"Kirim orderan dengan tepat waktu, jangan sampai membuat mereka menunggu terlalu lama. Ingat pembeli adalah raja!"
"Siap, laksanakan dengan baik. Saya berangkat dulu, papayo!" ucap Laluna dengan riang.
Tanpa rasa sungkan, Laluna melambaikan tangannya ke arah Pak Don. Atasannya sekaligus pemilik toko bunga tempatnya bekerja.
"Alhamdulillah, hari ini dapat banyak orderan, aku harus semangat! Ingat cicilan menunggu," ucap Laluna menyemangati dirinya.
Di keranjang motor maticnya terdapat beberapa rangkaian bunga segar untuk dibawa ke kota besar. Hari ini toko bunga milik Pak Don kebanjiran orderan bunga segar. Mau tidak mau Laluna yang mempunyai SIM harus mengantar bunga ke kota besar sendirian.
Perjalanan selama dua jam terasa singkat, karena ia mengendarai dengan hati yang gembira. Sesekali Laluna terkagum memandang hamparan gedung pencakar langit yang berdiri menantang langit.
Beruntung Laluna sangat cekatan dalam mengendarai motor maticnya. Sehingga orderan datang tepat waktu.
"Yeay, orderan sampai dengan selamat, kini saatnya pulang!"
Tidak mau berlama-lama di kota besar, Laluna memilih segera pulang. Lagi pula di kota terlalu bising, ia lebih suka tinggal di desa yang masih asri dan orang-orangnya ramah tamah.
Sean Alinskie, 25-th seorang CEO muda baru saja melakukan perjalanan bisnis dari luar kota. Karena sesuatu hal, asistennya pulang terlebih dahulu, sehingga harus menyetir mobilnya sendirian.
"Bos, maaf aku harus pulang dulu! Banyak laporan keuangan yang harus aku selesaikan sebelum aku serahkan padamu!"
"Iya, iya, dasar bawel, cepat sana pulang! Pacarmu menunggu!"
"He he he, tau aja, ini kan malming Pak Boss, mumpung lagi di kota si Eneng pula," ucap Jo sambil meringis.
"Hm, hati-hati, salam buat si Eneng, ya Paijo!"
"Asiap, Pak Bos!" teriak Jo sambil hormat layaknya seorang prajurit.
Selepas berpamitan, ternyata Sean langsung masuk mobil. Ia kembali ke kota hari itu juga. Sean adalah penggila kerja, baginya tidak ada hari libur untuk bersenang-senang, sehingga selepas urusan beres dia bergegas pulang.
Terlihat jalanan cukup lengang, Sean menambah kecepatan mobilnya. Tidak di sangka saat itu pula muncul sebuah truk yang melaju kencang dari arah berlawanan, jalannya terlihat ugal-ugalan. Mungkin saja sopirnya mengantuk atau sedang kejar setoran.
Ternyata, mobilnya disabotase seseorang. Saat menginjak rem, ternyata remnya blong.
"Sial! Kenapa nggak bisa di rem!" pekiknya kesal.
Mau tidak mau, Sean membanting stir kemudinya ke kiri. Mencoba menyelematkan diri, tetapi naasnya di sisi kiri adalah jurang. Mobilnya yang terlanjur melaju dengan kecepatan tinggi, kehilangan kendali hingga masuk jurang.
"Arghhh!"
Sean melihat percikan api di bagian depan, ia segera membuka pintu dan melompat keluar dari mobil. Tubuhnya tersangkut di batang pohon besar. Sesaat kemudian mobilnya benar-benar meledak. Kepulan asap membubung tinggi, apinya menari-nari terkena hembusan angin.
Sean memegangi kepalanya yang berdenyut, dengan sisa kekuatan dan kesadaran yang dimiliki, ia mencoba menaiki tebing. Akhirnya Sean berhasil sampai di tepian jalan raya.
Namun, Sean justru berjalan ke tengah. Sementara itu dari arah berlawanan muncul sepeda motor matic milik Laluna yang kembali dari kota. Kebetulan Laluna sedang mengebut karena cuaca mendung.
Laluna yang terkejut dengan kemunculan laki-laki berbaju putih di tengah jalan tidak bisa mengerem mendadak.
"Minggiirrrr!" teriak Laluna.
Namun, sayang motornya justru menabrak Sean hingga berguling-guling di jalanan. Naasnya, kepala Sean terantuk batu besar di pinggir jalan hingga keluar banyak darah.
Panik karena ia baru saja menabrak orang, Laluna bergegas meminggirkan motornya dan melihat korbannya.
Tubuh Sean dibalik paksa oleh Laluna. Luka di kening dan beberapa bagian tubuhnya membuat Laluna semakin panik.
"Hei, Pak, Mas ... bangun dong, jangan mati, aku nggak mau masuk penjara karena nabrak orang!"
Sean yang terlanjur pingsan tentu saja tidak bisa menjawab, karena bingung dan takut Laluna menelpon ambulans.
Tidak lama kemudian, mobil ambulans datang dan membawa mereka ke Rumah Sakit terdekat. Sean langsung dilarikan ke UGD. Ternyata Sean harus dioperasi, Laluna terpaksa setuju.
Panik, bingung dan cemas menjadi satu, kini Laluna hanya bisa menunggu di depan ruang operasi. Akhirnya penantiannya berujung petaka.
Dari hasil pemeriksaan lanjutan, dokter menyatakan jika Sean terluka parah, bahkan kemungkinan besar terjadi kerusakan di kepala. Operasi yang baru saja selesai tidak menjamin ia bisa kembali seperti semula.
"Saat ini, pasien akan dirawat intensif di sini, Nona silakan ikut saya untuk mengurus biaya administrasinya," ucap Suster.
"Biaya Rumah Sakit? Gue yang nanggung, astaga Tuhan aku ingin pulang?"
Kini Laluna hanya bisa terduduk lemas. Bayangan bisa melanjutkan kuliahnya pupus sudah. Lembaran kertas yang ia pegang merenggut paksa semua impiannya dalam sekejap.
Nominal angka yang tertera di sana sangat besar, bahkan bisa menghabiskan seluruh tabungannya.
"Kalau tahu biaya Rumah Sakit sebesar ini, mendingan gue tinggal kabur aja tadi!" pekiknya kesal.
Laluna memukul-mukul kepalanya dengan keras, berharap ia hanya mimpi buruk hari itu. Akan tetapi tepukan halus dari suster di sampingnya membuat Laluna sadar dan berdiri.
"Ada apa lagi, Suster?"
"Pasien sudah siuman, mungkin Nona ingin bertemu dengannya," ucap Suster sambil tersenyum.
"Oh."
Tanpa sadar kaki Laluna mengantarkannya ke ruang rawat Sean. Dilihatnya lelaki yang baru saja ditabrak, tetapi kepala Laluna semakin berdenyut kencang ketika Sean menolak kehadiran Laluna.
"Kamu siapa, jaga pandanganmu!" teriak Sean dengan angkuh.
"Ha-ah, lelaki angkuh kayak gitu yang barusan gue tolongin, nyesel gue!" ucap Laluna hendak berbalik.
"Tuan, sebaiknya Anda berbicara yang lebih lembut pada Nona itu, karena dia telah menyelamatkan Anda dari kecelakaan."
Sean menatap suster dan dokter di hadapannya lalu berusaha untuk menurunkan egonya.
"Hei, mau kemana, kamu yang menolongku bukan, aku mau bicara!"
Langkah Laluna terhenti ketika Sean mengajaknya berbicara.
"Ada apa lagi?"
"Nona, Tuan ini tidak mengingat siapapun, sehingga hanya Anda yang saya rasa pantas untuk merawatnya."
"A-apa!" pekiknya kesal.
Sekesal apapun hati Laluna dan sekeras apapun ia menolak, hasilnya tetap sama. Setelah Sean dirasa sudah pulih, mau tidak mau Laluna wajib membawa Sean pulang.
Melihat rumah Laluna yang sangat kecil membuat Sean kurang leluasa bergerak.
"Ini rumah apa sih, kecil banget kayak kandang kuda!"
"What's, lu ngomong apa, enak aja ngatain rumah gue kaya kandang kuda!" pekiknya kesal.
Laluna menaruh semangkok mie instan lengkap dengan teh hangat yang baru saja matang ke hadapan Sean.
"Harusnya kamu bersyukur udah gue bawa pulang, setidaknya enggak gue lempar ke jalanan, nih makan nggak usah banyak komen."
Meskipun Laluna garang dan bar-bar, tetapi Sean merasa nyaman padanya.
"Oh, iya kamu kan amnesia, enaknya aku manggil kamu siapa, ya?" tanya Laluna sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke pipi.
"Gimana kalau aku panggil kamu Mr. Arogant?"
......................
Hai-hai, kali ini Fany bawa novel baru lagi, kisah cinta yang berbau perbucinan, semoga kalian suka ya, dan jangan lupa mampir ke karya othor yang masih on going.
Karena ini karya lomba, jangan lupa dukungannya selalu. Like, komen dan favorit dari kalian sangat mendukung, terima kasih banyak ❤️
Berita kecelakaan Sean menyebar dengan cepat. Apalagi ia adalah pebisnis muda yang namanya sedang naik daun. Berita tentang kecelakaan Sean sampai ke telinga ayah angkat Sean Tuan John.
"Bagaimana dengan perkembangan kasus pencarian Sean?"
"Maafkan kami Tuan, sampai saat ini hanya puing-puing bagian dari mobil saja yang bisa kami temukan, untuk jasadnya Tuan Muda Sean kami minta maaf karena tidak dapat menemukannya."
Tuan John mengepalkan tangannya, lalu sesaat kemudian ia memegangi dadanya yang kesakitan. Sejak Sean diberitakan meninggal dan jasadnya tidak diketemukan membuat Tuan John langsung terkena serangan jantung. Perusahaan GENEVA yang dipimpin oleh Sean juga mengalami kolabs.
Sementara itu, asisten Sean, Jo merasa ada kejanggalan dengan kematian Sean. Tanpa membuat semua curiga ia secara perlahan menganalisis perlakuan semua orang yang pernah berhubungan dengan Sean sebelum meninggal agar setidaknya kejelasan kematian Sean bisa mereka dapatkan.
"Aku nggak bisa melihat Pak Bos mati dengan cara mengenaskan seperti ini, aku harus menyelidiki hal ini!"
Perasaan bersalah karena tidak menemani Sean di hari itu, membuat Jo bertekad mengungkap misteri di balik kecelakaan Sean. Sementara itu di rumah kontrakan Laluna, Sean sedang kebingungan karena tidak ada makanan di rumah.
"Sepertinya membuat masakan sendiri tidak masalah," gumam Sean sambil melihat isi kulkas milik Laluna.
Sean melihat isi kulkas Laluna hanya berisi mie instan dan juga telor.
"Sepertinya makanan ini yang dimasak gadis itu kemarin, kalau begitu biarkan aku membuatkan masakan untukmu," ucapnya sambil tersenyum manis.
Sean mulai mengambil dua bungkus mie instan dan dua buah telur ayam. Ia membawanya ke dapur minimalis milik Laluna. Sambil menengok jam dinding, Sean mulai memasak.
Dia mengambil air dan juga panci lalu diletakkan di atas kompor. Tanpa menunggu airnya mendidih mie dan telur sudah dimasukkan ke dalam panci. Ia pun menyalakan kompor milik Laluna. Keanehan terjadi, saat ia mengecilkan apinya hal yang terjadi justru sebaliknya apinya semakin membesar.
Panik, tentu iya. Apalagi setelah melihat kobaran api melahap panci itu dan menyambar ke arah kompor. Bukannya membuat hidangan lezat, Sean justru membakar dapur milik Laluna.
"Bau gosong apa ini? Kenapa keluar asap hitam dari dapur?"
Laluna bergegas memarkir kendaraannya lalu berlari ke dalam rumah. Melihat kobaran api melahap kompor, Laluna segera mengambil keset dan membasahinya. Sementara itu Sean hanya mondar-mandir tidak jelas, tentu saja hal itu semakin membuat Laluna marah.
"Minggiirrrr!" teriak Laluna pada Sean.
Setelah dirasa cukup basah, ia melemparkan keset itu ke arah kompor yang hampir meledak. Akhirnya apinya padam. Tanpa Sean sadari karena terlalu bahagia, ia langsung memeluk Laluna.
"Terima kasih sudah menyelamatkan hidupku, Lun," ucap Sean sambil tersenyum manis.
Merasa Sean telah membuat kerugian besar dan tidak meminta maaf, ia pun mendorong tubuh Sean.
"Enak aja peluk-peluk. Kamu tuh gila ya, atau sengaja buat bakar rumahku!" ucapnya kesal.
"Bu-bukan begitu, tadi aku hanya lapar dan ingin membuat makanan untuk kita berdua," ucap Sean sambil menunduk.
"Berdua? Dasar ogeb, kalau nggak bisa masak, diam aja napa sih, setidaknya nungguin gue pulang gitu loh!"
"Maaf!" cicitnya kemudian.
"Bukannya bertemu dengan cogan harusnya beruntung, kenapa gue malah buntung, astaga!" Laluna memukul-mukul kepalanya.
Sean yang merasa bersalah mendekati Laluna dan meminta maaf.
"Luna cantik, imut, manis kayak gulali, maafin aku, ya ...." ucap Sean sambil memasang muka manis dan imut agar Laluna memaafkannya.
"Ogah! Jangan sok manis deh di depan gue, enek tau!"
Laluna melihat kertas di atas meja dan melihat tagihan bulanannya semakin membengkak.
"OMG, derita apalagi ini."
Teringat saat pemasukannya semakin minim membuat Laluna ingin segera mengusir Sean.
"Perasaan sejak gua ketemu nih cowok, hidup gue nggak bisa nyaman, kenapa ya? Apa gue usir aja nih cowok?"
Meskipun Laluna galak dan bar-bar, Sean tidak pernah keberatan, karena di balik sosoknya itu ada sisi lembut yang seringkali terlihat meski Laluna tidak menyadarinya. Apalagi senyumnya yang membuat jantung Sean mendadak tidak sehat dan ser-seran.
"Hehehe, sepertinya aku harus memasang pengumuman tentang orang hilang deh?" gumam Laluna sambil menyeringai.
Kehidupan terus berjalan, meskipun Laluna masih kesal dengan sikap Sean, tapi ia juga tidak tega jika melihatnya kelaparan. Selama ia masih bekerja Laluna menyiapkan banyak makanan untuk Sean.
"Masakan gadis bar-bar itu sungguh lezat, kenapa ia justru bekerja sebagai kurir dan tidak membuat sebuah resto?"
Sean selalu memakan habis masakan Laluna, tidak jarang pula ia membantu Laluna bersih-bersih sebagai permintaan maafnya. Namun, ujung-ujungnya pekerjaan Sean jarang yang berakhir sempurna. Ada saja kesalahan yang diperbuatnya.
"Mr. Arogant cukup, badan gue bisa basah, dudul!" keluh Laluna yang badannya basah terkena semprotan air saat mencuci motor.
"Nggak mau, wek ... wek ...." ucapnya sambil berlari.
"Awas aja kamu, sini serahin airnya!" pekik Laluna kesal.
Akhirnya mereka pun kejar-kejaran karena hal itu. Saat Laluna berhasil menangkap tubuh Sean, ia berbalik. Alhasil keduanya saling menatap, tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Keduanya pun berlarian ke dalam rumah dan tersenyum bersama.
"Akhirnya kamu kembali tersenyum, Luna."
Laluna menoleh ke arah Sean yang memandangnya teduh. Tentu saja ia menjadi salting karena ditatap intens oleh cogan.
"Eh, memangnya kenapa?" tanya Luna malu-malu.
"Sejak pulang kerja kamu terlihat murung, jadinya aku mengerjai kamu tadi agar kamu kembali tersenyum. Kamu kalau senyum terlihat manis, maaf ya.'
"Eh ...." blush seketika wajah Laluna merona.
"Nggak apa-apa kali, santai aja," ucap Laluna sambil membuang muka karena terlalu malu.
"Ternyata dia lagi menghibur aku, sweet banget sih."
......................
Beberapa hari kemudian Sean yang penat memberanikan diri jalan-jalan di sekitar rumah. Di komplek Laluna banyak anak kecil yang sedang bermain. Secara tidak sengaja kepala Sean terkena lemparan bola dari salah seorang anak-anak.
"Arghh!" keluh Sean sambil memegangi kepalanya yang berdenyut.
Detik itu pula sebuah keajaiban terjadi, ingatannya kembali. Bayangan masa lalunya benar-benar membuat Sean geram.
"Aku harus mencari tahu, dalang dibalik kecelakaanku."
Seketika ia teringat perusahaan miliknya, namun tidak ada akses untuk mengetahui keadaan di sana. Melihat Laluna pulang kerja, Sean bersikap manis.
"Aku nggak mau pisah dengan gadis itu, tapi aku harus kembali?" ucap Sean bimbang.
Sejak dekat dengan Laluna, ada rasa tidak rela jika ia mengatakan ingatannya sudah pulih. Maka dari itu ia pun tetap bersikap seolah ia masih amnesia.
Saat Laluna tertidur, Sean mengambil ponsel Laluna, berniat untuk menghubungi Jo asistennya.
"Maaf, aku pergi sebentar ya, Lun. Hanya sebentar kok, habis itu balik lagi. Cup."
Tanpa sadar Sean justru mengecup kening Laluna selama beberapa menit. Rasanya begitu berat ketika harus berpisah dengannya. Namun, ada beban tanggung jawab ketika mengingat perusahaannya.
Laluna yang merasa dicium meraba keningnya sambil merem. "Perasaan ada yang cium gue, tapi sapa, ya? Ah, haluku ketinggian mana ada yang mau sama gue yang buluk ini!"
Sean yang sempat mendengar celoteh Laluna tersenyum lalu benar-benar pergi. Jo sudah menjemput Sean di depan gang.
"Selamat datang, Pak Bos. Akhirnya kamu kembali."
"Sudah kamu persiapkan semuanya, Jo?"
"Beres, Bos. Besok pagi tepat di acara rapat pengangkatan Leo sebagai CEO pengganti, kita akan muncul."
"Sip."
Mobil yang dipakai Sean, mengantarkannya sampai ke tempat persembunyian yang telah dipersiapkan oleh Jo. Beberapa berkas yang dibutuhkan untuk kemunculan Sean pada acara rapat pemegang saham esok pagi sudah siap.
Persiapkan Sean dan Jo benar-benar sudah matang. Prediksi Sean sangat akurat. Ia tahu jika hal ini cepat atau lambat akan terjadi.
"Waktu untuk menghilang dari dunia bisnis sudah selesai, kini saatnya kita muncul dipermukaan."
"Semangat, Bos! Kita pasti bisa memukul mundur para cecunguk itu!"
Keesokan harinya, GENEVA COMPANY.
Sean muncul tepat jam tujuh pagi. Semua orang tertegun akan kedatangan Sean yang terlihat segar bugar tanpa lecet sedikitpun. Aura yang sama darinya tidak pernah luntur meski telah lama menghilang.
"Bu-bukankah itu Sean?"
"Benarkah itu dia? Aku tidak sedang melihat hantunya, bukan?"
Salah seorang karyawan menyenggol bahu teman sebangkunya.
"Gi-la, tentu saja itu Sean asli, ternyata dia masih hidup."
"Akhirnya GENEVA Company tidak akan meredup sinarnya."
"Percayalah dengan kembalinya CEO Sean maka GENEVA tidak akan pernah tertandingi."
"Setuju."
Seketika semua orang di ruangan itu menunduk hormat kepada Sean. Apalagi mereka tahu CEO yang telah dikabarkan meninggal sebelumnya, kini bisa berdiri tegap di hadapan semua orang lagi. Ekspresi lain ditunjukkan Leo yang terlihat mengepalkan tangannya.
"Sial, bisa-bisanya ia kembali!" ucapnya dengan geram.
"Sean, benarkah itu kamu?" ucap Tuan John tidak percaya, bahkan ia menggerakkan kursi rodanya agar bisa mendekati putra angkatnya.
Tanpa menunda lagi, Tuan John langsung membalikkan tubuhnya selepas ia memeluk putranya yang sudah kembali itu.
"Kita semua bisa melihat jika putraku sudah kembali, maka dari itu tonggak kepemimpinan Perusahaan GENEVA Company akan tetap berada di bawah kepemimpinan Sean Alinskie."
Seketika suara gemuruh tepuk tangan terdengar memenuhi ruangan rapat. Semua orang tampak bersuka cita dengan kembalinya Sean.
Leo yang tampak kesal segera meninggalkan ruang rapat. Lain lagi dengan Chryst kakak Sean yang kedua, ia mendekati Sean dan mengucapkan selamat datang padanya.
"Selamat datang kembali, adikku. Kursi kepemimpinan ini memang pantas untukmu, selamat bekerja keras."
"Terima kasih, Kak."
Keduanya saling berpelukan lalu setelahnya tinggallah Sean dan Tuan John yang bercengkerama di sana. Sejenak melepaskan kerinduan antara anak dan ayah. Meskipun Sean hanya anak angkat, tetapi John justru lebih sayang padanya.
Setelah kembali, pekerjaan terlihat menumpuk di meja kerja. Sean menghela nafasnya, ia teringat gadis kecilnya yang mengemaskan itu. Ingin pergi tetapi tertahan. Sungguh penat rasanya jika harus menahan karena tidak bisa menemui Laluna secepatnya.
Di sisi lain, Laluna dalam masalah besar. Hutang yang ia tumpuk pada Bosnya membuat istri Pak Bos marah dan memecat Laluna.
"Enak saja minta bon lagi, emangnya toko bunga ini milik kamu!" gertak istri Pak Don.
Pak Don yang takut istri hanya bisa bersembunyi di balik pintu.
"Ta-tapi, Bu ...."
"Nggak pakai tapi-tapian, pokoknya kamu saya pecat hari ini!"
"Ha-ah, dipecat?" ucap Laluna tidak percaya.
Seketika lutut Laluna lemas, ingin berteriak tapi tercekat di tenggorokan apalagi melihat api kemarahan di mata Istri Pak Don.
"Ya sudah, saya pamit."
Tujuan utama Laluna hanya satu, rumah kost-kostan miliknya. Betapa terkejutnya ketika melihat Bu Rosmia berdiri sambil berkacak pinggang.
"Hei, gadis pengangguran cepat bayar kost, nggak usah cari alasan lagi, cepat bayar!"
"Astoge, sial amat hidup gue!" pekik Laluna.
"Bentar, Bu. Kemarin ibu saya bilang mau kirim uang besok pagi, secepatnya pasti saya akan bayar lunas kok, suer!" ucap Laluna sambil mengarahkan dua jarinya ke arah Bu Rosmia.
"Janji! Awas aja sampai meleset lagi, Lo gue end, paham!"
"Paham Bu Rosmia yang cantik menawan dan baik hati ...."
"Huft, untung aja Lo muji gue cantik, kalau kagak, sudah gue usir Lo dari dulu."
Laluna hanya meringis memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Seketika Bu Rosmia meninggalkan rumah kost Laluna.
Ditatapnya langit yang penuh dengan bintang-bintang yang bertaburan menghiasi angkasa. Namun semua itu terasa hambar.
"Kenapa sepi sekali disini, rasanya sangat tidak nyaman," ucapnya sambil menepuk-nepuk dadanya berkali-kali.
Laluna menendang kaleng bekas di depannya lalu segera masuk rumah. Esok pagi ia harus pergi ke rumah ibu angkatnya untuk meminjam uang.
Keesokan harinya.
"Hari ini aku kembali lagi ke rumah ini, semoga mereka masih mengingatku," gumamnya perlahan.
Rasa sakit dan terbuang itu masih membekas di hatinya. Ingin sekali Laluna pergi dan tidak kembali lagi ke rumah itu, sayang demi berhutang ia harus membuang egonya.
Baru saja membuka pintu, tatapan membunuh ia dapatkan dari ayah kandungnya.
"A-ayah ...."
"Siapa yang memberimu ijin memanggilku, Ayah?"
Suara Laluna benar-benar tercekat. Bagaimana bisa ia mempunyai seorang ayah yang bersikap seperti orang lain. Sejenak kemudian, Nyonya Han turun dan menemui Laluna.
"Hei, ada apa ini, bukankah itu putri kesayangan kita, Sayang?"
Tuan Han membuang muka, ia sudah tidak sudi melihat wajah Laluna.
"Katakan, ada apa kamu kesini, Sayang?"
Nyonya Han memang pandai bersandiwara, ia bahkan mendatangi Laluna seolah ia ibu peri untuknya.
"Kamu kesulitan uang? Sebentar ibu ambilkan cek untukmu."
Saat hendak melangkah, tangan Nyonya Han dicekal suaminya.
"Jangan sekali-kali kamu memberi hati pada anak ini, kita sudah tidak punya hubungan darah dengannya!"
"A-ayah?"
Laluna menutup mulutnya tidak percaya. Buliran kristal di pelupuk matanya sudah siap menganak sungai. Nyonya Han memasang wajah sendu.
"Maafkan Ibu Sayang, karena tidak bisa membantu saat ini, sebaiknya kamu pergi dulu. Biar aku menenangkan ayahmu dulu."
Hati Laluna menjerit, bukannya bantuan yang didapat justru kebencian ayahnya semakin meningkat. Langkah kaki Laluna semakin melemah. Derai hujan yang turun tidak membuatnya menggigil. Ia tetap melangkahkan kakinya.
Seketika ia terkejut ketika ada payung yang menaunginya. Sontak Laluna mendongak.
"Pak Don?"
"Kamu pasti kedinginan. Sebaiknya aku mengantarmu pulang."
"Ta-tapi saya takut sama istri Bapak, maaf Bapak menyingkir saja."
"Kamu menolakku!" bentak Pak Don.
Laluna memundurkan langkahnya. Namun, bukannya pergi, Pak Don justru menarik paksa Laluna dan mendorongnya hingga terjatuh. Seketika ia terlihat lebih bringas dari sebelumnya.
"Malam ini kamu tidak bisa lari lagi dariku, kamu harus menjadi milikku."
"Bapak mau apa!"
"Arghhhh!" teriak Laluna ketakutan.
Pak Don menarik paksa blazer milik Laluna. Namun, belum sempat Pak Don menyentuh tubuh Laluna, sebuah bogem mentah berhasil membuat Pak Don tersangkur.
"Sial-an!" pekik Pak Don mengusap sudut bibirnya yang berda-rah.
Tidak mau melihat Laluna terluka, ia segera memukul Pak Don hingga jatuh berulang kali. Setelah puas menghajarnya, Sean sesegera memeluk Laluna.
"Kamu nggak kenapa-napa, kan?"
"Huaaaa ...."
Tangis Laluna pecah, Sean yang tidak bisa melihat Laluna terluka segera memeluknya.
"Jangan menangis, Sayang, aku ada di sini."
Sean mendekap tubuh Laluna yang menggigil dan menggendongnya ke dalam mobilnya.
"Urus dengan segera lelaki itu, pastikan dia tidak bisa menyentuh tubuh Laluna lagi!"
"Asiap, Pak Bos."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!