Bukan Jono namanya kalau mudah berputus asa dan kalah oleh keadaan. Meskipun bapaknya seorang hansip di kelurahan dan nyambi kerja jadi satpam perumahan di dekat rumah mereka, hal itu tidak membuat Jono berkecil hati lalu menarik diri dari pergaulan, no way! Itu tidak ada dalam kamus hidupnya Jono. Bahkan, ia santai saja berteman dengan anak-anak di komplek perumahan yang tentu saja dari kalangan elit itu. Jono juga tak malu-malu ketika harus menggantikan bapaknya untuk berjaga di pos keamanan yang berada di pintu gerbang masuk ke areal perumahan Citra Regency.
Hidup yang penting jujur, kerja halal. Begitu pikir Jono yang membuatnya tidak merasa malu dengan pekerjaan bapaknya atau saat dia sendiri yang harus kerja menggantikan sang bapak.
Karena sering menggantikan bapaknya itulah, Jono banyak kenal dengan warga perumahan. Bahkan, akhirnya berteman dengan anak-anak remaja seusianya yang notabene adalah anak-anak orang kaya. Jono disukai oleh anak-anak perumahan karena ia supel dalam bergaul, ramah, dan murah senyum. Jono juga rajin membantu apa saja yang disuruh oleh warga perumahan. Memotong dahan pohon yang meranggas dan lapuk, mengecat pagar tembok, mengganti genting bocor, juga menanam bangkai kucing milik warga perumahan yang tidak berani sendiri menguburkan kucingnya yang mati. Mereka takut dan geli memegang bangkai kucing. Pokoknya Jono adalah solusi bagi kebanyakan warga perumahan Citra Regency.
Apa yang membuat Jono semakin disukai oleh warga perumahan adalah Jono tidak pernah mau diberi upah atas semua pekerjaan yang dilakukannya. Jono benar-benar menampiknya dengan halus. Hal tersebut membuat warga kehilangan akal untuk memberi upah kepada Jono. Akhirnya yang ketiban untung adalah bapaknya Jono. Warga selalu memberi uang kepada Pak Sapri, bapaknya Jono.
Memang Jono adalah anak pembawa rezeki! Karena ia selalu ringan tangan membantu warga perumahan tanpa pamrih dan selalu menolak dibayar atas tenaga yang telah ia keluarkan. Warga perumahan Citra Regency pun semakin menyukai Jono. Karena orang seperti dia adalah barang langka di tengah kehidupan kota yang serba materi. Semua diukur oleh duit! Duit seolah menjadi patokan untuk pertemanan bahkan persaudaraan. Orang yang tidak memiliki duit sering disisihkan dan dipandang sebelah mata. Namun, Jono berbeda. Meski bukan anak orang kaya, dia tidak matre. Baginya, duit bukan segalanya.
Meski sosoknya biasa-biasa saja dengan perawakan sedang, tidak terlalu tinggi seperti pemain basket, tapi Jono cukup menarik. Wajahnya khas lelaki Indonesia, dengan garis wajah yang tegas serta kulit kecokelatan yang eksotis, tidak seperti opa-opa Korea yang berkulit putih dan glowing! Hampir nggak ada bedanya dengan kaum hawa. Ditambah lagi outfit-nya menyeh-menyeh, opa-opa Korea terlihat seperti nyiur "melambai", begitu pendapat sebagian orang. Itu jelas beda sekali dengan Jono yang terlihat maskulin.
Intinya, tampang Jono tidak akan membuat malu jika jalan dengan cewek. Istilahnya, memenuhi standar wajah yang diinginkan sebagian cewek remaja sekarang. Meski masalah kantong, lain lagi ceritanya.
Maka tidak heran jika banyak cewek cakep yang tinggal di perumahan Citra Regency, suka jika bisa dekat dan akrab dengan Jono. Di antara semua cewek-cewek itu, Jono jatuh hati kepada Daniella yang biasa dipanggil Ella. Cewek blasteran Indonesia-Belanda. Anak baru di perumahan Citra Regency, mengikut orangtuanya yang pindah dari Bandung.
Hati Jono jungkir balik ketika berkenalan dengan Daniella. Ia salah tingkah sendiri menghadapi cewek blasteran itu. Hatinya benar-benar telah tersandera sosok Daniella yang rupawan.
Ah, Jono betul-betul dimabuk asmara, tapi apa daya, ia tak berani menyuarakannya di hadapan Daniella. Malang sekali nasib Jono. Dia tidak minder terlahir sebagai anak seorang satpam dan bisa berteman dengan siapapun. Akan tetapi, dia merasa tidak pantas ketika dihadapkan dengan sosok Daniella, cewek tajir yang kecantikannya bak bidadari di mata Jono. Tiba-tiba Jono merasa jika dirinya bagaikan punguk merindukan bulan.
Ah, Jono yang malang ....©
Sedang asyik-asyiknya mencuci sepeda motor bebek butut miliknya, Jono disamperin emak di samping rumah. Karena sambil bersiul-siul menyanyikan lagu dangdut kesukaannya, Jono jadi tak mendengar kalau dari dalam rumah tadi emak sudah memanggilnya. Dari bibir Jono masih terdengar siulan berirama lagu dangdut dari Lesti yang sangat disukai olehnya berjudul Egois.
"Jono!" teriak Emak kesal.
Pemuda berusia dua puluhan itu kaget dan spontan menoleh.
"Ya, Mak?" sahut Jono.
"Ya, Mak! Ya, Mak! Dipanggil-panggil dari tadi kagak nyaut! Budek, lu?!" Emak nyap-nyap.
"Gantiin Bapak lu, tu. Jaga malam!" perintah Emak.
"Emang Bapak ke mana, Mak?" Jono menyudahi pekerjaannya mencuci sepeda motor bebek yang sudah butut, berwarna merah pudar karena termakan usia.
"Bapak lu sakit, meriang!" seru Emak kesal banget.
Tanpa pikir panjang, Jono mengangguk.
"Iya, deh. Jono yang jaga ntar malam."
"Jangan telat, lu. Bakda maghrib udah di pos!" Emak mengingatkan.
"Iya, Maaak ... Cerewet amat, sih?" Jono menaikkan sadel motornya dan mengambil kain lap dari dalam bagasi.
Emak tak berkomentar lagi, ia bergegas masuk ke rumah. Jono kembali sibuk dengan motor bututnya itu. Kali ini dia mengelap bodi motor yang masih basah bekas dicuci.
"Jonooo!" suara cempreng Emak terdengar lagi.
"Ya, Maaak?" sahut Jono cepat.
"Ke warung, gih! Beliin Bapak lu koyok cabe!" titah Emak beruntun.
"Ribet amat, ah. Timbang beli koyo cabe doang, gua jugak yang digeret-geret. Suruh Si To'ing ngapa?" Jono ngedumel sendiri.
"Jonooo!" teriak Emak semakin kesal.
"I-iya, iya, Mak!" Jono menaruh kain lap di sadel motor dan bergegas pergi ke warung.
Meski Emak terlihat cerewet, tapi ia sangat menyayangi Jono, anak semata wayang yang tiada gantinya. Jono juga meski kadang-kadang suka ngedumel sendiri karena kesal sama emak, tapi dia tidak pernah membantah perintah emak atau bapak. Jono adalah tipe anak penurut. Makhluk langka di jaman sekarang ini.
Bapak merintih di dalam kamar. Badannya panas dingin, meski sudah pakai jaket tebal dan selimutan, ia masih menggelepar seperti orang terjebak salju di kutub utara. Emak hilir-mudik keluar masuk kamar. Meski bukan baru sekali ini bapak sakit, tapi namanya bini mana ada yang bisa tenang kalau suaminya sakit.
"Ke mana sih, si Jon? Disuruh beli koyo cabe doang, lamanya minta ampun!" Emak ngomel-ngomel sendiri.
"Untuk apa koyo cabe?" Bapak bersuara dari dalam kamar.
Emak masuk lagi ke kamar.
"Ya, buat ditempel di badan Bapak, biar rada anget!"
Bapak masih menggigil di balik selimut.
"Jangan koyo cabe, jamu tolak angin ....." ujar Bapak mengeletar.
"Iya, ntar nunggu Jono balik dari warung," sahut Emak.
Tiba-tiba Jono datang dan mengeruk pintu kamar rumah yang sederhana itu.
"Mak, ini koyo cabenya." Jono mengeluarkan koyo cabe yang tadi dibeli dari dalam kantong baju.
Pintu kamar terbuka, Emak menyembul dari dalam.
"Beliin Bapak lu, jamu tolak angin, gih!" perintah Emak lagi.
Jono melongo. Bengong.
"Kenapa tadi nggak sekalian, Mak?" Jono protes.
"Barusan ini Bapak lu ngomong, minta jamu tolak angin," Emak berkilah.
"Ribet amat deh, ah!" Jono balik badan.
"Eh, mau ke mana, lu?! Disuruh orang tua juga. Durhaka sama orang tua, jadi batu baru tau rasa, lu!" Emak nyolot.
Jono berhenti melangkah dan menoleh ke arah Emak.
"Katanya Bapak minta jamu tolak angin. Gimana, sih?" ucap Jono. Ada ekspresi kesal di wajahnya.
"Oh, Mak kira lu mau ngeloyor ke mana gitu," Emak nyengir.
Jono beranjak pergi ke samping rumah, mengambil sepeda motornya.
"Masih ada duit, lu?" tanya Emak.
"Ada kalau cuma beli jamu, doang!"
Jono mengengkol tuas starter mesin sepeda motornya dan mesin motor bebek butut itu menyala. Suaranya terdengar sember. Maklum motor tua.
...****************...
Di tempat jualan jamu di pinggir jalan dekat perempatan. Jono menghentikan sepeda motornya. Lalu bergegas memesan jamu yang diminta oleh Bapak. Jamu tolak angin.
"Bang, jamunya satu, dibungkus," ujar Jono sambil melihat-lihat isi gerobak jamu.
"Jamu itu banyak, Dek. Jamu apaan?" tanya si penjual jamu bingung.
Jono nyengir.
"Jamu tolak angin, Bang."
Tiba-tiba sebuah mobil sport berhenti di depan gerobak jamu. Kaca mobil berlapis filter warna hitam gelap turun perlahan. Di dalam mobil tampak dua orang cewek cantik sepantaran Jono, menoleh ke luar.
"Ciieee ... Jono minum jamu, kayak putri keraton aja!"
Jono menoleh kaget, karena mendengar namanya disebut-sebut. Olalaaa ... ternyata si kembar Kayla dan Kayli yang berada di dalam mobil sport itu. Jono cuma nyengir karena diledek begitu rupa oleh Kayla.
"Lo, minum jamu kuat, Jon?" ledek Kayli yang duduk di belakang stir mobil.
"Jamu tolak miskin!" balas Jono asal-asalan.
"Eh, ntar malem lo main ke komplek, ya?" ujar Kayla.
"Emang ntar malam mau ke komplek. Aku jaga malam gantikan Bapak," sahut Jono polos.
"Asyik! Udah berapa hari lo nggak main ke komplek? Kita semua kangen, lho?" ujar Kayli menimpali.
"Males sering-sering ketemu kalian," Jono beralasan.
"Emang kenapa?" ujar Kayla heran.
"Takut aja kalian jatuh cinta sama aku," Jono nyengir.
Si kembar Kayla dan Kayli merengut kesal karena merasa dipermainkan. Begitulah Jono, pemuda sederhana yang menjadi teman akrab bagi anak-anak komplek. Selain ringan tangan membantu, Jono juga polos dan baik hati. Suka bercanda kepada teman-temannya dan tak pernah sakit hati meski diledek abis-abisan oleh anak-anak komplek.
...****************...
Pukul tujuh malam, Jono sudah mangkal di pos penjagaan perumahan Citra Regency. Teman jaganya Pak Tohir belum datang, tadi dia juga sudah menelepon kalau datang agak terlambat karena ban motornya gembos di jalan dan sedang ditambal.
Untuk membuang rasa sepi, Jono menyetel televisi yang ada di dalam pos. Dia memilih chanel yang menayangkan lagu-lagu dangdut.
"Hari gini nonton televisi, emang masih musim?" Kayla berdiri di depan pintu pos.
Jono sontak berdiri dan keluar dari pos. Dia juga melihat Kayli berdiri di dekat portal yang palangnya masih di atas.
"Ngapain di situ, mau gantung diri?" tegur Jono iseng.
"Nggak ada yang lebih jelek permintaan lo, ke gue?" sahut Kayli pura-pura kesal.
Jono tertawa.
"Becandaaa ... gitu doang diambil hati?" ujar Jono sambil senyum-senyum.
Kayli melangkah maju mendekati Jono. Kedua tangan cewek cakep berambut sebahu itu berada di belakang seperti menyembunyikan sesuatu. Ketika sudah berhadapan dengan Jono, tiba-tiba Kayli mengulurkan tangannya ke depan.
"Taraaa!" teriak Kayli dan Kayla berbarengan.
Jono bengong melihat ada kotak kecil dihiasi pita dengan bunga di ujungnya. Tiba-tiba muncul Tiara, Diana, Meiske dan beberapa orang lagi anak-anak komplek yang dekat dengan Jono.
"Selamat ulang tahun, Jonooo ..." seru mereka berbarengan.
Lalu mereka menyalami Jono bergantian. Tentu saja pemuda 20 tahun itu kaget bukan main. Di keluarganya memang tidak terbiasa merayakan hari ulang tahun. Jangankan merayakan, mengingat-ingat hari lahir saja tidak.
"Terima kasih ..." ujar Jono terharu.
Setelah menyalami Jono, cewek-cewek anak komplek yang datang bareng-bareng itu membuka sebuah kotak berisi cake ulang tahun. Lalu meminta Jono meniup lilin yang sudah dinyalakan oleh Meiske.
"Ada yang kurang ini," ujar Jono tiba-tiba.
Ha?! Cewek-cewek yang mengerubuti Jono melongo bengong. Apa yang kurang?
"Mana ini anak-anak cowoknya?" ujar Jono polos.
Oalah! Jono, Jono ... cewek-cewek itu pada tertawa. Meski merasa heran, tapi akhirnya mereka tahu juga alasannya dari ucapan Jono sendiri.
"Apa mereka tidak mau berteman lagi denganku?"
"Jono, dengerin, ya. Cowok-cowok itu, kaum lo itu. Mana pernah mau ngingat-ngingat soal ulang tahun?"
"Jadi, jangan kecewa!"
"Beruntung masih ada kami, kaum hawa yang masih mau mengingat-ingat hari lahir."
Jono cuma diam saja mendengar ucapan cewek-cewek itu, tapi dalam hatinya ia bergumam, Emak juga perempuan, nggak pernah tuh, ngingetin kapan aku ulang tahun? ©
Emak curiga melihat Jono memakai jam tangan baru, celana baru, kaos baru, dan sepatu baru. Cuma Bapak yang tenang-tenang saja dan nggak komentar, karena ia lagi meriang dan cuma rebahan di kamar jadi tidak melihat keadaan Jono. Di luar, Jono mengengkol tuas starter mesin sepeda motornya. Emak mengikuti Jono sampai ke halaman samping. Hidungnya kembang-kempis mengensus-endus aroma parfum yang dipakai oleh Jono.
"Wangi bener, lu. Abis mandi kembang apa, yak?" tanya Emak. Jono pun menoleh ke arah Emak.
Emak menaruh rasa curiga yang besar melihat perubahan pada Jono. Meski ia cuma orang kampung dan kurang mengerti soal barang-barang branded, tapi Emak punya naluri yang cukup tajam. Pasti ada apa-apanya ini dengan Si Jono.
"Emak sih, boleh-boleh aja lu jadi ganteng. Emang udah keturunan," Emak menjeda perkataannya. Ia malah senyum-senyum sendiri.
"Ganteng, turunan siapa, Mak?" tanya Jono penasaran.
"Turunan dari emaklah, kalau Bapak lu, standar!" ucap Emak jumawa.
Jono tertawa geli. Kepedean bener ini Emak.
"Iya, deh. Jono jadi cakep karena turunan dari Emak," ujar Jono mengalah, daripada ribut.
Memang sebenarnya, Emak Jono itu berparas lumayan cantik. Hanya saja setelah menikah, beban hidup yang berat membuatnya tak punya waktu lagi untuk merawat diri. Ia sibuk mengurus keluarga. Masak, nyuci, nyetrika, beberes rumah. Semua itu dikerjakan sendiri olehnya. Apalagi ketika Jono masih bayi, jam kerjanya 24 jam! Tak ada waktu untuk libur apalagi yang namanya me time, istilah perempuan-perempuan kelas menengah yang statusnya sudah menjadi seorang istri. Kalau jenuh dan letih dalam rumah tangga, mereka pergi liburan ke Bali, ke Lombok, Rajaampat atau terbang ke luar negeri. Mereka sebut itu healing! Walaupun istilah itu tidak tepat, kata ahli bahasa. Namun apa yang tak bisa dijungkirbalikkan oleh warga +62. Laki-laki mengubah kelamin jadi perempuan aja dijadikan idola. Akan tetapi kalau didoakan semoga saja anak mereka akan seperti itu juga, eh … malah sewot sampai hidungnya keluar asap saking kesalnya. Ambigu, kan?
"Emak curiga ni ye, ma elu!" tukas Emak.
Jono kaget, emang dia maling sampai dicurigai segitu rupa? Meski kesal dengan kata-kata Emak yang mencurigainya, tapi Jono tak ingin memperlihatkannya di hadapan Emak. Soalnya dia takut durhaka, ntar jadi batu kayak cerita Malin Kondang, gimana? Jono pun cuma bisa nyengir doang.
"Curiga apa sama Jono, Mak?" selidik Jono.
Mamak tidak langsung menyahut, ibunya Jono itu malah melototin Jono dari kepala hingga kaki. Roman mukanya udah kayak petugas imigrasi. Curiga aja bawaannya sama orang-orang.
"Apaan, Mak? Lihat anak sendiri segitunya?" Jono semakin bingung.
"Lu udah berani jadi maling, ya?" tuduh Emak.
"Maling apa, Mak? Amit-amit, deh! Ngambil uang kembalian di warung aja, Jono malu?" Jono membela diri.
"Emak lihat, pakaian lu serba baru. Bagus amat, yak? Pasti harganya mahal. Terus itu sepatu elu yang lambangnya kayak bulan sabit! Jam tangan juga bagus. Apalagi aroma lu udah kayak kuburan malam Jumat!" Emak nyerocos panjang lebar dengan prasangka buruk dalam hatinya.
Jono geleng-geleng kepala. Lambang sepatu Nike dikata emak seperti bulan sabit.
"Emak norak, ah. Segala bulan sabit dibawa-bawa. Ini sepatu Nike, Mak!"
"Mahal 'kan itu?" Emak memperhatikan kaki Jono.
"Bisa buat Emak pergi umroh!" goda Jono.
"Apa?!" Emak kaget. Matanya melotot dan mulutnya menganga. Persis kayak akting pemain sinetron.
"Dapat duit dari mana sebanyak itu? Belum lagi jam tangan lu yang segede gaban? Terus minyak wangi yang elu pakai, aromanya lembut bangat, nggak seperti minyak wangi Bapak lu yang baunya bikin orang mau pingsan!" emak nyerocos panjang.
"Beda dong, Mak. Minyak wangi Jono mereknya Gianni Versace, minyak wangi Bapak merek gak jelas."
"Iya, yang ada badaknyaaa ...." Emak malah bercanda.
Jono nyengir.
"Itu larutan penyegar, Mak! Iklan terus, ah!"
"Berapaan itu harga minyak wangi?" cecar Emak kepada Jono.
"Kenapa, Emak kepengen minyak wangi juga?" Jono balik bertanya.
Emak merengut kesal.
"Elu yang gua tanya, kok malah nanya balik!"
"Harga minyak wanginya mahal ini, Mak. Jam tangannya juga. Expedition seri tiga. Jadi ...."
"Lu beli dari duit hasil nyolong?!" Emak menyela cepat ucapan Jono.
"Ini hadiah ulang tahun dari anak-anak komplek, Mak."
Mendengar penjelasan anaknya itu, Emak rada bengong juga. Baik amat anak-anak komplek dengan Jono?
"Anak-anak laki apa perempuan?" selidik Emak.
"Cewek-cewek semua, Mak."
Mata emak berbinar.
"Kira-kira, ini kira-kira, ya. Ada nggak yang bisa jadi mantu, Emak?"
Jono tertawa.
"Jangan ngimpi, Mak!"
"Lah, emang ngapa?" Emak pura-pura bodoh.
Jono geleng-geleng kepala.
"Mereka siapa, kita siapa, Mak?"
"Kita manusia, mereka juga," sahut Emak berdiplomasi.
"Iya, kalau itu Jono juga tahu. Maksudnya status sosial kita. Mereka itu anak-anak orang kaya. Sedangkan Jono cuma anak hansip kelurahan, nyambi jadi penjaga malam di komplek perumahan," Jono bicara panjang lebar.
"Emang nggak boleh kalau Emak punya mantu salah satu dari mereka?"
"Bukan nggak boleh, Mak. Masalahnya mereka mau nggak jadi menantu Emak?"
"Ya, pasti maulah. Elu 'kan cakep. Anak Emak yang paling ganteng nggak ada obat!" Emak terlihat sangat yakin.
"Ganteng saja nggak jadi jaminan, Mak. Materi juga penting. Meiske, Kayla, Kayli, Tiara, dan Diana, mereka itu sudah terbiasa hidup enak. Serba berkecukupan hidupnya."
Emak terdiam.
"Iya juga, sih. Siapa yang mau diajak hidup blangsak kayak, elu ...."
"Itu salah, Emak!" seru Jono.
Emak bengong. Ia menatap Jono.
"Kok, jadinya salah, Emak?"
"Ya, iyalah. Emak 'kan cantik, kembang desa. Kok ya, mau-maunya kawin sama hansip kelurahan? Sekarang Jono jadi hidup blangsak, gara-gara siapa coba?"
"Dulu ada yang naksir Emak anaknya juragan pabrik tahu tempe. Sawah ladangnya luas, sapi dan kambing ratusan ekor. Emak nggak mau dilamarnya karena badannya buntet kayak biji jambu monyet!"
Jono cuma nyengir aja kemudian mengengkol mesin motornya kembali.
"Mau ngapain, ke mana, lu?"
"Mau nyari mantu buat, Emak!" sahut Jono asal-asalan.
"Pilih yang cakep dan rajin orangnya!" teriak Emak sebelum Jono keluar dari halaman rumah.
...****************...
Sepeda motor bebek buatan tahun 1978 yang dikendarai Jono meluncur perlahan di jalan raya. Sebenarnya ia tak punya tujuan, cuma kepingin pakai kaos oblong branded. Tommy Hilfiger dan celana jins Lives 503. Sambil membawa motor, sesekali mata Jono melirik ke pergelangan tangan kanannya yang dilingkari sebuah jam tangan sport Expedition seri tiga. Tak lupa Jono membaui tubuhnya sendiri yang harum semerbak dengan aroma perpaduan antara musk, amber, dan citrus dari produsen parfum terkenal Gianni Versace. Joni merasa seperti anak-anak orang kaya. Cuma ketika menyadari bahwa ia cuma menunggangi sebuah motor butut keluaran tahun 1978, nyali Jono kembali mengkeret. Ia sadar bahwa hanya anak seorang hansip kelurahan.
Jono memacu sepeda motor bebek yang ia kendarai, putar balik ke arah komplek perumahan Citra Regency yang tidak jauh dari kampung tempat tinggalnya sendiri. Tujuan Jono cuma mangkal di pos jaga. Ngobrol-ngobrol dengan satpam yang juga rekan sejawat bapaknya. Kalau nongkrong di pos sering ketemu dengan warga komplek yang keluar masuk dan hal itu sering membuat Jono bertatap muka dengan para penghuni komplek. Meski ada yang cuek juga, masuk ya, masuk aja. Nggak nurunin kaca jendela mobil, apalagi bertegur sapa.
Macam-macamlah tipe manusia. Dari sana juga Jono belajar memahami karakter orang dan membaca tabiat mereka. Rambut sama hitam, tapi isi kepala beda. Jono berusaha menempatkan dirinya di antara keduanya dan ia punya standard sendiri untuk menilai orang lain. ©
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!