Alisha tergugu dalam tangisnya. Ia tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Sekarang ini ia hanya bisa mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuhnya dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir.
"Udah, nggak usah nangis lagi. Gue bakal bayar apa yang udah gue ambil." Pria yang sedang mengancingkan kemejanya itu berjalan menuju sofa. Di sana terletak tas hitam miliknya. Mengambil buku cek dan menuliskan nominal sejumlah uang untuk ia berikan pada gadis yang baru saja ia renggut kehormatannya dengan paksa.
"Nih!" Pria itu melempar selembar cek tersebut tepat dihadapan Alisha yang masih saja menangis. "Lo bisa gunakan uang itu untuk seneng-seneng biar nggak nangis terus!" ujarnya tanpa perikemanusiaan. Kemudian meninggalkan Alisha begitu saja bagai ja lang yang habis dipakai.
Alisha kini berteriak. Mengeluarkan apa yang sejak tadi ia tahan. Ia melihat tubuhnya yang hina tanpa pakaian. Berlari ke kamar mandi untuk menghapus setiap jejak dari pria berengsek yang telah menjamahnya tadi.
Alisha mengusap kasar bekas kemerahan di tubuhnya di bawah guyuran air yang deras dengan air mata yang terus berderai. Semakin ia berusaha untuk menghapus setiap jejak yang tercipta, semakin ia mengingat bagaimana ia berusaha melawan pria itu agar tak menyentuhnya. Namun, apalah dayanya dibandingkan tenaga si pria berengsek itu.
Sekuat apa pun ia melawan, pria bejat itu nyatanya telah berhasil merenggut kehormatan yang selama ini ia jaga. Tangis bercampur air yang mengguyur tubuhnya menjadi saksi betapa hancurnya gadis itu.
Di kamar mandi hotel, Alisha terus menyesali apa yang terjadi. Merutuki perbuatan pria ba jingan tadi.
Berbeda dengan Alisha yang terus menangis, pria berengsek yang baru saja keluar dari kamar hotel di mana ia baru saja menghancurkan masa depan seorang gadis, masih saja bisa tersenyum. Ia seolah merasa menang dengan apa yang baru saja ia lakukan.
"Makanya, jangan main-main dengan Arsya," ujarnya dengan bangga sembari terus berjalan.
Pria itu mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari nama seseorang. "Halo, lo di mana?" ujarnya setelah menemukan nama David pada layar benda pipih di tangannya.
"Ok, gue susul ke sana." Pria bernama Arsya itu segera mematikan panggilan setelah mendapatkan jawaban dari David.
Segera setelah keluar hotel ia menyusul David ke sebuah kelab malam yang tadi David sebutkan. Senyum bahagia tak lekang dari bibirnya. Euforia karena telah mendapatkan apa yang ia inginkan seolah masih terasa meski ia sudah meninggalkan tempat di mana tadi ia berhasil menujukkan tentang siapa dirinya.
Arsya menaiki mobil sport berwarna hitam kebanggaannya karena mobil tersebut ia beli dari hasil kerja kerasnya. Dalam waktu beberapa menit akhirnya sampai juga di kelab malam, yang mana teman-temannya tengah berpesta di sana.
Begitu masuk tempat tersebut, Arysa disambut oleh dentuman musik keras yang dimainkan seorang DJ perempuan. Wanita berpakaian seksi dengan head phone di kepalanya itu terlihat bersemangat memandu para pencari hiburan untuk terus mengoyangkan badannya.
Melewati kerumunan banyak orang, Arsya menuju meja di mana teman-temannya sedang berpesta minuman. Mereka semua tertawa dengan apa yang mereka bicarakan.
"Hallo, Brother, ke mana aja, kok telat?" sambut salah seorang teman bernama Riko.
"Nggak usah basa-basi, berikan kunci mobil lo sekarang!" ujar Arysa to the point.
"Wait ... wait ... wait ... ini maksudnya apa, Mas Bro?" Riko sedikit terkejut dengan permintaan sekonyong-konyong Arysa.
"Udah, nggak usah belaga amnesia, lo. Gue udah menangin taruhannya, sekarang berikan apa yang kemarin lo pertaruhkan!"
Riko menggeleng. "Tunggu, maksud, lo, taruhan yang mana, nih. Beneran gue lupa. Lo tahu lah ini bukan taruhan pertama kita, yang lo maksud yang mana?"
"Gadis berhijab itu, lo, inget?"
Riko juga dua teman lainnya, David dan Angga mulai berpikir tentang gadis berhijab yang dimaksud oleh Arsya. Mereka saling tatap seolah saling bertanya gadis mana yang dibicarakan teman mereka yang baru datang ini.
"Maksud, lo, yang mana, sih?" tanya Riko meminta penjelasan lebih.
"Gadis berhijab, asistennya Mbak Ratih."
Riko dan dua temannya baru paham sekarang tentang gadis yang dimaksud.
Sedetik kemudian, Riko terbahak menertawakan Arsya dengan omongannya. "Maksud lo, lo menangin taruhan itu apa? Lo udah berhasil bikin itu cepek klepek-klepek sama lo?"
Arsya mengangguk.
Seakan tak percaya dengan pengakuan Arsya, Riko kembali tertawa. "Nggak usah bohong, lo. Gimana ceritanya tu cewek bisa klepek-klepek sama lo dalam sehari. Gue nggak yakin sama omongan lo kalau mengingat gimana ganasnya tu cewek waktu nampar lo kemarin."
Riko ingat benar, bagaimana kemarin malam wanita berhijab yang merupakan asisten designer bernama Ratih telah menampar dan mempermalukan Arsya di hadapannya juga teman-temannya. Dari situlah muncul ide taruhan, jika Arsya bisa menaklukkan wanita itu dan membuktikan kebenaran dari predikat cassanova yang ia sandang, dengan suka rela Riko akan memberikan mobil mewah miliknya.
Arsya yang kala itu terlanjur malu dan merasa terhina dengan perlakuan wanita berhijab yang ia anggap rendah itu merasa tertantang dengan tawaran Riko. Tanpa berpikir panjang demi menjaga gengsinya, ia pun menyusun rencana.
Arsya yang merupakan seorang model sudah sering bekerja sama dengan banyak designer untuk membawakan hasil karya mereka tak terkecuali designer yang waktu itu sedang mengadakan pameran bernama Ratih Wulandari.
Ratih memiliki seorang asisten berhijab bernama Alisha, yang saat itu bertugas menangani baju yang akan dipakai oleh Arsyanendra. Pada suatu kesempatan, Riko yang juga seorang model berusaha menggoda Alisha, tapi Alisha tolak dengan halus.
Riko tak menyerah, pria itu terus berusaha menggoda karena paras Alisha memanglah menarik perhatian. Hingga Alisha merasa risih dan marah, kemudian membentak Riko dan meminta pria itu agar bersikap sopan.
Arsya yang melihat justru menertawakan temannya tersebut. Kesal melihat Arsya tertawa, Riko pun mencetuskan ide gila. Ia menawarkan pada Arsya agar menunjukkan pesonanya untuk menaklukkan Alisha.
Arsya yang terkenal sebagai penakluk wanita, dengan mudah mengikuti apa yang diinginkan Riko. Setelah selesai acara pameran busana, diadakan pesta untuk mengucapkan terima kasih pada semua yang berkontribusi dalam pameran tersebut. Arsya sengaja mengundang Alisha untuk bergabung dengan teman-temannya yang sedang berkumpul. Pria itu juga memesan bunga untuk diberikan pada Alisha demi menarik perhatian gadis itu.
Sama seperti Alisha menolak Riko, gadis itu juga menolak bunga dari Arsya dengan halus. Tak terima bunga pemberiannya di tolak, Arsya pun meradang. Terlebih ketika teman-temannya menertawakan kegagalannya memberi bunga pada seorang wanita.
Egonya menolak jika ia harus jadi pecundang. Dengan arogannya Arsya menarik tangan Alisha dan berkata, "Heh, lo pikir, lo, siapa? berani nolak bunga dari gue. Apa lo tahu kalau di luar sana banyak wanita yang ngantri cuma buat dapatin bunga pemberian gue. Nah, lo, cantik enggak, tapi sok-sokan nolak pemberian gue. Mau sok jual mahal lo sama gue!"
Mendengar dirinya direndahkan, Alisha dengan halus melepaskan tangan Arsya yang mencekal pergelangan tangannya. "Maaf, saya tidak terbiasa menerima pemberian apa pun dari orang yang tidak saya kenal," ujar Alisha masih berusaha untuk sopan.
Arsya tersenyum meremehkan. "Munafik, lo!" Setelah kata-kata itu, Arsya tiba-tiba kembali menarik tangan Alisha. Kali ini lebih kuat hingga tubuh Alisha menabrak tubuh Arsya.
Sontak saja Alisha segera mendorong Arsya agar menjauh, lalu melayangkan sebuah tamparan keras di pipi kanan Arsya karena kekurangajaran pria tersebut.
Di depan semua teman-temannya, untuk pertama kalinya Arsya ditampar oleh seorang wanita. Bukan hanya Arsya, teman-temannya pun kaget melihat keberanian Alisha.
Dengan tegas Alisha berkata, "Mungkin ada banyak wanita yang mau mengantri untuk mendapatkan bunga dari Anda, tapi itu bukan saya!" Alisha berbalik meninggalkan Arysa yang masih memegangi pipinya yang terasa panas.
Beberapa saat, waktu seolah terhenti. Arsya hanya bisa menatap punggung Alisha yang perlahan menjauh. Fokusnya tertuju pada wanita yang baru saja membuat dirinya kehilangan harga diri.
Hingga tepuk tangan dari Riko menyadarkannya. Bukan hanya tepuk tangan, tawa Riko terlihat semakin menjengkelkan ditambah dengan perkataan. "Gila, sang cassanova kita ternyata sekarang udah kehilangan powernya. Ada juga gadis yang nggak mau sama dia. Wah ... Wah ... Gue harus kasih hadiah nih sama tuh cewek."
Arsya semakin marah mendengar ejekan Riko.
"Diem, lo!" sentak Arsya.
"Kenapa, marah, Bro! Tapi, itu kenyataan, 'kan. Pamor lo sebagai cassanova sudah luntur, Brother. Sepertinya sudah ada yang harus mewarisi gelar itu sekarang. Kira-kira, siapa, ya, cassanova berikutnya?" ujar Riko dengan nada semakin menjengkelkan di telinga Arsya.
"Bagaimana kalau David, atau mungkin Angga aja, sepertinya belum ada riwayat kalau mereka berdua ditolak cewek," sambung Riko semakin membuat amarah Arsya mendidih.
Tak tahan dengan ejekan-ejekan Riko, Arsya memilih pergi meninggalkan ketiga temannya begitu saja.
Sebelum Arsya benar-benar menjauh, Riko berteriak. "Bro, ke mana, lo. Gue kasih lo mobil gue kalau lo berhasil bikin cewek itu takluk!"
Arsya terus melenggang pergi, memilih mengabaikan apa yang Riko ucapkan.
Mengingat semua kejadian itu, Riko tersadar dengan apa yang kemarin ia ucapkan.
"Mana buktinya kalau lo benar-benar sudah menaklukan gadis itu?" Riko masih belum percaya dengan ucapan Arsya.
Dengan senang hati Arsya mengeluarkan ponselnya. Ia memperlihatkan layar ponsel yang menyala kepada teman-temannya.
Bukan hanya Riko, David juga Angga terlihat syok melihat gambar yang tertera di sana. Di mana ada potret Alisha yang tak mengenakan hijab dan Arsya yang bertelanjang dada sedang berfoto dengan sangat intim.
Riko dan teman-temannya masih berada dalam mode kaget saat Arsya mendadak menarik ponsel dari tangan Riko dan membuat pria itu terhenyak.
"Udah jangan lama-lama, lo udah liat buktinya, 'kan. Cewek itu sudah ada dalam penaklukkan gue. Dia sama aja kayak cewek lainnya yang nggak bisa nolak pesona gue," ujar Arsya bangga.
Riko masih tidak percaya. "Lo yakin itu foto asli, nggak lo edit?"
"Lo pikir gue kurang kerjaan ngedit-ngedit foto, hah! Kalau lo nggak percaya, lo tanya sama petugas hotel di mana gue nginep, tanyain apa tu cewek beneran datang ke kamar gue apa enggak!"
Riko masih belum yakin, tapi melihat foto yang Arsya tunjukkan membuat ia juga berpikir tentang kebenaran foto tersebut. Mengingat reputasi seorang Arsyanendra sebagai penakluk para kaum hawa.
"Udah, sini kunci mobil lo. Gue yang menang taruhan!" desak Arsya.
Tak bisa mengelak lagi, Riko pun mengeluarkan kunci mobil dari saku jasnya. Dengan berat hati ia mengulurkannya pada Arsya.
"Nah, gitu dong. Lain kali, jangan lo nantangin gue kalau lo nggak mau melarat mendadak!" cibir Arsya.
Pria bergelar cassanova itu tersenyum lebar mengambil kunci mobil kesayangan temannya itu. Kemudian pergi begitu saja meninggalkan teman-temannya. Senyum puas tersungging di bibirnya karena telah membuat Riko menyesal telah menantangnya.
"Tidak boleh ada yang main-main sama gue! Lo pikir lo siapa berani nantangin gue!" batin Arsya.
__________________
Matahari sudah hampir tenggelam ketika Alisha sampai di rumah Pakde Imran—kakak dari ayah Alisha. Sejak Alisha SMP, pria itulah yang mengasuhnya. Sebab orang tuanya sudah tidak ada lagi.
"Assalamualaikum," ujar Alisha ketika masuk ke rumah bercat putih tersebut.
"Waalaikumsalam," jawab Laras—istri Imran.
Alisha yang mendapati Laras sedang duduk di depan meja jahitnya langsung mendatangi wanita itu. Ia mencium tangan wanita itu dengan takzim.
"Dari mana kamu, nggak pulang dan nggak kasih kabar. Ponsel pakai dimatikan segala. Pakdemu sampai nggak bisa tidur semalaman karena nungguin kamu. Mau kamu apa, hah! bikin orang rumah khawatir, gitu?" Sangat jelas raut murka di wajah Budhenya itu.
"Maaf Budhe, Alisha ada pekerjaan mendadak. Ponsel Alisha juga mati," bohong Alisha. Ia tidak berani berkata jujur pada istri Pakdenya tersebut.
"Maaf-maaf, apa kamu nggak bisa pinjam ponsel temenmu buat ngabarin, atau memang sengaja pengen bikin Pakdemu khawatir!"
"Maaf," ujar Alisha sekali lagi. " Alisha ke kamar dulu," pamitnya tak ingin lebih lama mendengar omelan budhenya.
"Heh, Budhe belum selesai bicara, ya!"
Alisha tak peduli, ia terus melangkah ke kamarnya dan segera membanting dirinya di atas kasur busa tanpa ranjang begitu memasukinya. Ia kembali menumpahkan tangisnya setelah tadi berusaha menahan agar tidak jatuh. Ia tidak ingin Budhe tahu tentang apa yang baru ia alami. Ia takut, pasti Budhenya akan marah dan menuduhnya yang bukan-bukan.
Ia kembali mengingat bagaimana pria itu memperlakukannya dengan sangat buruk. Menjebaknya dengan bantuan Mbak Ratih.
Alisha yakin bahwa perintah dari Mbak Ratih yang memaksanya harus mengantar jas ke hotel saat itu bukanlah kebetulan. Karena Mbak Ratih begitu ngotot kalau harus Alisha sendiri yang mengantarkan jas milik pria itu. Padahal saat itu sudah saatnya Alisha pulang, tapi Mbak Ratih memohon agar Alisha membantunya dengan mengantar jas tersebut ke sebuah hotel tempat sang model menginap.
"Please, Al ... bantu Mbak, ya. Soalnya ini kesempatan banget, kan, karya Mbak bisa dipakai model terkenal. Siapa tahu ini jalan kita menuju sukses. Setelah Arsyanendra memakai jas rancangan Mbak, pasti akan banyak artis atau model-model lain yang akan melirik karya Mbak. Dan saat itu terjadi, kamu juga akan merasakan hasilnya. Kita akan makin banyak pekerjaan, otomatis usaha kita maju. Nanti Mbak bisa naikin gaji kamu kalau usaha kita berkembang," bujuk Mbak Ratih waktu itu.
"Tapi ini sudah malam, Mbak. Bagaimana kalau besok pagi saja." Alisha berusaha menawar.
"Nggak bisa, Al ... Arsya maunya jas ini di antar malam ini. Besok dia harus pergi ke luar kota untuk show berikutnya. Please ... Al, kali ini aja," mohon Mbak Ratih.
"Kenapa bukan supir Mbak Ratih saja yang antar?"
"Al ... Mbak itu maunya kamu yang antar, siapa tahu nanti jas itu langsung dicoba oleh Arsya, nah, kalau ada yang kurang pas, kamu kan lebih ngerti dari pada supir Mbak. Mbak janji akan ada bonus buat kamu, anggap aja upah over time."
Mendengar penuturan Mbak Ratih, dan pertimbangan bonus, akhirnya Alisha mau pergi ke hotel di mana Arsya menginap. Ia mengantarkan jas rancangan Mbak Ratih pada model tersebut.
Namun, siapa sangka jika itu adalah malam nahas baginya. Arsya yang kala itu membuka pintu menyuruh Alisha masuk dan meletakkan jas pesanannya di sofa yang berada di tengah ruangan kamar hotel tersebut.
Tanpa menaruh rasa curiga, Alisha menurut saja. Hingga ia terkejut saat pria itu menutup pintu dan mulai menguncinya.
Alisha memutar tubuhnya cepat kala mendengar suara pintu tertutup. "Saya sudah meletakkan pesanan Anda di sini sesuai permintaan Anda, Mbak Ratih berpesan bahwa jas ini adalah hadiah untuk Anda jadi Anda tidak perlu membayarnya," ujar Alisha.
Arsya tak bergeming. Ia hanya terus menatap Alisha dengan sorot yang membuat Alisha risih.
"Kalau begitu, saya permisi dulu." Alisha berjalan menuju pintu di mana pria itu masih berdiri di sana. Ketika melewati Arsya, pria itu langsung menariknya. Mencengkram lengan Alisha dengan kuat.
"Kenapa buru-buru, aku punya minuman sebagai ucapan terima kasih karena telah mengantarkan pesananku."
Alisha mulai memiliki perasaan tidak baik pada pria ini. Tatapannya tertuju pada tangan Arsya yang dengan lancang memegang lengannya.
"Tidak, Pak, terima kasih. Tugas saya hanya mengantar. Saya permisi." Alisha memegang tangan Arsya yang berada tepat di lengannya, berusaha melepaskan tangan pria itu.
Kali ini tangan Arsya begitu kuat hingga Alisha tak mampu melepaskannya begitu saja. Alisha menatap Arsya yang juga tengah menatapnya dengan senyuman tak dapat diartikan.
"Saya mohon lepaskan tangan Anda, saya harus segera pergi," ujar Alisha, masih berusaha sopan.
"Aku akan melepaskanmu setelah kamu meminum satu gelas minuman ucapan terima kasihku."
Alisha menoleh pada meja bar, ada dua gelas piala berisi cairan berwarna pekat. Alisha bisa menebak jika minuman itu bukanlah minuman biasa.
"Tidak, terima kasih, saya tidak minum alkohol," ujar Alisha tanpa menutupi jika ia tahu apa yang ada dalam gelas tersebut.
"Oh ... Kalau begitu aku akan ambilkan air mineral saja. Kamu duduklah di sana." Arsya menunjuk pada sofa di mana Alisha meletakkan pesanan Arsya tadi.
Ragu, Alisha menatap sofa itu. Haruskah ia menuruti apa yang Arsya minta ataukah ia memaksa kabur saja?
Meski keraguan mendera, Alisha tetap memutuskan untuk menuruti apa yang Arsya minta. Ia pun mengangguk sebagai persetujuan.
Berusaha setenang mungkin untuk bisa keluar dari kamar ini coba Alisha lakukan. Ia sadar betul tidak mungkin bisa menggunakan cara yang kasar karena tidak akan menguntungkannya atau malah bisa memicu sikap agresif seorang Arsya. Terlebih di kamar ini hanya ada mereka berdua. Apabila terjadi perkelahian fisik tentu Alisha tak akan mudah mengalahkan pria ini mengingat postur Arsya yang lebih besar dengan badan yang terlihat berisi.
"Duduklah, aku akan ambilkan minum untukmu." Benar saja, setelah Alisha setuju dengan tawaran Arsya, pria itu langsung melepaskan tangannya yang tadi erat memegang lengan Alisha. Ketika pria itu berbalik menuju Bar, Alisha segera berlari menghampiri pintu. Ia menekan handle pintu berkali-kali agar pintu itu terbuka.
Sayang ... hal itu tidak membuahkan hasil. Pintu itu tak bergerak sedikit pun.
Dari meja bar, Arysa berseru, "Kamu belum meminum air yang aku ambilkan, bagaimana bisa kamu berpikir untuk pergi. Lagi pula kuncinya ada di sini." Arysa mengangkat sebelah tangannya dan memperlihatkan sebuah kartu.
Alisha menoleh pada pria yang sekarang memegang sebotol air mineral di tangan kirinya. Sementara di tangan kanan pria itu ada cardlock yang akan menjadi jalan keluar untuk Alisha.
Melihat apa yang model ini lakukan sekarang membuat Alisha berpikir negatif. "Pak, saya hanya ingin keluar. Terima kasih atas tawaran Anda, tapi saya benar-benar tidak haus."
"Kamu mungkin tidak haus, tapi menghormati tuan rumah yang sudah menyediakan air minum itu juga baik, bukan?"
"Minumlah, baru kau boleh pergi," sambung Arsya.
Alisha terdiam. Ia terpaku menatap botol air mineral di tangan pria itu. "Baiklah," ujar Alisha akhirnya. Ia berjalan mendekat begitupun dengan Arsya.
Pria itu mengulurkan botol air mineral di tangannya ketika sudah berhadapan. "Duduklah, tidak baik minum sambil berdiri."
Alisha menatap Arsya yang tengah tersenyum padanya, lalu berjalan menuju sofa dengan ragu. Ia menggenggam botol itu dengan kuat. Terus mengamatinya bahkan setelah ia duduk.
"Kenapa, apa kamu takut aku memberimu obat dalam minuman itu?" ujar Arsya persis seperti apa yang ada dalam pikiran Alisha saat ini.
"Minumlah, aku tidak menambahkan apa pun di sana. Kau bisa lihat segelnya yang yang utuh. Setelah itu baru kau boleh pergi." Arsya meyakinkan. Ia juga meletakkan cardlock yang ia bawa ke atas meja. Tepat di depannya.
Melihat kartu yang tergeletak di atas meja, pandangan Alisha seakan tak ingin beralih. Ia harus mengambil kartu itu dan segera keluar dari kamar ini.
"Apa kamu hanya akan terus menatap kartu ini dan tidak ingin pulang. Tidak apa kalau kamu ingin menginap malam ini di kamar ini. Aku tidak keberatan sama sekali." Arsya mencoba berkelakar, lebih tepatnya berusaha menggoda.
Membuat Alisha semakin takut saja berdua lama-lama dengan pria ini. Pandangannya beralih pada botol di tanggannya. Segel pada air kemasan itu masih rapi, seperti kata pria di depannya ini. Hal tersebut membuat kekhawatiran Alisha sedikit mereda. Setidaknya apa yang Arsya katakan bisa ia percaya, jika pria itu memang tidak menaruh obat apa pun dalam air kemasan yang diberikan padanya. Ia pun memberanikan diri memutar tutupnya, lalu meneguk air dalam botol itu.
Setelahnya dengan cepat Alisha berusaha mengambil cardlock di atas meja.
Kalah cepat, karena Arsya lebih dulu menariknya. Membuat Alisha reflek mengikuti ke mana kartu itu berpindah. Kini Alisha berada tepat di depan wajah Arsya. Sangat dekat hingga mata mereka bisa diadu.
Sadar akan posisinya, Alisha segera menarik diri. Lagi-lagi kalah cepat dengan gerakan tangan Arsya yang lebih dulu menarik Alisha dan membawa gadis itu jatuh di pangkuannya.
"Kenapa kamu buru-buru, bagaimana kalau kita lewatkan satu malam saja hari ini," bisik Arsya dengan senyum menggoda.
Merasa dipermainkan dan diperlakukan tidak sopan, Alisha memberontak agar terlepas dari pria itu. Semakin Alisha ingin lepas, semakin kuat juga Arsya menahan.
"Lepas, Anda sudah keterlaluan!" sentak Alisha.
"Aku keterlaluan?" Kini tangan pria itu semakin kuat meremas lengan Alisha hingga gadis itu meringis kesakitan.
Rupanya Arsya melihat semua itu, pria itu semakin menggila melihat Alisha yang terlihat kesakitan. Bukannya berhenti, pria itu justru menikmati raut kesakitan Alisha.
"Saya bilang lepaskan saya!" teriak Alisha lagi. Namun, hanya senyum meremehkan yang Alisha dapatkan.
Alisha tidak tahan lagi, ia pun mulai berlaku kasar pada Arsya. Memberontak sekuat tenaga demi lepas dari pria kurang ajar ini.
"Aku akan melepaskanmu setelah kita bersenang-senang," ujar Arsya tanpa malu.
Alisha tahu benar maksud dari ucapan pria ini sebab itu ia berjuang melawan pria gila ini. "Lepaskan!"
Gadis itu terus berusaha menggunakan seluruh tenaganya untuk lepas dari jerat pria yang ditakutkan akan merenggut kehormatannya tersebut. Segala usaha Alisha lakukan agar terbebas dari kungkungan pria berengsek ini.
Di luar dugaan. Semakin Alisha kasar, semakin kasar juga pria itu.
"Jangan ... Saya mohon jangan lakukan apa pun pada saya," mohon Alisha ketika Arsya sudah membawa dan membantingnya ke atas ranjang.
"Kenapa baru sekarang memohon, di mana keberanian kamu kemarin saat kamu menamparku!"
Alisha teringat kejadian itu dan berpikir jika kejadian itu lah yang membuatnya berada di situasi seperti sekarang ini.
"Maafkan saya atas perlakuan saya waktu itu, saya benar-benar minta maaf." Tidak apa jika Alisha harus memohon asal bisa lepas dari pria yang siap memangsanya.
Senyum licik tergambar jelas di bibir pria itu. Tanpa peduli dengan permohonan Alisha, ia memaksa Alisha dan melakukan perbuatan bejat itu.
Alisha dipaksa menyerah oleh keadaan. Tenaganya habis untuk melawan pria seperti Arsya. Kini tak ada lagi yang tersisa selain bekas-bekas pemaksaan pria tak bermoral itu.
Tangisnya pun tak akan bisa mengembalikan keadaan.
"Alisha," suara Pakdhe Imran yang membuka pintu kamarnya membuat Alisha tertarik dari kelamnya malam nahas itu. Ia segera menghapus air matanya dan bangkit untuk melihat pria tua yang tengah berdiri di ambang pintu melihat dirinya.
"Kamu baru pulang?" tanya Imran, berjalan mendekati Alisha. Pria itu duduk tepat di samping keponakannya.
Tak lagi bisa disembunyikan. Alisha memeluk kakak dari ayahnya itu. Menangis di bahu renta yang sejak dulu menjaganya.
"Maafin, Alisha, Pakdhe ... maafin Alisha," ujarnya tergugu.
"Kamu kenapa?" tanya Imran yang tidak mengerti.
"Alisha bodoh ... Alisha bodoh, tidak bisa menjaga diri Alisha sendiri."
"Alisha, Pakdhe tidak mengerti apa yang kamu ucapakan, Nak?"
Imran mengurai pelukannya. Mendorong pelan tubuh Alisha agar bisa menatap wajah sang keponakan.
"Katakan, apa yang terjadi dan apa yang membuatmu menangis."
Air di sudut mata Alisha semakin menderas. Tak kuasa mengutarakan apa yang ia alami. Banyak hal berkecamuk dalam benaknya tentang kekecewaan yang nantinya akan pakdhenya rasakan.
"Nak, katakan pada Pakdhe apa yang membuatmu menangis," bujuk Imran.
"Alisha .... Alisha telah ternoda pakde." Dengan sesenggukan Alisha berucap.
Mata Imran membelalak, tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar.
"Siapa ... siapa, yang melakukannya, Alisha?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!