"Mas Adam!" Panggil manja seorang wanita pada seorang pria yang dari tadi tiada kedip terus menatap dirinya.
Tatapan mata pria itu sangat tidak baik untuk kesehatan hati bahkan jantungnya.
"Mas." Wanita itu pun memilih menepuk pundak Adam. Dari pada suaminya terus menatapnya seperti itu. Ia bisa grogi.
"Kamu sangat cantik, Nara. Mataku jadi hanya tertuju padamu!" Puji Adam kagum pada penampilan istrinya sekarang.
Memakai gaun selutut yang berwarna pink, begitu sangat cocok di kulit istrinya yang putih. Ditambah sapuan makeup tipis.
Adam tidak bisa tidak mengangumi sosok Nara yang begitu sangat anggun dan mempesona. Seperti seorang bidadari. Bidadari yang terjatuh, tepat di hatinya.
"Mas... Ayo, kita cepat berangkat! Nanti makanannya habis, lho!" Nara memilih berjalan duluan meninggalkan Adam. Pujian Adam tadi sudah membuat wajahnya merona.
Nara Amelia, menjalani kehidupan yang sangat bahagia. Ia memiliki suami yang sangat mencintai dan dicintainya. Suami yang begitu sangat perhatian dan pengertian pastinya.
Adam melajukan mobil dengan kecepatan sedang membelah jalanan. Ia melirik Nara yang melihatinya dengan penuh senyuman.
Senyuman manis yang membuatnya jatuh cinta. Ya, Adam jatuh cinta pada Nara karena senyuman wanita itu di awal bertemu.
"Kenapa kamu senyum-senyum gitu?" Tanya Adam ingin tahu.
"Mas Adam, sangat tampan. Suamiku yang pa...ling tampan di dunia ini!" Puji Nara.
"Jelas dong!" Adam sangat setuju dengan itu.
"Mas, aku sangat mencintaimu." Ungkap Nara tulus. Cintanya pada Adam sangatlah besar.
Adam mengelus kepala Nara dengan sayang.
"Aku juga sangat mencintaimu, Nara." Balas Adam dengan sepenuh hati.
Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, mereka sampai di sebuah hotel berbintang. Adam memarkirkan mobil di basemen hotel tersebut.
"Ayo turun, Na. Kita sudah sampai." Adam melepas sabuk pengamannya.
Nara juga melepas sabuk pengaman. Lalu tangannya menahan Adam yang akan bergegas turun dari mobil.
"Kenapa, Na?" Tanya Adam bingung, istrinya menahan tangannya.
Tangan Nara terulur merapikan kerah pakaian Adam, suaminya harus tampil rapi dan juga bersih.
"Terima kasih." Ucap Adam menatap sang istri penuh cinta. Nara wanita yang paling perhatian pada hal-hal kecil seperti itu.
"I-itu-" Nara mendadak gugup.
Ditatap seperti itu membuat hati Nara jadi berdebar-debar. Matanya beralih ke semua arah, asal jangan melihat ke arah Adam. Dan,
Bugh... Nara memilih keluar dari mobil, ia menghela nafas pelan.
Sudah 5 tahun ia menikah. 5 tahun sudah hidup bersama pria itu dan Nara masih saja berdebar-debar pada suaminya. Perasaan yang sama seperti saat pertama kali bertemu.
'Menggemaskan!' Adam yang masih berada di dalam mobil, tersenyum melihat tingkah istrinya. Nara masih selalu gugup dan salah tingkah dengannya.
Mereka lalu berjalan bergandengan memasuki aula yang berada di dalam gedung hotel tersebut.
'Wow!' Batin Nara terpukau sesaat. Melihat dekorasi aula pernikahan itu yang sangat mewah. Bernuansa gold menambah kesan menawan.
"Adam!" Seorang pria menepuk pundak Adam.
Adam pun menoleh ke belakang, melihat siapa yang menyapa. "Dika."
"Ah, benar. Ternyata kau. Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kabarmu sekarang, Dam?" Dika memeluk teman semasa zaman kuliah.
"Aku baik. Kau apa kabar juga?" Adam senang kembali melihat temannya itu. Sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan Dika. Begitu selesai kuliah mereka tidak pernah berkomunikasi lagi. Adam hilang bagai ditelan bumi.
"Baik dong. Oh, iya. Kenali ini Uli, istriku." Dika memperkenalkan istrinya.
"Ini Nara, istriku." Adam juga memperkenalkan istrinya.
Mereka pun saling memperkenalkan diri.
Tak lama mereka duduk bersama, sambil melahap hidangan yang tersedia.
"Bagaimana si Arka bisa mengundangmu? Kalian bertemu di mana?" Tanya Dika penasaran. Adam bisa muncul di acara ini.
"Kami tidak sengaja bertemu di jalan. Kalau tidak salah sekitar seminggu yang lalu." Jelas Adam mengingatnya. Ia juga tidak menyangka bertemu dengan Arka lagi.
"Apa kau tahu?" Tanya Adam melihat serius Dika.
Dika menggeleng. Adam pun melihat ke arah pelaminan, tempat Arka dan istrinya menyalami para tamu.
Dika dan dua wanita yang bersama mereka, juga ikut melihat ke arah pelaminan.
"Si Arka itu sempat mengancamku, jika aku tidak datang ke pernikahannya. Dia akan mengkulitiku hidup-hidup!" Ucap Adam cepat sambil tertawa.
"Dia kan dari dulu memang tukang ancam dan keras kepala." Dika jadi tertawa.
"Oh iya. Sudah berapa lama kalian menikah, Dam? Kalau kami sudah 4 tahunan." Ucap Dika mengalihkan topik.
"Baru 2 tahun. Jangan ditambah-tambah dong!" Uli membenarkan ucapan suaminya.
"Haha... Habis aku merasa sudah menikah lama banget sama kamu, sayang." Dika memegang dagu sang istri dengan gemas.
Adam dan Nara tersenyum melihat keromantisan mereka.
"Kami sudah 5 tahun menikah." Adam menjawab pertanyaan Dika.
"Sudah lama juga ya, Dam. Jadi sudah berapa anggota sekarang?" Dika menatap Adam dan Nara secara bergantian.
Nara jadi menggeleng pelan. "Kami belum punya anak, Bang."
Adam menggenggam tangan istrinya. Seolah menenangkan. Nara sangat sensitif jika bicara tentang anak.
Selama 5 tahun pernikahan, mereka belum dikarunia buah hati. Tuhan belum memberikan bayi mungil dalam rahim Nara.
Sudah banyak Nara mengikuti anjuran memakan ini itu, yang katanya baik untuk kesuburan. Ia juga sudah konsultasi dengan dokter kandungan, mungkin ia dan Adam bermasalah. Tapi dokter tidak menemukan adanya masalah pada pasangan itu. Mereka berdua sama-sama sehat. Tidak ada yang mandul.
Uli menyenggol lengan Dika, melihat perubahan ekspresi Nara yang jadi murung. Sebagai perempuan, ia sangat memaklumi perasaan Nara.
"Ada waktunya itu, Ra. Jadi selama menunggu, nikmati waktu kalian berdua. Nanti kalau sudah punya anak, kuberitahu ini ya, kita itu jadi seperti orang ketiga." Ucap Uli sambil melirik suaminya. Semenjak dia mengandung, sampai anak mereka lahir ke dunia, perhatian Dika hanya tertuju pada anaknya.
Nara pun jadi tersenyum mendengar ucapan Uli.
Nara pun yakin pasti ada saatnya ia memiliki seorang anak juga. Saat ini mungkin mereka masih diberi waktu lebih panjang untuk menghabiskan waktu berdua bersama.
"Aku jadi merindukan Bila. Sekarang Bila-ku berumur 1 tahun, lho. Anakku sangat imut dan menggemaskan." Dika pun merogoh ponselnya, lalu menunjukkan foto-foto sang anak yang tersimpan di ponselnya, pada Adam dan Nara.
"Pelakor kecil." Ucap Uli pelan pada Nara.
Nara tersenyum sendu melihat foto bayi mungil tersebut. Ia juga ingin merasakan kebahagiaan memiliki anak.
Setelah beberapa waktu, mereka akan pulang. Sudah cukup lama berada di sana. Sebelum pulang mereka ke pelaminan memberikan selamat pada Arka dan Rina.
"Ayo, kita foto bareng!" Ajak Arka. Ini hari bahagianya. Jadi harus diabadikan.
Mereka pun foto bersama. Arka juga sempat meminta foto bertiga saja dengan teman-temannya itu. Setelah sekian lama mereka tidak pernah bertemu.
Setelah berfoto, mereka pun berpamitan pada Arka dan istrinya.
"Adam, Nara... kami duluan ya." Pamit Dika setelah keluar dari aula. "Kapan-kapan kita harus kumpul lagi!" ajaknya.
Adam mengangguk.
"Nara, sampai ketemu lagi." Uli melambaikan tangan.
"Sampai ketemu, kak." Nara ikut melambaikan tangan.
"Ayo, kita pulang!" Ajak Adam setelah kedua orang itu pergi.
"Mas, tunggu sebentar ya. Aku mau ke toilet." Ucap Nara.
"Aku temani." Tawar Adam.
"Nggak usah, Mas! Aku sendiri saja. Mas, tunggu di mobil saja. Aku sebentar kok."
"Na-"
Belum sempat Adam bicara, Nara sudah berlalu pergi.
Adam pun berjalan menuju tempat parkir mobilnya. Ia merogoh ponsel di sakunya yang bergetar.
Panggilan masuk dari Nomorku tertera di ponselnya.
"Halo." Ucapnya setelah ponsel menempel di telinga.
"Sayang..."
.
.
.
"Mas Adam." Setelah dari toilet Nara menghampiri suaminya.
"Kamu sudah selesai?" Tanya Adam segera memasukkan kembali ponsel ke dalam sakunya.
"Telepon dari siapa, Mas?"
"Biasa rekan kerjaku." Adam pun menggandeng Nara menuju parkiran.
Adam membukakan pintu mobil untuk Nara. Perhatian kecil itu membuat Nara sangat bahagia.
"Kamu mau ke mana lagi, Na?" Tanya Adam setelah mereka berada di dalam mobil.
"Pulang saja deh, Mas. Tadi di rumah aku sudah membuat puding."
"Hmm... kalau begitu kita pulang saja. Enak nih, makan puding sambil mandangi wajah cantik kamu."
"Mas Adam, ih... Gombal!!!" Nara memukul dada Adam dengan manja. Selalu saja ucapan Adam membuatnya baper. Ia memang mudah baperan.
Tak berapa lama, mobil menepi di teras rumah mereka. Nara segera turun dan masuk rumah. Tadi selama di perjalanan, Adam terus menggombali nya dengan pujian dan tatapan, yang membuat hati Nara meleleh.
Adam yang masih di dalam mobil tersenyum puas, setelah menggoda Nara sampai wajah cantik itu memerah seperti kepiting rebus.
Pria itu lalu mengambil ponselnya dan menghubungi Nomorku dalam kontaknya.
"Halo, Mas Adam!!!" Pekik suara wanita menjawab dari seberang sana. Dari suaranya terdengar wanita itu sangat kesal.
"Harus berapa kali aku mengingatkanmu, jangan menghubungiku jika aku tidak menghubungimu!!!" Ucap Adam dengan nada marah.
"Ta-tapi," Jawab gugup di sana.
"Ada apa?" Tanya Adam menurunkan nada bicaranya. Ia melihat-lihat sekelilingnya.
"Uang bulananku sudah habis, Mas. Aku-"
"Aku akan kirimkan!" Sela Adam segera dan mengakhiri panggilan tersebut.
Pria itu menekan-nekan benda pipih, lalu mentransfer sejumlah uang dari internet bankingnya.
Ia juga menghapus riwayat panggilan di ponselnya. Setelah itu Adam turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.
"Nara." Panggil Adam begitu masuk rumah. Ia tidak melihat Nara di dapur, jadi ia berjalan menuju kamar mereka.
"Nara, kamu di dalam, sayang?" Tanya Adam mengetuk pintu kamar mandi.
"Iya, Mas. Aku lagi mandi. Sebentar lagi akan selesai." Jawab Nara dari dalam kamar mandi. Suara gemericik air kembali terdengar.
"Na, aku mau masuk. Aku mau mandi juga!"
Suara air sudah tidak terdengar dan tak lama pintu kamar mandi pun terbuka.
Dengan senyum mengambang, Adam masuk ke dalam mandi tersebut.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Gimana, Mas?" Tanya Nara.
"Enak, Na. Ini sangat enak. Aku mau tambah!" Adam menyodorkan mangkuk kosong untuk Nara isi kembali dengan puding.
Dengan sigap, Nara mengisi mangkuk kosong tersebut. Hatinya merasa sangat senang, melihat Adam yang begitu lahap memakan puding buatannya.
Adam sangat menyukai puding buatan Nara. Ia tidak bisa berhenti untuk memakannya. Ini saja sudah setengah isi cetakan puding yang telah masuk ke dalam perutnya.
"Na, uang bulanan kamu masih ada?" Tanya Adam disela-sela makannya.
"Masih, Mas."
"Hmm... Aku kirim lagi ya." Adam meraih ponsel.
"Lagi banyak uang ya, Mas?" Dikasih tambahan uang bulanan, mana mungkin Nara menolak. Uangnya bisa disimpan untuk hal-hal mendadak nantinya.
"Aku banyak dapat bonus, Na." Jawab Adam santai.
Nara mengangguk. "Mas, sudah bayar cicilan rumah?"
"Bulan ini sudah. Yang bulan depan, tunggu gajian saja. Itu sudah aku transfer ke rekening kamu!" Adam memberitahu.
Nara mengecek ponselnya. Adam selalu mentransfer uang bulanan ke rekeningnya.
Untuk uang cicilan rumah, listrik, air dan keamanan Adam yang langsung membayar saat gajian. Jadi uang bulanan yang diberikan Adam, khusus untuk kebutuhan sehari-hari mereka saja.
"Mas, aku kirim sebagian sama Mama ya!" Ucap Nara. Ia berniat mengirimkan sebagian pada mertuanya.
"Mama nanti saat gajian saja." Tiap gajian Adam akan mentransfer uang bulanan untuk Mamanya juga.
"Sudah aku kirim, Mas!" Nara menunjukkan bukti transfer.
Adam tersenyum pada Nara. Istrinya itu tidak pernah perhitungan pada Mamanya. Nara bisa membaur dengan keluarganya.
Begitulah sikap Nara yang membuatnya jatuh cinta.
Sebelum menikah, Adam sudah menceritakan kondisi keluarganya pada Nara, tanpa ada yang ditutupi. Agar Nara nantinya, bukan hanya dapat menerima dirinya, tapi juga keluarganya.
Adam adalah anak pertama dari 4 bersaudara. 3 anak laki-laki dan satu perempuan yang paling bontot.
Ayahnya sudah meninggal saat Adam tamat SMA.
Adam bisa berkuliah, pasti karena perjuangan Mamanya. Padahal saat itu Adam ingin bekerja saja untuk membantu sang Mama. Tapi Mama memaksanya agar tetap berkuliah. Walau Adam mendapat beasiswa, tetap saja untuk kebutuhan sehari-hari ia dan adik-adiknya, sang Mamalah yang membanting tulang.
Hingga setelah tamat kuliah, Adam mendapat pekerjaan yang bagus dengan gaji yang lumayan.
Dari situlah, Adam tidak membiarkan Mamanya bekerja lagi. Ia menggantikan sang Mama, mengambil alih menjadi menjadi tulang punggung keluarganya.
"Terima kasih, sayang. Kamu bisa menerima keluargaku." Adam memeluk erat tubuh Nara yang berada di pangkuannya.
Adam sangat beruntung memiliki Nara. Wanita yang sangat perhatian dan pengertian.
Nara itu tidak membuatnya memilih pilihan sulit. Memilih antara Mama atau istrinya?
Seperti banyak pasangan lain, yang sering bertengkar dengan alasan orang tua mereka.
Nara dapat mengerti posisi Adam dalam keluarganya.
"Aku yang seharusnya berterima kasih, Mas. Keluarga kamu mau menerima aku."
Yang Nara tahu, saat ia telah menikah. Segala tanggung jawab Ayahnya akan berpindah pada Adam.
Pria itu akan menambah tanggung jawab baru dengan menikahinya, Selain tanggung jawab kepada Ibu dan adik-adiknya juga.
Nara berusaha dekat, agar ia bisa menerima dan diterima di keluarga suaminya. Terutama diterima mertuanya, wanita yang sudah melahirkan suami tercintanya. Bahkan membuat Adam menjadi pria sukses yang sangat bertanggung jawab.
Tidak terbayang bagaimana berada di posisi Mama saat membesarkan 4 orang anak seorang diri.
Sudah semestinya, ia sebagai istri menyayangi mertuanya dan tidak membuat Adam jadi durhaka pada Mamanya.
"Mas, besok sebelum pergi kerja. Aku mau ke rumah Mama. Sudah lama tidak ketemu Mama."
"Iya, besok aku akan antar kamu ke sana. Tapi sorenya kita harus pulang." Adam mengingatkan. Mamanya jika sudah bertemu Nara, pasti akan disuruh menginap. Dan istrinya ini menurut saja, karena tidak tega menolak permintaan Mertuanya.
Ya, sesayang itulah Mama pada istrinya. Hubungan mereka sudah seperti ibu dan anak kandung pada umumnya.
"Aku akan membuat bolu. Mama sangat suka bolu buatanku, Mas!" Nara akan bangkit dari pangkuannya.
"Kamu mau buat sekarang?" Tanya Adam tak rela melepaskan wanitanya.
"Iya dong, Mas. Besok pagi-pagi kita harus sampai sana."
"Beli saja!" Adam masih menahan Nara.
"Mana ada toko roti yang buka pagi-pagi."
"Tidak usah bawalah."
"Masa datang nggak bawa buah tangan?"
"Beli yang lain saja, sayang."
"Beli apa, Mas?" Tanya Nara bingung. Biasanya jika berkunjung, ia akan membawa buah tangan yang dibuatnya sendiri.
Adam tampak berpikir. "Mie balap."
"Pakai helm dong, Mas!"
.
.
.
Di sebuah hotel, terlihat seorang pria tampan sedang melakukan push up. Ia adalah Arka. Pria yang baru saja menggelar pesta pernikahan yang super mewah, di hotel berbintang tersebut.
Pria itu menetralkan kegugupannya. Malam ini adalah malam pertamanya. Ia akan menghabiskan malam panas bersama istrinya.
Saat terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Arka segera berdiri dan menenangkan kegugupannya.
Ia tidak boleh menunjukkan kegugupan di hadapan wanita yang beberapa jam yang lalu, sudah sah menjadi istrinya.
Tapi, Arka bingung melihat wanita yang baru keluar dari kamar mandi tersebut. Bukan memakai lingerie seksi atau baju tidur transparan. Rina malah memakai celana jeans panjang dengan kaos berlengan pendek.
"Ada yang mau aku katakan padamu!" Ucap wanita itu menatap Arka dengan datar.
Tak lama mereka berdua duduk di sofa. Rina menunjukkan sebuah alat yang membuat mata Arka mendadak seakan keluar dari tempatnya.
"A-apa ini?" Tanya pria tampan itu. Wajahnya sangat terkejut.
"Aku hamil." Jawab Rina dengan jelas.
Ternyata tespack bergaris dua itulah yang ditunjukkan Rina pada Arka.
"Ha-ha-hamil? Bagaimana bisa? Aku bahkan belum menyentuhmu!" Sanggah Arka cepat. Malam pertama saja belum dimulai, bagaimana istrinya itu sudah hamil saja.
"Anak ini adalah anak dari pria yang kucintai." Jujur Rina.
Arka terbengong sesaat, mencerna perkataan wanita itu.
"Ji-jika kamu sudah hamil, kenapa kamu mau menerima perjodohan kita, lalu menikah denganku?" Arka tidak habis pikir. Bagaimana ia bisa menikah dengan wanita yang sudah berbadan dua dan hamil dari benih pria lain pula.
"Pria brengs&k itu meninggalkanku. Saat aku merasa patah hati, ibuku menjodohkanku denganmu. Dan aku menerimanya hingga kita bisa menikah sekarang." Rina perlahan menjelaskan.
"Aku berencana untuk melupakan pria itu dengan menikah. Tapi tadi saat di kamar mandi, aku mengecek dan itulah hasilnya. Aku sedang mengandung anak pria itu dan aku harus meminta pertanggung jawaban darinya." Jelas Rina kembali dengan mata berkaca-kaca.
Arka tidak bisa berkata-kata mendengar penjelasan wanita itu. Pria tampan itu mendadak shock.
"Aku bisa saja membuat kamu seolah-olah menjadi bapak dari anak ini. Tapi, aku rasa itu tidak baik dan tidak adil bagimu." Rina menghembuskan nafasnya yang terdengar kasar. Ia tidak bisa melemparkan tanggung jawab pria lain pada Arka.
"Jadi, aku minta maaf padamu. Tolong ceraikan aku malam ini juga!" Rina menatap Arka dengan serius.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Arka diam menatap pemandangan malam dari jendela kamar hotel itu. Rina sudah pergi setelah mengatakan kenyataan itu.
Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. Ia benar-benar tidak mengerti dan habis pikir. Istrinya meminta cerai di malam pertama mereka.
Pria tampan dan rupawan dengan sejuta pesona. Menjadi seorang duda, hanya dalam waktu beberapa jam saja. Bahkan hari minggu ini saja belum berlalu.
Arka Erlangga, pria tampan yang dianggap playboy karena sering bergonta-ganti wanita. Sebenarnya, ia bukanlah pria seperti itu.
Setiap menjalin hubungan dengan wanita. Mereka hanya menginginkan uang Arka saja. Lalu para kekasihnya itu berpura-pura mencintai dirinya dan bermain di belakangnya dengan pria lain. Lalu yang lebih parahnya, wanita-wanita itu memberikan uangnya pada pria-pria mereka. Sungguh keterlaluan bukan.
Putus dari satu wanita, Arka menanggapi dengan santai dan tidak ada kesedihan yang melanda. Dengan cepat ia mencari wanita lain lagi, sebagai gantinya. Karena kebiasaan itulah yang membuat Arka dicap sebagai playboy garis keras.
Mommynya yang mengetahui ke playboy-an sang putra. Ingin menghentikan kebiasaan anaknya itu. Ia tidak mau Arka terus bergonta-ganti wanita.
Hingga Mommy berinisiatif menjodohkan Arka dengan Rina, anak teman arisannya. Dan juga anak dari rekan bisnis Arka.
Arka yang sudah lelah dengan perjalanan cintanya, seperti Arjuna yang mencari cinta. Setuju dengan rencana sang Mommy.
Menurut Arka, selama ini ia tidak bisa membedakan wanita. Mana wanita yang baik dan tidak baik untuknya.
Dengan bantuan Mommy, mungkin ia bisa mendapatkan wanita yang bisa menerima dirinya.
Tapi ternyata, inilah hasil perjodohan itu.
Arka mencari jaket hoodie di koper lalu memakainya. Ia harus bergegas keluar dari kamar hotel. Untuk apa dia tetap berada di tempat ini.
Rencana malam pertama yang indah dan bergairah. Bahkan bulan madu ke awan biru, kini hanya tinggal rencana.
Saat membuka pintu, Arka menongolkan kepala, memeriksa keadaan saat ini. Sepi, petanda aman tidak ada orang yang akan melihatnya keluar dari kamar ini. Para staff hotel juga tidak ada yang berlalu lalang.
Dengan langkah lebar, ia berjalan melewati lorong. Lalu masuk ke dalam lift.
Arka menurunkan hoodienya saat melewati lobi hotel. Tak boleh ada yang mengenali dirinya. Itu bisa merusak imagenya.
'Ditinggalkan di malam pertama!!!' Arka meremas tangannya.
Bagaimana jika orang-orang mendengar dan menertawakan dirinya?
Memikirkan hal itu saja membuat Arka sangat kesal.
\=\=\=\=\=\=
Arka turun dari taksi. Ia menatap rumah berlantai 2 yang begitu sangat mewah. Ia pun menekan bel.
Begitu pintu pagar terbuka, ia pun berjalan masuk.
"Pak Arka?" Ucap security bingung melihat Arka pulang tengah malam. Bukannya pria itu menginap dengan istrinya di hotel. Yang didengar, mereka akan menghabiskan waktu 3 hari di hotel tersebut.
Arka tidak merespon, ia terus berjalan memasuki rumah.
Para pekerja di rumah itu bingung, melihat kepulangan Arka. Wajah pria itu juga sangat tidak bersahabat. Apa ia bertengkar dengan wanita yang baru saja menjadi istrinya?
"Arka!" Mommy menghampiri dengan wajah bingung. Ada apa putranya pulang ke rumah? Mana istrinya?
"Arka, ada apa?" Tanya Mama.
"Mom, aku capek! Aku mau istirahat. Selamat malam." Arka tidak menjawab pertanyaan Mommynya. Ia memilih untuk ke kamarnya saja.
"Mana Rina, Arka?" Mommy masih dengan kebingungannya, mencari menantunya.
"Apa kalian bertengkar? Bukankah ini malam pertama kalian?"
'Malam pertama???' Mendengar 2 kata itu sangat menyebalkan bagi Arka.
Arka masuk ke kamarnya di lantai 2. Lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur empuk di kamar super mewah dan besar itu.
'Kenapa seperti ini cerita hidupku?!' Batin Arka menatap langit-langit atap.
Kata-kata yang diucapkan Rina masih terngiang-ngiang di telinganya.
Arka sangat menyayangkan, kenapa wanita itu tidak langsung meminta pertanggung jawaban pada pria yang sudah menghamilinya?
Tapi, Arka juga bersyukur. Wanita itu sempat mengecek sebelum mereka melalui malam pertama. Jika tidak, Arka pasti akan menganggap itu adalah anak kandungnya.
Tapi tetap saja, Arka sangat membenci Rina. Wanita itu telah membuang waktu dan uang pastinya, hanya demi pernikahan yang sia-sia ini.
Jika saja Rina bisa jujur saat itu, pasti Arka akan menolak perjodohan itu.
Sudah pasti pernikahan tidak akan terjadi. Dan dirinya tidak akan mengalami hal memalukan seperti ini di malam pertama pernikahan.
Ya,
'Mendadak duda.'
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!