...2007...
"Cempaka kaya nama bunga, orang tua kamu sebangsa bunga yah?" tanya Naskala sambil mengejek Cempaka yang sedang menunjukkan wajah cemberut.
"Om Kala jahat! Aku bilang Papa! Hiks, papa dan mama aku manusia. Cempaka benci Om Kala!"
...2012...
"Hiks, Cempaka sedih. Sekarang Cempaka gak punya siapa-siapa lagi." Naskala menghela napas dan mengusap air mata Cempaka.
"Cempaka jangan sedih yah, sekarang ada Kak Naskala yang bakal jadi ajudannya Cempaka dan jagain Cempaka sampai kapanpun. Saya berjanji sama kamu. Jangan nangis lagi kamu kaya bocil kematian jadinya!"
...2015...
"Om Naskala jangan ganggu aku belajar! NGESELIN!!"
"Hahahha! Kamu itu bocil saya jadi saya bebas lakuin apa saja ke kamu! Satu lagi jangan panggil saya om-om saya baru 19 tahun!"
...2019...
"Om Naskala kenapa jadi dingin ke Cempaka? Emang Cempaka ada salah apa sama Om? Padahal Cempaka pengen peluk Om Kala!"
Naskala menatap dingin Cempaka. "Kamu sudah besar tidak selamanya saya bisa bersama kamu dan nemenin kamu. Kamu harus bisa melakukannya sendiri dan belajar hidup tanpa saya."
Cempaka tak mengerti dengan perubahan Naskala. Pria yang dulu sangat suka menjahilinya dan selalu bermain dengannya kini bak kulkas yang berjalan. Bahkan ketika Cempaka ingin memeluk dan bermanja dengan Naskala pria itu selalu menghindar. Perubahan Naskala yang sangat aneh membuat sedih Cempaka.
...2007...
Suasana kota yang sangat indah membuat anak bernama Cempaka sangat bersemangat berlari dan menyusuri keindahan kota. Baru kali ini ia dibawa oleh orangnya ke kota.
Cempaka kecil berlari-lari dan dikejar oleh sang ayah.
"Papa! Kejal Peka!!" teriaknya dengan basa cadelnya. Sang ayah yang berseragam tentara itu lantas mengejar sang anak menuruti perintah sang anak.
Ibunya hanya tertawa kecil melihat keharmonisan antara ayah dan anaknya. Kondisinya tampak tidak sedang baik-baik saja. Wajahnya sedikit lesu namun saat melihat tawa Cempaka membuat senyuman di wajahnya yang sangat cantik.
"Mama!!" teriak Cempaka yang hendak menangis karena sang ayah berhasil menangkap dirinya.
Cempaka merasa tidak terima dan berteriak ke arah sang ibu untuk meminta pertolongan ibunya. Ibunya pun meminta agar suaminya menurunkan Cempaka.
"Papa turunkan saja Cempaka! Kasihan dia matanya udah merah."
Malik pun menatap mata sang anak yang berkaca-kaca. Bukannya merasa simpati ia malah merasa sangat bahagia melihat sang anak yang ingin menangis.
"Ish cengeng anak Papa."
"Hua!!" tangis Cempaka pun akhirnya pecah sehingga membuat panik kedua orangtuanya terutama sang 8bu yang langsung memarahi suaminya.
"Papa! Tuhkan nangis Cempaka! Kamu sih," ucap Indah dan mengambil alih sang anak dari suaminya.
Cempaka perlahan mulai meredakan tangisnya. Ia mengusap matanya dengan tangan kecilnya.
"Mama kita akan ke mana?" tanya Cempaka menatap sekitar yang sangat indah dan ada satu bangunan megah yang menarik perhatiannya. "Mama! Cempa mau ke sana!!"
Indah menatap ke arah rumah besar di depannya. Ia tersenyum ke arah sang suami yang sudah berjalan lebih dulu ke rumah tersebut. Rumah itu adalah rumah atasan suaminya. Ia baru saja dipindah tugaskan ke Bandung dam menjadi salah satu ajudan Jenderal Muhammad Toha Barawijaya. Salah satu jendral yang terkenal di Bandung.
Suaminya masuk ke dalam rumah setelah memberi hormat kepada para ajudan yang bekerja di tempat itu.
Cempaka merasa sangat senang melihat rumah itu. Ia langsung meminta diturunkan dari gendongan Indah. Indah tentunya tak membiarkan anak itu begitu saja, hingga Cempaka mengeluarkan jurus andalannya yaitu menangis keras.
"MAMA!!" Indah menatap sang suami dengan pandangan tak enak. Apalagi di depannya adalah salah satu jendral tinggi bersama istrinya.
"Sudahlah tidak apa. Biarkan saja dia bermain di sini. Nanti saya suruh bi Siti buat jagain."
"Apa tidak apa-apa Buk? Takutnya merepotkan," ucap Indah dengan nada yang tak enak.
"Kenapa tidak boleh. Saya senang dengan anak-anak. Tidak masalah. Biarkan saja dia bermain." Adhila istri dari Toha pun memanggil sang pembantu untuk mengurus Cempaka. "Bik Siti!! Jagain Cempaka yah."
Cempaka yang sedikit paham pun seketika matanya berbinar bahagia. Tanpa menunggu Siti lagi ia langsung berlari ke sana kemari seolah sedang mengsurvey rumah dari keluarga Barawijaya.
Saat tiba di suatu ruangan ia merasa heran dengan seorang anak laki-laki yang tengah bermain game dan tampak sangat serius. Awalnya Cempaka takut untuk menghampirinya, namun melihat apa yang tengah dimainkan anak laki-laki itu membuatnya tanpa berpikir panjang lagi langsung menghampiri anak laki-laki tersebut dan merebut stick vs milik anak itu.
"Pinjam," enteng Cempaka membuat anak laki-laki itu kesal dan menatap Cempaka dengan serius.
"Kamu siapa?"
"Kata mama nama aku Cempaka."
"Kembalikan stick Vs ku." Anak laki-laki itu berusaha merebut stick vs itu dari Cempaka namun Cempaka lebih lihai hingga membuat anak laki-laki tersebut kewalahan dan tidak bisa merebutnya.
"Tidak mau! Tadi om udah main puas sekarang Cempaka yang main." Padahal umur Naskala pada saat itu hanyalah 11 tahun tapi sudah dipanggil om oleh Cempaka.
Tentunya hal itu membuat geram Naskala. Ia tak terima dipanggil om oleh Cempaka.
"Enak saja kamu! Aku masih 11 tahun dan belum om-om!"
Cempaka menatap orang di depannya itu. Cempaka tak mengerti umur 11 tahun itu berapa dan sebesar apa. Yang ia tahu orang di depannya ini sangat tampan, tinggi, tampak seperti pria yang sudah dewasa, dan pembawaannya juga tegas.
"11 tahun itu sudah om-om." Naskala menghela napas pelan dan mengaku kalah.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?"
"Karena Mama dan Papa akan tinggal di sini?"
"Hah?" kaget Naskala. "Nama kamu Cempaka, kan?"
Cempaka mengangguk sembari menampakkan deretan giginya yang berseri. "Iya nama ku Cempaka. Nama om siapa?"
"Naskala!"
"Nama Om aneh," ucap Cempaka tanpa memikirkan ucapannya sendiri.
"Cempaka, kaya nama bunga, orang tua kamu sebangsa bunga yah?" tanya Naskala sambil mengejek Cempaka yang sedang menunjukkan wajah cemberut.
"Om Kala jahat! Aku bilang Papa! Hiks, papa dan mama aku manusia. Cempaka benci Om Kala!" Padahal baru saja Naskala membalasnya sedikit dan Cempaka sudah menangis keras hingga membuat orangtua mereka datang.
"Naskala! Kamu apakan Cempaka?"
Naskala menatap Cempaka yang menangis tersedu-sedu.
"Naskala tidak melakukan apapun."
"Bohong! Dia ngatain mama dan papa cempaka bangsa bunga!"
Indah dan suami terkejut. Ia menggendong Cempaka sambil menatap Adhila.
"Ibu maafkan anak saya."
"Tidak apa-apa. Mungkin anak-anak makanya masih sensitif dan belum mengerti." Adhila menatap anaknya yang tengah menundukkan kepala. "Naskala lain kali kamu jangan berbicara sembarangan dengan orang."
Naskala menarik napas panjang dan menganggukkan kepalanya lemah. Diam-diam pria itu melirik Cempaka dengan wajah kesal.
"Iya Bunda!"
__________
...2012...
Setelah sekian lama tinggal di kota sebagai seorang ajudan namun tiba-tiba terjadi penyerangan di Papua oleh sekelompok saparatis di mana saat itu Malik sedang bertugas mengawal Toha saat datang berkunjung ke Papua.
Namun naas demi melindungi sang jendral, Malik harus merelakan nyawanya. Cempaka yang mendapat kabar duka itu terus menangis pasalnya ia tak lagi memiliki siapa-siapa di dunia. Bahkan ibunya telah meninggal 1 tahun yang lalu.
Saat ayahnya bertugas ia dititipkan pada tetangga. Namun tidak mungkin setelah sepeninggalan Malik Cempaka terus dititipkan kepada tetangganya.
Cempaka yang baru kelas 5 SD itu lantas dijemput oleh Toha ke rumahnya. Ia sangat merasa bersalah dan juga berhutang nyawa kepada ayahnya Cempaka.
Akhir-akhir ini Cempaka enggan untuk membuka mulut. Anak itu lebih banyak diam dan mengurung kamar di rumah Toha.
Toha dan Adhila sudah berulang kali membujuk Cempaka agar keluar dan makan namun anak itu sama sekali tidak ingin keluar.
"Aduh Yah, bagaimana ini. Cempaka dari tadi tidak mau keluar."
Toha menarik napas panjang dan mencoba untuk mengetuk pintu lagi.
"Cempaka! Nak! Keluar dulu, kita makan. Makanannya makanan kesukaan Cempaka lho!"
Tetap tak ada sahutan dan Toha sudah pasrah sebab sudah satu jam lamanya mereka membujuk Cempaka. Cempaka masih kecil tapi ia mengerti kemana ayah dan ibunya. Belum sembuh luka ditinggal sang ibu kini tercipta lagi luka baru.
Naskala yang pada saat itu baru saja pulang dari bertugas di kantor melihat sang ayah dan ibu tengah berdiri di depan pintu kamar lantas menghampirinya.
"Assalamualaikum Bunda! Ayah!" Naskala memberikan salam dan mengecup kedua pipi ibundanya.
Ia mengerutkan kening menatap ke arah pintu kamar. Ia belum mengetahui jika Cempaka akan tinggal di rumah mereka.
"Ini Kak, ayahnya Cempaka kan meninggal saat bertugas. Jadi kami berencana mengadopsi Cempaka dan menjaga dia hingga besar. Cempaka sedang sedih dan tidak mau keluar dari kamar dari tadi," ucap Adhila menjelaskan kepada anak tunggal satu-satunya yang baru saja pulang dari sekolah akademi kemeliteran. Ia ingin menjadi seorang tentara mengikuti jejak sang ayah.
"Cempaka?" Naskala merasa tidak asing dengan nama tersebut. Ia tampak mengingat di mana dia pernah mendengar nama itu.
"Kamu lupa Kak? Cempaka anak ajudannya Om Malik. Yang kemarin juga pernah datang ke sini."
"Itu lho Kak yang kemarin berebut stick vs sama kamu Kak."
Naskala pun ingat dengan anak yang menyebalkan yang suka memanggilnya dengan sebutan Om.
"Oh Cempaka yang menyebalkan itu?"
"Eh gak boleh gitu Kak. Kakak mau pulang-pulang ngatain anak orang kaya gitu, bentar lagi dia bakal jadi adik kamu."
Naskala menghela napas panjang dan mengetuk pintu kamar Cempaka. Ia sudah lama tak melihat anak itu lagi. Apakah masih menyebalkan seperti dulu?
"Cempaka! Keluar!"
Tidak ada sahutan lagi hingga membuat Adhila dan Toha pasrah dan kemudian berjalan meninggalkan kamar Cempaka.
"Cempaka! Mau main game sama Kak Naskala?!!"
Juga tidak ada respon. Naskala yang tidak terlalu peduli pun meninggalkan kamar Cempaka hingga tak lama terdengar bunyi pintu dibuka.
Ceklek
"Mau!" Naskala dan juga orangtunya berhenti berjalan dan menoleh ke arah Cempaka.
Tampak mata Cempaka sembab dan air mata memenuhi wajahnya. Naskala terdiam ternyata Cempaka tidak berbeda sama sekali. Masih kecil dan juga tentunya sangat imut.
Entah kenapa ada niat jahil yang melintas di benak Naskala. Anak perempuan ini tak bisa menjadi adiknya karena Naskala tidak akan pernah menganggap. Lagipula ia juga tahu jika Cempaka tidak mudah menerima keluarga baru.
"Cempaka! Kenapa nangis?" tanya Naskala baik-baik padahal di dalam jiwanya melihat Cempaka ada niat buruk yang terlintas. Pasalnya bagi Naskala Cempaka terlalu menggemaskan.
"Hiks, Cempaka sedih. Sekarang Cempaka gak punya siapa-siapa lagi." Naskala menghela napas dan mengusap air mata Cempaka.
"Cempaka jangan sedih yah, sekarang ada Kak Naskala yang bakal jadi ajudan Cempaka."
Adhila dan Toha saling pandang. Ia tak mengerti kenapa Naskala berkata seperti itu.
"Naskala?"
"Bunda! Ayah! Biarkan Cempaka Naskala yang menjaganya. Naskala bakal menjadi ajudan untuk Cempaka seperti Om Malik yang menjadi ajudan Papa."
Cempaka menatap berbinar Naskala.
"Beneran Om?" Cempaka masih saja sama suka memanggilnya dengan embel-embel Om. Padahal dia tidak setua itu untuk dipanggil Om-om.
"Kamu masih saja sama suka memanggil saya seperti itu."
"Mulai sekarang kamu panggil Tante Mama dan Om Toha Papa. Kalau kakak Naskala panggilnya Kaka jangan Om."
"Gak mau! Maunya panggil Om!"
Adhila dan Toha tertawa pelan melihat bahwa kesalnya Naskala saat dipanggil seperti itu oleh anak kecil.
___________
Tbc
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN SETELAH MEMBACA. TERIMA KASIH SEMUANYA
3 Tahun kemudian
Naskala menatap wanita yang tengah sibuk mengerjakan pr di dalam kamarnya. Ia diam-diam ke kamar Cempaka hanya demi untuk melihat anak perempuan itu.
Cempaka tampak tengah serius mengerjakan soal yang diberikan oleh gurunya. Saat ini Naskala telah menjadi seorang tentara dan bekerja di tempat ayahnya. Prestasi di usia mudanya juga sangat banyak sementara Cempaka sudah duduk di bangku SMP.
Sudah cukup lama mereka tinggal bersama. Dan Cempaka juga sudah terbiasa bersama Naskala. Menurut Naskala Cempaka tidak ada yang berubah dan tetap saja sangat menyebalkan.
Anak itu suka datang-datang dan merusuh ke kamarnya. Bak seorang adik dan kaka. Tapi sayangnya meskipun ia telah tinggal bersama Keluarga Barawijaya tetap saja di pandangan Cempaka mereka hanyalah seorang kerabat dan bukan orang tua. Ia memanggil Adhila dan Toha masih sama Tante dan Om. Sedangkan panggilan dia ke Naskala juga sama masih om. Padahal saat ini Naskala masih berumur 19 tahun.
Naskala masuk ke dalam kamar dan memeluk Cempaka dengan sangat erat. Pemandangan ketekunan belajar Cempaka sudah sering ia lihat. Anak itu hanya luarnya saja yang terlihat sangat rajin padahal aslinya Cempaka pun tidak mengerti dengan apa yang tengah ia pelajari.
Cempaka berhenti menulis dan melemparkan penanya. Ia paling tidak suka jika dipeluk keras seperti ini oleh Naskala. Naskala masih saja menganggap dirinya sebagai seorang Naka kecil padahal bagi Cempaka dia sudah besar.
"Om Naskala lepasin Cempaka! Om berat. Jangan kaya gini lagi Cempaka sudah besar."
"Kata siapa kamu besar? Kamu masih kecil," ucap Naskala dan melonggarkan pelukannya.
Ia pun menarik kursi lain dan duduk di samping Cempaka. Cempaka berusaha untuk mengabaikan Naskala dan fokus mengerjakan soal matematika.
Naskala memperhatikan bagaimana Cempaka menjawab semua soal itu. Padahal bagi Naskala soal tersebut sangat mudah dan Cempaka membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menjawabnya.
Tentu saja hal itu menjadi bahan tertawaan Naskala. Ia pun merebut pena Cempaka dan mengambil kertas kosong.
"Om Naskala! Apa yang Om lakukan? Kembalikan penanya!" ketus Cempaka dan beruang untuk merebut pena miliknya kembali. Tentunya tak mudah bagi Cempaka.
Naskala yang berperawakan sangat tinggi itu mengangkat tangannya hingga Cempaka yang pendek tak mampu menjangkaunya.
"Om Naskala," rengek Cempaka dan menatap Naskala penuh harap.
"Kamu dari dulu manggil saya Om. Saya ini bukan om kamu."
"Apaan sih sadar sendiri dong kalau Om Naskala tuh kaya om-om."
Diejek oleh Cempaka membuat Naskala ternganga dan tidak menerima. Ia pun menyimpan pena tersebut hingga membuat Cempaka tambah kesal.
"Om Naskala jangan ganggu aku belajar!"
"Saya tidak mau! Kamu itu bocil saya jadi saya bebas lakuin apa saja ke kamu!"
"CEMPAKA BUKAN BOCIL!"
"Iya-iya Cempaka bukan bocil tapi bayi."
"Ishh!!"
Naskala pun menatap soal matematika Cempaka. Ia mengajarkan bagaimana memecahkan soal tersebut dan menggunakan rumus apa.
Awalnya Cempaka yang sangat kesal pun akhirnya tertarik untuk mengikuti pembelajaran yang diberikan oleh Naskala. Cempaka mengamatinya dengan dengan seksama dan mulai belajar secara perlahan. Awalnya ia benar-benar tidak paham hingga Cempaka pun mengerti dengan ajaran Naskala.
"Nah jadi kaya gitu carinya. Soal mudah kaya gitu kok gak bisa jawab. Dasar bodoh," ucap Naskala sembari menjentik dahi Cempaka.
Cempaka mengercutkan bibinya dan berusaha mengabaikan segala ejekan yang dilontarkan Naskala.
"Gitu aja bangga," ucap Cempaka dengan suara pelan.
Naskala yang mendengar ocehan Cempaka lantas mencubit pipi anak itu hingga memerah.
"Ngomong apa tadi?"
"Auuu sakit Om!"
"Panggil dulu saya Kakak! Saya ini Kakak kamu!"
"Oh? Gak mau!!"
"Panggil Kaka gak?"
Cempaka yang sudah terlanjur kesal dan juga sekaligus kesakitan lantas menuruti keinginan Naskala.
"KAKAK NASKALA YANG TAMPAN DAN JUGA PENYAYANG LEPASKAN CEMPAKA YANG CANTIK DAN IMUT INI DONG!"
Naskala tertawa dan melepaskan cubitannya di pipi Cempaka. Ia pun mencium kening Cempaka dengan sangat dalam.
"Jangan kemalaman belajarnya. Jangan lupa sholat juga, seorang muslimah harus sholat lima waktu. Kalau mau tidur jangan lupa doa dulu. Ntar diganggu setan!"
"Apaan sih Om, Cempaka juga belum baligh dan belum wajib sholat."
Naskala yang notabennya dibesarkan di lingkungan yang sangat religius dan hidup di tengah-tengah orang tua yang taat agama membuatnya juga mendalami agama dan menjadi seorang muslim yang taat.
"Cempaka! Meskipun kamu belum baligh kamu harus membiasakan sholat 5 waktu supaya kamu nanti tidak malas-malasan sholatnya. Apalagi kamu sudah 13 tahun dan sebentar lagi kamu bakal baligh, jadi kamu harus membiasakan sholat lima waktu dari sekarang."
Cempaka menarik napas panjang dan memanyunkan bibirnya.
"Baiklah."
__________
4 Tahun Kemudian
Cempaka baru saja pulang sekolah. Anak itu sudah SMA dan kelas 3. Sebentar lagi dia akan menghadapi ujian nasional meskipun itu satu tahun lagi.
Tampak raut kelelahan Cempaka. Ia memasuki rumah dan berteriak memberi salam. Adhila yang tengah memasak di dapur mendengar suara Cempaka tersenyum lebar.
Ia menjawab salam Cempaka dan langsung menyuruh anak itu untuk berganti pakaian dan turun makan.
Cempaka pun menurutinya dan tak lama ia keluar dari kamarnya. Sudah 4 tahun berlalu. Banyak hal yang dialami Cempaka.
Terutama hubungannya dengan Naskala yang semakin memburuk tidak seperti dulu di mana mereka sangat akrab dan juga dekat.
Tiada hari tanpa pertengkaran dan kemanjaan Cempaka kepada Naskala. Naskala juga sangat memanjakan Cempaka. Namun sekarang berbeda. Ia semakin asing dengan Naskala dan jarang berinteraksi dengan Naskala.
Naskala juga sangat dingin dan sering menghindari dirinya. Jauh di lubuk hati Cempaka dia sangat sedih atas nasibnya yang seperti ini.
Kebiasaan Cempaka yang suka tidak memakai jilbab saat di rumah padahal banyak orang rumah yang bukan mahram Cempaka. Di mana ajudan dan juga Toha serta Naskala sendiri bukanlah merupakan mahram Cempaka.
Adhila juga sering mengingatkan agar Cempaka memakai hijab meskipun di rumah tapi tetap saja Cempaka belum terbiasa.
Saat melewati ruang tamu Cempaka tak sengaja melihat Naskala yang baru saja pulang bertugas di perbatasan. Tampak Naskala terdiam dengan tatapan dingin memandang Cempaka.
Cempaka mengerutkan keningnya. Namun tak lama senyumnya terukir karena sangat merindukan pria itu. Cempaka langsung berlari dan memeluk tubuh Naskala dengan sangat erat.
"OM SUDAH DATANG?!"
Naskala terkejut saat Cempaka memeluknya. Pria itu pantas berusaha untuk melepaskan pelukan Cempaka dari dirinya.
"Cempaka lepaskan saya. Kamu sudah besar jangan seperti anak kecil."
"Yey! Sekarang Om Naskala udah ngakuin kalau Cempaka sudah besar."
Naskala terdiam dan ia lupa jika wanita di depannya masih kekanak-kanakan.
"Saya lupa jika kamu memang bocil."
"Apaan sih."
"Lepaskan saya Cempaka. Kamu tidak boleh seperti ini sama saya."
Cempaka melepaskan pelukannya pada Naskala. Wajahnya tampak mendung dan matanya berkaca-kaca.
"Om Naskala kenapa jadi dingin ke Cempaka? Emang Cempaka ada salah apa sama Om? Om selalu saja menghindar dari Cempaka seolah Cempaka itu najis untuk didekatin. Dulu Om gak kaya gini sama Cempaka, hiks."
Naskala menatap dingin Cempaka yang tengah menangis hebat. "Kamu sudah besar tidak selamanya saya bisa bersama kamu dan nemenin kamu. Kamu harus bisa melakukannya sendiri dan belajar hidup tanpa saya."
"Tapi Cempaka cuman maunya sama Om. Kaya dulu lagi. Oke deh sekarang Cempaka tidak manggil om lagi tapi Kakak."
Naskala tertawa pelan. Ia pun menundukkan pandangannya.
"Cempaka! Saya rasa tidak hanya saya tapi juga Bunda sudah mengingatkan kamu untuk memakai hijab walaupun di rumah. Nanti-nanti ke depannya pakai hijab." Setelah itu Naskala melewati Cempaka begitu saja hingga membuat Cempaka tertawa sambil menangis.
"OM NASKALA JAHAT!!" teriak Cempaka kepada Naskala yang telah pergi meninggalkannya.
____________
Tbc
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN SETELAH MEMBACA. TERIMA KASIH SEMUANYA.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!