NovelToon NovelToon

Generasi Ke 3

Bab. 1

"BERHENTI!"

DUARRR

Suara tembakan senjata itu membuat langkah kaki seorang wanita tertahan. Dia berdiri membelakangi segerombolan pria dengan napas yang terputus-putus. Hutan tempat dia berada sangat sunyi dan menakutkan. Di tambah lagi hari mulai gelap. Rasanya tidak ada jalan untuk kabur lagi karena orang yang mengejarnya berjumlah banyak.

"Bagus. Sekarang berputarlah," ujar pria bertato dengan senyum simpul di bibirnya.

"Darimana mereka tahu kalau aku ada di hutan ini?" umpat wanita itu. Kedua matanya terpejam untuk sejenak sebelum ia memutar tubuhnya dan memandang satu persatu wajah pria yang sejak tadi mengejarnya.

"Apa yang kalian inginkan?" tanyanya dengan wajah ketakutan.

"Tubuhmu!" sahut salah satu pria.

Wanita itu melebarkan kedua matanya. "Kalian mau mati?" Tiba-tiba saja wanita itu mengangkat kedua tangannya. Dia menyatukannya. Ia membentuk jarinya menyerupai sebuah pistol. Tidak lupa si gadis menyipitkan salah satu matanya seolah sedang membidik seseorang dengan senjata di tangannya.

Jelas saja tingkah laku wanita itu menjadi bahan tertawa semua orang yang ada di sana. Mereka segera menurunkan senjata api mereka karena menurut mereka tidak ada yang perlu di khawatirkan.

Senjata wanita itu tidak ada. Dia juga hanya seorang wanita lemah yang tak berdaya. Sendirian tanpa pengawasan siapapun. Kapanpun mereka ingin, wanita itu bisa mereka miliki sampai kapanpun mereka mau.

"Kau bukan hanya cantik, tetapi juga lucu dan menggemaskan. Gadis manis, berhentilah bermain-main, karena leluconmu itu hanya akan membuatku menjadi semakin penasaran," ucap pria bertato itu dengan tatapan mesum.

Pria itu memperhatikan gaun putih wanita yang ada di hadapannya dengan rasa memiliki yang begitu besar. Angin yang kencang membuat gaun wanita itu bergoyang hingga terkadang memperlihatkan kaki jenjangnya yang putih dan mulus. Rambutnya yang sengaja di gerai sesekali menutupi wajahnya yang cantik.

"Siapa dulu yang mau mati?" tanya si gadis.

"Saya. Saya ingin menjadi pria yang pertama kali kau tembak," sahut seorang pria berbadan tegap yang berdiri di sisi kanan rombongan. Ada terdengar tawa ledekan di sana.

"Baiklah, akan saya turuti," jawab wanita itu. Dia mengarahkan ujung jarinya ke arah pria yang tadi menawarkan diri. Kedua matanya terpejam sebelum ia mengucapkan doa di dalam hati.

"Semoga keberuntungan berpihak padaku," gumamnya sebelum.

"DUAARR!" teriaknya.

Sebuah peluru mendarat di dada pria itu. Darah segar mengalir hingga membuat semua orang terbelalak kaget. Mereka memandang si wanita yang jelas-jelas tidak memegang senjata apapun. Hanya kepalan jari yang tanpa adanya peluru.

Melihat lawannya tertembak, wanita itu mengarahkan jarinya ke yang lain. Tembakan demi tembakan ia lepas hingga hanya tersisa satu pria saja. Kini pria itu mengarahkan senjata apinya ke arah wanita.

Rekan-rekannya telah tewas. Maka tidak ada pilihan lain selain membunuh orang yang sudah menjadi penyebabnya.

"Wanita sialan!" Pria itu dengan cepat mengangkat senjata apinya hendak menembak wanita tersebut. Namun, dalam hitungan detik saja sebuah tembakan membuat pistol di tangannya terpental.

"Sekarang giliranmu!" ucap wanita itu.

Namun, si pria segera berlutut di depan si wanita karena tidak mau mati konyol.

"Ampun! Ampun!"

"Kau menyerah? Senjata ini sama sekali tidak berbahaya." Wanita itu melepas jarinya dan tertawa meledek.

"Maafkan saya!" ujar pria itu sebelum lari terbirit-birit. Si gadis berputar dan memandang ke arah pepohonan yang rindang. Ada senyum di bibirnya. "Kakak?"

Wanita itu adalah Daisy Zein (21 tahun) Putri ke tiga dari pasangan Jordan Zein dan Eleonora Chen. Sesuai dengan namanya Daisy. Daisy wanita cantik yang memiliki hati yang lembut dan bersih. Dia tidak mengikuti jejak kedua kakaknya yang justru terjun di dunia kriminal. Wanita itu memutuskan untuk tinggal di asrama sekolah dan menjadi wanita biasa.

Karena kehidupannya terlalu sempurna, dia sampai bosan dan tergelitik mencoba kehidupan di luar wilayah ayahnya. Daisy bahkan meminta Jordan agar tidak mengirim pengawal untuk menjaganya. Sayangnya, sang kakak tidak rela membiarkan adik mereka ini tanpa pengawasan. Secara diam-diam mereka menjaga Daisy hingga tidak ada satu orangpun bisa sembarang menyentuhnya.

Seseorang yang kini memegang sniper dan bersemangat di atas pohon bernama Zion Zein (28 tahun). Dia menurunkan senjatanya setelah memastikan keamanan aman. Di telinganya ada sebuah earphone yang terhubung ke nomor seseorang.

"Bagaimana? Apa kakak berhasil mengatasinya? Apa aku perlu turun tangan?" ujar wanita di dalam telepon dengan suara lantang. "Aku bisa menunda latihanku jika kakak kesulitan menghadapi mereka."

"Aman," jawabnya. Setelah memastikan Daisy sudah bertemu dengan rombongannya, pria itu segera turun dari pohon. Mematuskan panggilan telepon tersebut secara sepihak.

Wanita di dalam telepon tersenyum bahagia mendengar adiknya selamat. Dia melanjutkan latihan menembaknya karena kini sudah tidak ada masalah yang perlu ia pikirkan lagi. Wanita itu bernama Norah Zein (24 tahun). Dia anak kedua. Wanita cantik berambut pirang yang jago banget menembak dan berkelahi.

Tingkah lakunya sangat mirip dengan Leona. Keras kepala! Susah di bilangi dan sok jago! Bahkan ketika ilmu bela dirinya belum seberapa, sudah banyak preman jalanan yang ia tantangi dengan tangan kosong. Beruntungnya Zion selalu menjaganya saat itu. Apapun keadaannya, wanita itu bisa lolos dari bahaya.

Ketiga bersaudara ini hidup saling menyayangi. Leona dan Jordan memberi kebebasan kepada anak-anak mereka untuk menikmati masa muda mereka.

...***...

Livy Verin. Putri tunggal dari pasangan Oliver dan Katterine. Verin di ambil dari nama ayah dan ibu kandung mereka. Oliver dan Katterine.

Livy mewarisi kecantikan ibunya dan ilmu bela diri ayahnya. Livy bekerja sebagai seorang dokter di sebuah rumah sakit ternama yang ada di Amerika. Penampilannya yang sederhana dan nada bicaranya yang lembut membuat semua orang tidak akan menyangka, kalau wanita ini adalah wanita tangguh yang bisa menggunakan segala macam senjata dan bisa bela diri.

Livy menjalani hari-harinya dengan gembira karena memang sejak kecil cita-citanya menjadi seorang dokter. Oliver sempat menawarkannya kado sebuah gedung rumah sakit saat ulang tahunnya yang ke 21.

Sayangnya Livy menolak dan memilih untuk bekerja dengan cara di interview dan melewati tahapan seperti pada umumnya.

Livy sangat dekat dengan Zion. Sejak kecil mereka sudah dekat karena Katterine sering mengajak Livy ke rumah Leona begitu juga sebaliknya. Sebagian orang yang memergoki mereka bersama bahkan mengira mereka berpacaran. Padahal sebenarnya mereka sepupuan.

Hanya Livy yang bisa mengendalikan Zeon jika pria itu sedang marah. Walau status Livy seorang dokter, tapi dia selalu memantau Heng mafia Gold Dragon. Bersama dengan Deon, mereka menjadi Gold Dragon semakin kuat dan tak terkalahkan. Di dunia mafia, Livy di kenal dengan istilah Tiger eye. Dalam aksinya ia selalu menggunakan topeng dan hanya terlihat sepasang matanya yang tajam ketika sedang mengincar lawannya.

Bab. 2

Yale University

Daisy dan rombongan telah tiba di asrama. Para mahasiswa dan mahasiswi yang baru melakukan praktek lapangan itu segera turun dan menuju ke kamar masing-masing. Sebelum turun, Daisy memeriksa kembali hasil kerjanya hari ini. Dia terlihat serius dalam belajar. Daisy memiliki mimpi kalau dia harus menjadi orang yang di kenal dunia karena prestasi. Bukan kekuasaan. Daisy memasukkan semua laporan ke dalam tas lagi ketika dia rasa laporan yang ia tulis sudah lengkap.

“Daisy, siapa mereka?” Seorang wanita yang duduk di samping Daisy memandang Daisy dengan serius.

Wanita itu bernama Esme. Dia satu-satunya orang yang dekat dengan Daisy. Semua orang terlihat tidak menyukai Daisy dan memusuhi wanita itu karena Daisy di anggap tidak pantas kuliah di universitas elit tersebut. Memang jika di lihat dari penampilan Daisy yang sederhana, tidak akan ada yang menyangka kalau Daisy seorang putri dari kerajaan Cambridge.

Penampilan Daisy sangat sederhana. Dia selalu menggunakan barang-barang yang tidak bermerk. Berbeda dengan teman sekelasnya yang selalu menggunakan barang-barang branded dan memakai fasilitas mewah selama kuliah.

“Siapa?” tanya Daisy bingung. Bahkan karena sangat bingungnya, dia memandang keluar bis. Mencari sosok yang dimaksud temannya itu. Tetapi, Daisy tidak menemukan siapapun di dalam sana.

“Pria-pria yang mengejarmu tadi. Aku melihatnya. Tetapi ….” Wanita itu menunduk dengan rasa bersalah. “Aku tidak berani memberi tahu dosen karena Lyn dan yang lainnya mencegahku.”

Daisy mengangguk dengan senyum tertahan. Kali ini dia tahu siapa yang sudah membuatnya lelah berlari seperti tadi. Memang Lyn bisa di bilang sebagai wanita popular di kampus itu. Dialah ratunya. Semua orang memujanya karena dia anak konglomerat dan berparas cantik. Walau begitu, Daisy tidak pernah peduli. Selama dia tidak di usik, maka Daisy tidak akan pernah mengusik orang lain.

Biasanya juga kalau Lyn membuat masalah dengan Daisy, Daisy tidak langsung marah. Ia lebih sering bersikap masa bodoh. Namun, kali ini jebakan Lyn menyangkut harga dirinya. Andai saja tadi dia tidak di tolong oleh Zion, mungkin harga dirinya telah hilang sudah.

“Wanita itu. Tapi, aku tidak boleh bertindak gegabah. Aku juga tidak memiliki bukti kalau memang benar Lyn yang melakukan semua ini,” gumam Daisy di dalam hati.

“Maafkan aku,” ujar Esme lagi. Dia memegang tangan Daisy dengan kedua mata berkaca-kaca.

“Tidak apa-apa. Sekarang aku baik-baik saja. Kau tidak perlu bersedih seperti ini. Ayo kita turun,” ajak Daisy. Ia merangkul lengan Esme dan membawanya turun bersama-sama. Wanita itu berdiri di depan bis sambil memandang segerombol wanita yang kini memandangnya dengan tatapan menghina. “Awas saja kalian. Aku akan membalas kalian nanti,” umpat Daisy di dalam hati. Dengan bibir tersenyum, wanita itu melangkah menuju ke gedung asrama tempatnya tinggal selama dua tahun terakhir ini.

Setibanya di dalam kamar, Daisy meletakkan semua barang-barang miliknya di meja. Wanita itu di buat syok ketika melihat kamar yang berantakan dan begitu kotor. Bagaimana bisa? Padahal sebelum pergi, Daisy sudah merapikan kamar itu dan menjamin kebersihannya.

“Ini semua pasti ulah Lyn. Dia iri melihat nilai ujianmu mendekati sempurna,” ujar Esme.

Daisy tersenyum sambil menghela napas panjang. “Aku akan bersihkan semuanya. Esme, pergilah istirahat. Aku bisa mengatasinya. Aku tidak mau kau ikut terlibat,” pinta Daisy. Esme hanya mengangguk saja sebelum masuk ke dalam kamarnya. Posisi kamar mereka bersebelahan. Khusus asrama yang di tempati Daisy memang kamar yang satu kamar satu mahasiswa.

Daisy menutup pintu kamarnya dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku benar-benar lelah. Tapi, aku kangen sama Kak Zion. Aku telepon dulu Kak Zion baru bersihin kamar.”

Daisy menekan nomor kakak pertamanya sebelum menarik seprei yang dipenuhi sampah. Wanita itu menggantinya dengan seprei yang baru sebelum berbaring. Panggilan telepon sudah tersambung, tetapi Daisy belum juga mau bicara.

“Kau baik-baik saja Daisy? Sekali lagi aku tanya dan kau tidak juga menjawab, aku akan berdiri di hadapanmu dalam waktu lima menit!” ancam Zion.

“Aku baik-baik saja. Aku merindukan kakak,” sahut Daisy. Wanita itu tersenyum ketika membayangkan wajah kesal kakak kandungnya di kejauhan sana.

“Kenapa kamarmu terlihat berantakan? Kau mulai bosan. Eh?” ledek Zion.

“Aku pergi terburu-buru, kak,” jawab Daisy asal saja. Dia tahu, apa resikonya jika sampai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Bukan hanya Lyn saja yang celaka. Tetapi, kedua orang tua Lyn juga bisa ikut terseret. Zion pria yang tidak pandang bulu. Entah itu muda atau tua, jika berani menyakiti adiknya maka dia akan membalasnya hingga berkali-kali lipat.

Zion berusaha mempercayai jawaban Daisy walaupun sebenarnya dia tidak percaya. Dia tahu ada yang di tutup-tutupi adiknya. Namun, dia juga tidak mau memaksa. “Daisy, kau tidak bisa bertindak seperti tadi terus-menerus. Bagaimana kalau aku pas tidak ada? Apa yang akan kau lakukan?”

“Bukankah masih ada Kak Norah?” sahut Daisy dengan mudahnya.

“Daisy ….”

“Ya, kak. Maaf. Lain kali aku akan lebih hati-hati,” sahut Daisy sambil memajukan bibirnya. “Kak, apa yang sedang kakak lakukan? Kenapa berisik sekali?”

“Aku sedang memperhatikan seseorang,” sahut Zion.

“Seseorang?” Daisy mengganti posisinya dengan posisi duduk. “Apa dia seorang wanita?”

“Hemmm.”

“Dia cantik?”

“Tidak terlalu.”

“Apa dia baik?”

“Tidak juga,” jawab Zion cepat.

“Kakak sedang memperhatikan siapa?” Daisy mulai penasaran. Dia ingin tahu sespesial apa wanita yang sudah berhasil mendapat perhatian Kak Zionnya yang cuek itu.

“Seseorang,” jawab Zion. “Sekarang dia lagi duduk.”

Daisy tersadar. Dia memandang ke luar jendela dan melihat ada banyak sekali gedung di sana. Wanita itu tersenyum sambil melambaikan tangan. “Kak Zion, I miss you,” teriaknya.

Zion hanya tersenyum mendengar suara adeknya di telepon. Dia menurunkan teropongnya karena memang ingin pergi dari gedung tersebut. “Daisy, Kakak juga merindukanmu.”

Zion merasa ada yang aneh. Suara adiknya tidak terdengar lagi. Pria itu memutar tubuhnya dan mengarahkan teropongnya ke kamar adiknya. Kali ini Zion di buat panik. Kamar itu kosong. Zion juga tidak bisa berkomunikasi dengan Daisy lagi karena Daisy tidak bicara sepatah katapun.

“Daisy?”

“KAKAK! TOLONG AKU!”

DUARRRR

Zion di buat syok ketika dari dalam telepon dia mendengar suara tembakan. Pria itu segera mengambil tali dan turun dari gedung dengan tali. Tidak lupa ponsel dan segala barang penting lainnya ia masukkan ke dalam tas dan ia bawa turun bersama dirinya. Secepat kilat ia akan segera tiba di asrama adiknya untuk menolong adiknya yang kini dalam bahaya. “Daisy, kakak akan segera datang,” ujar Zion di dalam hati.

Bab. 3

Norah melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi setelah Zion memberi kabar. Wanita itu akan tiba dalam waktu 20 menit di asrama Daisy. Walau kota dimana Asrama Daisy jaraknya cukup jauh dari lokasinya berada, tetapi ia yakin bisa sampai dalam waktu 20 menit. Wanita itu memegang erat gas sepeda motornya dan fokus ke depan. Menyalip satu persatu mobil yang melintas tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri.

Walau seorang wanita, tapi Norah sangat menyukai sepeda motor. Bahkan dia selalu menang jika memutuskan untuk ikut balapan motor. Sepeda motor Ducati Panigale V4 Superleggera berwarna hitam menjadi teman setianya kemanapun dia berada. Berada di atas sepeda motor itu Norah merasa melayang seperti di udara. Walau terlihat berat, tapi di tangan Norah sepeda motor itu sangat ringan.

"Daisy, kamu gadis yang kuat. Kakak akan segera datang untuk menolongmu," rasanya Norah tidak sabar untuk segera tiba di asrama Daisy. Namun, mau bagaimana lagi? Jarak tempuhnya cukup jauh. Ia tidak bisa tiba di lokasi secepat Zion. Di tambah lagi, pada malam hari, jalan lintas yang dilewati Norah sangat padat.

Norah mungkin tidak akan peduli dengan keselamatan dirinya sendiri. Namun, bagaimana kalau aksi brutalnya membuat orang lain celaka? Norah tidak mau membuat orang yang tidak berdosa kehilangan nyawa. Bukan seperti itu prinsip hidupnya!

Di detik yang sama. Zion sudah tiba di asrama Daisy. Pria itu berdiri mematung melihat darah dimana-mana. Bahkan di dinding juga ada. Darah itu membekas menuju ke kamar mandi yang letaknya beberapa meter dari posisi Zion berdiri. Letaknya sedikit ke samping. Dari posisi Zion, keadaan di dalam kamar mandi tidak terlihat.

"Daisy ...," lirihnya dengan nada lemah.

Rasanya Zion tidak sanggup melangkah lagi. Dia tidak akan siap untuk melihat adiknya celaka. Pria itu menggeram. Kedua tangannya terkepal kuat sampai memutih. Rahangnya mengeras. Wajahnya terlihat menahan marah. Namun, ada satu bagian yang kini rasanya begitu menyiksa. Debaran jantungnya. Jantung Zion memompa dengan begitu cepat karena kini dia sangat was-was.

Belum pernah Zion takut seperti ini. Dia bahkan kesulitan untuk melangkahkan kakinya lebih jauh lagi. Seolah-olah di telapak sepatunya ada lem yang membuatnya kesulitan untuk melangkah lagi.

"Siapa kau?"

Esme muncul di depan pintu. Wanita itu juga syok melihat ada darah di lantai kamar sahabatnya. Dia menuduh Zion yang sudah melakukan semua ini karena memang Esme tidak tahu kalau Daisy memiliki kakak.

"TOLONG! ADA PENJAHAT!" teriak Esme. "Tolong!"

Zion memutar tubuhnya dan memandang Esme. Dia tidak mau melukai Esme karena Zion tahu wanita itu sahabat adiknya. Sedangkan Esme berlari untuk mencari pertolongan. Dia ketakutan ketika melihat pandangan mata Zion yang terlihat menakutkan.

Semua orang yang mendengar teriakan Esme segera keluar dari kamar. Salah satunya adalah Lyn. Wanita itu berdiri di depan kamar sambil melipat kedua tangannya. Ada handuk di atas kepalanya yang masih melilit rambut basah. Tatapannya terlihat tidak suka ketika mendengar Esme teriak di jam istirahat.

"Apa yang kau lakukan wanita bodoh!" umat Lyn.

Esme yang memang kini berada tepat di depan Lyn, hanya bisa berdiri dengan tubuh gemetar. Bahkan bibirnya sampai kesulitan untuk bicara.

"Dai .... Dai ...." Gagapnya dengan bibir pucat.

"Maksudmu, Daisy?" Lyn memeriksa kukunya dengan ekspresi wajah cuek. "Ada apa yang wanita udik itu?"

"Darah darah," lanjut Esme lagi. Masih terus mengiang di ingatannya tatapan menakutkan Zion hingga membuatnya tidak bisa bicara.

"Darah?" Lyn menghela napas panjang. Wanita itu masih belum mengerti dengan apa yang dikatakan Esme. "Apa maksudmu Daisy berdarah?"

Esme mengangguk. Belum juga sempat menjelaskan dia sudah pingsan. Wanita itu terhuyung ke depan hingga terjatuh di tubuh Lyn. Lyn mengeryitkan dahinya dan segera mendorong tubuh Daisy dengan wajah jijik.

"Iuhhh! Apa-apaan dia!" umpat Lyn tidak suka. Wanita itu memandang ke kiri. Di sana beberapa orang juga keluar dari kamar dengan wajah bingung.

"Ada apa? Seseorang berteriak ada orang jahat! Di mana?" tanya salah satu penghuni asrama.

Lyn hanya mengangkat kedua bahunya. "Paling juga si wanita bodoh dan wanita udik lagi buat sensasi. Yuk kita masuk saja. Gak penting juga ," sahut Lyn.

Ucapan Lyn membuat yang lainnya juga ikut masuk ke kamar. Memang kamar Daisy dan Esme ada di sudut lorong. Dua kamar mereka seperti kamar yang di asingkan. Karena sebelum mendapatkan kamar mereka, ada dinding panjang yang harus dilalui.

"Ada apa ini?"

Seorang wanita berusia sekitar 45 tahun berdiri di depan tangga. Wanita itu memandang satu persatu wajah mahasiswinya dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa kalian ribut sekali? Ini sudah malam!"

"Dia pingsan di depan kamarku, madam. Nyonya Gulnora. Bisakah anda singkirkan dia dari hadapanku? Aku tidak mau virus dari tubuhnya terbang ke kamarku!" ujar Lyn.

Nyonya Gulnora segera mendekati Esme. Wanita itu memandang ke depan. Ia merasa ada yang aneh. Biasanya dimana ada Esme di situ ada Daisy. Sekarang, dimana wanita cerdas itu?

Semua masuk ke dalam kamar lagi. Sedangkan Nyonya Gulnora tertarik untuk memeriksa ke kamar Daisy. Ia bahkan membiarkan Esme tergeletak di lantai karena sangat mengkhawatirkan Daisy. Hanya Nyonya Gulnora satu-satunya orang yang mengetahui identitas asli Daisy. Sisanya hanya menganggap Daisy sebagai wanita kampung tidak berguna.

Setibanya di kamar Daisy, Nyonya Gulnora di buat syok melihat kamar berantakan dan darah dimana-mana. Dia menutup mulutnya dengan tangan dan menahan pita suaranya agar tidak menjerit karena ketakutan. Wanita itu terus melangkah untuk memeriksa ke arah kamar mandi. Jejak darah itu berakhir di sana.

Zion keluar dari kamar mandi hingga membuat Nyonya Gulnora syok bukan main. Pria itu menatap Nyonya Gulnora dengan tatapan menikam dan berjalan mendekati wanita itu.

"Siapa Foster?"

"Foster? Anda siapa? Kenapa anda ada di kamar Daisy? Apa yang terjadi pada Daisy?" tanya Nyonya Gulnora dengan sisa keberanian yang ia miliki.

Zion memperlihatkan kalung yang ia temukan di kamar mandi. Kalung itu ada inisial huruf F yang di belakangnya tertulis jelas nama Foster. Di dalam kamar mandi tidak ada siapapun selain ceceran darah yang begitu mengerikan.

"Katakan atau aku akan-" Zion menahan langkah kakinya ketika mendengar suara sirine polisi. Pria itu mengepal kuat kalung yang ia temukan dan membawanya pergi. Ia tidak lagi peduli dengan Nyonya Gulnora.

"Dia mahasiswa yang suka sama Daisy!" teriak Nyonya Gulnora sebelum Zion melompat dari jendela. Zion memandang Nyonya Gulnora sekilas sebelum melompat. Pria itu tidak mau berurusan dengan polisi. Dia bisa mencari adik kandungnya tanpa bantuan dari polisi-polisi tersebut.

Nyonya Gulnora terduduk di lantai. Ia masih tidak sanggup memandang darah di lantai. "Daisy ... apa yang terjadi padamu Nak? Apa seseorang telah mencelakaimu? Dimana kamu nak?" lirih Nyonya Gulnora dengan wajah menahan tangis.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!