"Dokter, Chantika," panggil seseorang dan menghentikan langkah wanita yang tengah berjalan ke arah koridor ruangan pasien.
"Iya, Sus? Panggil, Caca aja. Gak usah Chantika, ya," jawabnya dan tersenyum ke arah suster tersebut.
"Akan ada oprasi, dan Dokter ditunjuk untuk membantu."
"Baik, terima kasih informasinya," pamit wanita yang menggunakan rok plisket, sepatu pansus tanpa tumit serta kaos kaki, juga baju tunik tak lupa dengan baju putihnya juga hijab segiempat yang dibentuk menutup dada.
Wanita tersebut langsung berjalan dengan cepat ke ruang oprasi membantu pasien yang sudah sangat membutuhkan pertolongan.
Ya, Chantika Azizah atau yang kerap dipanggil Caca sekarang telah menjadi seorang dokter di salah satu rumah sakit terbaik di Amerika.
Ronald Reagen UCLA Medical Center, Los Angeles. Tempat ia baru beberapa bulan bekerja, setelah selesai mengenyam pendidikan 4 tahun lamanya.
Kini, Caca sudah diterima di rumah sakit terbaik. Di Amerika, ia harus mengenyam pendidikan sekitar 4-6 tahun lamanya.
Sedangkan di Indonesia, sarjana kedokteran ditempuh kurang lebih selama 3,5 hingga 4 tahun dengan gelar S. Ked.
Jika ditanya berapa biaya kuliah yang sudah dikeluarkan oleh Caca, maka untuk S1 saja ia harus mengeluarkan sekitar 25.000 - 70.000 US Dollar.
Jika dijadikan rupiah maka sekitar 350 juta - 1 Miliar. Beruntungnya, di sana Caca juga mengambil pekerjaan paruh waktu di saat kosong jadwal kuliahnya.
Sedikit meringankan beban Milda yang berada di Indonesia, selama 4 tahun lebih Caca di Amerika. Milda baru sekali ke sini disebabkan biaya yang tak murah.
Ia tak bisa untuk tiap tahun menjenguk anaknya tersebut, lebih baik uangnya ia simpan untuk biaya kuliah Caca nantinya.
Sekarang, Caca menjadi wanita yang lebih sholehah dan cantik di umur 23 tahunnya. Setelah lulus kuliah, dirinya sebenarnya sudah dipaksa pulang oleh Milda.
Namun, Caca bersikeras mau tetap di sini karena sudah merasa nyaman meskipun ia tak bisa berbohong masih sering rindu dengan Indonesia.
"Dokter, apa yang terjadi dengan pasien?" tanya Caca masuk ke ruangan sudah dengan pakaian oprasi dan juga masker.
"Dia tidak kuat untuk melahirkan secara normal hingga harus segera di oprasi demi segera menyelamatkan anaknya," ujar dokter yang memang menjadi langganan pasien tersebut.
Lampu ruangan di matikan, suami dari pasien terlihat tak hadir menemani. Caca menguatkan wanita itu dan berkata bahwa tidak ada apa-apa yang akan terjadi.
Sekitar satu jam lamanya, akhirnya oprasi berhasil dilakukan dan sang buah hati keluar dari perut ibunya itu.
Suster langsung pergi untuk membersihkan sedangkan Caca dan lainnya menjahit kembali perut bekas oprasi tersebut.
"Ibu, silahkan tidur terlebih dahulu, ya," perintah Caca terhadap wanita yang sudah lemas tersebut.
Dia hanya mengangguk dan membiarkan serta mempercayai dirinya dan anaknya ke dokter yang sedang bekerja.
"Dokter, kenapa suaminya tidak menemani?" tanya Caca menggunakan bahasa Inggris yang sudah fasih (Tapi, Author translet aja, ya)
"Memang dia tidak pernah ditemani oleh suaminya, ini bukan kelahiran yang pertama kali."
Caca hanya terdiam dan menatap ke wajah yang pucat akibat kelebihan dan menahan sakit luar biasa, Caca melirik ke arah pintu sekilas terlihat ada laki-laki yang sedang menatap mereka.
"Dokter, apakah itu suaminya?" tanya Caca menatap dokter yang sudah lebih lama di sini. Dokter tersebut melihat ke arah pintu sebentar dan fokus kembali pada pekerjaannya.
"Laki-laki itu memang selalu menemaninya setiap kali periksa kandungan, tapi wanita ini tak pernah memberi tahu hubungannya dengan orang tersebut."
Caca melihat ke arah pintu kembali, namun orang tersebut sudah tidak ada lagi di pintu. Entah ke mana perginya, dirinya pun tak tahu.
Setelah selesai dengan tugasnya di jam 11 siang ini, Caca langsung ke kantin untuk mengisi perutnya terlebih dahulu.
Tadi pagi, ia hanya makan roti di apartemen miliknya. Ketika akan mengambil makanan di kantin, gelang Caca tersangkut di meja yang ada.
"Aww ...," ujar Caca saat merasa sakit akibat gelang yang sedikit tertarik. Caca langsung menatap gelang yang ada di tangan kirinya itu, ia menatap dan mengusap gelang pemberian Annisa.
'Umi sekarang apa kabarnya, ya?' batin Caca yang termenung.
"Dokter?!" panggil seseorang di belakang Caca yang juga ingin mengambil makan siangnya.
"Oh, iya? Maaf-maaf," ucap Caca sadar di belakangnya sudah ada tiga orang suster yang mengantri makanan juga.
Untuk menjadi perawat di rumah sakit ini bukanlah suatu hal yang mudah, namun beruntungnya Caca juga merupakan lulusan university terbaik.
Juga dengan nilai terbaik dan sudah lihai dalam melakukan pekerjaan bahkan tak jijik atau takut dengan darah, itu sebabnya ia bisa keterima di rumah sakit ini.
Makan siang gratis dari rumah sakit, hari ini Caca pulang sedikit cepat karena memang pasiennya sedikit.
Caca duduk di meja yang dipilihnya dekat dengan jendela dan bisa langsung menatap jalanan dari atas rumah sakit.
'Kok jadi rindu sama orang-orang di Indonesia, ya?' batin Caca beralih menatap gelangnya.
Ia merogoh kantong dan mencari handphone, ia mengetik di aplikasi berlogo kamera nama Aldy. Tak terlihat ada postingan baru, yang ada hanya postingan 4 tahun yang lalu.
Entah memang Aldy ganti akun atau memang dirinya yang sudah tak seaktif dulu lagi, sekarang Caca beralih ke akun Riki.
Sebenarnya sedikit takut untuk melihat akun laki-laki yang sekarang sudah berusia kurang lebih 28 tahun itu.
Namun, rasa penasaran tak bisa ditepis oleh Caca lagi. Terlihat ada postingan yang belum pernah dilihat olehnya.
Postingan yang mampu membuat mata Caca berembun dan hatinya menjadi sakit, ia membaca caption di foto tersebut.
[Maaf karena tak mengetahui isi hatimu sejak awal, aku laki-laki yang tak peka ini akhirnya kehilangan orang yang begitu tulus dan sayang kepadaku. Sekarang, akankah manusia sepertiku ini bisa mencari pengganti selainmu? Oh, tentu tidak. Kau tahu, aku akan menunggumu meskipun penantian ini akan berbuah kekecewaan sekalipun aku tak pernah takut akan hal itu. I really love you, Bocil!]
Foto cincin permata yang berada di kotaknya berwarna merah menjadi hiasan di caption tersebut.
Di posting tepat di hari kepergian Caca, air mata tanpa sadar telah terjatuh dan menjadi perhatian suster yang mengenal Caca.
"Dokter, apa kau baik-baik saja?" tanya suster yang duduk tak jauh dari meja Caca.
Caca yang mendengar seseorang menyebutnya langsung menatap ke arah suara dan menghapus air matanya, "Ya, saya baik-baik saja," jawab Caca tersenyum.
Caca mematikan handphone dan memasukkannya kembali ke jas dokter yang dipunya, lama-lama mengingat masa lalu juga tak baik bagi kejiwaan.
Ia mulai memakan apa yang diambilnya tadi, baru satu suapan masuk ke mulutnya seseorang yang berlari dengan nafas terengah-engah datang ke mejanya.
"Dokter, pasien tadi marah-marah di ruangannya," ucap suster tersebut.
Caca langsung bangkit dan berlari ke ruangan oprasi, "Dokter yang lainnya mana?" tanya Caca kepada suster yang berlari di sampingnya.
Kini, Caca sudah masuk ke dalam kamar. Beberapa dokter yang menenangkan sedikit kewalahan dengan orang tersebut.
Caca mendekat ke arah tempat tidur pasien dan dokter lainnya sedikit menjauh dari mereka, "Ada apa? Kenapa kau marah-marah seperti ini?" tanya Caca mencoba menenangkan.
"Dia tadi mau minta bayinya dan ingin segera pulang, Dok," kata suster yang menjaga ruangan pasien ini.
Caca melihat gelang pasien yang sudah diberi nama, Caca sebelumnya tak tahu nama pasien karena pasien tersebut bukan konsultasi ke dirinya.
Caca duduk di pinggiran kasur dan tersenyum, "Ada apa, Buk Clara?" tanya Caca dengan lembut masih mencoba menenangkan meskipun wanita itu tak semarah tadi.
"Laki-laki itu datang kembali," jawabnya dengan menatap ke arah selimut.
Caca mengerutkan keningnya dan menatap satu per satu dokter yang ada juga suster yang masih setia berdiri tak jauh dari Caca.
"Siapa?" tanya Caca menatap ke wajah wanita itu lagi mencoba mencari tahu permasalahannya.
Beberapa detik, Caca tak juga mendapatkan jawaban dari wanita tersebut. Dia diam dan menatap Caca dengan lekat membuat Caca sedikit merasa takut.
"Dia bilang itu anak dia! Bukan, itu anakku dan suami!" teriak wanita itu dengan menjambak rambutnya sendiri. Caca langsung memegang tangan wanita itu.
"Ambilkan suntik penenang," titah dokter dan langsung diambil oleh suster.
Bahkan, pasien memberontak untuk tak dipegang tangannya dan membuat Caca terkena beberapa pukulan dari wanita itu.
Suster yang melihat langsung menepis kasar tangan wanita itu pada Caca, "Jangan kasar, gak papa kok, Sus," kata Caca melihat suster yang mungkin tidak suka dengan perlakuan pasien satu ini.
Setelah suntikan penenang diberikan, wanita tersebut dibaringkan oleh Caca dan suster yang ada.
"Dokter, mari ke ruang rapat sebentar," ucap dokter yang memang menangani masalah Clara ini. Caca hanya melirik sekilas sambil merapikan selimut ke tubuhnya.
"Dokter Caca juga, ya," sambungnya yang membuat Caca membalikkan badan dan mengangguk.
Mereka keluar dari ruangan wanita yang sudah tidur, mungkin efek kecapean membuat dirinya lelah hingga tertidur.
"Tolong jangan tinggalkan dia sendiri," pesan Caca sebelum melangkah pergi. Suster hanya mengangguk patuh terhadap ucapan Caca.
Caca dan dua dokter lainnya masuk ke ruangan yang biasa digunakan untuk rapat atau meeting dengan dokter lainnya.
Setiap dokter di rumah sakit ini memiliki suster pribadi untuk pengatur jadwal dan sebagai pengganti jika dokter berhalang masuk karena suatu hal.
"Sejak awal, wanita itu memang sudah seperti tidak baik-baik saja," ucap dokter perawat wanita itu.
"Maksudnya?" kata dokter lain. Di ruangan ini, hanya Cacalah yang wanita sedangkan dua orang lainnya laki-laki.
Ketika akan melanjutkan percakapan, suara adzan dari handphone Caca berbunyi membuat kedua orang yang ada di depan Caca menatap ke arahnya.
Caca langsung merogoh saku jas dokter-nya dan mematikan suara adzan dari salah satu aplikasi milik-nya.
"Silahkan kerjakan kewajibannya dulu, Dok," ucap salah satu dokter menatap Caca yang menunduk. Caca menatap ke arah laki-laki paruh baya tersebut.
"Tidak papa, Dokter. Lanjut saja, kita juga baru saja bahas soal wanita itu," tolak Caca yang merasa tak enak.
"Tidak papa, lagian Tuhan lebih utama daripada pekerjaan, bukan?" tanyanya yang berbeda agama dengan Caca.
Caca tersenyum dan mengangguk ke arah laki-laki tersebut, "Baiklah kalau begitu, saya pergi terlebih dahulu, ya, Dokter." Caca bangkit dan tersenyum ke arah dua orang yang duduk bersebelahan itu.
Caca keluar dari ruangan dan pergi ke ruangannya untuk meletakkan jas dokter, ia segera menuju musala yang ada di rumah sakit ini.
Beberapa orang menyapanya dan Caca membalas dengan senyuman dari bibir yang diberi sedikit olesan lipstik yang tak mencolok itu.
Beberapa langkah akan sampai ke musala, suara dering handphone yang digenggam Caca berbunyi.
Membuat langkah kakinya terhenti dan menatap nomor siapa yang masuk ke ponselnya, "Assalamualaikum, Bunda! Apa kabar?!" seru Caca yang merasa rindu kepada wanita yang kini jauh darinya.
"Waalaikumsalam, alhamdulillah Bunda sehat. Kamu gimana?"
"Sehat, Bun. Bun, maaf ya. Caca mau shalat dzuhur dulu, Bun. Nanti malam Caca telpon balik, deh," kata Caca memberi tahu.
"Oh, maaf Bunda gak tau."
"Bunda pake minta maaf segala, kek apaan."
"Sekarang terasa banget, ya. Kalo anak itu super sibuk, bahkan sekedar ingin mengutarakan rasa rindu pun harus menunggu waktu yang tepat," ucap Milda yang membuat Caca bungkam.
"Bun ... bukan seperti itu."
"Yaudah, kamu shalat. Bunda matiin dulu, ya. Assalamualaikum." Milda mematikan panggilan sepihak dan membuat Caca tanpa sadar menitihkan air mata.
"Waalaikumsalam, Bunda," balas Caca sambil menatap handphone-nya.
Ia segera menghapus jejak air mata dan masuk ke musala, rasanya tak mungkin dirinya harus pulang sekarang.
Karena, baru beberapa bulan ia menjadi dokter di sini. Pun bukan mudah untuk masuk ke rumah sakit ini, jadi apakah harus dengan gampang melepaskan pekerjaan begitu saja?
Jika pun Caca pulang ke Indonesia nantinya, ia belum tentu langsung memiliki pekerjaan. Di lain sisi di sini fasilitas lebih lengkap serta gaji lebih tinggi pastinya dibanding di Indonesia.
Setelah selesai melaksanakan empat rakaat itu, Caca kembali berjalan ke arah ruangan pasien tadi. Kabarnya, pasien akan dipindahkan yang sebelumnya masih berada di ruang oprasi.
"Dokter Caca, pasien tidak mau dipindahkan kalau tidak ada Anda," ucap dokter yang menatap Caca masuk ke ruangan.
Caca mendekat dan mengusap tangan pasien, "Buk Clara, kita pindah ruangan, ya," kata Caca menatap wanita yang masih setia terbaring dengan selang infus di tangan.
Dua anggukan ia berikan ke Caca membuat suster langsung menyiapkan pemindahan wanita itu.
Setelah sampai di ruangan inapnya dan di samping kasur telah tersedia box anak juga sang buah hati telah berada di dalamnya.
Caca membiarkan semua orang keluar dan membiarkan dirinya tinggal di ruangan wanita itu, Caca yang kebetulan hari ini tidak ada pasien jadi bisa full time menemani wanita itu.
"Sekarang, cuma ada saya, Ibu dan Baby. Ibu bisa cerita kenapa dan ada apa," kata Caca duduk di bangku tunggu pasien yang tersedia.
"Laki-laki itu datang kembali dan ingin merebut anak saya, dia mengira bahwa itu anaknya padahal itu anak saya," jelasnya tanpa menatap ke arah Caca.
Caca yang tak mengerti dengan awal mulanya membuat alis wanita tersebut langsung tertaut, "Tapi, jika memang itu bukan anaknya apakah itu anak dari laki-laki lain?"
"Iya, Dok. Dia mengira bahwa itu anaknya, padahal sama sekali bukan. Saya sudah sampaikan beberapa kali dan tadi saya melihat di ada di sini dan itu sebabnya saya teriak tadi agar dia pergi dan tak mengambil bayi saya," ungkapnya dan menatap ke arah Caca.
Caca yang mulai paham dengan cerita dari wanita ini akhirnya melihat ke arah pintu, ia pun sedikit takut jika laki-laki itu sampai tiba-tiba ada di depan pintu.
Telepon yang ada di nakas langsung diraih Caca, "Pak, tolong segera ke ruang nomor 58," ucap Caca melalui telepon dan langsung mematikannya.
"Tenanglah, Ibu dan Baby akan baik-baik saja," kata Caca menenangkan dan mengembalikan telepon ke tempatnya semula.
"Riki, ini sudah 4 tahun kepergian Caca. Ayolah, apakah kamu gak ada niatan untuk bangkit dan mencari penggantinya?" tanya Mama Riki sambil mengusap bahu laki-laki yang tengah duduk di taman belakang sambil melihat tanaman yang di rawat Mamanya itu.
Seperti biasanya, Riki memang akan selalu memilih menyendiri ketika ada perasaan atau pikiran yang mengganjal pada dirinya.
Dan taman belakang rumah, menjadi tempat yang akan selalu dikunjunginya. Setelah kepergian Caca.
Riki tak lagi segembira dulu, ia kembali lagi dengan balapannya. Mengisi waktu dengan berbagai macam olahraga.
Memang baik, namun jika dilakukan secara tidak benar atau secara berlebihan maka sama saja menyakiti diri sendiri secara tidak sengaja.
Setelah pulang kerja contohnya, ia akan langsung bergegas untuk ikut futsal. Setelahnya di malam hari ia akan pergi untuk gym di salah satu tempat temannya.
Bahkan, terkadang ia akan ikut balapan jika dirinya mau. Dia yang dulunya menghabiskan waktu malam untuk tidur, sekarang menghabiskan malam untuk sibuk beraktifitas.
Riki menatap Mamanya yang berada di sampingnya dengan wajah datar, "Gak, Ma. Riki akan nunggu Caca."
"Kalo dia di sana udah bahagia gimana?"
"Riki akan melepaskannya jika dia memang sudah bahagia."
Kata Riki dan memalingkan wajah lagi, keadaan Riki yang sangat memperhatinkan membuat Mamanya dan Papanya begitu cemas.
Namun, mereka pun tak bisa berbuat apa-apa. Nomor Caca tak mampu didapat mereka dan media sosial sudah hilang tanpa jejak.
Handphone Riki berbunyi membuat dirinya mengangkat nomor yang masuk dengan malas, "Apa?" tanya Riki dengan singkat.
"Pasfor Bapak sudah siap, serta lokasi di mana sekarang Caca berada dan tempat kerjanya sudah saya dapatkan. Apartemen Caca dan Bapak akan berhadapan nantinya," jelas Farhan yang berada di negeri orang.
"Baik, kalau begitu hari ini kamu pulang," perintah Riki kepada tangan kanannya itu.
"Jadi, siapa yang akan jaga toko-toko Pak?"
"Who else are you?" Riki mematikan panggilan sepihak dan menggenggam handphone-nya kembali.
"Kamu mau nyusul Caca?" tanya Mama Riki menatap wajah anaknya mendengar percakapan Farhan dan Riki tadi.
Riki menatap dan mengangguk pertanda mengiyakan ucapan Mamanya itu, "Berapa lama?" tanya Mama Riki yang sebenarnya sangat khawatir dengan keadaan anaknya itu.
"Sampai Riki mendapatkan kenyataan dan jawaban."
"Kenyataan apa?"
"Kenyataan, dia sudah bahagia di sana atau memang fokus untuk sekolah dan menggapai citanya."
"Setelah itu?"
"Riki akan menunggunya kembali hingga akhirnya menjadikan dia belahan jiwa Riki."
"Lalu, bagaimana dengan Diva?"
"Siapa yang mencintainya?"
"Kamu gak cinta sama dia?"
"Apakah baik kepada seseorang pertanda bahwa orang tersebut mencintainya? Oh, terlalu minim pemikiran seperti itu. Riki mau keluar sebentar, Ma. Mau ngambil pasfor dan siap-siap," jelas Riki dan meninggalkan Mamanya yang masih terpaku dengan sikap Riki yang sekarang sungguh dingin padanya.
Memang dari dulu Riki pun terkenal dingin dan bahkan semasa sekolah tak pernah sekadar menyapa orang tuanya.
Hingga datang Caca yang merubah segala sikap dan jalan pikiran laki-laki itu, tak heran jika kepergian Caca membuat jiwa yang dulu hilang kini kembali lagi.
Bahkan, senyum laki-laki dua puluh delapan tahun itu sudah tak pernah terlihat di wajah yang semakin tampan itu.
Riki keluar dari rumah menaiki mobil miliknya yang berwarna hitam, jika ditanya ke mana motornya. Itu masih ada di garasi.
Ia hanya memakai motor kesayangannya itu pas balap saja, dia berkata bahwa itu dulu dibeli agar sedikit menyusahkan Caca menaikinya.
Sekarang, wanita itu tak ada maka motor tersebut hanya ia masukkan ke dalam garasi dan akan dibuka pas ada pertandingan saja.
Riki terlebih dahulu mengambil pasfor dan ingin mencek data toko-tokonya, dia masih sering kerja meskipun tak sehangat dulu lagi.
"Siang, Pak. Tumben datangnya agak siangan?" tanya pegawai Riki yang tak jera dan mungkin berfikir bahwa Riki sekarang sudah berubah menjadi dirinya yang dulu.
Riki tak menghiraukan sapaan dari karyawatinya itu, ia langsung berjalan menatap ke arah depan dan menuju ruangannya.
"Dih, kirain udah berubah jadi lebih hangat. Ternyata tambah dingin, kirain yang dingin cuma cuaca dan kulkas. Ternyata sikap dia juga," gerutu orang tersebut dengan suara pelan.
Membuka laptop dan mulai bergelud dengan berkas dan beberapa produk, ia harus menyelesaikan beberapa pekerjaan karena mungkin dirinya akan lama berapa di sana.
Atau mungkin akan selamanya? Sangat tidak mungkin, karena bagaimana pun ia tak akan mau berlama-lama di negri orang.
Besok, dirinya akan berangkat pergi. Notif masuk ke handphone dari aplikasi berwarna hijau, Riki langsung mengalihkan pandangannya ke handphone itu.
Ia mencek pesan dari siapa yang masuk, 'Oh, ternyata dirinya benar-benar meraih impiannya,' batin Riki melihat pesan Farhan mengenai Caca.
Beberapa detik kemudian panggilan masuk dari Farhan, "Itu Pak alamat serta pekerjaan Caca sekarang."
"Thanks."
Meskipun, Farhan sudah menikah bahkan dikabarkan sudah memiliki seorang anak perempuan yang amat cantik.
Dirinya masih setia pada Riki dan bertahan dengan laki-laki yang sudah berubah sikapnya dan selalu menyusahkan Farhan.
Entah karena gaji yang besar diberikan Riki, entah karena memang dirinya ingin membalas budi kepada Riki.
Farhan bukanlah dari keluarga yang kaya raya, ia pun hanya seorang laki-laki lulusan SD. Namun, Riki mengajak Farhan untuk kerja bersamanya.
Setahun kerja dengan Riki, Farhan sempat ditawari untuk membuka usaha sendiri bahkan rumah telah dibelikan Riki kepada Farhan.
Rumah di salah satu perumahan yang tak terlalu besar diberikan Riki secara cuma-cuma dan atas nama Farhan langsung.
Itu sebabnya, Farhan tak ingin jika berhenti apalagi dipecat oleh Riki. Sebisa mungkin ia mengikuti apa kata Riki selagi itu bukanlah hal yang terlalu bahaya.
Meskipun terkadang, bahkan hal yang bahaya saja ia ikuti ucapan Riki. Farhan pernah dipaksa untuk balapan liar dan diharuskan Riki agar juara satu.
Setiap hari laki-laki itu harus latihan dengan Riki, pagi, siang dan malam maka harus latihan agar menang di pertandingan.
Pekerjaan telah selesai hampir 80% Riki langsung keluar dari ruangannya, ia pergi begitu saja tanpa memperdulikan tatapan karyawatinya yang mungkin berharap sikapnya berubah.
Ia berhenti di salah satu cafe terlebih dahulu, agar menenangkan diri besok untuk bertemu dengan Caca. Ia fokus pada handphone dan kembali melihat pesan Farhan soal Caca tersebut.
Ia keluar dari chat itu dan membuka galeri, ya, foto dirinya dan Caca di jembatan saat melihat senja untuk terakhir kalinya.
Semenjak kejadian itu, Riki membenci senja karena telah membuat seseorang pergi layaknya senja tersebut.
"Riki, kamu kok ada di sini?" tanya seseorang yang membuat Riki melirik ke arah hells orang itu.
Riki tak menjawab dan kembali fokus kepada wajah wanita yang membawa separuh jiwanya, wanita yang tak disuruh duduk tersebut memilih duduk di samping Riki.
"Kamu kenapa jauhi aku, sih? Bukannya dulu kamu dekat banget sama aku? Kenapa sekarang kamu--" Belum sempat wanita tersebut melayangkan pertanyaannya lagi dan lagi.
Riki bangkit terlebih dahulu dan berjalan ke arah kasir, satu lembar berwarna merah ia letakkan di meja kasir dan langsung keluar dari cafe itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!