Ceklek..
Cepat cepat ku pejamkan mataku lagi, pura pura tertidur saat ku mendengar suara pintu kamar dibuka. Malam ini Mas Evan, kembali pulang ke rumah tengah malam. Sudah tiga bulan terakhir ini ia sering pulang larut malam, yang membuat hatiku tak tenang, resah gelisah mencokol di dada, menduga duga tak jelas apa yang dikerjakan mas Evan hingga tengah malam di luar sana. Benarkah ia selingkuh? seperti kecurigaan ku selama ini. Aku pernah menanyakan, kenapa suamiku itu akhir akhir ini sering pulang larut. Jawabannya selalu sama, banyak kerjaan di kantor. Ia bohong padaku.
Aku menikah dengan Mas Evan Hardika, setelah aku lulus Sarjana Pendidikan, setelah sebelumnya kami menjalin hubungan sebagai pasangan kekasih, lebih kurang selama tiga tahun. Terbilang cukup untuk mengenal satu sama lain. Kemudian bertunangan dan tak lama setelah itu, memutuskan untuk menikah. Mas Evan pada saat itu bekerja di sebuah Perusahaan BUMD, dengan gaji cukup untuk menghidupi keluarga kecil kami.
Setahun setelah menikah kami dikaruniai seorang putri cantik, Yang kami beri namanya Raisya Putri Evan. Mas Evan sangat menyayangi Raisya kecil, sepulang dari kantor, Mas Evan selalu menyempatkan waktunya untuk sekedar bermain dengan putri kecil kami.
Hingga pada suatu hari, saat itu umur Raisya sekitar 4 tahunan. Mas Evan sudah mulai telat pulang dari kantor. Pulang sering malam dengan alasan lembur kerja, saat aku menghubungi rekan kerjanya, kawannya memberitahukan bahwa Mas Evan tidak lembur di kantor, Mas Evan sudah pulang seperti jam pulang biasanya.
Hatiku mulai tidak tenang, aku mulai me reka-reka kemana Mas Evan setelah jam kantor. aku tidak memberi tahu Mas Evan, kalau aku sudah mengetahui bahwa pria itu tidak pernah lembur di kantor, aku se olah-olah tidak mengetahui apapun
Mas Evan masuk kamar dan melihat aku sudah tertidur. Mas Evan kemudian ke kamar mandi, saat Mas Evan di kamar mandi. Inilah kesempatan buat aku untuk memeriksa ponselnya. Karena akhir - akhir ini, ponselnya tak bisa ku sentuh. Selalu di simpan di saku, atau dipegang, disaat ia berada di rumah.
Dengan perasaan yang berdebar debar karena ketakutan, tanganku menjulur menjangkau ponselnya yang ia simpan di laci meja yang ada di kamar kami. Ya meja, yang sering dibuatnya untuk mengerjakan laporan pekerjaannya.
Deg
Bagai tersambar petir, membuat tubuhku lemas seketika. Hati rasanya hancur berkeping-keping. Laksana bogem mentah diayunkan kencang tepat mengenai ulu hatiku. Membuat darah ini mendidih seketika, membaca puluhan chat mesra dari seorang perempuan. Yang ia tuliskan dengan nama kontak Juli.
Juli..?
Dari isi chat itu, bisa ku pastikan kalau kontak yang bernama Juli ini, adalah seorang wanita.
Memang pernah sekitar dua bulan yang lalu. Kontak yang bernama Juli ini menelpon ke hape Mas Evan. Saat itu Mas Evan sedang di kamar mandi. Aku mengangkat panggilan itu, dan seketika panggilan itu terputus. Aku memberitahu Mas Evan, kalau ada yang menelpon, yang bernama Juli.
Saat itu ia terkejut mendengar laporan ku. Air mukanya mendadak tegang dan panik. Ia pun menginterogasiku, apa aku bicara dengan kontak yang bernama Juli yang menelpon tadi? Aku jawab tidak sempat bicara, karena panggilan terputus. Seketika wajah tegang itu mengendur. Tersenyum tipis padaku. Dan ia sempat sempat nya mencuri satu kecupan di kening ku. Mas Evan memang tipe pria romantis.
Ku baca sekilas deretan chat dari kontak yang bernama Juli dengan perasaan campur aduk, dan secepat kilat saya salin nomor HP Juli, di kertas dan aku simpan dibawah tumpukan pakaianku di lemari. Dengan terburu buru, aku kembali ke tempat tidur.
Hufftt..
Aku mengelus dadaku pelan, hampir saja aku ketahuan. Karena kini Mas Evan sudah keluar dari kamar mandi.
***
Esoknya, masih Shubuh, aku memberanikan diri menghubungi nomor HP Juli. Panggilan ketiga baru diangkat wanita itu, dengan suara serak, seperti orang terpaksa bangun. Aku bilang, aku istrinya Mas Evan, dan mengajaknya berjumpa, Ternyata wanita itu memenuhi permintaan ku untuk berjumpa. Sepertinya wanita itu punya nyali besar.
"Mas, bekal nya..!" Aku yang baru selesai memandikan Raisya, cepat cepat menyusul suamiku ke beranda rumah. Karena mendengar suara mesin motornya. Itu artinya ia akan berangkat kerja. Dan bekal siang nya masih teronggok di meja makan.
"Aku gak bawa bekal. Nanti siang makan di luar dengan bos." Ujarnya datar. Aku mendekatinya, ia meraih kepalaku, mencium keningku sekilas. "Malam ini aku tidak makan di rumah." Sahutnya masih dengan ekspresi wajah tak bersalah.
Apa Mas Evan akan bersama wanita itu lagi setelah pulang kantor. Aku memnathin, menatap nya lekat.
"Mas, berubah." Tanpa sadar kalimat itu keluar dari mulutku.
"Aku pergi dulu, dada putri ku sayang..!"
Dia mengabaikan ucapan ku, cepat membuang pandangannya, menatap ke arah putri kami. Yang datang menghampiri kami, dengan handuk kecil yang membelit tubuh mungil nya.
"Dada Ayah..!" Raisya membalas lambaian tangannya ayahnya itu dengan cerianya.
Kedua mataku yang berkaca kaca, tetap setia menatap punggung Mas Evan, hingga punggung itu menghilang dari jangkauan mataku. Dan aku pun meraih Risya, menggendongnya masuk lagi ke dalam rumah.
Aku harus cepat siap siap, waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 Wib. Aku tak mau telat masuk kerja.
Tepat pukul 07.00 Wib, aku akhirnya sampai di tempat bekerja. Setelah sebelumnya aku mengantarkan Raisya yang sekolah PAUD nya, dekat dengan tempat ku bekerja. Aku bekerja sebagai guru. Tepatnya hanya sebagai guru Honorer di salah satu Madrasah Tsanawiyah. Madrasah Tsanawiyah, itu setingkat jenjang SMP.
Hufftt...
Aku menarik napas panjang berulang kali, dan menghembuskan nya berat, setelah mendaratkan bokongku di kursi meja kerja ku. Ku rogoh ponsel ku cepat dari tas tote ku.
Aku pun mulai mengirim pesan pada Juli. Wanita yang ku yakini, adalah selingkuhan suamiku. Karena tadi pagi, aku belum mengatakan di mana kami bertemu. Aku mengatakan padanya, kalau kami bertemu di tempat bekerja ku saja. Peraturan di sekolah kami sangat ketat. Guru tidak diperkenankan keluar dari pekarangan sekolah, disaat jam kerja. Kecuali ada kepentingan penting. Dan itu harus permisi pada kepala sekolah. Dan minta izin ke kepala sekolah, panjang urusannya. Ia akan meminta alasan kuat, kenapa ingin meninggalkan sekolah disaat jam kerja. Dan aku akan pusing untuk mencari alasannya itu. Karena kepala sekolah kami itu orang nya detail dan teliti.
Kalau aku mengajak Juli bertemu setelah pulang kerja. Itu artinya, aku harus mengajak Risya. Dan itu tak mungkin sekali.
Hufftt...
"Hampir saja, aku lupa finger!" keluh Bu Ros, yang baru saja duduk di bangku nya. Meja bu Ros, bersebelahan dengan meja ku.
"Apa... Finger..!?"
Aku pun berlari ke ruang tempat finger itu berada. Syukur sekali, masih ada sisa waktu satu menit, sehingga aku tidak tergolong guru yang terlambat. Aku hampir lupa absen pagi ini, karena memikirkan masalah rumah tangga ku.
Finger datang, atau finger pagi di tempat ku bekerja itu rentang waktu 06.30-07-30 wib. Jika lewat daru pukul 07.30 Wib. Maka akan dikatakan terlambat.
"Muallimah Alda, anda telat lagi..?" tanya pak kepala Madrasah, saat kami berpapasan di ambang pintu, ruang tempat finger dan bel berada.
"Iii, itu, tidak pak." Sahut ku tergagap. Setahu ku, Pak Armand masih dinas luar. Makanya, aku berani gak ikut apel pagi. Setiap guru diwajibkan ikut berbaris, saat apel pagi, oleh beliau.
"Kalau tidak terlambat, kenapa Muallimah ada di sini, dan tidak ikut berbaris?" tanya nya dengan muka dinginnya. Pak kepala kami ini memang terkenal dengan kedisiplinan nya serta ketegasan nya. Terkadang banyak guru yang tak suka dengan sikap nya yang terlalu tegas, dan kadang suka marah.
"Iya Muallim, aku terlambat!"
Puas...!
Teriak ku dalam hati.
TBC.
Hai readers sayang, beri dukungan pada novel baru ku ini ya! 😁🤭😍
Akan ada give away untuk readers yang memberi dukungan terbanyak.
Untuk penggemar yang dapat level Diamond akan mendapatkan pulsa 50 Ribu. Dan itu akan diambil untuk peringkat 1-3.
🙏
Tepat pukul 9 pagi, wanita yang bernama Juli, selingkuhan suamiku benar benar datang ke tempatku bekerja. Mendapati kenyataan ini, membuatku sedikit tegang. Berarti wanita ini benar benar menantang saya. Yang ku harapkan dengan pertemuan kami ini adalah penyelesaian, jangan menimbulkan pertengkaran. Apalagi kini kami sedang di sekolah.
"Kita ke, ke ru ruangan saya saja." Ujarku dengan sedikit tergagap, muka tegang dan terasa panas sekarang. Aku geram, melihat wanita yang ada di hadapanku. Siapa yang tak geram, di hadapanku sekarang, berdiri wanita sexy penggoda suamiku.
"Baik kak." Suara lembut, dengan ekspresi wajah tenang, ia membalas tatapanku. Benar benar ia tak merasa bersalah dan takut sedikit pun kepada ku.
Aku berbalik badan, melangkah sambil mengelus dada yang bergemuruh. Juli, sang pelakor mengekoriku. Kami akan ke ruang laboratorium. Hari ini tak ada jadwal praktek di Laboratorium, di sana sepi. Dan di sana lah tempat bicara yang tepat untuk kami.
Aku mengajar mata pelajaran IPA, dan aku dipercaya mengemban tugas tambahan, sebagai kepala laboratorium. Jadi, aku bebas datang ke tempat ini.
Ku perhatikan detail sosok wanita yang duduk di hadapanku. Kami dibatasi oleh sebuah meja kerja sekarang.
Wajah Juli cantik, jelas ia terlihat lebih muda dariku, mungkin perbedaan usia kami ada lima tahun. kulitnya putih, tubuhnya langsing, secara fisik memang dia memang lebih menarik, tapi tetap bersyukur pada Allah atas semua pemberian Allah padaku, semoga Allah selalu mempercantik hati dan sikapku.
"Aku minta maaf ya kak."
Deg
Aku cukup terkejut dengan kalimat permintaan maaf yang terdengar tulus keluar dari mulutnya. Sejenak aku terpaku, dengan sikapnya yang terlihat kooperatif. Tadinya, dibayanganku, akan ada perang di ruangan ini. Walau sebenarnya dari tadi, aku selalu berusaha bersikap tenang.
"Aku gak tahu kak, kalau Abang Evan sudah punya istri. Dia ngakunya bujang." ujarnya dengan mata yang berkaca kaca. Seolah menyadari kelakuannnya salah.
Deg
Geram sekali aku mengetahui kenyataannya. Kalau Mas Evan, tak mengakui aku dan Raisya. Fakta ini membuat hati sakit bak diiris sembilu.
"Aku berjanji akan menjauhi Mas Evan. Tidak akan mau berhubungan lagi dengannya Kak." Ujarnya dengan terisak. "Maaf kan aku kak. Sungguh aku gak tahu, kalau Abang Evan sudah punya istri dan anak." Tangis wanita di hadapanku pecah. Aku jadi kasihan padanya.
"Baik lah, aku memafkan kamu. Ku pegang kata katamu, untuk menjauhi suamiku. Karena aku tak segan segan, laporkan kamu ke pihak berwajib."
Ujarku tegas, aku tak boleh kelihatan lemah pada Juli.
"Iya kak." Iya menganggukkan kepalanya.
Huufftt...
Aku pun menghela napas panjang, menghembuskannya berat, setelah Juli keluar dari ruangan ku. Ku pijat pelipisku berulang kali. Karena di bagian itu terasa sakit. Kepalaku tiba tiba rasanya mau pecah. Pertemuan kami cukup menguras energi dan perasaan ku, padahal tak ada percekcokan yang terjadi.
Perlu waktu satu jam untuk menangkan diri. Dan akhirnya aku bisa merasa tenang. Aku pun meninggalkan ruangan Laboratorium, dan bergegas menuju ruang guru. Satu jam lagi, aku ada les.
Sesaat setelah pertemuan itu, aku menjadi tenang, harapanku semoga kedepan tidak akan ada masalah lagi dalam hubungan saya dan mas Evan.
Aku pun mulai melakukan pekerjaanku. Mengajar di kelas IX. Pukul 11.45 Wib habis les ke 6 dan waktunya istirahat kedua. Aku melangkah kembali ke ruang guru. Perut sudah mulai terasa lapar. Saat masuk ke ruang guru. Putriku Raisya sudah menyambutku. Ia memang kalau pulang sekolah, di antar Abang tukang becak ke sekolah tempat aku kerja. Dan putri ku yang baik dan pengertian itu, akan menunggu ku duduk manis di bangku meja kerja ku.
"Sayang... Itu ice creamnya, yang beliin siapa?" tanya ku dengan penasarannya. Aku hanya kasih uang jajan 2000 rupiah setiap hari pada Raisya. Dan aku selalu siapkan bekal untuknya di sekolah.
"Dibeliin Muallim,.. Armand. Ayahnya Reza Ma." Ujarnya centil, dengan tatapan fokus ke ice cream yang ia makan. Reza, adalah anaknya Pak Armand.
Pak Armand? pak Kepala sekolah belikan Ice cream pada Raisya, koq bisa?
"Ini ma, uang ongkos ku." Raisya menyodorkan uang 2000 ke tanganku. Itu ongkos nya kalau pulang naikik becak langganan.
"Koq uangnya kembali. Emang, tadi gak bayar ongkos?" tanya ku lembut, sambil melap bibirnya Raisya, yang belepotan karena makan ice cream.
"Gak ma, kan aku pulang ikut Muallim, Armand." Sahutnya lagi cepat. Raisya sepertinya tak ingin diajak bicara. Karena fokus makan ice cream.
Oohh.. Berarti pak kepala yang menjemput anaknya yang satu sekolah dengan Raisya.
Entahlah, kadang heran dengan sikap pak Armand. Dia tegas, dan Seolah tak peduli dengan keluh késah bawahannya. Tapi, lihatlah ini kedua kalinya ia membawa Raisya pulang. Ia yang pernah membuat aturan, tak boleh membawa anak kecil ke sekolah, karena akan menggangu ke efektif an saat bekerja. Nyatanya mengajak anakku pulang dan membawa ke sekolah ini.
Raisya sibuk makan ice cream, sehingga tawaran makan dariku, tak diopeni. Aku pun memutuskan makan dengan serius, dan sesekali harus ikut nimbrung bicara dengan sesama guru di ruangan itu. Karena mereka suka sekali bercanda dengan Raisya yang lucu dan asyik diajak bercanda.
Dert
Terdengar notif pesan masuk ke HP ku. Aku yang baru selesai makan, buru buru merogoh ponsel dari tas ku. Berharap Mas Evan yang kirimi pesan.
Deg
Kedua bola mataku membelalak, dengan jantung berdebar kuat. Ternyata bukan Mas Evan yang mengirim pesan. Melainkan Juli, wanita itu mengirimkan pesan dengan kata kata kasar. Ia juga menuliskan kalimat, yang menyatakan dia sangat mencintai Mas Evan, dan apapun yang terjadi tak akan melepaskan mas Evan.
Ternyata Juli tidak sungguh-sungguh dengan janjinya, sikap baiknya saat berjumpa denganku tadi, hanya sandiwaranya saja.
TBC.
Dukung novel ini sayangku. Kita ada give away di akhir bulan
Deg
Aku terkejut saat membuka chat yang masuk ke ponselku, ada nama Juli yang kirim pesan. Kedua bola mataku membelalak, dengan jantung berdebar kuat. Mendapati fakta,bukan Mas Evan yang mengirim pesan, melainkan Juli. Wanita itu mengirimkan pesan dengan kata kata kasar. Ia juga menuliskan kalimat, yang menyatakan dia sangat mencintai Mas Evan, dan apapun yang terjadi tak akan melepaskan mas Evan.
Ternyata Juli tidak sungguh-sungguh dengan janjinya, sikap baiknya saat berjumpa denganku tadi, hanya sandiwaranya saja.
Aku jadi tak tenang, setelah membaca pesan itu. Sepertinya wanita itu sangat berbahaya. Tadi, ia bersikap seperti seekor kucing di hadapanku. Manis, lemah lembut dan terlihat sopan. Ternyata mulutnya sangat berbisa, dan berkata manis tapi dusta.
Astagfirullah...
Tangan menggenggam erat ponsel, dengan pikiran melanglang buana memikirkan tentang rumah tangga ku. Bunyi bel tak lagi ku dengar. Hingga guru piket menghampiri ku, mengingatkan kalau aku ada les masuk kelas.
"Sayang, jangan datang ke kelas mama masuk ya? tunggu Mama di sini, atau main di taman saja ya nak!?" ucapku pada Putriku Raisya. Aku perlu mengingatkannya. Karena kepala sekolah, tak mengizinkan membawa anak ke dalam kelas.
"Iya Ma." Sahut putri kecil ku yang pintar itu. Ia kini menyibukkan dirinya menggambar.
Aku menyeret kakiku menuju ruang kelas dengan tak semangat. Pikiranku sedang kaca balau saat ini. Rumah tangga ku sedang ada masalah besar. Aku tak mau gara gara pelakor itu, aku dan Putriku jadi menderita. Dalam hati akupun memutuskan untuk membicarakan ini dengan serius dengan Mas Evan, nanti malam. Jikalau ia tak mengaku juga. Maka, aku akan membawa masalah ini untuk dibicarakan dengan kedua orang tua kami.
Baru juga masuk ke ruang kelas, Mas Evan menelponku. Dengan perasaan tak tenang aku pun mengangkat panggilan itu.
"Berani kamu mengajak jumpa si Juli.!" teriak Mas Evan. Aku sampai menjauhkan ponsel itu dari telingaku. Suaranya sangat keras. Mas Evan memarahiku, karena aku mengajak Juli berjumpa. Aku kembali menatap layar ponselku itu dengan emosi yang hampir tak terkendali. Harus nya aku yang marah, karena ia benar ketahuan selingkuh. Tapi, karena aku sedang ada si ruang kelas. Aku pun mencoba meredam amarahku
Aku melihat panggilan masih tersambung. Aku pun kembali mendekatkan ponsel itu ke telingaku. "Alda.. Tak seharusnya kamu menemuinya dan marah marah padanya." Ujar Mas Evan, masih dengan intonasi tinggi. Aku yakin Juli sudah mengarang cerita, tentang Pertemuan kami tadi.
Aku yang tengah berada di ruang kelas. Di depan anak anak, tak bisa menahan diri lagi. Aku pun memutuskan keluar dari kelas itu. Berlari ke pojok ruangan yang sepi.
"Mas.... Harus nya aku yang marah. Mas benar benar selingkuh!" ujar ku tegas dengan menahan sakit yang begitu hebat di dada.
"Diam kamu! jangan pernah, kamu ceritakan ini pada orang tua saya."
Tut....
Panggilan terputus. Seketika duniaku terasa hancur. Tubuhku terasa layu. Aku berjalan teruyung uyung menuju kelas, yang mungkin sudah kutinggalkan selama 5 menit, karena bicara dengan Mas Evan.
Panggilan itu hanya lima menit. Dan amarah Mas Evan, membuat semangat mengajar ku meluap. Aku merasa jadi tak profesional. Mas Rian tidak pernah sebelum nya memarahiku sekasar tadi.
"Eeehh.. Muallim,..!" Dengan cepat ku gosok kedua mataku yang berkabut, ternyata kepala Madrasah. Muallim Armand ada di kelasku. Ya beliau memang sering memantau kelas yang kosong. Ia paling tak suka, ada guru yang meninggalkan kelas, disaat waktu belajar, tanpa alasan yang jelas.
"Jam pelajaran muallimah, sudah saya inval." Ujarnya datar, menatap ku tajam.
"Eehh.. Kenapa di inval muallim? aku tadi sudah masuk ke kelas ini, dan kebetulan ada hal penting. Aku pun meninggalkannya sebentar." Ujarku membela diri, masak meninggalkan kelas lima menit saja tak bisa.
"Bekerjalah dengan profesional muallimah." Ujarnya masih dengan tatapan datarnya.
"Ia Muallim." Sahutku sopan. Muallim Armand pun meninggalkan ruangan itu.
Hufftt..
Aku menghela napas berat, setelah mendaratkan bokongku di kursi. Menarik sudut bibir, menatap ramah kepada anak didikku. Aku tak boleh menunjukkan wajah murung ini. Aku harus profesional.
***
Sesampai dirumah, saya mengajak putri saya untuk beristirahat sebentar. Karena kepalaku terasa sangat panas dan sakit, disebabkan terlalu banyak berpikir. Aku perlu istirahat, untuk menenangkan Pikiranku.
Sorenya aku menyiapkan makan untuk Mas Evan. Ia pulang bekerja, tapi tak berbicara denganku. Biasanya ia akan menyamperinku, yang tengah masak di dapur. Atau aku sedang siram tanaman di taman. Ia akan mencium keningku, sebelum memutuskan untuk mandi. Tapi, hari ini. Air mukanya masam sudah melihatku. Aku pun tak berani menyapanya. Tunggu nanti malam, aku akan membicarakan apa maksud dan tujuan Mas Evan, mengkhianatiku.
"Mas, kita makan dulu. Setelah itu kita perlu bicara." Ujarku tegas, menatapnya yang tengah duduk di kursi dengan tangan sibuk mengotak atik ponselnya.
"Aku tak mau makan!" jawabnya dengan suara keras, menatapku tajam. Dipikirnya aku budeg.
"Tak ada yang perlu dibahas dan dibicarakan. Yang kau ketahui hari ini, itulah fakta dan kenyataan.
Buuggh..
Seperti dihantam palu besar, hati ini terasa sakit mendengar ucapan Mas Evan.
" Mas..!"
"Diam! masalah ini jangan sempat diketahui keluarga besar kita, kalau kamu masih ingin melihat Raisya." Ujarnya masih dengan amarah nya. Ia bangkit dari duduk nya. Melangkah keluar daei kamar. Aku pun menyusul nya.
"Mas, kita perlu bicara. Mas gak boleh bersikap seperti ini? salahku apa mas?" Aku menahan tangan Mas Evan.
Ia menghempaskan tanganku kasar. "Kamu tak salah, aku hanya bosan saja." Ujarnya datar, tanpa merasa bersalah.
"Bosan..?" tanya ku dengan penuh amarah. Kalau di tanya, siapa yang tak bosan dan jenuh dengan pernikahan yang sudah hambar ini. Apalagi sikap Mas Evan berubah dalam tiga bulan terakhir ini. "Aku juga bosan Mas..!" teriak ku mengejar Mas Evan yabg kini sudah berada di atas motornya.
Ngeng....
Mas Evan melajukan motornya secepat kilat. Ia kini terang terangan mengkhianatiku.
Aku berjalan dengan terkulai lemas. Menutup pintu dengan perasaan yang sakit seperti ditusuk tusuk duri. Air mata yang dari tadi mendesak untuk keluar, tak terbendung lagi. Aku pun ambruk di atas ranjang. Menelungkupkan diri, dan menenggelamkan wajah di bantal.
"Ma.. Mama, kenapa menangis..?" Aku hampir lupa dengan keberadaan putri kami, karena terbawa perasaan. Tangannya yang mengusap lembut punggung ku.
Dengan cepat ku lap mataku yang sembab, dengan jemariku sebelum aku membalik badan, menatap putri semata wayangku.
"Mama nangis?" tanya nya lagi.
Syur...
Benar benar aku tak bisa membendung air mataku. Teringat ucapan Mas Evan. Jika aku cerita ini ke keluarga besar. Maka, ia akan memisahkanku dengan Raisya.
Aku pun meraih tangan mungil, yang melap air mataku itu. Mencium nya dengan berderai air mata. Tak ku sangka, rumah tangga ku, akan dihancurkan pelakor.
"Ayah pergi ke mana Ma?" tanya Raisya, yang penasaran dengan kepergian Mas Evan, yang mendadak tadi.
"Ke rumah nenek sayang." Ujarku, bangkit dari batas ranjang. "Kita makan ya?!" Kini kami sudah keluar dari kamar.
"Ayah gak makan di sini Ma?" tanya nya lagi menatap ku lekat. Aku kini sedang menggendong Raisya. "Sudah lama kita gak makan sama dengan ayah!" keluh nya, menampilkan muka bete nya.
Aku hanya Tersenyum menanggapi ucapan gadis kecilku. Mana mengerti ia masalah yang sedang terjadi di rumah ini.
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!