Bab 1
Tiga orang siswa laki-laki sedang berdiri di hadapan seorang guru BK yang bermuka masang dan bicara dengan nada tinggi. Namun, ketiga pemuda berseragam putih abu-abu itu terlihat memasang wajah masa bodoh dengan ocehan guru itu.
"Kalian itu mau jadi apa, nanti?" tanya guru yang sejak tadi mengulang kalimat ini entah untuk ke berapa kalinya.
"Rafael!" bentak laki-laki paruh baya dengan kepala botak.
"Iya, Pak Don." Murid laki-laki yang namanya dipanggil itu menyahut dengan nada malas.
"Meski orang tuamu pemilik saham terbesar di sekolahan ini, kalau kamu melanggar aturan, maka akan diberikan sangsi," kata Pak Don sambil menunjuk Rafael dengan pensil.
"Ronald! Rizal!" Pak Don memanggil dua murid lainnya.
"Iya, Pak Don!" jawab keduanya kompak.
"Kalian juga sama. Akan mendapatkan sangsi atas perbuatan kalian semalam," lanjut Pak Don.
Para guru yang kebetulan lewat di depan ruang Bimbingan Konseling melirik ke arah jendela kacanya yang lebar itu. Salah satunya adalah Annisa atau sering dipanggil Ning Annisa. Mata dia bersirobok dengan seorang murid laki-laki yang berwajah tampan dan memiliki postur tubuh yang tinggi.
Murid laki-laki itu tersenyum dan mengedipkan matanya pada guru yang selalu menggunakan cadar sehari-harinya. Dia lebih suka menggoda guru magang itu dari pada mendengarkan ocehan gurunya.
"Bu Anne, siapa yang sudah membuat Pak Don marah-marah di pagi hari?" tanya Ning Annisa pada rekan kerjanya sesama pengajar di sana.
"Rafael dan teman-temannya. Mereka itu sudah sering membuat Pak Don dan jajaran dewan sekolah pusing oleh kelakuan mereka. Mereka itu suka sekali melakukan balapan liar, tawuran, atau kenakalan remaja lainnya. Hanya saja menjurus pada hal yang beradu fisik," jawab Bu Anne.
Ning Annisa tahu di sekolahnya tempat dia mengabdi banyak sekali anak-anak dari orang kaya. Mereka kebanyakan kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Hal ini dikarenakan mereka sibuk dengan urusan pekerjaan mereka. Jadinya, mereka mencari pelampiasan di jalanan atau di luar rumah.
"Oh. Meski aku sudah beberapa bulan mengajar di sini dan sering mendengar nama mereka. Namun, baru kali ini aku melihat wajahnya secara langsung," ucap Ning Annisa.
Nama Rafael, Ronald, dan Rizal sangat terkenal sekali dilingkungan sekolah itu. Namun, bagi Ning Annisa tadi adalah pertemuan pertama mereka.
"Sebaiknya kita jangan terlibat dengan anak-anak itu. Apalagi sampai berurusan dengan keluarganya. Bisa sengsara selama hidup kita," balas Bu Anne.
"Kenapa begitu, Bu? Kita sama-sama manusia, jadi tidak perlu takut. Apalagi kita tidak melakukan kejahatan," ucap Ning Annisa.
"Bu Annisa akan tahu sendiri bagaimana rasanya jika sudah berhadapan langsung dengan keluarga mereka," kata Bu Anne sambil berbisik.
***
Rafael melemparkan tasnya ke arah sofa yang ada di kamarnya. Ruangan yang sangat luas dengan fasilitas yang lengkap dan berkualitas terbaik. Tidak membuatnya betah di dalam kamar itu.
"Bi, Papi dan Mami apa sudah pulang?" tanya Rafael pada pembantunya yang membawakan dia air minum berupa jus buah.
"Tuan dan Nyonya, belum pulang. Mungkin mereka langsung pergi ke Singapura setelah pulang dari Paris," jawab pelayan itu.
"Ya, sudah." Rafael pun duduk di sofa dan menghabiskan minuman miliknya.
Meski tinggal di rumah mewah dan tentunya dengan pelayanan terbaik. Rafael tidak pernah betah tinggal di rumah ini. Sepi, itulah yang sering dirasakan oleh Rafael di rumah. Hanya saat berkumpul bersama teman-teman, dia merasakan adanya kehidupan. Anak-anak remaja yang seharusnya mencari jati dirinya dan tidak ada yang membimbing, apalagi mengarahkan mereka pada kebaikan.
Rafael dan kedua sahabat sakit sejak mereka masih memakai popok itu suka sekali melakukan hal-hal yang dianggap menantang bagi mereka. Mau itu balapan liar, tinju bebas, atau berpetualang keliling Indonesia. Mereka selalu kompak saat menjalani itu semua. Semalam juga mereka menerima tantangan dari geng motor macam untuk memperebutkan daerah kekuasaan lahan bermain mereka. Namun, kemenangan semalam itu tidak ada arti bagi dirinya. Meski orang-orang mengelu-elukan dirinya, tapi hatinya terasa hampa tidak bahagia.
***
Rafael dan teman-temannya akan memulai hukumannya tiga hari lagi karena tiga hari berturut-turut ini ada tes praktek untuk beberapa mata pelajaran. Dia pergi ke sekolah dengan menaiki motor kesayangannya. Saat dalam perjalanan dia dihadang oleh puluhan orang preman yang membawa tongkat pemukul.
"Turun!" teriak salah seorang preman itu.
"Mau apa kalian?" Rafael tidak takut meski dikeroyok karena berkelahi itu hal yang hampir tiap hari dia lakukan.
"Memberi pelajaran pada anak sombong seperti kamu!" hardiknya lagi.
Rafael pun turun dari motornya tanpa melepaskan helm. Jaga-jaga untuk melindungi kepalanya, jika dipukul oleh lawan.
"Serang!" perintah laki-laki tadi dan anak buahnya langsung kelancaran serangan terhadap Rafael.
"Aaaaa!" seru mereka.
Para preman itu mengayunkan tongkat pemukul yang mereka pegang ke arah Rafael. Namun, Rafael yang jago bela diri menahan tangan preman itu dan memukul perutnya sehingga mengerang kesakitan, sampai tongkat di tangannya lepas.
Rafael memanfaatkan tongkat itu sebagai senjatanya untuk melawan mereka.
Baku hantam pun terjadi di sana. Meski Rafael jago beladiri, kalau di keroyok dan lawan memakai senjata, tentu saja di terpojok dan hampir kalah. Walaupun dia juga berhasil membuat lawannya banyak yang terkapar tidak berdaya karena dihajar olehnya.
"Bos, dia kuat sekali," bisik salah satu anak buahnya.
"Sekuat apapun manusia kalau dia dikeroyok seperti ini, tetap saja dia akan tumbang karena kelelahan. Kita tunggu saja sampai tenaganya terkuras habis. Setelah itu baru kita habisi," kata si ketua preman.
Rafael hanya tersenyum miring mendengar ocehan para preman itu. Dia akui kalau merasa kewalahan dan mulai kelelahan. Dia bukan tokoh di komik atau film kartun yang berkelahi dan mengeluarkan jurus merasa tidak capek. Dia ini hanya manusia biasa yang merasakan capek, jika tenaganya dikuras terus, apalagi ini dipaksa karena harus berkelahi.
***
Ning Annisa berangkat ke sekolah terburu-buru karena kesiangan. Dia tadi ketiduran saat memeriksa hasil tugas para muridnya.
"Kenapa, aku harus kesiangan di hari ini!" Ning Annisa berlari ke parkiran tempat motornya di simpan.
Dia melajukan motor itu dengan kecepatan penuh agar bisa sampai ke sekolah tepat waktu. Saat dalam perjalanan, dia melihat seorang murid yang berseragam dari sekolah tempatnya mengajar. Murid itu sedang dikeroyok oleh beberapa orang dewasa. Jiwa keadilan dalam dirinya mencuat dan dia pun mendekat ke sana.
"Hey, hentikan! Apa yang sedang kalian lakukan? Berani-beraninya mengeroyok seorang siswa yang lemah!" teriak Ning Annisa dengan lantang yang masih duduk manis di atas motornya.
Rafael melihat ada seorang wanita berjilbab mengganggu acara panas mereka yang sedang seru-serunya. Dia pun menatap penuh selidik pada orang yang sudah berani menghentikan perkelahian para preman ini.
'Siapa wanita tidak waras ini? Berani-beraninya mengganggu orang sedang berkelahi.'
***
Teman-teman mohon dukungannya. Semoga kalian suka dengan cerita ini. Ambil sisi positifnya, abaikan sisi negatifnya, ya. Jangan lupa favorit, 🌟🌟🌟🌟🌟, like, komentar, bunga, kopi, dan Vote. Terima kasih.
Teman-teman baca sampai selesai, ya. Jangan di skip biar terbaca oleh sistem. Lalu, jangan lupa kasih like, komentar, dan bintang 🌟🌟🌟🌟🌟. Semoga hari ini kalian bahagia dan dimudahkan rezekinya.
***
Bab 2
Rafael merasa sangat kesal karena ada seorang wanita mengganggu dirinya saat bertarung. Dia memperhatikan wanita yang tidak melepaskan helm sama seperti dirinya.
Ning Annisa mengambil tongkat yang tergeletak di tanah. Lalu, dia mengayun-ayunkan tongkat itu untuk pemanasan. Agar otot-ototnya tidak tegang dan mengukur berat tongkat ditangannya.
'Dasar wanita banyak tingkahnya.' Rafael tersenyum meremehkan dibalik helmnya.
Ning Annisa melangkah ke arah para preman yang masih menatap heran padanya. Mereka malah terperangah pada dirinya.
"Ini … jadi nggak berkelahinya?" tanya Ning Annisa kepada para preman.
Para laki-laki berwajah sangar itu malah saling melirik. Lalu, salah seorang dari mereka maju ke hadapan Ning Annisa.
"Bu Haji, jangan ikut campur, ya. Kita-kita sedang memberikan pelajaran untuk bocah nakal itu," kata laki-laki itu dengan nada sungkan pada Ning Annisa.
Kini giliran Rafael yang cengo, melihat tingkah preman itu yang tiba-tiba lembek di depan wanita itu. Dia malah ingin tertawa merendahkan para preman itu.
"Memberikan pelajaran itu adalah tugas aku sebagai gurunya. Biar aku saja yang memberikan dia hukuman," balas Ning Annisa.
Rafael mengerutkan keningnya. Dia tidak mengenali wanita yang mengaku sebagai gurunya ini.
"Jadi, Bu Haji adalah guru dari bocah tengik ini?" tanya laki-laki yang di panggil bos oleh yang lainnya.
"Iya. Jadi, biarkan aku yang memberikan hukuman padanya," jawab Ning Annisa.
Terlihat para preman itu sedang berunding. Lalu, mereka semua memilih maju ke arah Ning Annisa dan Rafael.
"Tidak. Kami yang akan menghukum bocah tengik itu!" hardik si bos.
Para preman itu pun melanjutkan lagi pertempuran tadi. Mereka juga menyerang Ning Annisa.
Ning Annisa yang memiliki kemampuan beladiri pemegang sabuk hitam, tentunya dia bisa berkelahi. Selain itu, dia juga belajar wushu sejak kecil sampai sekolah tingkat atas. Kedua tangannya mengayunkan tongkat itu dengan sangat indah. Gerak tubuh yang gemulai, tetapi bertenaga.
Tongkat itu dipukulkan ke tangan musuh yang memegang tongkat, sampai jatuh. Ning Annisa juga menyerang kaki mereka agar gerakannya bisa dilumpuhkan.
Rafael hanya diam terpaku melihat kehebatan wanita yang datang mengganggu dirinya tadi. Dia tidak menyangka kalau wanita itu pandai dalam beladiri.
"Aaaaa ... ampun! Ampun!" teriak para preman itu menyerah.
"Berjanjilah kalau kalian tidak akan melakukan kejahatan seperti ini lagi," kata Ning Annisa.
"I-iya." Mereka semua pun berjanji.
"Kalau begitu, sana pergi!" titah Ning Annisa.
Para preman itu pun lari tunggang-langgang. Sementara itu, Ning Annisa tersenyum puas. Kini dia mengalihkan perhatiannya pada Rafael.
"Kalau pihak sekolah tahu, maka kamu akan dikeluarkan. Kenapa, sih? Kamu itu suka sekali terlibat pertikaian dengan orang lain!" Ning Annisa sewot di depan Rafael.
Pemuda itu cuek saja dan mengabaikan semua ocehan Ning Annisa. Dia merasa sangat penasaran dengan wajah di balik helm itu. Setelah wanita yang tangguh dan tidak takut pada para preman.
'Perempuan yang sangat menarik. Penasaran, siapa dia sebenarnya?'
Ning Annisa balik menatap laki-laki yang berseragam sekolah. Dia tidak tahu siapa murid itu karena wajahnya tertutup oleh helm.
"Aaaaa, tidak! Aku kesiangan ke sekolah. Ini semua gara-gara kamu!" bentak Ning Annisa pada Rafael. Lalu, dia pun berlari ke arah motornya dan langsung tancap gas menuju ke sekolahnya.
***
Rafael masih penasaran dengan sosok perempuan berjilbab yang membantunya tadi. Di sekolahnya ada beberapa guru yang memakai jilbab. Namun, menurutnya tidak ada yang sesuai karakternya dengan wanita yang sangar tadi. Guru-guru yang berjilbab di sekolahnya terkesan wanita sholeha yang lemah lembut.
"Kamu kenapa? Aku perhatikan sejak tadi kamu melamun terus," ucap Ronald yang duduk di depan Rafael.
"Iya. Kamu hanya mengaduk-aduk makanan saja sejak tadi, tidak di makan-makan," sambung Rizal yang makanannya di mangkok sudah habis.
Rafael ingin menceritakan kejadian yang sudah menimpa dirinya tadi pagi, kepada teman-teman soplaknya ini. Namun, di kantin bukanlah tempat yang cocok untuk membicarakan hal itu. Bisa-bisa pamor dia sebagai jagoannya SMA ALEXANDRIA jatuh.
"Ada yang ingin aku ceritakan kepada kalian. Tapi, bukan di sini," bisik Rafael pada kedua temannya.
"Apa ini cerita yang penting dan rahasia?" tanya Rizal.
"Iya. Sangat … sangat rahasia," jawab Rafael.
Sepulang sekolah Rafael dan kedua temannya mendatangi markas mereka. Mungkin lebih tepatnya apartemen milik Rafael. Di sana dia menceritakan kejadian tadi pagi.
"Menurut kalian siapa guru itu?" tanya Rafael.
Ronald dan Rizal malah ikut-ikutan penasaran sosok itu. Keduanya tidak bisa menerka siapa wanita itu.
"Aku tidak punya bayangan sama sekali," kata Ronald.
"Sama, aku juga tidak punya nama guru kandidat yang kira-kira memiliki kehebatan dalam beladiri itu," lanjut Rizal.
Ketiganya kembali terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Kalian tahu tidak, guru magang yang sering dipanggil Ning Annisa?" tanya Ronald.
Rafael dan Rizal menggelengkan kepalanya. Mereka tidak tahu, apalagi guru magang.
"Sebenarnya, aku suka sama dia. Dia adalah sosok wanita cerdas yang lemah lembut. Aku dua kali pernah ditolong olehnya. Kira-kira kalau aku menyatakan cinta padanya, akan diterima nggak, ya?" tanya Ronald.
"Siapa sih, yang bisa menolak anak bungsu pengusaha real estate terkenal di negeri ini," ucap Rizal sambil melirik ke arah sahabatnya.
"Aku sering tiba-tiba malu, jika berhadapan dengan dia," ucap Ronald jujur. Kini muka dan telinganya memerah. Hanya membayangkan sosok gurunya itu.
"Wah … wah, teman kita akhirnya merasakan jatuh cinta juga, Di saat usia sudah memasuki 18 tahun. Hebat! Aku dukung deh, pokoknya." Rafael merangkul leher pemuda campuran bule Eropa itu.
***
Keesokan harinya Rafael dan teman-temannya sedang makan di kantin. Didatangi oleh Demian, anak pemilik saham lainnya di sekolah itu. Dia itu merupakan saingan Rafael sejak masih berseragam taman kanak-kanak.
"Hei, Pangeran Kodok. Malam ini kita akan adakan balapan dan taruhannya adalah mobil kesayangan kita masing-masing," ucap Demian.
"Tidak takut. Bersiap-siaplah kamu akan menangis karena kehilangan lagi mobil kesayangan kamu itu," ucap Rafael mengejek pewaris keluarga Baratayudha.
"Aku akan membalas kekalahan aku kemarin," ucap Demian dengan senyum miring menghiasi wajahnya.
***
Malam harinya para pemuda yang lebih suka menuruti hawa napsunya, sudah berkumpul di arena balap milik salah seorang pengusaha di negeri ini. Mereka biasanya melakukan balapan motor atau mobil.
"Apa kalian sudah siap?" teriak seorang perempuan berpakaian minim.
Rafael sudah siap di atas motor balap miliknya. Begitu juga dengan Demian dan beberapa orang yang ingin ikut serta.
"Tiga … dua … satu!" teriak wanita sambil mengacungkan kedua light stik di kedua tangannya.
Raungan suara motor langsung memecah keheningan malam itu dengan suara yang memekakkan telinga. Semua motor itu saling berkejaran dengan kecepatan yang tinggi. Mereka semua harus mengelilingi lap sebanyak tiga putaran.
Rafael dan Demian yang menempati posisi paling depan. Keduanya sudah jauh meninggalkan para peserta lainnya.
Demian yang tidak mau kalah, maka dia pun berbuat curang. Kaki panjangnya menendang kuat motor Rafael.
Meski motornya sempat oleng gara-gara tendangan kaki Demian. Namun, Rafael masih mampu mengemudikan motornya.
Rafael tidak tahu kalau Demian sengaja menumpahkan bensin secara diam-diam. Jalanan pun menjadi licin sehingga Rafael terjatuh dan terseret ratusan meter di jalanan beraspal.
Demian sangat senang melihat lawannya terjatuh. Dia yakin kalau dia akan jadi pemenangnya.
"Rafael!" teriak orang-orang yang mendukung Rafael sebagai pemenangnya.
***
Bagaimana kondisi Rafael? Tunggu kelanjutannya, ya!
Teman-teman baca sampai selesai, ya. Jangan di skip biar terbaca oleh sistem. Lalu, jangan lupa untuk selalu memberikan dukungan kepada aku dengan kasih Bunga, Kopi, Vote, dan 🌟🌟🌟🌟🌟. Semoga hari ini kalian bahagia dan dimudahkan rezekinya.
***
Bab 3
Rafael yang tidak mau kehilangan mobil kesayangannya itu lantas bangkit dan melajukan kembali motornya. Saat ini tubuhnya hanya merasa sakit biasa. Mungkin karena masih baru, dia merasa kebas dan belum merasakan kesakitan yang teramat sangat karena luka-luka ditubuhnya.
"Gila, si Rafael! Sudah jatuh terseret seperti itu masih nekad melanjutkan pertandingan," ucap Ronald yang saat ini tidak bisa ikutan lomba. Itu dikarenakan semua motor miliknya di sita oleh kedua orang tuanya. Mereka menghukum Ronald untuk tidak menyentuh motor selama satu bulan.
Sementara itu, Rizal yang ikutan balap merasa kesal pada Demian yang sudah berbuat curang. Maka, dia pun melakukan hal yang sama kepadanya. Dia menemdang body motor Demian bagian belakang sehingga oleng dan terjatuh ke aspal.
"Bagus!" Rafael merasa sangat senang. Dia pun menambah kecepatan dan menyusul Rizal.
Rafael mengacungkan jempol pada sahabatnya itu sebagai tanda terima kasih. Akhirnya, dia pun memenangkan pertandingan dan taruhannya.
"Kamu tidak akan pernah bisa menang melawan aku," ucap Rafael penuh sindiran pada Demian.
Mendapatkan kekalahan untuk yang kedua kalinya, membuat Demian semakin merasa kesal pada Rafael. Lagi-lagi dia harus menyerahkan kunci mobil baru yang sangat di sayangi.
"Lagi-lagi si Pangeran Kodok yang menang," ucap orang-orang yang ada di sana.
Rafael sering dipanggil si Pangeran Kodok, hal ini karena sejak Taman Kanak-kanak dia beberapa kali memerankan tokoh ini.
"Ini sudah sangat malam. Ayo, pulang!" Teriak Ronald membubarkan orang-orang yang ada di sana.
"Rafael, kamu ikut bersama dengan aku saja. Biarkan motor di simpan di sini dulu," kata Ronald.
"Nggak, aku masih sanggup. Tubuh aku ini sangat kuat, jadi tidak apa-apa. Paling nanti aku akan minta tukang urut badan mulai terasa sakit dan kaku," ujar Rafael.
Akhirnya, Rafael pulang sendiri ke rumahnya. Dia merasa sangat puas dengan kemenangannya kali ini.
***
"Aduh, perutku lapar sekali," lirih Ning Annisa.
Lalu, dia pun mencari makanan di dapur. Ternyata tidak ada secuil makanan pun di sana.
"Beli nasi goreng atau apalah diluar. Daripada penyakit maag aku kambuh," kata Ning Annisa bermonolog.
Ning Annisa malam itu pun pergi ke luar untuk mencari sesuatu yang bisa dia makan. Namun, saat dia sedang melajukan motornya dikawasan sepi penduduk dia dikejutkan oleh seseorang yang terbaring di jalan dan tidak jauh ada motor yang tergeletak.
"Ada kecelakaan! Apa ulah tabrak lari?" Ning Annisa perlahan mendekati orang itu. Dia takut kalau orang itu pura-pura pingsan atau pura-pura mati, hanya modus untuk membegal pengendara yang lewat.
Saat Ning Annisa menggerak-gerakkan tubuh orang itu dengan kakinya. Tidak ada respon sama sekali dari orang itu.
"Hei, kamu masih hidup atau sudah mati?" tanya Ning Annisa, tetapi orang itu tidak menjawab.
"Bagaimana kalau dia beneran mati?" Ning Annisa pun langsung membalikan tubuh itu. Dia pun lantas membuka helmnya. Betapa terkejutnya Ning Annisa saat tahu siapa orang yang sedang berbaring di sana.
"Hei, kamu anak nakal yang sering masuk ruang BK. Ayo, bangun!" Ning Annisa mengguncangkan tubuh Rafael.
Rafael yang merasa terusik pun membuka matanya sedikit. Dia melihat ada seorang yang memakai helm sedang mengguncangkan tubuhnya.
"Sakit, bodoh!" kata Rafael mengumpat.
Ning Annisa tidak terima dirinya dikatai 'bodoh' oleh murid yang terkenal nakal. Lalu, dia pun memukul lengan Rafael.
"Menyesal aku berniat mau menolong kamu. Tidak tahu berterima kasih. Sana ke rumah sakit sendiri!" Ning Annisa mengomel, lalu dia pun hendak pergi, terapi tangannya ditahan oleh Rafael.
"Bawa aku ke rumah sakit. Jika tidak … aku akan menghantuiku," lirihnya.
"Hah, di mana ada orang yang minta tolong malah mengancam," kata Ning Annisa. Meski sambil mengomel dia tetap membawa Rafael ke rumah sakit.
'Ya Allah, ampuni aku. Ini dalam keadaan darurat. Bukan maksud aku untuk berduaan dengan yang bukan mahramku.'
Rafael memeluk tubuh Ning Annisa yang terasa pas dalam pelukannya. Dia bisa menghirup wangi sampo dibalik jilbabnya.
'Wangi yang menenangkan.'
***
Rafael pun langsung di bawa ke UGD dan mendapatkan perawatan. Banyak luka lengan dan beberapa patah tulang ringan. Ning Annisa merasa sangat kesal karena dia tidak jadi makan dan kini perut dia sudah melilit. Penyakit maag dia terasa kambuh, dia pun minta obat ke perawat.
Semalaman Ning Annisa menunggui Rafael, karena dia tidak tahu cara menghubungi keluarganya. Bahkan biaya administrasi pun memakai uang dia.
Setelah subuh, Ning Annisa pun pulang karena dia harus mengajar. Dia pun meminta suster untuk memperhatikan keadaan Rafael.
Sepeninggalan Ning Annisa, Rafael baru sadar. Dia dirawat di ruang kelas ekonomi, di mana banyak pasien yang dirawat dalam satu ruangan itu.
'Ini di mana?' Rafael mengedarkan pandangannya. Banyak sekali orang-orang di sana.
"A-h, kamu sudah sadar," kata seorang perawat yang mendatangi Rafael.
Rafael masih diam saja saat perawat itu mengecek tensi darah, tetesan cairan infus, dan perban yang melilit di lengan serta kakinya. Dia masih mencerna dan mengingat kembali bagaimana dia bisa sampai ke sini.
"Siapa yang sudah membawa aku ke ruangan ini?" tanya Rafael.
"Dia perempuan yang membawa kamu semalam. Tapi, dia buru-buru pulang tadi pagi. Katanya dia harus kerja," jawab perawat itu.
"Aku minta ganti ruang rawat ke ruang VVIP. Aku butuh ketenangan. Di sini sangat berisik," ucap Rafael.
"Baiklah, akan saya urus itu."
***
Rafael menjalani hari hukumannya selama dua minggu itu di rumah sakit. Orang tuanya baru tahu kalau dirinya sudah mengalami kecelakaan di hari berikutnya. Namun, mereka hanya menjenguknya selama di rumah sakit itu dua kali. Tentu saja ini membuat miris dirinya.
Hanya teman-temannya yang selalu menemani dirinya di sana. Bahkan mereka juga ikut menginap secara diam-diam agar tidak diketahui oleh pihak rumah sakit.
Ning Annisa juga hampir setiap hari menjenguk ke sana. Namun, kebetulan saat itu Rafael selalu sedang tidur. Dia hanya membawakan bubur dan meminta perawat untuk memastikan bubur itu dimakan oleh Rafael.
***
Rafael pun masuk ke sekolah setelah pulang dari rumah sakit. Dia merasa sangat senang bisa kembali menjalankan aktivitas sehari-hari seperti yang dia jalani selama ini.
Setelah bel pulang berbunyi Rafael pun bergegas pulang. Dia dan Ning Annisa saling berselisih jalan. Saat itu Rafael bisa mencium wangi shampo orang yang sudah menolongnya. Dia pun merasa sangat penasaran dengan sosok perempuan berjilbab itu. Maka, secara diam-diam Rafael mengikuti Ning Annisa.
Ning Annisa mau mengembalikan buku yang dia pinjam ke perpustakaan. Perpustakaan di SMA ALEXANDRIA sangat kumplit, dia sering meminjam buku untuk mengerjakan tugas kuliah S2. Dia masuk ke perpustakaan dan di sambut oleh penjaga perpustakaan.
"Ning Annisa, mau pinjam buku yang lainnya?" tanya si penjaga perpustakaan.
"Iya. Tapi, buku yang aku perlukan ada di ruang khusus itu," kata Ning Annisa sambil menunjuk ke satu ruangan di sudut.
"Oh, hati-hati jangan sampai pintunya tertutup karena tidak bisa dibuka dari dalam. Tukangnya baru bisa datang besok," ucap penjaga itu.
"Iya," balas Ning Annisa, kemudian pergi ke ruangan itu. Tanpa dia sadari kalau Rafael juga diam-diam mengikutinya.
Agar pintunya tidak tertutup, maka Ning Annisa membuka pintu itu lebar-lebar. Baru saja Ning Annisa masuk ke ruangan itu, terdengar suara pintu tertutup.
"A-hk! Tidak. Pintunya kenapa kamu tutup!" teriak Ning Annisa saat melihat Rafael memegang handle pintu.
"Kenapa?" tanya Rafael.
"Kita berdua terkurung di sini," jawab Ning Annisa frustrasi.
"Eh!" Muka Rafael mendadak pucat.
***
Bagaimana kisah mereka saat terkurung di dalam ruang khusus di perpustakaan itu? Tunggu kelanjutannya, ya!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!