“Kegelapan pasti akan selalu hadir setiap hari nya, begitu pun dengan kehidupan, tidak ada kehidupan tanpa di hantam suatu masalah.”
Jangan pernah takut untuk menghadapi masalah, kadang-kadang masalah itu sendiri datang tanpa kita bayangkan sebelumnya.
Selamat membaca! •_•
•••
23:20
Seorang pria setengah baya datang ke warung internet dengan berjalan sempoyongan, terlihat ia tidak sendiri. Pria setengah baya ini sebut saja Bonar, ia datang bersama seorang wanita cantik berpakaian seksi dengan belahan dada aduhai.
Sebut saja si wanita seksi ini Mbak Gemel, karena bodinya yang empuk serta semok bin montok, ia mendapat julukan Mbak Gemel padahal nama aslinya Pretty Sinta.
"Gemel, aku akan membelai mu dengan lembut malam ini Mel,” kata Bonar bersuara berat, menahan hasrat.
Malu-malu manja, Mbak Gemel tersenyum nakal. Tangannya ia lingkarkan di tengkuk pria setengah baya bau tanah yang sudah menjadi gendakkan Bonar (selingkuhan) sejak dua bulan lalu.
"Aku juga sudah nggak tahan Kang Mas,” bisik Mbak Gemel mesra.
Mendengar bisikan mesra gendakkannya itu membuat Bonar semakin menggila. Hasratnya untuk menjamah setiap jengkal bodi bohay sang biduan panggung tak tertahan.
"Ayo sayang, kita masuk,” Bonar menarik tangan Mbak Gemel.
Mbak Gemel menahan tangan Bonar, ia berdiri dengan menahan tubuh Bonar agar tidak terhuyung. "Tunggu sebentar Kang Mas,”
Dengan tatapan mata sayu, karena efek samping dari minuman beralkohol. Bonar menatap Mbak Gemel heran, "Kenapa? Katanya kamu sudah nggak tahan?”
Mbak Gemel terlihat mengamati situasi. Lantas tatapannya beralih menatap bangunan dua lantai yang ada di hadapannya, "Kenapa kita kesini? Kenapa kita nggak ke hotel apa ke rumahku, kan lebih leluasa Kang Mas,”
Pria setengah baya bau tanah ini menyandarkan kepalanya di bagian belahan dada montok sang biduan bohay, "Kalau ke rumahmu kejauhan, kalau ke hotel juga jauh. Terus kalau ke rumahku ada istriku yang sakit-sakitan, lagipula warnet ini juga milikku yang sebentar lagi akan menjadi milikmu juga,”
Mbak Gemel merasa geli dengan apa yang dilakukan tua bangka yang tengah menguy-uyel serta menciumi lehernya. Akan tetapi, meskipun serasa ada rangsangan yang diterimanya, Mbak Gemel sok-sokan ngabek, "Katanya kamu mau jadiin aku istri keduamu, kapan Kang Mas? Kan kita bisa leluasa di rumah Kang Mas?”
Wanita berambut kemerah-merahan ini tahu betul, bahwa pria tua bangka bau tanah ini mempunyai kekayaan yang berlimpah. Bukan hanya sekedar juragan padi dan perkebunan karet, Bonar juga pemilik sawah yang luas juga seorang lintah darat termasyur di tempatnya tinggal.
"Sabar sayang, kamu bukan hanya menjadi istriku, Tapi juga akan aku jadikan ratu.” kata Bonar bersuara serak-serak basah sembari tangan kirinya meraba bbokong empuk nan ssemok Mbak Gemel. Sedangkan tangan kanannya memegang ciu cap orang tua berjanggut putih panjang.
Mbak Gemel seperti merasakan hembusan angin segar mendengar ucapan pria tua yang yang menjadikan dirinya selingkuhan, "Tapi kapan Kang Mas?”
Bonar menarik tangannya dari bbokong semok Mbak Gemel, lantas beralih meraba bibir seksi Mbak Gemel yang disuntik silikon serta diberi warna lipstik merah merona, sangat menggoda, "Setelah istriku yang pesakitan itu mati.”
Mbak Gemel manggut-manggut sambil tersenyum licik dan berkata dalam hati, "Palingan nggak akan lama lagi wanita tua itu mati, karena penyakitnya yang bertambah parah. Lalu setelah itu aku bakal jadi nyoya juragan Bonar, hehe.”
"Ayo masuk sayang.” bisik Bonar lagi tepat di telinga Mbak Gemel.
Mbak Gemel kembali menarik tangan Bonar, "Tapi Kang Mas, apa keponakan mu yang bekerja disini sudah pulang?”
Bonar tersenyum genit, "Dia bukan keponakanku, dia keponakan istriku yang sekarat itu,”
"Tapi kan tetap saja dia bisa jadi pengganggu,” kata Mbak Gemel merajuk.
"Tenang sayang, dia pasti sudah pulang. Inikan sudah hampir jam dua belas malam, cuma sebatas itu dia bekerja di sini,” jawab Bonar.
Mbak Gemel melebarkan senyumnya
"Apa masih ada masalah?” tanya Bonar melihat raut wajah Mbak Gemel yang dipenuhi makeup.
Mbak Gemel menggeleng
"Ya sudah ayo, aku sudah siapkan tempat tidur yang empuk di atas.” ujar Bonar, ia lantas melingkarkan tangannya di pinggang Mbak Gemel.
Keduanya mulai mengayunkan langkah kaki dan menapaki ubin teras warnet. Bonar memberikan arahan agar Mbak Gemel mengambil kunci yang terdapat di saku celananya, "Ambil kuncinya di saku ku sayang.”
Mbak Gemel tersenyum, lantas merogoh celana yang dipakai Bonar serta mengeluarkan kunci untuk selanjutnya Mbak Gemel memasukkan kunci ke tempatnya. Namun, setelah Mbak Gemel memutar kunci ia merasa pintunya tidak terkunci.
"Oh, nggak di kunci?” kata Mbak Gemel.
Dalam keadaan setengah sadar, Bonar menjawab, "Benarkah?” Bonar mengecap dan berpikir. "Mungkin saja bocah itu lupa menguncinya. Awas saja kalau sampai ada barang yang hilang, bakalan ku potong gajinya!”
Mbak Gemel tidak menggubris racauan Bonar. Ia lantas membuka pintu kaca warnet, sembari memapah Bonar untuk masuk. Lampu tak begitu terang menyala, tanda memang warnet sudah tutup.
Akan tetapi setelah Mbak Gemel dan Bonar masuk kedalam warnet, lampu tiba-tiba menyala terang. Tidak hanya itu, mereka dikejutkan dengan keponakan Bonar yang sedang bersiap untuk pulang.
"Ka-kamu belum pulang?” ucap Mbak Gemel tergagap, kendati demikian keponakan dari istri Bonar sudah tahu bahwa ia selingkuhan Bonar.
Keponakan Bonar mematung di tempatnya berdiri, ia melihat Bonar dan beralih menatap penyanyi dangdut bohay dengan tatapan menyalak.
Bonar mencoba untuk berdiri tegak, ia sama sekali tidak takut jika aksinya main gila dengan si penyanyi dangdut ketahuan, karena bukan hanya sekali dua kali ia di pergoki. Inilah ketiga kalinya keponakan istrinya itu memergokinya.
"Heh Khaira kenapa kamu diem bae disitu, kamu mau jadi patung?” tegasnya Bonar bersuara menatap sinis pada gadis berjilbab itu, suaranya yang terdengar tegas sampai terdengar menggelegar di ruangan yang terdapat banyak komputer.
Gadis berusia 21 ini terdiam lantaran tidak menyangka, aksi gila suami dari Bibiknya itu semakin hari semakin menggila. Bahkan sekarang nampak sangat tergila-gila pada si pedangdut rambut merah itu.
"Dasar setan merah, perayu suami orang!” spontan Khaira berucap dengan nada gigi dikeratkan.
Mendengar umpatan Khaira membuat telinga Mbak Gemel serasa memanas, ia lantas melepaskan rangkulannya dari tubuh Bonar dan mendekati Khaira, "Dijaga ya mulut kamu itu!”
Bonar berjalan limbung mendekati Mbak Gemel yang terlihat Emosi, tanpa rasa malu Bonar mencium bibir seksi Mbak Gemel dihadapan keponakan istrinya itu, "Jangan membuang tenaga mu secara percuma sayang, kamu cukup membuang tenaga mu dengan ku saja di atas kasur nanti,”
Khaira semakin dibuat geram atas perilaku bejad pamannya, "Is is is.... Dasar aki-aki gila.”
Mendengar cibiran pedas Khaira, Bonar langsung mengalihkan tatapan garang. Lantas mendekati Khaira dan mencengkram kuat kerah baju yang dipakai keponakannya. "Heh bocah jangan ikut campur, atau kalau kamu mau. Kita bisa berbagi kasur,”
Mendengar betapa bejadnya Bonar membuat Khaira semakin meradang, tanpa rasa takut Khaira menginjak sangat kuat kaki Bonar yang ditutup sepatu kulit. Sehingga membuat Bonar mundur selangkah.
"Dasar gadis bodoh!” teriak Bonar garang.
Mbak Gemel seolah bersiaga untuk membela Bonar, "Dasar keponakan nggak tahu di untung, bukannya berterima kasih karena sudah dipekerjakan!”
"Hay biduan, aku bekerja atau nggak bekerja di sini, bukan urusan kamu,” jawab Khaira tegas menunjuk Mbak Gemel menggunakan jari telunjuknya.
Khaira beralih menatap Bonar, "Dan Paman, Paman nggak sadar. Paman itu sudah tua. Bukannya bertobat dan menjalani hidup lebih baik, malahan terus-menerus berbuat dosa!”
"Alah bacot kamu Khaira! Dosa-dosa, tau apa kamu soal dosa, hahh? Kamu itu cuma gadis kecil yang nakal makanya Ibu kamu yang yang pelacur itu minggat dari rumah!” Bonar memaki seraya menunjuk-nunjuk kepala Khaira.
Khaira sangat geram, ia menepis telunjuk Bonar dan memplintirnya. ”Jangan sebut soal Ibu dihadapan ku, dan aku bukan gadis nakal!”
Bonar menarik tangannya yang di plintir Khaira, “Bocah nakal!”
Mbak Gemel mendelikan matanya menatap gadis yang berbeda usianya hanya di atas tiga tahun darinya, ia mengangkat tangan hendak mendaratkannya di pipi Khaira. Tapi tiba-tiba saja tangannya tertahan oleh tangan Bonar.
"Jangan kamu kotori tanganmu sayang, keponakan yang nggak tahu cara berterima kasih ini biar aku saja yang memberinya hukuman.” Bonar menatap Khaira sinis, ia mengangkat tangannya hendak menampar Khaira.
Khaira tentu saja, ia melawannya dengan menepis lengan besar Bonar. "Jangan paman sentuh wajahku dengan tangan kotor mu itu!”
Bonar terkejut, keponakan yang terlihat pendiam itu ternyata adalah seorang gadis yang pemberani.
"Ho begitu yah,” Bonar tidak terima, lantas melihat botol yang masih dipegangnya spontan Bonar mengangkat botol dan mengarahkannya ke kepala Khaira.
Khaira secara refleks merebut botol yang di pegang oleh pamannya itu, dan berbalik mengayunkan botol ke atas tepat dihadapan Bonar, hingga botol itu terlepas dari tangannya dan seketika itu juga terdengar keras botol jatuh ke lantai.
PRAAANG!!!
Botol alkohol yang masih berisikan setengah air dengan kadar alkohol itu pun jatuh berserakan di lantai.
•••
Bersambung
Terimakasih untuk segala bentuk dukungan. Salam sehat dan sukses!
Botol alkohol yang masih berisikan setengah air dengan kadar alkohol itu pun jatuh berserakan di lantai.
Bonar memegangi kepalanya, ia merasakan kepalanya berdenyut hebat, bahkan seketika itu juga ia merasa tidak mendengar apa-apa. Pandangannya kabur, tiga detik kemudian Bonar tergeletak di lantai warnet.
Mbak Gemel tercengang melihat selingkuhannya jatuh terkapar di lantai warnet, hingga secara refleks ia menutup mulutnya. Beberapa detik setelah terperangah ia beralih menatap Khaira yang sama-sama tercengang. Mbak Gemel mundur, "Ka-kamu membunuhnya, kamu membunuh Bonar.”
Setelah mengatakan itu, Mbak Gemel lari tunggang langgang mencari aman. Ia tidak mau ikut terlibat dalam masalah serius ini.
"Entah Bonar mati atau masih hidup, saat ini yang paling penting menyelamatkan diri.” gumam Mbak Gemel sambil terus berlari keluar dari warnet.
Khaira tercengang, ia tidak menyangka bahwa akan seperti ini. Kiranya untuk membela diri malah jadi petaka. Ia perlahan berjalan mundur, menjauhi Pamannya yang terkapar. Rasa gelisah membuatnya berlari keluar dari warnet, dan terus berlari sekencang-kencangnya.
Kurang dari satu jam Khaira berlari, ia sampai di depan rumahnya. Khaira menatap pintu rumah, ada rasa bersalah telah meninggalkan Paman Bonar begitu saja. Ia mengambil ponsel dari tas selempangnya dan mengeluarkan ponsel.
"Halo semalam malam rumah sakit Medika, bisa tolong bantu kirimkan ambulans ke warnet plaza yang beralamat jalan mawar nomer tiga, ada seseorang yang sedang terluka parah di dalam warnet tersebut. Tolong ya Mas segera, ini darurat.” setelah menghubungi pihak rumah sakit. Khaira menggedor pintu rumah, karena ia tidak membawa kunci. Karena biasanya setiap hari saat Khaira pulang kerja, Abah akan menjemputnya.
Brak!! Brak!! Brak!!
"Abah-abah!” dalam kepanikan Khaira memanggil-manggil Ayahnya bersamaan gedoran pintu yang terdengar keras. Sembari ia menoleh kebelakang, karena ia takut akan ada seseorang yang mengikutinya.
"Abah, bukan pintunya Abah!” dengan tarikan nafasnya yang tersengal-sengal, Khaira terus menggedor pintu rumahnya. Sampai terdengar seseorang sayup-sayup suara dari dalam rumah.
"Iya, ini Abah.” sahut Abah dari dalam, "Baru saja Abah akan pergi menyusul mu, nduk.” Abah lantas membuka pintu dan terkejut melihat anak semata wayangnya terengah-engah sambil menangis bahkan hijab yang dipakai putrinya itu terlihat acak-acakan membuat hati seorang Ayah khawatir.
"Ning kamu kenapa, nduk?” tanya Abah khawatir melihat putrinya yang terlihat menggigil dan berwajah pucat pasi. [Nduk, Genduk adalah sebutan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa]
Khaira panik, ia memegang tangan Abahnya. "Abah, Ning takut Abah, Ning takut,”
Abah merasa sesuatu telah terjadi, hingga membuat anak satu-satunya ini ketakutan serta gemetar, Abah melihat keadaan di luar rumah. Nampak terlihat lengang di gelapnya malam, jalanan hanya terlihat dari lampu.
"Masuk-masuk dulu, nduk.” Abah menyuruh putrinya untuk masuk kedalam rumah, sebelum Abah menyusul Khaira yang beliau panggil Ning. Sejenak Abah mengamati keadaan di sekitar rumah lantas menyusul Khaira yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah.
Abah mencari-cari Khaira, "Ning, Ning putri Abah?”
Tidak ada sahutan dari Khaira, yang terdengar hanya bunyi detik dari jarum jam dan tangisan yang terdengar sesenggukan.
Abah melewati ruang tamu sampai ke ruang tengah. Tangisan yang terdengar sangat memilukan terdengar di sebelah lemari meja televisi persisnya di sela-sela lemari dan pojokan dinding.
Abah tahu betul, sedari kecil jikalau putrinya sedang merasa tidak baik-baik saja, tempat biasa putrinya bersembunyi untuk menangis adalah di pojokan samping lemari televisi.
Melihat putrinya dalam keadaan terpuruk membuat hati seorang Ayah sangat terluka. Abah mendekati dan berjongkok di hadapan putrinya.
"Ada apa Ning, siapa yang membuat kamu menangis?” Abah bertanya bernada suara sangat lirih.
Khaira menangis, ia tidak tahu darimana akan mulai mengadukan pada sang Ayah tentang kejadian di warnet milik Paman Bonar. Ia hanya bisa menangis dan menatap mata Abah yang terlihat sendu.
Abah mengusap lembut kepala putrinya, "Jangan hanya menangis anakku, menangis memang bisa melegakan hati. Tapi hanya dengan menangis saja, nggak akan menyelesaikan masalah, nak. Bicaralah,”
Ucapan Abah selalu sama, ketika Khaira menangis seperti ini. Khaira teringat, terakhir kali ia menangis seperti ini sudah dua belas tahun lamanya, saat ia di ejek karena ibunya minggat dari rumah.
Khaira mengelap air mata serta hidungnya yang terus saja mengeluarkan cairan berlendir bening.
"A-bah,” ucap Khaira lirih sembari menahan tangis sesenggukan.
Abah mengangguk pelan, beliau melihat hidung putrinya yang memerah serta matanya yang mulai membengkak karena terus saja menangis, "Bicaralah nduk, supaya perasaan mu jauh lebih baik,”
Khaira melihat wajah Abahnya yang sudah mengeriput, "A-bah,” lagi ucapan Khaira terjebak oleh tangisan.
Abah masih menunggu penjelasan putrinya dengan sabar. Beliau tahu, Khaira butuh waktu untuk bisa berbicara tentang apa yang sudah membuat putrinya menangis seperti ini. Hal semacam ini membuat Abah teringat saat Khaira kecil, saat Ibunya meninggalkan Khaira begitu saja.
Pria berusia 51 tahun ini telah menjaga putri semata wayangnya seorang diri selama lima belas tahun lamanya. Karena seorang istri yang melahirkan putrinya telah pergi sejak putrinya berusia enam tahun. Sosok Ibu yang diharapkan untuk menjadi penyayang bagi anaknya seketika itu sirna.
Ratapan Abah melihat putrinya seperti ini membuat hatinya bagaikan tersayat pisau. Namun seketika sayatan itu mengalirkan darah, ketika Khaira mengakui apa yang telah terjadi hingga membuatnya seperti ini.
"A-abah Ning su-sudah membuat Pa-paman Bonar terluka, Ning ng-nggak tahu Paman Bonar ma-masih hi-hidup atau sudah me-meninggal,” ungkap Khaira terbata-bata mengakui bahwa ia telah melakukan hal diluar dari keinginannya.
Abah tercengang mendengar penjelasan Khaira. Akan tetapi Abah juga sudah menduganya bahwa suatu saat hal seperti ini pasti akan terjadi, karena Abah tahu seperti apa Bonar Sumargo itu. Namun beliau tetap bersikap tenang, "Abah yakin kamu melakukan itu untuk melindungi diri,”
Khaira melihat kecemasan yang tergambar jelas di raut wajah Abahnya, "Maafkan Ningrum karena nggak mendengarkan nasehat Abah, supaya Ningrum nggak bekerja di sana, tapi Ningrum tetap bersikeras untuk bekerja di warnet milik Paman jahat itu,”
Abah membelai lembut kepala putrinya yang tertutupi hijab warna hitam, "Kamu bekerja di sana juga bukan sepenuhnya keinginan mu, nduk,”
"Tapi Abah, bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu sama Paman, lebih-lebih kalau Paman sampai meninggal,” Khaira mencemaskan sesuatu jikalau sampai terjadi sesuatu yang berbahaya kepada suami dari Bibiknya.
"Bangunlah, dan coba jelaskan sama Abah sebenarnya apa yang terjadi,” Abah membujuk agar Khaira agar mau bercerita lebih jelas lagi. "Nanti kita pikirkan sama-sama bagaimana jalan keluar dari masalah Bonar.”
Khaira pun mengikuti saran Abah, ia berjalan dengan tubuh gemetar dan duduk di sofa usang ruang tengah.
Sementara Abah berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air lantas kembali lagi ke ruang tengah dan memberikan gelas kepada putrinya, "Minumlah Ning, kamu akan merasa lebih tenang,”
Dengan tangan gemetar Khaira menerima gelas yang diberikan Abah, dan meminumnya sampai tandas. Setelah dirasa cukup tenang, Khaira menceritakan tentang apa yang terjadi di warnet, sehingga tanpa sengaja memukul kepala Paman Bonar.
Abah mendengarkan penjelasan putrinya dengan seksama, beliau menghela nafas panjang.
"Nggak ada manusia yang hidupnya baik-baik saja Ning, semua punya ujiannya masing-masing.” ujar Abah memberikan nasehat.
"Terus Ning harus bagaimana Abah?” kata Khaira lirih.
"Abah yakin Bonar akan baik-baik saja.” kata Abah meyakinkan putrinya.
“A-bah.” Khaira kembali menangis sembari memeluk keduanya lututnya.
Abah mendekati putrinya yang tengah di rundung nestapa, beliau menepuk pundak Khaira, “Seringkali masalah itu datang tanpa kita sadari. Tapi kita hanyalah manusia biasa nduk, tak berdaya tanpa sang Maha Pencipta.”
Khaira mengangkat wajahnya yang mulai sembab, ia menatap Abahnya.
Abah mengangguk pelan, “Ingatlah terus menerus sama kutipan kata-kata ini, di atas langit masih ada langit.”
•••
Bersambung
Dua hari telah berlalu. Pagi ini Khaira termenung di belakang rumah, memandangi empang yang berisi ikan lele. Beberapa kali ia menghela nafasnya yang terasa berat. Dalam pikiran kalut, ia masih bersyukur mendapatkan kabar bahwa Pamannya itu baik-baik saja, dan sedang mendapatkan penanganan medis di rumah sakit.
Dua malam Khaira tidak bisa tertidur nyenyak, tentu karena memikirkan masalah yang dua malam lalu terjadi, hingga pagi ini pun ia masih berpikir keras. Dalam perasaanya, "Aku merasa botol yang ku lempar nggak mengenai kepala Paman, tapi kenapa Paman sampai pingsan?”
Abah keluar dari dapur dengan membawa topi caping dan cangkul, beliau melihat putrinya itu sedang melamun. Sedangkan tangan Khaira sedang memegang pisau dan singkong. Abah berjalan dan duduk di dipan yang terbuat dari bambu.
"Kamu pegang pisau sambil melamun itu bahaya, Ning. Bisa melukai tanganmu,” kata Abah sambil menaruh cangkul di samping kakinya.
Khaira terkejut dan langsung mengalihkan atensinya menatap Abah yang sudah duduk tidak jauh darinya, sampai tangannya tergores pisau, "Auh...”
Khaira melihat jarinya yang mengeluarkan darah dari sela-sela goresan pisau, ia lantas mengecap jarinya yang tergores.
Abah menghela nafas panjang, beliau tahu apa yang sedang menjadi beban pikiran anaknya saat ini. "Tuh kan Abah bilang juga apa, pegang pisau mbok toh yo sing ati-ati. Kalau nggak singkong yang terkelupas yo jarimu,”
Khaira menatap Abahnya, lagi-lagi ia menghela nafas panjang. "Ning bingung Bah,”
Abah berdiri lantas mengambil pakan ikan lele yang terdapat di gantungan dinding belakang rumah. "Bingung kenapa?”
Khaira kembali melihat empang ikan lele, "Perasaan Ningrum, botol itu nggak sampai mengenai kepala Paman, tapi kenapa Paman langsung pingsan,”
Abah menebarkan pakan ikan ke empang, seketika ikan lele melahap habis pakan ikan yang Abah tebarkan. "Kalau kamu nggak merasa memukul kepala Pamanmu, ya jangan terus menerus menyalahkan diri. Semalam kamu cerita dia terlihat sangat mabuk, mungkin itu yang jadi penyebab Pamanmu itu pingsan,”
"Dia bukan pamanku,” Khaira menggerutu, dari matanya yang sayu menatap empang kini beralih menatap Abah dari samping.
Abah terkekeh mendengar anaknya menggerutu yang tidak mengakui Bonar sebagai paman putrinya itu, "Hahaha, meskipun kamu nggak mengakui Paman Bonar adalah Pamanmu, tapi tetap saja Bonar adalah suami dari adik Ibumu, Ning,”
"Sudahlah Abah, jangan menyebut-nyebut Ibu lagi. Ningrum nggak punya Ibu,” jawab Khaira spontan, selama lima belas tahun ia merasa Ibunya sudah meninggal.
Abah terdiam sesaat, begitulah jawaban anaknya jika sudah membahas soal Ibu. Padahal beliau tidak pernah menceritakan suatu keburukan tentang Ibu yang telah melahirkan putrinya yang entah pergi kemana, “Tapi jangan mengingkari kodrat mu nduk, bahwa kamu lahir dari perut Ibumu. Sebesar apapun kamu membencinya, dia tetap Ibumu,”
Khaira menatap Abah, ia tidak membantahnya.
Abah telah selesai memberikan lele makan, dan duduk kembali di atas dipan, "Sudah jangan dipikirkan soal Pamanmu, saran Abah keluarlah dari pekerjaan warnet Pamanmu. Kamu bekerja di sana kan karena kamu nggak mau nganggur, lagipula Abah masih bisa memenuhi kebutuhan hidup mu, Ning,”
"Gimana aku akan bekerja di sana lagi, bahkan sebelum aku menginjak teras warnet, mungkin aku langsung di tendang sampai mental ke planet mars sama bodyguardnya si Bengek tua-tua keladi itu yang badannya gede-gede kaya king and the kong.” gumam Khaira lirih. Ia menerawangkan pandangannya menatap dedaunan yang terhembus oleh tiupan angin di pagi hari.
"Kamu bicara apa Ning Abah nggak dengar? Mungkin karena Abah sudah tua ya?” kata Abah bertanya pada putrinya karena mendengar gerutu Khaira seperti nyamuk yang mengaung-ngaung di sekitar kepala.
Khaira menjawab Abahnya hanya menggelengkan kepala. Helaan nafas panjang ia hembuskan.
"Ning tahu Abah, dari Ning kecil pun Abah selalu memenuhi dan selalu menuruti apa yang Ning mau. Tapi mau sampai kapan Ning akan mengandalkan Abah, Ning nggak mau merepotkan Abah terus,” jawab Khaira melihat wajah Abahnya yang dipenuhi guratan keriput karena termakan oleh waktu.
"Ning, putri Abah. Kalau kamu nggak meminta sama Abah memangnya kamu berani minta ke tetangga?” kata Abah lalu menyeruput teh yang sudah di sediakan putrinya.
Mendapat pertanyaan seperti itu Khaira refleks menggeleng.
"Ya sudah, minta saja apa yang kamu butuhkan selagi Abah masih mampu untuk memenuhinya,” Abah menaruh gelas bekas teh yang tandas, lantas mengusap kepala putrinya dan tersenyum simpul.
Khaira merasa kasihan jikalau terus-menerus membebani Abahnya, ia tahu bahwa orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. "Kalau begitu Ning jualan ayam lagi saja,”
Khaira melihat semut-semut di tanah yang berbaris rapih mengikuti kawannya yang berjalan paling depan, "Kalau Ning nganggur, Ning berasa nggak enak hati sama semut. Semut yang badannya kecil berkali-kali lipat dari badan manusia masih mau susah payah mencari makan, masa Ning hanya diam saja,”
Abah tahu betul, putrinya memang anak yang pekerja keras. Bahkan selama sekolah ditingkatan SMA Khaira tanpa merasa malu jualan jajanan di sekolah. Dan pada saat lulus pun Khaira tidak menyerah untuk mencari pekerjaan yang selayaknya sesuai kelulusannya, "Kamu bilang jualan ayam potong maupun ayam chicken sepi, karena sudah banyak yang jualan?”
"Iya, tapi kata Abah kan. Setiap manusia mempunyai jalan rezekinya masing-masing, dan nggak akan tertukar,” jawab Khaira, persis sama seperti apa yang Abahnya ajarkan.
"Kenapa kamu nggak melanjutkan sekolahmu saja nduk?” tanya Abah.
"Maksud Abah, kuliah?” jawab Khaira, entah ke berapa kalinya Abahnya menawarkannya untuk melanjutkan kuliah yang biayanya bisa mencapai puluhan juta. Dan itulah yang menjadi ketakutan Khaira bila pada akhirnya akan membebani Abahnya karena biaya kuliah yang memang tidak murah.
Abah mengangguk, "Kalau kamu kuliah, Abah rasa kamu akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang layak,”
Khaira menggeleng
Lagi-lagi Abah mendapat penolakan yang sama, meskipun beliau tahu biaya kuliah sangat mahal. Dan juga hasil yang di dapat dari menjalankan usaha bengkel serta berkebun tidak selalu memenuhi kebutuhan hidup. Tapi jika dengan tekad yang kuat, beliau merasa bisa memberikan pendidikan yang baik untuk Putri semata wayangnya. Akan tetapi, putrinya itu sangat penyayang, karena tidak mau membebani Abahnya yang sudah renta.
Abah mengambil cangkul dan menaruhnya di pundak, lalu membenarkan topi capingnya yang sedikit miring, "Ya sudah, kalau kamu nggak mau. Abah hanya berharap kamu menjadi orang yang berakhlak mulia dan sukses di masa depan,” Abah bangun dari duduknya, "Abah pergi ke kebun dulu, mau menanam jagung,”
"Abah memangnya nggak buka bengkel?” Khaira bertanya sebelum Abahnya pergi.
Abah menghentikan langkahnya dan sejenak beliau menoleh kebelakang, "Setelah Abah pulang dari kebun.” lantas kembali berjalan meninggalkan halaman belakang rumah.
Khaira manggut-manggut, ia melihat Abahnya semakin menjauh dan melihat pemandangan ladang sawah yang sudah di panen.
••
Siang hari menjelang sore tiba, Abah sedang berkutat di bengkel miliknya yang tepat berada di halaman rumah. Membenarkan ban motor pelanggan yang tertancap paku di jalanan.
Namun, pada saat Abah tengah sibuk dengan pekerjaannya. Abah dikejutkan oleh kedatangan dua orang polisi.
"Selamat sore,” ucap seorang polisi kepada Abah dan seorang pelanggan bengkel Abah.
Abah langsung saja berdiri, dan seorang pelanggan yang sedang menunggu untuk perbaikan ban motornya pun ikut terkejut.
"Sore Pak,” jawab Abah bersamaan pelanggan bengkelnya.
"Ada apa yah Pak polisi?” tanya Abah ragu-ragu.
"Apakah benar ini rumah dari saudari Khaira Ningrum?” tanya seorang polisi dengan suara tegas kepada Abah.
"I-iya benar,” Abah gugup, beliau menelan ludahnya yang serasa mengganjal.
"Kami mendapat laporan atas tindak penganiayaan yang dilakukan oleh saudari Khaira Ningrum terhadap Pak Bonar Sumargo yang terjadi di dalam warnet plaza milik Pak Bonar sendiri.” kata salah seorang polisi bernama tag Bagas Setyabudi.
"Benar, dan kami membawa surat penangkapan saudari Khaira.” seorang polwan bernama tag Retno Dwi Safitri menunjukkan bukti surat penangkapan.
Deg... Abah merasa seperti tersengat aliran listrik. "Sebentar Pak polisi, ini hanya kesalahpahaman, putri saya melakukan itu hanya untuk melindungi diri.”
•••
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!