Jam 8 malam jenasah Pak Umar sudah selesai dikebumikan. Wildan masih menangis di teras depan rumah hingga matanya bengkak. Indera pendengarannya terasa semakin tajam mendengar bisik-bisik tetangga yang memuakkan.
"Pasti tuh, Pak Umar depresi karena punya anak nggak guna kayak Wildan. Udah tua bukannya kerja, nyari istri buat ngurus Bapaknya tapi malah judi sabung ayam," ucap salah satu tetangga.
"Iya bener Jeng. Lihat tuh dia nangis terus, pasti menyesal belum berbakti pada Bapaknya, tapi semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur kacang ijo," sambung yang lainnya.
Ingin rasanya Wildan berteriak, mengumpat atau bahkan mengusir orang-orang yang menggunjingnya. Namun, di sudut hati ada sebagian dari dirinya membenarkan apa yang dikatakan orang-orang itu.
"Dan, minum dulu ya." Pak Anwar menyodorkan air mineral pada Wildan. Meskipun enggan, Wildan tetap mengulurkan tangan menerima air pemberian Pak Anwar. Tenggorokannya benar-benar terasa kering.
"Kamu ingat apa yang kusampaikan dulu waktu ngaji di masjid?" tanya Pak Anwar setelah Wildan selesai meneguk air.
"Setiap kehidupan manusia selalu membawa dua sisi. Senang dan sedih. Jika kamu saat ini bersedih, boleh saja kamu menangis tapi jangan berlarut-larut. Kamu harus yakin, ada mentari indah nan hangat di balik awan mendung yang hitam pekat," lanjut Pak Anwar meski Wildan hanya diam saja, tak menyahut sedari tadi.
Malam kian larut, para tetangga satu persatu pulang ke rumahnya masing-masing. Dan saat jarum jam di dinding ruang tamu mengarah di angka 11, hanya tersisa Pak Anwar yang masih duduk di samping Wildan. Laki-laki sepuh itu beberapa kali batuk, mungkin udara malam yang dingin membuat alerginya kambuh.
"Bapak nggak pulang?" tanya Wildan. Timbul rasa iba di hatinya melihat tubuh renta Pak Anwar yang mengingatkan Wildan pada sosok Bapaknya yang sudah tiada.
"Ya aku pengen pulang, tapi kamu ikut aku ya. Kasihan kamu kalau sendirian di rumah ini," jawab Pak Anwar.
"Nggak Pak. Aku mau disini saja," sahut Wildan, mendongak menatap langit-langit teras yang penuh sarang laba-laba.
"Aku akan menemanimu kalau begitu." Pak Anwar tersenyum menatap Wildan.
"Hah? Tidur disini?" Wildan mengernyitkan dahi. Pak Anwar mengangguk yakin.
"Ayo kita masuk ke dalam Dan. Udara sangat dingin," ajak Pak Anwar. Kali ini Wildan menurut. Wajah tulus Pak Anwar membuat kekosongan di hati Wildan sedikit terisi.
"Bapak nanti tidur dimana?" tanya Wildan bingung. Di dalam kamarnya hanya ada satu ranjang yang muat untuk satu orang saja. Dan rasanya tak mungkin meminta Pak Anwar untuk tidur di kamar Bapaknya, bekas tempat g*ntung diri.
"Aku bisa tidur di sofa." Pak Anwar menunjuk sofa lusuh di tengah ruangan. Sofa berwarna cokelat tua yang sedikit berdebu dan bau apek.
Pak Anwar merebahkan badannya di sofa. Wildan berdiri termangu menatap guru ngaji yang ternyata sangat peduli padanya.
"Kenapa bengong disitu Dan?" Pak Anwar bertanya keheranan.
"Ah, nggak pa-pa Pak. Maafkan saya yang tidak bisa menyiapkan tempat nyaman untuk Njenengan tidur," ucap Wildan tertunduk.
"Lhah, aku sudah biasa kayak gini Dan. Di rumah biasanya juga ketiduran depan tv. Jarang sekali aku tidur di kamar. Tenang saja dan cepatlah tidur," sahut Pak Anwar meyakinkan.
Wildan menurut dan masuk ke dalam kamarnya. Pintu kamar tidur Wildan tepat menghadap ke sofa ruang tamu. Wildan duduk di sudut ranjang, memperhatikan Pak Anwar yang mencoba untuk memejamkan mata. Wildan yakin, sebenarnya guru ngaji itu merasa kurang nyaman merebahkan badannya di sofa tak terurus.
Wildan menghela nafas. Dirinya semakin merasa menjadi pribadi yang tak berguna dan hanya bisa merepotkan orang lain. Wildan mengambil selimut di atas ranjang kemudian berjalan mendekati Pak Anwar.
"Pak, udara sedang dingin. Njenengan pakai selimut ini, bersih kok," ucap Wildan lirih, menyerahkan selimut bermotif pulkadot pada Pak Anwar. Guru ngaji itu hanya mengangguk sembari tersenyum.
_
Udara memang terasa benar-benar beku. Wildan tak kunjung bisa memejamkan mata. Sementara Pak Anwar yang tidur di sofa ruang tamu, terdengar mendengkur kencang. Wildan melihat handphonenya. Ternyata sudah lewat tengah malam.
Perlahan Wildan bangun dari ranjangnya. Tak ingin membangunkan Pak Anwar, Wildan berjalan berjingkat menuju kamar Sang Bapak di dekat dapur. Dia hendak mengambil selimut yang ada di dalam lemari kamar Bapaknya.
Saat masuk ke dalam kamar Sang Bapak bulu kuduk Wildan berdiri tiba-tiba. Aura yang terasa di ruangan tempat Sang Bapak meninggal benar-benar mencekam. Lampu kamar terkesan lebih redup dan suram. Aroma wangi menyengat yang entah datang darimana, juga udara dingin namun pengap nan menyesakkan.
Wildan buru-buru meraih lemari kayu di sudut kamar. Dia menarik salah satu selimut lusuh yang ada di tumpukan paling atas. Tanpa sengaja sebuah benda kotak seukuran telapak tangan ikut jatuh menimpa kepalanya.
"Duh." Wildan meringis, mengusap-usap dahinya.
Benda kotak berbahan kayu itu kini menarik perhatian Wildan. Jangan-jangan isinya perhiasan. Wildan berjongkok dan memungut kotak kayu itu. Dia menarik pengait besi di bagian ujung dan membukanya perlahan.
Ternyata di dalam kotak terdapat selembar kertas biru yang dilipat rapi, sebuah amplop cokelat, dan sobekan surat kabar berwarna kecokelatan yang kumal.
"Apa ini? Benda nggak guna," gerutu Wildan menyadari tidak ada harta karun sesuai dugaannya tadi.
Wildan membaca potongan koran lusuh itu. Tertanggal 1 Januari 1992. Koran lawas rupanya. Terlihat jelas, judul artikel yang tercetak dengan huruf kapital berwarna hitam. 'Rumah konglomerat Sumiran disatroni perampok'.
Wildan penasaran. Dia membaca beberapa paragraf artikel tersebut. Disebutkan kalau sang konglomerat tewas dalam upaya membela diri. Sang istri lenyap tanpa jejak. Beberapa perhiasan raib, dan uang dengan jumlah 2 juta rupiah ludes digasak sang perampok.
"Dua juta? Jaman dulu itu jumlah yang besar ya. Kalau sekarang buat kebutuhan sebulan juga nggak cukup," gumam Wildan. Dia kembali melipat surat kabar lusuh itu.
Wildan kemudian membuka lipatan kertas berwarna biru yang tergeletak di sebelah amplop cokelat. Ternyata lipatan kertas tersebut adalah lembaran uang 50 ribu versi lama. Tercetak di bagian tengah, sebuah tulisan yang terbaca tahun 1991.
Bersambung___
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!