"Sialan," gerutu seorang gadis, berambut ikal. Dia melihat tangannya penuh darah, jangankan tangan lantai dapur pun kini berubah warna menjadi merah pekat. Gadis itu memegang kepalanya bingung harus bagaimana? dia benar-benar tidak bermaksud membunuh lelaki berkaca mata tebal yang tengah tergelatak diatas lantai ini, tapi mengapa pria ini datang dan langsung memeluk dia dari belakang. Pria itu ingin memperkosa dia yang tengah sibuk memotong daging?
Namanya Lea, gadis cantik berambut ikal. Dia saat ini tinggal bersama Roberto, ayah dari pria yang sedang tergeletak di lantai ini, bahkan bukan hanya Robert, David dan Andreas pun sama saja mereka bergilir menjadikan Lea makanan empuk mereka setiap harinya.
Beruntung Lea berhasil lolos dari incaran mereka, pria-pria Pemalas yang hanya berharap hidup enak namun tidak ingin bekerja. Mereka juga ingin menjadikan tubuh Lea sebagai pelepas hasr**at mereka.
Lea menghentakkan kakinya dibawah lantai, "Bodoh mengapa kau mengganggu aku?" Ingin rasanya dia melayangkan satu tendangan melayang di kepala pria bodoh itu yang tengah tergelatak dilantai dapur dengan tak berdaya itu.
Tapi, hatinya tidak tega, melihat pria berkaca mata tebal itu merintih kesakitan, tangan kanannya menahan bagian bahunya yang terluka, darah terus mengucur keluar.
Pria itu akhirnya pingsan di lantai dapur, Lea bingung harus bagaimana? Kabur? Atau menolong Albert yang tengah melawan maut, efek dari tajamnya pisau dapur?. Lea berpikir lebih baik dia menelpon Dokter, dia ingat sebelum Ayahnya meninggal,Charles pernah memiliki seorang dokter pribadi.
"Oh my God, Aku tidak tau nomor telepon dari dokter itu. Jangankan nomor telepon, nama dari dokter itu saja aku tidak tau." Lea memukul kepalanya didinding dapur. Lea melihat darah pria itu semakin mengalir, dia tau jika banyak darah keluar dari tubuh manusia, pasti orang itu akan mati, dan Albert? Sudah mati?
Oh Tuhan...
Lea memegang kepalanya, dia bingung. Tidak, tidak! Lea harus mengambil tindakan. Lea melesat masuk ke dalam kamarnya dia tau dia harus berbuat apa dalam kamar sempit berukuran 4x5 itu semua kebutuhan untuk menyembuhkan luka ada di kamarnya. Lea pintar menyimpan semua itu untuk berjaga-jaga suata saat dia membutuhkan karena dia tau, hidup dia selalu berada dalam bahaya dan incaran orang. Kali ini dia harus berada dalam genggaman pria pemalas satu ini, dimana keseharian dia hanya berjudi dan mabok.
"Bangun! Aku perintahkan bangun!" Lea berteriak di samping Albert.
Albert menggerakan bola matanya hanya saja matanya tidak ingin terbuka, Lea tersenyum setidaknya masa muda dia tidak di habiskan di dalam jeruji besi.
"Lepaskan tanganmu, aku ingin mengobatin luka tusukanmu!" Sedikit membentak untuk pria yang sedang sekarat? Parsetan lagian dia yang memulai lebih dulu, setiap hari dikasihani Lea, dia malah terus saja merayu Lea.
Lea akhirnya menarik dengan kasar tubuh pria itu, menyingkirkan tangan Albert dari bahu bekas luka tusukan pisau tadi, tangan Albert sudah tersingkir dari bahunya
" Argh...kenapa aku harus menolong dia? Dia hampir saja memperkosa aku!" Lea mengambil gunting lalu menggunting kaos casual berwarna hitam yang dikenakan Albert, dibagian bahu Albert, agar bisa diobati Lea.
Dia segera membersihkan darah merah pekat itu dengan air hangat lalu memberikan lagi dengan Alkohol untuk menghindari infeksi, kemudian Lea dengan cepat memberi cairan obat yang sering dipakai Lea ketika ia terluka. Lalu, ia mengolesi lagi salep, barulah Lea menutup luka tadi dengan kaza dan merekatkan perekat kaza.
"Setidaknya ayah pemalasmu itu pulang, tidak melihat kau terluka," Lea menepuk pipi Albert. Pria hanya bisa menaikkan sudut bibir atasnya, selesai mengobati luka, Lea kembali berdiri, ia hendak mengembalikan kotak obat ke kamarnya lagi.
Tapi, tangannya seperti ditahan seseorang, Lea perlahan melirik kebawah, sudut bibirnya terangkat keatas, Albert menahan tangannya.
"Tadi, aku ampuni kau bukan berarti memberimu peluang untuk berulah lagi, apa kau benar-benar sudah bosan hidup? Mau ku akhiri hidupmu sekalian? Biar si pemalas mu pulang tinggal mengebumikan kau saja?" bentak Lea.
Albert menggeleng, "Tolong bawa aku ke kamarku, agar aku bisa berbaring dengan baik di kamarku. Kamu juga harus membersihkan ruang dapur ini, bukan? Sebelum ayahku berlaku nekat kepada kamu." Albert berbicara perlahan, karena luka tusukan itu masih terasa sakit, ia menatap Lea nanar.
"Kau dan ayah pemalasmu itu selalu saja merepotkan aku! Baik, Kau bisa berdiri,'kan? Atau aku geret saja kau layaknya binatang mati?" Bahasa Lea sedikit kasar karena dia sejak berusia lima tahun hidupnya penuh kekerasan, dia pun direbut kesana-kemari oleh pihak keluarga dari sang ibu dan Ayahnya. Besok dia harus menginap di rumah Robert, bulan depan dia harus berpindah ke rumah David terus bergulir ke gubuk Andreas, semua yang mereka lakukan kepada dia bukan karena melindungi Lea, atau karena dia anak dari saudara mereka, tapi demi sesuatu hal yang menurut mereka itu sangat istimewa dan semua itu hanya dimiliki Lea seorang.
Albert mengulurkan tangannya kepada Lea. Gadis berusia lima belas tahun itu menyambut tangan Albert.
"Kau masih selamat.Tapi, lain kali jika kau berbuat nekat seperti tadi lagi maka aku jamin kau tidak bisa bernapas, dan tidak akan melihat dunia ini lagi. Kau akan ku kirim ke neraka lapisan tujuh." Lea meletakan tangan kanan Albert di bahunya ,lalu ia menahan tangan dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memeluk pinggang Albert. Mendengar ocehan Lea, Albert hanya menaikkan sudut bibir atasnya.
"Kau cukup cerewet," tukas Albert.menggidikkan bahunya yang masih terasa nyeri.
"Ayo, jalan.Kau cukup berat.Tenaga ku kecil tidak sanggup memikul tubuh bongsor mu," gerutu Lea.
Albert pun akhirnya melangkah walau lukanya perih dibuat gerak demi menyelamatkan wanita agresif ini, dia harus segera ke kamar miliknya. Karena, Albert tahu pukul tiga sore nanti ayahnya pasti akan pulang tentunya dengan sempoyongan karena mabok, sekarang sudah siang berarti dua jam lagi ayahnya pulang.
Lea menarik napas lega akhirnya setelah berjuang dan tenaganya hampir saja terkuras habis, Albert akhirnya sudah berbaring dikamar dengan baik.
"Tidurlah. Kau harus bersandiwara layaknya seorang aktor film terbaik. Berpura-pura agar kau terlihat baik-baik saja, aku akan membereskan ruang dapur dulu." Lea menutup tubuh Albert dengan selimut. Lalu, Lea bergegas kembali ke dapur dia harus membersihkan darah yang berceceran di dapur.
"Kenapa tadi aku selamatkan dia? Bukanya tadi dia ingin memperkosa aku? Harusnya ku biarkan dia mati saja, salah dia sendiri, 'kan?" Lea berbicara sendiri di ruang dapur. Akhirnya setelah hampir satu jam darah di dapur itu berhasil dibersihkan Lea, " Huft," Lea menyeka keringat dikeningnya.
Selesai membersihkan darah di dapur Lea harus menyelesaikan masakannya yang baru saja setengah jadi tadi, kali ini dia memasak soup jamur. Tidak heran Lea memiliki keahlian memasak yang baik dan enak itu karena Lea menurun dari bakat sang ibu Angelina seorang chef handal di kota Barcelona.
"Kau mau makan dulu?" Lea, masuk ke kamar Albert, dia membawakan soup jamur panas ke kamar Albert, ia menawarkan makanan.
"Tidak.Aku tidak lapar! Tapi, aku sudah menemukan ide bagus untuk kau, sebaiknya kau pergi saja dari Barcelona ubah semua identitas dirimu, agar Ayah dan ketiga saudaranya tidak bisa melacak keberadaan dirimu ." usul Albert
"Kau menyuruh aku pergi? Tapi kau pikir kabur bermodalkan nyawa itu bisa? Kau tidak tau, semua uang ku di rebut oleh Ayah pemalas mu, sedangkan? Argh..." gerutu Lea, ia menatap sinis Albert. Rasanya dia ingin menuangkan kuah soup panas di wajah Albert, jika itu bisa.
"Buka pintu lemariku, kau bisa mengambil tabungan uangku di dalam lemari itu," sahut Albert.
Lea tidak perlu menunggu persetujuan Albert, dia bergegas membuka lemari Albert. dia mengacak-acak isi lemari itu, " Aku tidak menemukan uang sepersen pun disini, kau menyimpannya dimana?" Tanya Lea.
"Lihat saja di laci kedua." Sahut Albert dia meringis menahan sakit.
"Tidak ada, ini hanya bagian celana dallammu. Apa kau ingin aku melihat celana dallam usangmu?" Mata Lea mengedar di seluruh isi lemari itu.
"Angkat kaos kaki berwarna putih itu, uangku aku masukkan ke dalam kaos kaki berwarna putih itu, ambil sebagian saja.Sisakan sebagian untuk aku juga. Kau jangan merampok semuanya," oceh Albert.
Lea melempar celana dallam ke wajah Albert," Aku bukan perampok tapi Ayah mu itu yang perampok," umpat Lea kesal.
"Karena itu, aku memintamu pergi dari rumahku ini, setidaknya tiap hari aku tidak melihat preman dirumahku lagi. Aku jauh lebih tenang tanpa ada kau di rumahku. Sungguh, sejujurnya selama kau disini, nyawaku terancam. Aku tidak yakin, aku bisa bertahan hidup hingga aku tua nanti." Albert melempar balik celana dallam itu dan parahnya mengenai boko*ng Lea.
"Aku bisa membunuhmu saat ini juga jika aku mau, Sayangnya aku tidak ingin mengotori tanganku. Aku pikir sia-sia membunuh pria bodoh seperti kau!" Lea menatap tajam Albert. Ia pun menginjak pakaian dalam yang dilempar Albert tadi di lantai.
"Ya, ya! Sudah menemukan uangnya? Jika sudah segera pergi dari rumahku ini!" Perintah Albert. Dia ingin mengibas tangannya, namun sakit di bahunya masih menyiksa dirinya.
"Ya, aku sudah menemukan uangnya.Ternyat kau menyimpan banyak sekali pound." ucap Lea.
"Aku menabungnya sudah lama. Koinnya setiap hari aku mengambil satu-dua koin dari laci ayahku." sahut Alber malas.
"Ternyata kau sangat obsesi dengan uang.Kau tidak beda jauh dengan ayahmu!" ledek Lea.
"Tutup mulutmu Lea Andrea.Kau cukup cerewet. Ngomong-ngomong kau mau kemana?"
"Tidak! kau tidak perlu tau aku hendak kemana, Jadi kau tidak perlu mengatakan apapun kepada ayahmu jika dia memaksa kau untuk berkata." sela Lea.
Albert menghembuskan napas kasar. Ya dia tidak bisa memaksa Lea, melihat Lea pergi dari rumahnya saja, Albert sudah sangat senang.
Lea pun gegas mengambil sebagian pound kertas lalu memasukkan ke dalam kantong celananya, tidak peduli dengan tatapan Albert.
"Aku ambil sebagian, ini sisamu, ku kembalikan ke dalam kaos kakimu." Lea menunjukkan nominal poundsterling yang ia ambil, lalu dia menunjukkan sisa uang kepada Albert, kemudian Lea masukkan lagi ke dalam kaos kaki itu. Dengan kesal Lea melemparkan kaos kaki itu kembali ke dalam laci lemari dengan sembarangan.
"Pintar. Sekarang bergegaslah pergi dari sini, aku muak melihat kau disini," sahut Albert.
"Kau!?" Lea mendekati ranjang Albert, ingin menekan luka itu, dia gemas dengan cerewetnya Albert, tapi dia masih memilik sedikit belas kasihan sebagai manusia. Setidaknya pria kaca mata tebal ini telah menolong dia dari dekapan Roberto.
Akan tetapi, belum juga Lea beranjak keluar dari kamar Albert. Terdengar suara teriakan muncul dari depan pintu.
Albert menggelengkan kepala meminta Lea untuk tidak menjawab. Dia mengayunkan tangan kirinya meminta Lea bersembunyi entah dimana saja. Asal, Robert tidak menemukan gadis agresif itu. Sayangnya, Lea menolak dia menggelengkan kepalanya.
"Kau gila? Kau suruh aku masuk ke dalam lemarimu? Napasku bisa habis karena bau apek dari bajumu." Lea mengepalkan tangannya ingin rasanya dia memukul pria ini.
Kesal, Albert mengendikkan bahunya, "Terserah, terus lah berada di rumah ini hingga tubuh mu hanya tersisa kerangka saja!" Albert menutup wajahnya dengan selimut dia tidak ingin melihat Lea di hukum lagi.
Ceklek...
Pintu depan dibuka dengan sangat kasar. Oh tidak...itu pasti Roberto pria si pemalas itu.
"Lea...Lea..." Teriak Robert.
Lea tidak menjawab, dia perlahan menuruni tangga, mengintip pria tua itu dari tangga. Lalu, Lea bergegas kembali ke kamarnya yang letaknya tidak jauh dari kamar Albert. Lea mengambil pistol tidak lupa dia mengecek pelurunya.
Kretek..
Lea memeriksa isi pelurunya. Ya, sebenarnya Lea tidak memiliki cadangan peluru. Dia pun menyisipkan pistol itu dipinggangnya. Sebelum menemui Robert dia menemui Albert. Setidaknya dia harus berterima kasih kepada Albert.
"Terima kasih. Aku pastikan akan mengingat kebaikanmu ini.Ya, walaupun sedikit." Lea tersenyum. Tidak lupa dia melambaikan tangan.
"Dasar preman. Jika, kau ingin mengembalikan uangku jangan lupa harus ada bunganya." Albert tidak ingin melihat Lea bersikap manis seperti ini.
"Oh Tuhan, seperti nya hidup dan matimu berada ditanganku." Lea menatap sinis Albert.
"CK...kau harus berhati-hati. Di luar sana banyak orang jahat seperti ayahku." pesan Albert.
Lea menoleh menatap Albert kemudian ia menjulurkan lidahnya kepada Albert.
"Thank you!" Lea tersenyum dia bergegas keluar dari kamar Albert.
"Sebaiknya aku harus bicara dengan Ayahku, aku tidak mau menikahi wanita preman ini percuma aku tidak bisa bertahan lama, jika kelakuan dia seperti ini terus," gumam Albert.
Lea yang hendak melangkah turun anak tangga menghentikan langkahnya dia menyebulkan lagi kepalanya masuk ke kamar Albert lagi.
"Aku pikir hentikan omong kosong itu.Sampai kapanpun aku tidak akan menikahi pria seperti kau," hina Lea.
"Kau pikir, kau itu seorang wanita? Aku juga tidak sudi menikahi Preman seperti dirimu. Aku tidak bisa membayangkan, nasibku tiap hari harus dengan mu,yang suka bermain dengan belatih dan pistol," Albert melirik sekilas lalu kembali pejamkan matanya.
" Aku pun sama," sergah Lea.
Lalu, Lea bergegas menemui pria berambut putih itu. Dia melihat pria itu sudah terkapar diatas sofa ruang tamu, Lea ingin mengeluarkan pistol lalu melepaskan timah panas dikepala pria tua itu.
" Lea..!" Suara Robert perlahan menghilang dia kini sudah terlelap di sofa.
"Brengs**ek!" Lea menatap tajam pria tua itu.
Yakin, Roberto sudah pulas.Lea menjentikkan jari didepan Robert memastikan pria itu benar-benar tidur. Melihat Robert tidak ada respon, ia sedikit berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya, Lea mulai menyimpan surat-surat penting ke dalam tas kecil yang sudah usang. Pakaiannya Lea memakai dobel ditubuhnya. Lalu, Lea mulai mengakali kamarnya, gulingnya sengaja dia selimuti seperti orang sedang tertidur. Lea berharap semoga idenya ini bisa berhasil, dan bisa menghambat Roberto mengejar dia dengan anjing miliknya, berjenis Cuban itu.
"Beres.." Lea mengangguk-angguk kepalanya.
Lea mulai menaiki ventilasi kamar lalu ia melompat turun dari jendela.
brugh...
Albert yang belum tidur mendengar bunyi hentakan kaki di lantai. Dia tau itu Lea.
"Preman itu sudah pergi!" Albert menghela napas.
Lea bergegas lari meninggalkan rumah terkutuk itu. Dia berlari masuk kedalam kebun anggur yang terdapat di belakang rumah Robert. Ia mengendap-endap berharap anjing piaraan Roberto tidak mencium aroma tubuhnya. Jika, mencium aroma tubuh Lea, para anjing galak itu pasti akan menggonggong, itu bisa membangunkan Roberto.
Lea berjalan mundur matanya terus mengawasi ke arah rumah Roberto, rumah berlantai tiga itu tersimpan kenangan buruk dia disana, dimana setiap harinya dia dan Albert seperti kucing dan tikus jarang akur. Dia juga tidak lagi diganggu Robert.
Lea merasa langkahnya tetap ditempat, dia seperti berada dibatas tembok. Tapi, Lea ingat betul kebun anggur ini tidak memiliki tembok pembatas. Lea, melihat disekitar nya mengamati kebun anggur itu. Dia masih berada di tengah-tengah kebun. Namun__
"Aku masih di tengah kebun.Tapi, sebentar ini apa?" gumam Lea.
Dia meraba-raba kebelakang tangannya menyentuh benda keras. Lea mengernyit, dia tidak ingin melihat. Dia pikir itu Roberto.Oh Tuhan...jantung Lea hampir copot dia pikir itu Roberto.
"Shif**t." Lea mengumpat.
Lea pikir Albert bekerja sama dengan Roberto. Albert sengaja meminta dia kabur lalu dia dan ayahnya mengejar Lea. Kemudian, Lea di bawa kembali ke tempat terkutuk itu, lalu ia disiksa dan diperko__. Lea menyadarkan dirinya dari lamunannya. Perlahan dia menunduk melihat kearah bawah kakinya.
"Sepatu boots?"
Lea, tau Roberto juga suka boots tapi aroma tubuhnya berbeda. Perlahan Lea memutar badannya, matanya membulat ketika ia mendongakkan kepalanya matanya bertemu pria bermata coklat. Dengan banyak bulu halus menghiasi wajahnya.
Lea membulatkan matanya, dengan cepat dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Lea mengerjap ia mengamati wajah pria itu seperti salju di kutub selatan, tangannya memegang tongkat dengan pistol terselip dia pinggang nya.
"Oh...God!" Lea melangkah mundur ke belakang.
♥️♥️♥️
Lea Andrea.
Bruno sang Detektif
Pria itu tersenyum menyeringai, dia pun melangkah satu langkah lebih dekat dengan Lea. Lea memutar badannya, ia menggigit kuku jarinya memikirkan ide bagaimana dia kabur dari pria dingin ini? Lea mulai bersiap-siap untuk berlari. Tangannya memeluk erat tas usangnya yang terdapat surat-surat penting itu.
"Satu, dua, tiga...Lea kabur!!" dia menghitung dalam hati.
Namun, baru saja Lea melebarkan kakinya untuk berlari .Pria itu dengan cepat menarik rambut ikal panjangnya.
"Mau kemana?" tanya Pria itu.
"Kabur, Tuan!" Lea masih berusaha lari dengan kepala mendongak keatas rasanya rambut ikalnya hampir terlepas dari kulit kepalanya.
"Tidak bisa! Kau sudah berhasil sampai disini lalu mengapa kau ingin masuk kembali lagi ke tempat terkutuk itu?" Pria itu seperti tahu siapa Lea. sementara temannya hanya diam menatap tajam Lea seakan ingin menerkam Lea utuh-utuh.
"Ku mohon, lepas,'kan aku. Jangan perko**sa aku. Aku tidak pintar bergoy**ang!" Lea menggigit jarinya semakin keras seraya menggeleng.
"CK..kau pikir aku suka tubuhmu? Kau tidak enak di makan, kau banyak tulang bisa-bisa aku kesakitan." Pria itu mengamati tubuh Lea dari kaki hingga ujung rambut.
"Lalu, jika kau tidak memakanku. Mengapa kau menahan aku disini? Aku harus segera pergi." Lea menatap sinis Pria dingin itu.
"Karena, kau berarti untuk aku." Pria itu menarik kasar tubuh kecil Lea. Lea yang ketakutan kini sudah bersender di dada pria itu.
"Hei... Tuan salju. Aku bukan pencuri." tegasnya.
"Bawel! Ikut aku." balas pria itu.
"Tapi, Tuan sungguh aku tidak mencuri anggur mu." Lea mulai berkaca-kaca. Dia pikir pria ini pemilik dari kebun anggur ini. 'Tapi, oh Tidak jika di lihat dari penampilannya pria ini cukup tampan tidak pantas menjadi seorang petani anggur. Lalu, siapa dia.' batin Lea. Dia menggelengkan kepalanya menyadarkan diri dari lamunan tidak pentingnya.
"Kau pencuri!" Pria itu menaikkan sudut bibir atasnya.
Lea yang melihat wajah pria itu semakin ketakutan.
"Kau mau ikut dengan aku atau terpaksa aku harus menggendong paksa kau?" Pria itu berujar sembari bersiap-siap menggendong Lea.
"Aku berani bersumpah, demi Tuhan aku tidak mencuri. Lalu, mengapa kau tidak membiarkan aku pergi?" Lea merasa ini tidak adil .Dia tidak mengenal pria ini lalu pria ini terus memaksa dia ikut bersamanya?
"Anggap saja begitu. Ini bukan permintaan tapi ini perintah." bentak pria es itu lagi.
"Begitu apanya?" Lea melebarkan matanya.
"Mencuri," Pria itu tersenyum sinis.
"Oh Tuhan..saya gadis baik-baik saya buka pencuri, Tuan." Lea tidak terima dia dituduh pencuri.
"Pokoknya begitu," pria itu menarik tangan Lea.
"Ikut aku," tandas pria itu lagi.
"Kemana? Aku tidak mau jika disidangkan aku tidak ada uang untuk membayar denda." Lea pikir, dia akan dibawa dan disidangkan atas tuduhan pencurian.
"Kau ini badan kecil tapi banyak bicara," bentak pria itu.
"Tapi sumpah aku tidak mencuri," Lea terus membela diri.
"George, kenapa kau hanya diam saja!" bentak Bruno.
George akhirnya mengikuti Lea dan Bruno. Dia bingung kenapa Bruno membawa gadis ceroboh ini. George, bisa menilai dari Lea berjalan memasuki ke kebun anggur tadi, sudah bisa ditebak gadis ini sangat ceroboh dalam bertindak. Ya, George dan Tuan salju, adalah agen intelijen handal dari kota Barcelona.
Namun, saat Lea ingin melepas diri dari cengkraman tuan salju. Lea mendengar ada suara anjing menggonggong.
"Roberto?" batin Lea.
"Tuan salju, aku bersedia ikut dengan anda." Lea kehabisan ide. Percuma kabur Robert bisa menemukan dia disini. Lea tidak mau disiksa lagi, atau dipaksa menikah dengan Albert.
"Kenapa, kau berubah pikiran?" tanya tuan salju. Dia menaikkan sudut bibirnya.
"Apa kau tidak dengar suara anjing menggonggong? Percuma saja memiliki wajah tampan tapi pendengaranmu terganggu." gerutu Lea.
Pria salju itu menarik tubuh Lea bersembunyi dibalik gubuk kebun anggur.
"Menunduk!" perintah Bruno.
Lea masih menatap Bruno. Mata keduanya saling mengunci sesaat. Bruno tersenyum dia merasakan sesuatu yang aneh, untuk menghindari perasaan aneh itu. Bruno menekan turun kepala Lea untuk bersembunyi dibalik gubuk itu, agar tidak terlihat oleh Roberto.
"Tuan, kau sangat kasar." bisik Lea.
"Kau susah diatur." balas Bruno.
Lea mendelik kesal. Pria ini baru pertama kali bertemu tai mulutnya berkata semaunya. Sementara George bersembunyi dibalik pohon besar. Dia bersiap untuk melepas timah panasnya.
Lea semakin ketakutan, dia tau benar anjing Roberto sangat cerdas. Mereka bisa mencium aroma sesorang dari jarak dua kilo meter.
"Tuan es, aku tidak ingin ditangkap pria tua itu." Lea mendongakkan kepala menatap Bruno. Bukannya menjawab Bruno meletakan jari telunjuknya di bibir kecil Lea.
"Sekali lagi kau berbicara, aku akan memakan bibir kecilmu itu." ancam Bruno.
Lea akhirnya diam, daripada bibirnya dimakan Bruno. jarinya menyentuh pelan bibirnya. "Kau hewan buas." gumam Lea.
Mendengar gumaman Lea, Bruno tersenyum gemas.
"Lea...kau jangan sembunyi. Keluarlah, anjing-anjingku sudah mengetahui dimana kau bersembunyi." teriak Roberto.
Bruno tersenyum melihat langkah Roberto yang sempoyongan. Bruno mengambil sebuah botol kecil dari dalam kantong celananya. Dia tahu harus berbuat apa untuk menghalau anjing-anjing itu.
"Tutup matamu, mulut dan hidungmu.Jangan pernah membuka matamu dulu sebelum ada perintah dari aku." Bruno mulai menyemprot cairan dari botol kecil itu di sekitar mereka bersembunyi. Lea, menatap kagum Bruno lalu ia pun menuruti perkataan Bruno. Setelah sepuluh menit aroma itu mulai menghilang, Bruno menepuk punggung Lea.
"Sudah.Sekarang kau boleh buka matamu." perintah Bruno.
Lea, membuka matanya, dia pun melepas tangan dari mulut dan hidungnya. Lea, tersenyum kagum.
"Tuan, usiamu tua tapi otakmu cukup cerdik." Puji Lea.
"Bukan hanya cerdik aku juga licik." celetuk Bruno.
Benar saja, anjing-anjing itu yang tadi hampir mendekati Lea dan Bruno.Tiba-tiba berlari ketakutan kembali ke rumah Roberto. Sementara pria berambut uban itu bingung kenapa anjing-anjing miliknya seperti ketakutan.
Dia pun akhirnya menyerah dan kembali ke rumahnya. Lea menghela napas panjang, dia patut berterima kasih kepada pria dingin ini. Perlahan dia menegakkan tubuhnya, kedua tangannya masih memeluk tas usang berwarna hijau itu.
"Terima kasih, Tuan. Karena, urusan kita sudah selesai aku harus pergi." Lea bergegas hendak pergi dari hadapan Bruno.
Namun, entah bagaimana kaki Lea tidak bisa digerakkan, dia menunduk betapa terkejutnya Lea ketika melihat kedua kakinya sudah terikat. Lea jatuh diatas rerumputan.
"Tuan, apa yang kau lakukan?" tanya Lea berusaha melepas diri dari ikatan tali itu.
"Kau tidak tau berterima kasih. Setelah aku menolongmu, mengapa kau ingin pergi?" Bruno menatap tajam Lea.
"Urusan kita sudah selesai. Aku harus pergi dari sini, walaupun aku tidak tahu harus kemana." Lea menitikkan air matanya.
Bruno menghembuskan napas kasar.
"Kau..." Bruno menatap dingin Lea.Dia tidak sanggup melihat wanita menangis didepan dia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!