"Ratih!"
"Iya buk." Ratih datang dengan tergopoh-gopoh mendengar panggilan ibu mertuanya.
"Ratih! Ini anakmu gimana sih? Kamu bukannya menjagain malah dibiarkan main disini!" Hardik Bu Tias menunjuk Altaf anak Ratih yang masih berusia tiga tahun itu.
Altaf kecil terlihat menangis neneknya marah-marah karena kakinya terlilit kain penutup meja . Hingga sebagian hidangan untuk tamu di hari ke -3 lebaran, tampak berserakan di lantai.
"Astagfirullah... Altaf." Ratih langsung mengambil Altaf ke dalam gendongannya.
Kasian bocah itu menangis karena ketakutan neneknya marah-marah. Sebagian tubuhnya juga kotor terkena tumpahan makanan. Tentu saja para tamu bu Tias menjadikan mereka pusat tontonan karena suara mertua Ratih cukup kencang dan gaduh.
"Makanya jadi ibu itu yang becus, anak malah di biarin keliaran di sini. Bukannya di jagain atau gimana biar anteng. Gimana sih kamu, ini Tih?" Hardik mertuanya dengan mata melotot dan muka merah karena marah menunjuk wajah Ratih.
"Ratih kan lagi cuci piring buk. Di belakang dah banyak itu cucian nggak selesai-selesai. Gimana mau jagain Altaf." Jawab Ratih masih menggendong Altaf sambil mengusap rambut bocah berusia tiga tahun itu. Lelah juga setiap hari hanya terus di maki mertuanya yang tak mau tau dengan pekerjaan rumah yang menumpuk.
Ratih mencoba menenangkan bocah yang masih menangis cukup kencang sembari menggoyangkan tubuh pelan.
"Halah, kamu ini alasan saja." Sela Bu Tias masih ingin menyalahkan Ratih, menantu yang sangat tidak dia sukai karena miskin dan jelek, atau kumel atau dekil, karena tak bisa merawat diri seperti menantu dan anak gadisnya yang lain. Padahal itu semua karena kesibukannya di dapur dan membereskan rumah mertua yang tiada habisnya.
"Bukan alasan buk, emang cucian Ratih banyak di belakang. Ratih nggak bisa kalau nyuci skalian jagain Altaf, dia masih kecil juga lagi aktif-aktifnya di usia segini. Kalau ibuk mau Ratih jagain Altaf, Ratih mundur dari cuci piring." Ucap Ratih mengatakan yang sebenarnya, ia sudah cukup lelah dan malu ibu mertuanya bicara dengan nada yang cukup keras dan merendahkan di depan para tamu yang masih cukup banyak berkumpul di rumah.
"Apa? Enak aja kamu jadi mantu. Udah miskin, dekil, nggak kerja, males lagi. Alasan aja bilang jagain Altaf padahal cuma mau malas-malasan. Inilah kenapa ibuk nggak suka sama kamu. Indra ini udah di kasih tau kok ya ngeyel. Milih istri kok kayak gini." Sentak Bu Tias melipat tangannya di depan setelah menunjuk-nunjuk pada wajah Ratih dengan arogan.
"Ada apa sih ini ribut-ribut?" Tanya Indra yang baru muncul dari pintu depan. Ratih membuka mulutnya hendak bersuara namun,
"Bagus kamu datang, Ndra. Ini binimu ini, di bilangin mbantah terus, gara-gara dia nggak jagain anaknya meja prasman jadi awut-awutan kek gini. Kalau sudah begini kan mubazir malu juga sama tamu. Suruh ganti juga nggak punya uang pun dia." Cepat-cepat Bu Tias memotong sebelum mantunya itu membuka mulut dan mengadu yang tidak-tidak.
Indra yang menyimak ucapan ibunya, jelas terpengaruh. Ia berganti memandang istrinya jengah.
"Kamu gimana sih dek, bukannya jagain Altaf, malah ngapain sih?" Indra menatap protes pada Ratih dengan nada kecewa.
Ratih kembali membuka mulutnya hendak bersuara, namun sudah keduluan Bu Tias lagi.
"Ia itu tuh istri kamu, malas-malasan, nggak bisa jagain anak sampai bikin berantakan kek gini. Rugi ibuk kalau kek gini. Rugi... Mubazir.. Angel wes angel."
Bu Tias menggelengkan kepalanya dengan bibir Yang terus Manyun ke depan.
"Ya udah buk, nanti Indra ganti." Ucap Indra menenangkan ibunya."Ratih cepat minta maaf sama ibuk." Kata Indra dengan nada perintah tak mau dibantah.
Ratih hanya diam menatap ibu dan suaminya bergantian, ia bahkan tak di beri kesempatan untuk membela diri.
"Tapi mas, Ratih..."
"Udah cepetan minta maaf. Biar selesai masalah, Nggak enak kalau di lihat para tamu. Lagi rame gini juga." Tukas Indra dengan nada menyuruh yang menyudutkan. Ratih menghela nafasnya mengusir beban sesak di dada.
"Iya, maafin Ratih." Ucap Ratih lirih, akhirnya mengalah juga. dijelaskan pun toh suaminya tak akan perduli .
"Huuh, minta maaf aja musti di suruh." Cibir Bu Tias dengan melengoskan kepalanya."Udah kamu bersihkan itu lantai yang kotor ulah anakmu."
"Iya..."
"Sini, Altaf biar mas bawa." Indra mengambil Altaf dari gendongan istrinya, walau masih menangis, Indra mencoba menenangkan bocah itu dengan membawanya pergi.
Ratih menatap ke atas sebentar, agar air matanya tak jatuh. Ia menghela nafasnya, untuk mengusir sesak di dada atas perlakuan mertua dan suaminya yang seolah berat sebelah, hanya mendengarkan dari sudut ibunya, tanpa menanyakan apa yang Ratih rasakan dan alami.
Dengan sigap dan telaten Ratih membersihkan lantai yang kotor. Oleh tumpahan hidangan besar sendirian. Hari ini adalah hari raya ke -3 meski begitu rumah besar itu tetap ramai.
Hal yang biasa jika Bu Tias memiliki banyak tamu mengingat bu Tias di kenal sebagai orang yang lumayan kaya di komplek itu. Ditambah lagi memiliki tiga orang anak yang terbilang sukses.
Anak pertama bernama Indah, sudah menikah dengan seorang ASN. Sudah pasti sangat terpandang, dan membuat ibu mertua Ratih girang. Anak kedua bernama Gafar, juga sudah menikah dengan seorang wanita karir. Gafar sendiri juga seorang pekerja kantoran berpangkat cukup tinggi. Tentu saja itu pun membuat Bu Tias makin senang.
Walau sebenarnya mereka juga punya banyak utang di bank untuk menutupi gaya hidup beli ini dan itu. Tidak apa yang penting orang lihat, Bu Tias memiliki mantu dan anak sukses.
Sementara Indra anak bungsu Bu Tias, hanya pekerja kantoran biasa dengan gaji minimal tujuh juta, itupun masih di potong untuk cicilan mobilnya. Ratih sendiri tidak bekerja karena mengurus Altaf dan Indra memang meminta Ratih untuk tidak bekerja saja sembari mengurus Altaf dan membantu ibu di rumah.
Membantu, yaahh, karena mereka memang tinggal serumah dengan ibu Tias. Membuat Ratih terpaksa menyanggupi mengurus semua di rumah itu sendirian. Mulai dari masak, bersih-bersih, mencuci, sampai ke pasarpun Ratih juga yang kerjakan.
Sebelumnya, Ratih keberatan saat Indra mengajaknya tinggal di rumah ibu mertua. Karena Ratih juga sadar. Ia orang tak punya, mertuanya pun juga menunjukan gelagat tak suka, mau semenurut apapun dia mau sebagus apapun yang ia kerjakan. Selalu tidak pernah membuat mertuanya itu puas, semua bisa jadi alasan Bu Tias untuk marah-marah dan terus menyudutkan Ratih. Berbeda dengan dengan dua anak mantunya yang selalu disanjung.
Namun, Indra terus membujuk dan bersikeras untuk tinggal di rumah ibunya. Katanya sih demi penghematan, karena ia mengambil kredit mobil yang perbulannya tidak sedikit, apalagi masih biaya kontrak rumah dan makan.
Sehingga memaksa Indra untuk kembali ke rumah walau Ratih keberatan. Dengan Dalih, istri harus nurut suami. Akhirnya, Ratih pun mengiyakan. Demi baktinya pada sang suami.
Namun di rumah itu, justru Ratih seperti dijadikan pembantu. Mengerjakan semua pekerjaan rumah, dan belum lagi menjaga Altaf yang masih kecil. Karena mereka tinggal gratis di sana. Indra juga jarang memberi nafkah pada Ratih, karena sudah tidak ada biaya yang lain-lain, seperti saat ngontrak. Yang harus bayar kontrakan, bayar token listrik masak dan lain sebagainya.
Gaji Indra Bu Tias yang pegang. Karena dia yang mengatur semuanya, Bu Tias tidak suka jika Ratih yang pegang, takut boros katanya. Padahal, selama Ratih pegang nggak pernah tiap akhir Bulan kelimpungan mau makan apa.
Ratih hanya diberi untuk belanja saja. Itu pun pas-pasan. Apalagi di akhir bulan, mungkin cuma cukup buat beli garam. Hingga Ratih selalu meminta nota pada pemilik warung. Agar ia tidak di tuduh menyelewengkan uang belanja yang sedikit itu.
Hanya kadang-kadang saja Indra memberi Ratih uang untuk kebutuhannya, itupun hanya 200 ribu, masih dibagi dua untuk keperluan Altaf.
____
Bersambung..
"Ratih."
"Iya mas,"
"Ini uang bulanan buat kamu."
Ratih menatap uang biru yang Indra sodorkan padanya, lalu berganti menatap wajah suaminya.
"Itu jatahmu."
"Kok cuma lima puluh mas?" Protes Ratih,"mana cukup? Buat susu Altaf aja kurang."
Indra mendengus kesal. "Ini karena kamu juga, Altaf sampai tumpahin makanan buat para tamu. Jadi mas harus ganti kan."
Ratih menghela nafasnya mencoba sabar."Mas, makanan tadi kan juga sisa. Ibuk bahkan nggak kekurangan. Lagian aku tadi nyuci piring sendirian mas, sebanyak itu, nggak ada yang bantuin.
Belum lagi masak dan cuci baju serumah, punya mbak indah sekeluarga, punya mas Gafar, mana mereka keringetan dikit ganti lagi. Gimana Ratih bisa jagain Altaf juga?" Ucap Ratih merasa sangat lelah, tak pernah sedikitpun ia di hargai di rumah itu.
"Halah, kamu itu Ratih. Bener kata ibuk, kamu tu bantah terus. Masih syukur mas masih kasih kamu uang ini. Kalau nggak mau ya udah. Mas ambil lagi buat beli rokok." Dengus Indra dengan kesal mengulurkan tangannya hendak mengambil lagi uang yang dia letakkan di atas kasur kamarnya.
Ratih menghela nafasnya lagi. Lalu mengambil uang yang belum sempat Indra ambil balik.
"Hemat-hematlah itu buat sampai akhir bulan."
Indra keluar dari kamar mereka, ikut bergabung dengan keluarga besar yang berkumpul di ruang tengah.
Sementara Ratih yang baru saja menidurkan Altaf hanya menatap pintu yang tertutup setelah suaminya pergi. Selama empat tahun pernikahannya dengan Indra, dan dua tahun tinggal di rumah Mertuanya yang bagai neraka itu.
Tak urung membuat Ratih diam dihina-hina oleh mertuanya yang jelas tak menyukainya itu.
Ratih berjalan mendekati lemari tempat di mana dia menyimpan android nya.
Satu-satunya harta yang dia punya sejak masih gadis dulu. Indra, tentu saja tak akan punya cukup uang untuk membelikan nya hp. Ratih mulai membuka aplikasi dan menulis semua Yang ada hati dan otaknya.
Selama hampir setengah jam lamanya ia berkutat pada hpnya, pintu kamar di buka dengan kasar, membuat Ratih terlonjak kaget. Hingga hape nya hampir lepas dari pegangan.
"Ya ampuunn... Ternyata malas-malasan di sini mainan hp. Bukannya beresin itu cucian yang dah numpuk malah santai-santai mainan hp." Hardik ibu mertua Ratih dengan suara yang sangat keras.
"Buk, Altaf lagi tidur loh, nanti terbangun. Kasihan..."
"Halah, kamu ini banyak kali membantah. Ini nih yang bikin aku nggak setuju Indra nikah sama kamu kemarin. Kok ya dia itu ngeyel. Mantu satu ini malesnya minta ampun. Udah tinggal gratis, makan gratis.." Sewot Bu Tias sembari berjalan menjauh.
"Nggak ngratis buk, Ratih juga kerja di rumah ini. Semua Ratih kerjain sendiri tanpa ada yang membantu." Balas Ratih tak mau rasanya terus di salahkan dan disudutkan mertuanya.
"Masih berani bicara balik sama ibuk, kamu?" Sahut Bu Tias datang lagi mendengar ucapan Ratih."Kamu tuh nggak keluar uang sama sekali, masih bilang nggak gratis?"
"Tapi Ratih keluar tenaga buk."
"Ya itu, kalau miskin nggak punya uang ya cuma bisa keluar tenaga."
Suara nylekit dari Bu Tias yang marah-marah masih Ratih dengar hingga Indra muncul diambang pintu kamar."Udah miskin, males, belagu lagi keluar tenaga aja...."
"Kamu kenapa lagi sih dek? Sehari aja, bisa nggak sih, nggak bikin ibu marah-marah. Malu mas ada tamu mas di depan. Buruan cuci piring sana, udah abis piring di depan. Teman-teman mas sudah pada mau makan nggak ada piring." Ujar Indra dengan nada kesal yang memerintah. Lagi.
"Emangnya nggak ada yang lain mas? Ratih capek mas sedari pagi nggak istirahat. Kan masih ada Mbak indah dan mbak Maya. Gantian dulu nggak papa kan?"
"Masha Alloh, benar-benar nggak tau diri banget ya? Nggak tau terima kasih kamu ya? Indah sama Maya itu ada tamu di depan. Teman mereka banyak, kamu ini yang nganggur nggak ada kerja malah mau nyuruh mereka. Mereka juga sudah banyak kasih uang sama ibuk. Punya pangkat, kaya, cantik. Nggak kucel, bau, miskin kayak kamu. Kamu mau iri sama mereka? Nggak pantes!" Sela Bu Tias menimpali yang tiba-tiba muncul di balik punggung Indra melotot kearah Ratih."Ngaca dong, ngacak."
"Bener kata ibuk, Ratih. Udah, sana kerjain. Mas mau nemenin tamu mas dulu. Malu kalau di denger ibuk marah-marah terus karena kamu males." Ucap Indra lagi dengan nada memerintah tanpa mau di bantah. Indra berlalu ke ruang tamu, ikuti ibu mertua Ratih yang ikut meleos judes.
"Kamu itu kenapa sih Ndra, istri kayak gitu kok di pelihara." Gerutu Bu Tias yang suaranya makin pelan tak terdengar."Udah cari yang lain aja, yang lebih guna."
Sementara Ratih hanya menghela nafasnya mencoba bersabar. Ia sudah sangat lelah karena kerjaan tak kunjung usai di rumah itu, apa lagi di hari besar seperti ini. Di saat tamu-tamu sangat banyak. Tak ada satupun yang membantu. Semua Ratih kerjakan sendiri.
Ratih bahkan di larang ikut berkumpul karena malu, yah, ibu mertuanya malu karena Ratih dari keluarga miskin dan Kumal. Tidak bekerja, hanya pantas di jadikan pembantu saja. Tidak bisa di banggakan pada tamu dan keluarga besar.
"Istrinya Indra mana buk?" Suara itu Ratih dengar saat ia baru saja keluar dari kamarnya, sengaja Ratih menguping ingin tau saja apa yang di katakan mertuanya di depan tamu.
"Oohh lagi di belakang. Ya, memang di situ cocoknya buat dia." Jawab Bu Tias dengan diselingi tawa menghina.
Ratih tertawa getir, memang ia sangat sadar, seperti itulah dia di mata mertuanya.
"Jangan gitu ah buk Tias sama mantunya," suara tamu wanita bu Tias.
"Ya mau gimana lagi buk, si Indra ini salah pilih bini, udah jelek, miskin, tuh, sekarang malah males-malesan di kamar. Jadi, ku suruh aja beres-beres di belakang, biar berguna dikit, di sini loh udah numpang makan dan tinggal gratis."
Suara Bu Tias membuat Ratih mengelus dada. Sudah jadi kewajiban bagi suami untuk menyediakan tempat tinggal dan makanan yang layak untuk anak istrinya. Tak seharusnya Bu Tias berkata seperti itu. Apalagi, Ratih juga tau, jika Bu Tiaslah yang memaksa Indra suaminya untuk tinggal di rumah ini.
Ratih menarik nafasnya, lalu menghembuskan, begitu terus untuk mengurangi sesak di dadanya. Ia sebenarnya sudah nggak kuat untuk tinggal lebih lama lagi di rumah itu. Namun tetap bertahan karena Indra tak pernah mau pindah dengan alasan berhemat dan tak punya uang untuk ngontrak lagi.
Ratih berjalan ke arah dapur, dengan perasaan sakit yang menghimpit. Ratih ingat, Dulu pernah ibu dan adiknya berkunjung ke rumah mertua, malah hinaan yang di dapat. Sejak itu tak pernah lagi ibu dan adiknya datang. Mereka sebenarnya sangat prihatin dengan nasip Ratih yang menikah dengan Indra.
Padahal dulu, Indra tidak begitu, ia mencintai dan mengejar-ngejar Ratih sampai akhirnya mereka menikah. Namun, kini semua berubah. Ia tak lagi mendukung istrinya, bahkan nafkah lahir dan batin seolah Indra abaikan. Entah apa yang membuat Indra berubah, mungkin juga karena hasutan ibunya yang tak menyukai Ratih.
.
.
Malam itu usai mencuci piring, Ratih memijit-mijit lengan nya yang terasa pegal. Ia duduk mencari angin di samping rumah tepat di pintu bagian belakang Dapur.
Ia melihat kearah jalan, dari sana akan terlihat sebagian halaman depan yang di tumbuhi tanaman hias dan gerbang rumah milik mertuanya. Saat itu ia melihat beberapa orang tamu yang keluar. Juga keluarga besar Indra yang ikut mengantar. Ratih menajamkan matanya, terlihat semua orang tertawa bahagia. Ada satu pemandangan yang menarik perhatiannya.
Sosok pria yang dia tau pasti Indra, sedang berjalan berdua dengan seorang wanita dengan pakaian gamis tanpa penutup kepala, hingga menampakkan rambut panjang yang bergelombang di ujungnya terlihat sangat indah dan cantik.
"Siapa dia? Kenapa terlihat sangat akrab dengan mas Indra?" Gumam Ratih dengan dada berdegub kencang. Tubuhnya serasa lemas seketika.
__________
Bersambung...
"Siapa dia?" Gumam Ratih dengan dada berdegub kencang. Tubuhnya serasa lemas sektika.
Wanita itu memeluk lengan suaminya, lalu mereka berhadapan. Wanita itu mencium punggung tangan Indra lalu pergi bersama tamu yang lain.
Ratih mengusap dahinya yang tiba-tiba berkeringat dingin. Ia menelan ludahnya dengan sangat susah. Matanya masih berpaku pada sosok suaminya yang tersenyum dan melambaikan tangan pada mobil yang makin jauh suaranya.
"Siapa wanita itu? Kenapa sampai peluk-peluk lengan mas Indra?" Ratih tersenyum kecut, pikirannya lebih cepat bekerja dari praduga dihati nya.
"Jangan bilang mereka punya hubungan, dan ibu merestui mereka. Lalu bagaimana dengan ku dan Altaf? Aku akan di ceraikan atau di madu?"
Ratih menggeleng kuat."tidak! Aku tidak mau di madu, sudah jelas bagaimana sakitnya nanti, apa lagi ibu juga tak menyukaiku. Sekarang saja, aku sudah seperti ini, jika dimadu aku tak yakin akan semakin di injak-injak. Aku nggak mau..." Gumam Ratih menggelengkan kepalanya, membayangkan kemungkinan yang terjadi.
"Lalu, apa kami bercerai? Jika begitu, bagaimana dengan Altaf?"
.
.
"Ratih."
"Iya mas,"
"Kemeja mas yang warna biru itu kemana ya?"
"Yang mana ya mas?"
"Itu yang tebel merek h&n."
"Oh, itu bukan nya dipinjam sama mas Gafar?"
"Loh, kok kamu pinjemin sih?"
"Bukan Ratih yang minjemin mas, kan mas sendiri yang kasih waktu itu."
Indra terdiam sejenak mengingat-ingat. "Kamu kok nggak cegah mas?" Begitu menyadari dan ingatannya pulih.
Ratih menghela nafasnya, memang dasarnya Indra cuma mau menyalahkanya. Ratih menatap sang suami sambil menggigit bibir bawahnya. ragu untuk bertanya, tapi tetap harus ia lakukan.
Indra terlihat mengetik sebuah pesan, begitu mendapat balasan. Dia langsung sumringah.
"mas,"
"Heemmm..." dehem Indra sibuk pada gawai ditangannya.
"semalam Ratih lihat mas nganter cewek di depan...."
"Mereka teman mas."
Ratih terdiam, sepertinya ia terlalu terburu-buru bertanya. ia masih memperhatikan ekspresi suaminya.
"Pakai yang merah aja dek." Ucap indra tanpa mengalihkan pandangannya dari gawainya."yang merah merek h&n yang ada motif nya itu."
Ratih pun mengambilkan baju yang Indra maksud.
"Ini mas."
Indra langsung memakainya. Wajahnya terlihat sangat bahagia, Ratih memandang suaminya.
"Mas mau kemana?"
"Pergi! Masa mas mau ke mana mesti laporan sama kamu sih?"
"Ya kan, Ratih istri sah mas Indra. Kami ikut ya mas, udah lama nggak jalan-jalan."
"Jangan! Nggak usah!" Jawab Indra dengan ketus tidak suka."Mas mau ketemu sama teman-teman mas, malu mas kalau bawa kamu juga. Kamu kucel dan bau bawang gini. Jadi istri tu yang bersih, yang wangi. Jadi suami betah tinggal di rumah. Senang ajak pergi-pergi. Nggak malu."
Ratih tersenyum kecut. Padahal karena siapa dia sampai jadi kucel tak terurus seperti ini, demi apa Ratih sampai rela bau bawang dan asap makanan? Kadang mereka-mereka memang tidak merasa, mau setulus atau sekeras apa Ratih berusaha. Tetap saja ia tak pernah dianggap.
"Mas aja nggak kasih Ratih uang buat semua itu, gimana Ratih mau cantik dan wangi. Setiap hari hanya beresin rumah yang nggak kelar-kelar."
"Tuh kan, kamu bantah lagi. Emang bener kata ibuk, kamu tu suka bantah terus, pantes aja ibuk nggak suka sama kamu. Udah, mas nggak mau berdebat. Mas mau pergi , dah di tunggu juga nih ma teman-teman. Mas pergi dulu."
Indra asal meloyor begitu saja. Berjalan ke depan, Ratih hanya mengikuti sampai di depan pintu kamar karena dia masih harus melanjutkan memasak untuk nanti siang.
Samar terdengar suara ibu mertua dan Indra yang sedang bercakap-cakap.
"Eh, anak ibuk sudah ganteng aja."
"Indra pergi dulu ya buk, hangout sama teman-teman." Pamit Indra mencium tangan ibunya, lalu menyalami Kaka dan pamannya yang kebetulan masih ikut duduk santai di teras.
"Tiara ikut?"
"Iya dong buk, makanya Aku juga ikut. Ini aja aku couplean sama dia " suara Indra terdengar sangat riang gembira.
"Bagus, ibuk malah setuju kamu sama Tia. Udah cantik, pinter, kaya lagi. Kemarin pas ke sini dia juga ramah banget. Asyik orangnya."
"Udah langsung lamar aja Ndra." Usul Gafar menimpali.
"Huuss..... Kalian ini, terus itu si Ratih mau di kemanakan?" Suara paman Indra sedikit tak suka. Walau bagaimanapun Ratih juga masih keluarga Bu Tias. Apalagi, Ratih sangat membantu tenaga sedari dulu.
"Halah, gampang dia itu. Kalau dia tidak setuju di madu ya ceraikan saja dia itu." Ucap Bu Ratih enteng sembari mengibaskan tangan di udara.
"Jangan gitulah Bu, nanti siapa yang ngurus rumah kalau cerai." Ujar Maya menantu Bu Tias, istri dari Gafar ikut nimbrung.
"Ah, gampang aja, nanti bisa cari pembantu. Atau suruh aja Tia tinggal di sini, bantu-bantu ibuk kerjakan kerjaan rumah." Ucap Bu Tias
"Pembantu mau bayar pake uang siapa, buk? Biar Tia aja tinggal di sini." Gafar mempertanyakan karena ia tak mau menambah jatah bulanan untuk ibunya.
"Ya kalianlah, kalian kan anak-anak ibuk. Ibuk ini janda, nggak kerja, sudah tua, kalian anak-anak yang sepatutnya mendukung finansial ibuk. Percuma dong ibuk dulu ngidupin kalian dan nyekolahin kalian tinggi-tinggi kalau kalian nggak suport ibuk sekarang."
Terdengar suara ******* bersamaan. Jelas sekali anak-anaknya keberatan. Yang sudah tentu membuat Bu Tias mendelik tak suka.
"Kalau nggak mau ya Tia tinggal di sini, bantu ibuk beresin rumah."tukas Bu Tias mendengus.
"Udah, tenang aja buk. Nanti biar Indra yang pikirkan. Lagian, Tia kan kerja juga, gajinya lebih gede dari Indra, nanti minta aja Tia buat bayar pembantu. Lagian masih ada Ratih buk. Nanti biar Ratih yang kerjain, kalau Tia biar puasin Indra di ranjang." Sela Indra dengan diakhiri kekehan, yang lain pun ikut tertawa.
Indra cepat-cepat pamit karena tak mau berlama-lama di rumah."Indra pamit dulu ya."
Ratih yang memang menguping pembicaraan mereka mengurut dada sabar. Ia menyusut airmatanya. Ia cukup tau, memang selama ini keluarga suaminya hanya menganggap nya sebagai pembantu. Namun dia tak menyangka mereka akan seterang-terangan itu bicara dan menghinanya.
Dan yang lebih menyakitkan lagi, suaminya begitu memandang rendah dirinya sekarang. Ditambah lagi, ia yang menyiapkan pakaian untuk suaminya berkencan dengan Tiara, wanita yang kini dekat dan di jodohkan dengan suaminya.
"Memang semua yang kulakukan tidak pernah mereka hargai. Tidak perduli seberapa aku mencoba bersabar dan melakukan semua ini. Aku tetaplah hanya dianggap pembantu tanpa bayaran." Gumam Ratih tersenyum getir dengan hati yang nyeri dengan penghinaan dari keluarga suaminya."ha-ha-ha.... Betapa bodohnya aku berharap mereka akan menerimaku."
.
.
.
Ratih menggendong Altaf lalu mengambil tas miliknya, yang berisi beberapa baju dan barang miliknya dan Altaf. Ratih sudah bertekat untuk pergi saja dari rumah. Daripada terus di jadikan pembantu dirumah itu, sudah berkorban tidak dihargai dan dianggap pula, siapa yang tak sakit. Ratih berjalan keluar melewati ruang depan lalu teras. Semua seolah tak perduli terus bercengkrama tak menghiraukan kehadirannya.
"Buk, mau pamit, Ratih mau pulang ke rumah."
Bersambung...
_______
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!