"Papa!" Seru anak laki-laki yang berusia 5 tahun tengah berlarian kecil menghampiri pria bertubuh tinggi tegap yang telah merentangkan tangannya untuk membawa sang anak ke dalam pelukannya. Anak laki-laki itu pun langsung menghambur ke dalam pelukan ayahnya.
"Apa yang kamu pelajari tadi, Nak?" tanya Alvaro.
Tak lama kemudian, bocah kecil yang bernama Bima itu pun langsung mengeluarkan buku gambar di dalam tasnya. Ia langsung menunjukkan gambar yang dibuatnya tadi.
Alvaro mengernyitkan keningnya, ia melihat gambar yang ditulis oleh putranya itu, yang memperlihatkan sebuah anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu dan satu anak. Namun, perhatian Alvaro teralihkan pada gambar wanita yang diberi tanda tanya tersebut.
"Ini gambar kita, Papa."
"Ini Papa, ini Bima, dan ini Mama," lanjutnya seraya menunjuk satu persatu gambar.
"Ada apa dengan tanda ini, Boy?" tanya Alvaro pada anaknya.
"Ini mama. Kita belum mendapatkan mama, Pa. Aku ingin mama," celetuk bocah itu yang cukup membuat Alvaro membulatkan matanya.
"Tapi Bima kan sudah mempunyai mama," ujar Alvaro yang mencoba memberi paham pada anaknya itu.
"Aku ingin mama yang ada bersama kita, Pa. Kalau mama Bima, dia ada di sini," ucap anak kecil tersebut sembari menunjuk dadanya.
Alvaro tersenyum, ia pun mengusap puncak kepala putranya itu dengan rasa sayang yang teramat dalam. "Kamu tidak merindukan mama?" tanya Alvaro.
"Bima rindu, Pa. Ayo kita berkunjung ke tempat mama," ajak Bima.
"Nanti ya, Nak. Akhir pekan ini, kita langsung mengunjungi mama," ucap Alvaro.
"Papa janji?" tanya Bima yang memperlihatkan jari kelingkingnya.
"Iya, Boy. Papa janji!" Alvaro pun langsung menautkan hari kelingkingnya di jari kelingking mungil putranya itu.
Alvaro memasukkan kembali buku gambar anaknya ke dalam tas. Lalu kemudian menggendong anaknya itu menuju ke mobil mereka yang terparkir di depan.
Asisten Alvaro membukakan pintu untuk anak dan ayah tersebut. Setelah keduanya masuk, asisten dari Alvaro itu langsung menempati kursi kemudi, melajukan kendaraan tersebut menuju ke jalanan.
"Mau ikut papa ke kantor atau tinggal dengan nenek saja?" tanya Alvaro pada putranya.
"Bima mau ke tempat nenek saja, Pa."
"Langsung ke rumah mama saja, Jun." Alvaro berucap pada asistennya.
"Baik, Pak."
Asistennya itu pun kembali memacu kendaraannya, mempercepat laju kendaraan tersebut menuju ke rumah utama.
Sekitar dua puluh menit lamanya, akhirnya mereka pun tiba di rumah utama. Alvaro dan anaknya pun turun dari mobil. Pria tersebut berjalan sembari menggandeng anaknya masuk ke dalam rumah utama.
Kedatangan mereka langsung disambut hangat oleh Arumi. Rambut Arumi kini memutih karena telah termakan usia. Namun, meskipun dengan begitu, wanita tersebut masih tetap terlihat cantik.
"Cucuku, ...."
"Nenek, ...." Bima menghambur ke pelukan Arumi. Wanita itu memberikan ciuman di kedua pipi gembul cucunya.
"Mana papa?" tanya Alvaro.
"Ada di atas."
"Alvira?" Alvaro menanyakan keberadaan saudara kembarnya.
"Mengantarkan makan siang untuk suaminya ke kantor," ucap wanita tua itu. Binar matanya begitu terlihat jelas saat sang cucu datang berkunjung.
Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga. Alvaro melihat ayahnya yang baru saja menuruni anak tangga tersebut. Rambut pria itu juga sudah memutih, sama halnya dengan Arumi. Meskipun keduanya sudah termakan usia, akan tetapi kecantikan serta ketampanan masih terlihat begitu nyata di wajah mereka yang sudah mengeriput.
"Eh ada cucu kesayangan kakek," ucap Fahri berjalan menghampiri Bima.
"Kakek." bocah itu pun menghambur ke pelukan Fahri.
"Ma, Pa, aku titip Bima dulu. Nanti setelah pulang dari kantor, aku akan menjemputnya ke sini," ucap Alvaro.
"Mau kamu tidak jemput pun tidak apa-apa. Mama senang jika ada Bima, rumah terasa ramai," ujar Arumi sembari terkekeh.
"Tapi Alvaro yang merasa sepi, Ma."
"Makanya, segeralah cari istri!" celetuk Fahri.
Pria tua itu mengusap kepala cucunya, " Bima mau punya mama baru?" tanya Fahri.
Dengan cepat, bocah berusia lima tahun itu mengangguk. Ia terlihat begitu sangat antusias saat kakeknya menawari hal seperti itu.
"Lihatlah! Anakmu sangat setuju jika kamu menikah lagi," ujar Arumi.
Ketiga orang tersebut tampak begitu mendukung Alvaro menikah lagi. Sementara pria tersebut hanya mengusap tengkuknya. Ia sungguh tidak ada niat untuk mencari wanita lain.
Arumi berjongkok, mensejajarkan dirinya dengan tinggi cucunya itu. "Nanti nenek bantu carikan mama untukmu ya, Oke."
"Oke, Nenek." Bima langsung mengacungkan ibu jarinya, sama seperti halnya yang dilakukan oleh neneknya itu.
Tiga lawan satu, dan Alvaro pun merasa kalah. Pria itu menyingkap lengan jasnya, melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Aku harus ke kantor sekarang," ujar Alvaro.
Pria tersebut menghampiri anaknya, lalu kemudian mencubit pelan puncak hidung putranya itu. "Main sama nenek dan kakek dulu ya, Nak. Nanti setelah pulang dari kantor, papa langsung menjemputmu," ucap Alvaro yang langsung melangkah pergi meninggalkan ketiga orang tersebut.
"Dadah Papa, ... hati-hati di jalan!" seru Bima sembari melambaikan tangannya pada sang ayah.
Alvaro berbalik sejenak melihat ke arah putranya. Ia pun membalas lambaian tangan putranya itu seraya memperlihatkan deretan gigi putihnya.
Pria tersebut melanjutkan langkah kakinya, lalu kemudian masuk ke dalam mobil. Kendaraan itu pun perlahan berjalan meninggalkan rumah utama dan kembali menuju ke kantor.
Saat di perjalanan, Alvaro menatap lurus ke depan. Pria tersebut menggigit jemarinya dengan siku yang disandarkan di pintu mobil.
Ucapan dari anaknya itu membuatnya kembali berpikir. Selama ini, Bima tidak menuntut Alvaro untuk mencarikan ibu pengganti untuknya. Namun, akhir-akhir ini, Bima selalu saja mendorong agar sang ayah mencarikan ibu untuknya.
Tentu saja ini pilihan sulit bagi Alvaro. Ia masih mencintai istrinya dulu. Meskipun sudah hampir lima tahun dirinya menyandang status duda, tak ada niatan baginya untuk mencari wanita yang dijadikan sebagai istrinya lagi.
"Anakku ingin aku menikah lagi, bagaimana pendapatmu, Jun?" tanya Alvaro kepada asistennya itu. Pria yang saat ini menjadi asistennya itu adalah teman masa kecilnya dulu. Jadi, Alvaro sering bercerita pada asistennya layaknya bercerita dengan temannya sendiri.
"Kalau saya yang ada di posisi tersebut, tentu saya akan menerimanya," timpal Juni sembari terkekeh.
"Ya ... jika istrimu mengizinkanmu menikah lagi, mungkin kamu juga akan mencari wanita lain lagi yang hendak kamu jadikan istri kedua," ucap Alvaro seraya menghela napasnya.
"Tentu saja, Tuan." Pria itu menjawabnya dengan antusias, membuat Alvaro hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kelakuan asistennya yang satu itu.
Tak terasa, mobil yang mereka naiki telah tiba di gedung perusahaan. Juni memberhentikan mobilnya sejenak, Alvaro pun langsung turun dari kendaraan tersebut dan berjalan menuju ke pintu masuk. Sementara sang asisten memarkirkan mobilnya terlebih dahulu.
Bersambung ....
Saat Alvaro masuk ke dalam gedung perusahaan, semua orang langsung menunduk hormat. Dengan penuh kharisma dan terlihat lebih berwibawa, pria tersebut melenggang melewati pegawai yang menundukkan kepalanya.
Alvaro berjalan beriringan dengan Juni, sang asisten. Juni menuju ke meja kerjanya, sementara Alvaro masuk ke dalam ruangannya.
Alvaro kembali melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Pria tersebut memeriksa dokumen yang ada di atas mejanya, membaca dokumen tersebut dengan seksama.
Terdengar suara ketukan pintu. Tak lama kemudian, Juni pun muncul dari balik pintu itu dengan satu buah berkas lainnya yang ia bawa.
Juni menyadari kening atasannya itu tampak berkerut. Pria tersebut langsung menanyainya karena merasa penasaran.
"Apakah ada yang salah?" tanya Juni.
Alvaro hanya tersenyum sembari memijat keningnya. "Aku merasa heran dengan anak perusahaan yang dikelola oleh Andre, entah mengapa kita selalu menyuntikkan dana untuk membantu perusahaan tersebut, akan tetapi mereka masih saja mengeluh akan kekurangan dana. Bahkan sampai saat ini, aku tidak melihat adanya perkembangan dari anak perusahaan itu," keluh Alvaro.
"Coba Bapak tanyakan pada Pak Andre dan bicarakan secara baik-baik."
"Sudah, tapi ... ya begitulah. Jika terlalu banyak menanyai hal tersebut pada Andre, maka Alvira akan marah padaku, mengatakan bahwa aku tak mempercayai suaminya, padahal jika boleh jujur memang iya," papar Alvaro.
"Lantas, apa yang akan Pak Alvaro lakukan untuk ke depannya?"
"Entahlah. Aku masih mempertimbangkannya, harus kembali membantunya atau tidak," ujar Alvaro menghembuskan napasnya dengan kasar.
....
Di lain tempat, Bima tengah asyik bermain dengan neneknya. Arumi mengajarkan sang cucu belajar sambil bermain, yang membuat Bima tak merasa bosan saat neneknya itu mengajarinya.
Tak lama kemudian, seorang wanita hamil baru saja tiba dengan membawa box makanan yang telah kosong. Dia adalah Alvira, kembaran dari Alvaro.
Alvira menikah sudah tiga tahun lamanya. Dan yang ia kandung saat ini merupakan anak pertama ia dan suaminya yang bernama Andre, yang saat ini tengah mengurus anak perusahaan yang dibicarakan oleh Alvaro sebelumnya.
Alvira memang terlambat memiliki seorang anak, akan tetapi setelah menempuh berbagai saran dari orang-orang sekitar, ia pun akhirnya mengandung setelah tiga tahun usia pernikahan mereka.
"Tante Vira," sapa Bima dengan memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Eh, Sayangnya tante." Alvira mengulas senyum sembari mengusap rambut ikal bocah cilik tersebut.
"Sebaiknya, kamu tidak usah terlalu sering bepergian, Nak. Saat ini kamu sedang hamil. Biarkan suamimu mencari makan di luar saja," ujar Arumi mencoba menegur anaknya. Bagaimana pun juga, Alvira baru saja hamil, yang seharusnya ia tidak boleh terlalu sering bepergian karena takut membahayakan bayi yang ada di dalam kandungannya.
"Tidak apa-apa, Ma. Lagi pula Vira sekalian lihat Mas Andre bekerja," bantah Vira.
Setelah melontarkan kalimat tersebut, wanita itu memilih untuk berlalu dari hadapan orang tuanya. Ia membawa langkah kakinya untuk pergi dari tempat itu, sebelum Arumi kembali mengomelinya lagi.
Melihat punggung anaknya yang semakin lama semakin menjauh, membuat Arumi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Putri semata wayangnya itu memang memiliki rasa egois yang tinggi, jarang menuruti apa yang dikatakan oleh Arumi, padahal semua itu Arumi lakukan demi kebaikannya sendiri.
.....
Hari pun mulai merangkak malam, Alvaro baru saja keluar dari gedung perusahaan. Pria tersebut masuk ke dalam mobilnya, melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Terdengar suara helaan napas dari pria tersebut.
"Aku pulang terlambat lagi," gumamnya sembari memasangkan sabuk pengaman pada tubuhnya. Alvaro pun melajukan kendaraannya menuju ke kediaman orang tuanya.
Setelah cukup lama menempuh perjalanan, Alvaro pun tiba di rumah utama. Pria itu bergegas turun dari mobilnya, berjalan masuk ke dalam rumah.
Alvaro melihat semua orang sedang berkumpul di ruang tengah, berbincang sembari menonton televisi. Ia melihat ada kedua orang tuanya, serta Alvira bersama dengan suaminya. Namun, ia tak melihat keberadaan anaknya bersama mereka.
Andre yang melihat kedatangan Alvaro pun langsung beranjak dari tempat duduknya, lalu kemudian mengulas senyum. Sementara Alvaro hanya melemparkan tatapan datar pada pria tersebut. Mungkin karena masih geram akan kejadian di kantor tadi. Saat melihat keuangan anak perusahaan yang selalu minus.
"Di mana Bima, Ma?" tanya Alvaro.
"Baru saja mama menidurkannya di kamar. Dia mengantuk karena menunggumu sedari tadi," timpal Arumi.
Tanpa berlama-lama, Alvaro pun langsung melangkahkan kakinya menaiki anak tangga, dan berjalan menuju ke kamar kedua orang tuanya.
Setibanya di sana, Alvaro melihat putranya yang tengah terpejam di atas kasur yang berukuran king size tersebut. Ia langsung melangkah menghampiri buah hatinya itu.
"Maafkan papa ya, Boy. Papa pulang terlambat lagi," gumam Alvaro seraya menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman, sementara tangannya mengusap puncak kepala anaknya.
Bima menggeliat kecil, pria tersebut perlahan membuka matanya. "Papa baru pulang?" tanyanya.
"Hmmm ...." Alvaro menjawabnya dengan dehaman sembari menganggukkan kepala.
"Ayo kita pulang, Sayang."
Bima perlahan menganggukkan kepala. Alvaro pun langsung membawa anaknya yang masih dalam keadaan mengantuk itu ke gendongannya. Alvaro juga mengambil tas yang dibawa oleh Bima, yang juga berada di kamar tersebut.
Saat pria itu keluar dari kamar orang tuanya, ia dikejutkan dengan keberadaan Andre yang tiba-tiba saja muncul.
"Bang, bisakah Abang kembali membantu saya kali ini?" tanya Andre yang mengutarakan maksud dan tujuannya tanpa harus berbasa-basi lagi.
"Urusan kantor bahas di kantor saja. Tolong untuk tidak menghalangi jalanku!" ucap Alvaro dengan pelan , tetapi tak menghilangkan nilai ketegasan yang terkandung dalam ucapannya.
Andre hanya menelan salivanya, lalu kemudian menggeser tubuhnya dan membiarkan Alvaro berlalu dari hadapannya.
Alvaro menuruni anak tangga, pria itu menggelengkan kepalanya karena tingkah Andre yang menurutnya memang tidak memiliki kesopanan sedikit pun. Sedari awal, Alvaro tidak setuju jika Alvira menikah dengan pria tersebut. Namun, karena Alvira yang terlalu mencintai pria itu, Alvaro pun tak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Ma, Pa, aku pulang dulu," ujar Alvaro.
Arumi dan Fahri langsung beranjak dari tempat duduknya untuk mengantarkan kepulangan Alvaro beserta cucunya. Alvira mengekor di belakang kedua orang tuanya itu.
"Hati-hati di jalan, Nak." Arumi memperingati anaknya.
"Boy, pamitan dengan nenek dan kakek dulu," ujar Alvaro yang mendekatkan dirinya karena putranya berada dalam gendongannya.
Bima pun meraih tangan Arumi, lalu kemudian mencium punggung tangan neneknya itu. Arumi langsung memberikan kecupan singkat di kedua pipi gembul cucunya. Lalu Bima beralih pada Fahri, dan pria itu mengusap puncak kepala Bima dengan penuh kasih.
"Sama Tante dan Om juga," ucap Alvaro.
Bima pun menuruti ucapan ayahnya. Ia langsung meraih mencium tangan Alvira dan Andre secara bergantian.
Setelah berpamitan, Bima pun melambaikan tangannya, lalu kemudian kedua orang tersebut masuk ke dalam mobil. Alvaro menekan klakson sejenak, lalu melajukan kendaraan roda empat tersebut menuju ke jalanan.
"Papa, besok adalah hari Minggu. Apakah kita akan mengunjungi Mama akhir pekan ini?" tanya Bima.
Alvaro mengulas senyum, lalu kemudian melemparkan pandangannya kepada putranya sejenak. "Iya, besok kita ke rumah Mama," ujar Alvaro yang kembali menatap ke arah jalanan.
Bima tampak senang. Ia pun kembali memejamkan matanya, tertidur selama di perjalanan.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, Alvaro pun memarikrkan mobilnya di tempat khusus parkiran. Pria itu tinggal bersama dengan anaknya di sebuah apartemen mewah yang ada di kota tersebut.
Ia pun menaiki lift, menuju ke unit tempat tinggal mereka yang berada di lantai empat. Sesampainya mereka di rumah, Alvaro pun langsung membawa anaknya ke dalam kamar, membaringkan putranya itu dengan sangat berhati-hati.
"Tidurlah yang nyenyak, Nak."
Alvaro memberikan kecupan singkat di kening putranya itu. Lalu kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh Bima.
Pria tersebut beranjak dari tempatnya, mematikan lampu kamar Bima, dan setelahnya menutup rapat pintu kamar tersebut.
Bersambung ....
Keesokan harinya, Alvaro dan Bima sudah rapi bersiap untuk pergi mengunjungi ibu dari Bima. Alvaro menggandeng tangan pria kecil berambut sedikit ikal itu.
Keduanya masuk ke dalam lift. Sesekali Bima mendongakkan kepalanya, melihat ayahnya dengan tersenyum. Alvaro pun membalas senyuman dari anaknya itu.
Tinggg ....
Pintu lift terbuka, kedua pria tersebut keluar.daei ruangan sempit itu menuju ke parkiran mobil.
"Papa, jangan lupa beli bunga," ujar Bima.
"Tentu saja, Nak. Mama mu sangat menyukai bunga mawar, setiap berkunjung papa tidak akan melupakannya," ucap Alvaro seraya membantu memasangkan sabuk pengaman pada anaknya supaya lebih aman.
Alvaro menghidupkan mesin mobilnya, ia pun kemudian melajukan kendaraan tersebut menuju ke jalanan.
Saat di perjalanan, Alvaro singgah sejenak di toko bunga. Membeli sebuket mawar merah untuk ibu dari Bima itu. Alvaro mengeluarkan uang cash dari dalam dompetnya, lalu kemudian menyerahkan uang tersebut pada wanita paruh baya yang ada di hadapannya untuk membayar bunga yang dibelinya tadi.
"Anaknya mana?" tanya penjual bunga tersebut. Tempat itu memang tempat langganan Alvaro biasanya membeli bunga. Dan pria itu juga sering kali mengajak Bima ke sana. Tidak heran jika wanita paruh baya tersebut tahu tentang anak Alvaro.
"Ada, Bu. Di dalam mobil lagi asyik main ponsel," timpal Alvaro seraya tersenyum.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu."
"Iya, terima kasih ya."
"Sama-sama."
Alvaro keluar dari toko bunga tersebut dengan sebuket mawar merah yang ada di tangannya. Pria tersebut meletakkan bunganya di kursi belakang. Setelah itu, Alvaro kembali menempati kursi kemudi dan memasang sabuk pengamannya.
Bima tersenyum menatap Alvaro, membuat pria tersebut menaikkan alisnya sebelah. "Sepertinya kamu banyak tersenyum hari ini. Apakah kamu sesenang itu berkunjung ke tempat mama?" tanya Alvaro.
Bima hanya menimpali ucapan ayahnya dengan sebuah anggukan pelan. Namun, pria kecil tersebut tak berhenti mengulas senyum yang membuat Alvaro menaruh curiga pada anaknya itu.
"Apakah kamu merencanakan sesuatu?" tanya Alvaro menjengit.
Bima menggeleng.
"Baiklah, kalau begitu ... Ayo kita menuju ke rumah mama." ucap Alvaro yang mulai melajukan mobilnya menuju ke jalanan.
Setelah cukup lama menempuh perjalanan, mobil yang dikendarai oleh Alvaro tiba di depan sebuah pemakaman umum.
Kedua pria berbeda generasi itu pun langsung turun dari mobil. Alvaro mengambil bunga mawar yang dibelinya di kursi belakang. Lalu kemudian pria tersebut menggandeng anaknya dan berjalan menuju pusara wanita yang telah melahirkan Bima.
Setibanya di depan pusara tersebut, Alvaro meletakkan bunga yang ada di tangannya tadi ke atas gundukan tanah tersebut. Kedua pria itu berjongkok di depan nisan tersebut. Tangan Alvaro mengusap nisan yang bertuliskan nama Diara Aksara.
"Di, ... kami datang lagi," ujar Alvaro mengusap nisan tersebut.
"Mama ... Bima datang, Bima rindu mama," ucap bocah berumur lima tahun tersebut. Bima beranjak dari tempat duduknya, Pria tersebut ikut mengusap nisan ibunya.
Diara meninggal seusai melahirkan Bima. Bima tidak mendapatkan kasih sayang secara langsung dari ibunya. Pria tersebut hanya bisa mengenali wajah ibunya hanya lewat foto saja.
Sejak kepergian Diara, Alvaro bahkan enggan mencari pengganti wanita itu. Di dalam pikirannya hanya satu, yaitu bagaimana cara membesarkan Bima dengan baik, memberikan perhatian serta kasih sayang sebanyak-banyaknya meskipun pada akhirnya putranya itu haus akan kasih sayang dari seorang ibu.
Cukup lama mereka berada di tempat tersebut, melepaskan rasa rindu dengan berkunjung ke pusara Diara yang sering di sebut oleh Bima rumah mama.
Alvaro pun beranjak dari tempat duduknya, mengajak putranya itu untuk pulang.
Namun, Bima tak kunjung beranjak dari tempat duduknya itu. Bocah itu pun mengucapkan sesuatu di depan makam ibunya itu.
"Mama, Bima boleh ya punya mama baru lagi," ujar pria kecil itu.
Mendengar hal tersebut, tentu saja membuat Alvaro langsung tersentak kaget. Pria itu langsung membulatkan matanya.
"Di sekolah, Bima sering kali diejek, mereka bilang Bima tidak mempunyai ibu."
Saat mendengar kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut putranya itu, membuat Alvaro mentap anaknya dengan sendu. Pria itu pun memilih untuk mendengar keluh kesah anaknya, mengadu di depan pusara ibunya.
"Boleh ya Papa cari mama baru untuk Bima. Bima janji, Bima tidak akan melupakan mama setelah Bima mendapat mama baru nantinya," tutur Bima.
Setelah meminta restu dari mamanya, Bima pun langsung beranjak dari tempat duduknya. Mata Alvaro sedikit memerah, ia tak menyadari bahwa sebanyak apapun dirinya memberikan kasih sayang pada putranya itu, tak akan pernah lengkap tanpa adanya seorang ibu.
"Ayo Pa kita pulang!" ajak Bima sembari menggandeng tangan ayahnya.
"Tadi Bima minta izin, terus mama jawab apa?" tanya Alvaro tersenyum.
"Mama bisik-bisik ke Bima, kata mama, Papa boleh cari mama baru lagi asal jangan sampai lupa sama mama yang di sini," timpal Bima.
Alvaro mengusap puncak kepala anaknya seraya terkekeh geli. Pria itu pun langsung menggendong putranya untuk pergi meninggalkan tempat tersebut.
Alvaro dan Bima masuk ke dalam mobil. Saat ayahnya itu sibuk menatap ke arah jalanan, Bima mengotak-atik ponselnya. Pria kecil itu sudah paham memainkan ponsel pintarnya. Bahkan terkadang, Bima membaca tulisan yang ada i layar ponsel itu pun dengan mengejakan huruf tersebut satu persatu.
Tak lama kemudian, ponsel yang di pegang Bima berdering. Ia mengeja tulisan nama pemanggil tersebut sebelum menerima panggilan tersebut.
Mendengar ada yang menelepon melalui ponsel Bima, membuat Alvaro menepikan mobilnya sejenak. Pria itu pun melihat ekspresi wajah anaknya saat berbicara dengan seseorang di seberang telepon.
"Iya, sudah. Tadi Bima sudah minta izin sama mama, Nek."
Setelah mendengar percakapan antara putranya dengan ibunya itu, membuat Alvaro paham tentang rencana yang telah disusun oleh ibunya itu.
"Nak, boleh papa pinjam ponselmu sebentar?" tanya Alvaro.
Bima pun langsung menjauhkan ponselnya dari telinga, dan langsung memberikan ponsel tersebut kepada ayahnya.
"Apakah mama yang menyuruhnya?" tanya Alvaro seraya menempelkan benda pipih tersebutke telinganya.
"Mama tidak menyuruhnya, anakmu yang mempunyai inisiatif sendiri," timpal Arumi dari seberang telepon.
"Tunggu di sini sebentar ya, Nak. Papa ingin berbicara dengan nenek dulu," ujar Alvaro.
Bima menganggukkan kepalanya. Alvaro pun membuka pintu mobil, memilih untuk berbicara pada Arumi di luar.
"Mustahil anak sekecil itu mempunyai inisiatif seperti itu," ucap Alvaro tak percaya.
"Sungguh! Mama tidak bohong, Al. Tadi dia sempat menelepon Mama. Dia bilang akan berkunjung ke rumah ibunya untuk meminta izin. Mama tidak memaksa kamu untuk menikah lagi, tapi pikirkan anakmu yang membutuhkan seorang ibu," ucap Arumi.
Alvaro menghela napasnya dengan berat, ia takut jika nanti Bima akan mendapatkan seorang ibu tiri yang kejam seperti kebanyakan di serial drama ataupun di novel-novel.
"Bagaimana? Apakah kamu setuju? Jika kamu bersedia, ibu akan mengatur kencan buta untukmu. Suruh Bima saja yang menilainya, apakah wanita itu cocok atau tidaknya," papar Arumi.
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Alvaro pun menyerah. " Ya sudah, aturlah kencan buta untukku," ucap Alvaro pasrah.
Arumi pun terdengar kegirangan setelah mendengar keputusan dari putranya itu. "Baiklah, mama akan mengatur kencan buta untukmu dengan segera."
Panggilan telepon terputus. Alvaro berkacak pinggang, lalu kemudian mengusap wajahnya dengan kasar.
"Apakah ini akan seperti sayembara? Sayembara mencari ibu untuk putraku," gumam Alvaro dengan nada bicara yang terdengar frustasi.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!